Minggu, 30 Desember 2012

selamat malam sayang

Burung burung gagak terbang berputar, gaduh dan parau kepak sayapnya. Menyambut mendung. Awan hitam menjelang gugur. Kematian menjadi hujan. Hujan menambal jalan. Malam buta selalu terjatuh, kepada sinar lampu. Aku belajar menggali jalan buntu. Menyulam selendang tebal untuk membungkus lehermu. Supaya angin tidak terjerumus ke dalam urat uratmu. Supaya hujan tidak jadi batal. Menggenapi ramalan burung burung gagak. Biar kematian mengenal hujan. Bertukar cerita masa lalu sambil bergurau tentang keluguan tanah, kerimbunan hutan, rambu rambu di persimpangan. Semua yang ingin didengar pada hari ini diulangi besok pagi*

Sabtu, 29 Desember 2012

pagi hari

Bangunlah ibu, ketiakku basah, punggung dan pantatku basah. Sementara aku belum mengenal garah. Ibu, waktunya menaburkan serbuk putih berbau wangi ke lipatan lipatan kulitku supaya usai tangisku.
Ingatanku tak mungkin berdusta pada saat aku belum mengerti makna kata berdosa. Itulah sebabnya aku melupakan wajahmu. Kau, ibu, mestinya mengunjungiku ketika aku kehilangan keinginan beranjak ke mana mana, kemudian mengusirmu saat kau datang dalam mimpiku, cuma dalam mimpiku. Aku durhaka, mengusir ibu, kemudian mengutuk sendiri diriku menjadi batu. Setelah terjaga, ibu, memunahkan kutukan batu, mengembalikan aku beserta kekeringan pada ketiak, punggung dan pantatku. Wangi dan putih serupa dinding yang baru berdiri*

katekismus

"Siapa membutuhkan pelacur."
"Pohon anggur."

"Siapa membutuhkan anggur."
"Para penganggur."

"Siapa membutuhkan para penganggur."
"Aku."

"Ah, tu(h)an sepertinya sedang mabuk." Bidadari berkata sambil tersenyum kepadaku*

dekrit

Perintahnya adalah, tuliskan. Ruas jemarimu bertulang, tidak macam lidah yang lembek dan gemar melambai lambai. Ular mendesis dengan lidahnya, melata dengan tubuhnya. Manusia mengoceh dengan lidahnya, bertumpu pada kakinya. Terbaca macam perjanjian lama.
Maka kau, aku dan para mahluk pemilik bahasa, menemukan, atau menciptakan huruf, lambang lambang, lembaran lembaran dan cairan berwarna untuk menorehkan kehendak. Sudah kelihatan bijaksana kan. Rasanya seperti manusia pertama yang masih mempunyai semesta untuk dirinya saja.
Berdustalah dengan lidahmu, bersumpahlah dengan jarimu.
Damai di surga, damai di bumi. Api mengutuk iblis. Perempuan memulas bibir, menggambar sulur sulur bunga pada telapak tangannya.
Di gerbang sama pada setiap kota ia mengerudungi kepalanya dengan kain kusam, menunduk, mendengar, menanti lembaran betuliskan petunjuk jalan. Orang orang cuma melontarkan kepingan logam. Aku setengah percaya ia menyimpan sekantong besar mesiu di balik mantelnya.
Sebaiknya berjalan ke arah laut, ke tempat botol terapung, timbul tenggelam menggenggam selembar penuh huruf buruf yang tak punya suara ketika dibaca. Seisi semesta sudah bosan mendengarku jatuh cinta.
Pada kata. Pada dusta. Pada kita. Asap yang tak pandai bicara. Aku sembah. Membubung memenuhi lambung. Menyambung pita dan benang benang yang murung kehilangan bentuk*

Jumat, 28 Desember 2012

lisan

Tak akan kucari kalian yang sangat ingin kutemukan. Serangga serangga menguasai dunia, berebut tempat dan cahaya. Tak akan kutemukan. Tak akan kuhilangkan. Sekantong kapas menopang kepalaku, menggeraikan rambutku. Kubisikkan sebutanmu dekat tidurku. Dalam tidurku. Susunlah kepinganmu sendiri. Sebelum kupadamkan terang. Menerbangkan serangga serangga kepada kehendak sayap sayapnya*

melankolia

Kita bahagia bukan.
Malam tanpa debu membentangkan lengannya lebar lebar di luar ruangan.
Pohon pohon, gelas gelas tidak berbisik. Percintaan yang sempurna seperti selalu dan seharusnya. Meredam. Memendam. Membenamkan tangan ke kantong celana yang sedang terkapar. Menemukan sekotak sigaret telah terbuka, tidak penuh, tersisa, menunggu. Dan pemantiknya.
Siapakah di antara kita yang lebih dulu menyadari. Bahagia. Akan lebih pantas jika dialah yang bertanya tentang kita. Sebab dia telah diam diam mencuri dengar percakapan kita. Menelan bulat bulat pahatan udara yang sedang kita mainkan. Merangkai bunga bunga berjatuhan dari mataku. Menangkapi kupu kupu yang terlahir dari hembusan nafasmu*

2X

Ia adalah anak anak yang sama. Menderita sakit kepala. Bersama kepala kepala lainnya merangkai biji biji sempoa. Menghitung. Menghitung. Menyusun. Menyusun. Manik manik berwarna keruh> Mata mereka bergerak memutari papan nama. Membahagiakan, tidak tepat. Menghibur babi babi bertopi kertas. Menghijaukan langit. Membirukan tanah. Menjernihkan segala yang tidak peduli. Sebelum mati.
Ia tersungkur. Tertidur dengan bibir tidak mengatup*

cabang

Lihatlah malam yang sama datang berkali kali di jendela pagi. Membuka bibirnya, membangun kata kata untuk daun daun telinga.
Lihatlah pohon pohon masih tegak tersenyum, menyerahkan daun daunnya kepada daging dan batu.
Bintang bintang menunduk, melihatku. Menggaruk liang dalam kepala bertanduk rusa. Cabang cabangnya berpencar, menemukan kabar tentang pita pita berwarna pudar.
Kusimpulkan pada pinggang kapal. Melesat terbang. Melukis angkasa dengan bulu bulu domba.
Anak anak bersorak setiap malam datang mengantar bisikan, selamat jalan. Kepada lambaian semua daun yang belum gugur. Angin sabar menunggu*

Selasa, 25 Desember 2012

X

Telaga baik baik saja, selalu basah. Untaian telur, kecebong, katak berekor, katak muda, katak dewasa, katak tua, masih menghuninya. Itulah gunanya sekolah bagi anak anak, belajar tentang metamorforsa.
Kolam sekolah menyapa jari jari kecil. Matahari terbatuk batuk, menakuti mendung. Pada pelajaran terakhir sebelum bel tanda pulang berdering. Kaki kaki kecil sudah tak sabar, ingin segera menjumpai lubang jalan.
Telaga dalam kolam berebut umur. Katak katak saling jatuh cinta. Bermesraan sebentar. Bercengkrama tentang lupa.
Jalanan lebar membuka mantelnya, butir butir air jatuh, bergemerincing. Seekor ikan menggigit cacing, menarik narik mata pancing. Ekor ikan mengibas riang, persis anjing, menarik narik senar, melengkungkan joran. Sepasang lonceng berdering. Pemancing sama sekali tak menduga ikan sangat senang mendengar dentingan nyaring.
Kematian yang cantik, menggelepar, semakin pelan, pelan, diam.
Anak anak sekolah menyeberangi jembatan. Katak katak diam.
Bangkai ikan memakan benang. Berenang di bawah jembatan. Kolam beranak sungai. Menuruni bukit bukit. Anak anak sekolah bersalaman dengan para gurunya di mulut pintu.
Tangan tangan kecil yang masih goyah memegang pena. Katak muda menelan ekornya.
Durjana,durjana. Terdengar seperti lagu di jalan sempit. Kumuh dibanjiri peluh. Ikan ikan mati tidak mengeluh. Bapa guru, ibu guru mengangguk angguk. Mengikuti jejak api yang berayun digelitik angin.
Parau suara katak, percakapan telaga, rintik hujan, lubang pada tas sekolah, kolam ikan dan harapan.
Semua terjaga, mengerubungi anak anak yang terlahir kembali dari kembang teratai.
Semuanya metamorfosa, seorang cerdik pandai angkat bicara.
Aku lapar, kuhitung uang yang masih tersisa di kantong celana, mungkin cukup untuk membeli sebungkus metamorfosa, rasanya pasti nikmat dan bikin kenyang*

?

Kekosongan pelan pelan memenuhi ruang. Datang beriringan menyelimuti saklar, kabel, meja, layar komputer, modem, printer, speaker, kursi. Menyentuh pundak, lengan, tengkuk. Merengkuh sekujur tubuh. Menggetarkan. Mula mula bibir lalu seraut wajahku. Kekosongan rapat memeluk. Meletupkan nyala. Rindu meremang. Meredam salakan jantungmu yang melubangi dadaku. Mencair, basah menggenangi lantai, entah sajak, entah jejak.
Di malam natal ?

paradigma

Semua manuisa punya nama. Pemilik nama memberi nama, menciptakan mahluk mahluk bernama, memenuhi dunia. Kukenal namamu, kau mengenal namaku. Padahal tak ada hubungan apapun antara aku dan namaku, atau kau dengan namamu.
Bahkan benda benda dan segala sesuatu mesti punya nama untuk dikenal. Itu meja, jam dinding, pintu, jendela, buku, baju, sepatu. Seluruh isi semesta bernama. Yang bukan manusia, para binatang, tanaman. Gunung, bukit, kawah, lembah, pantai, teluk, pulau, telaga, angin, bahkan juga bintang yang letaknya nun jauh di atas. Badai juga diberi nama indah indah. Seolah olah ada tertulis dalam kitab suci, bahwa wajib adanya untuk menamai segalanya. Kitab suci kupilih di sini, karena hampir semua orang membaca dan berkehendak mengerjakan apa yang dianjurkan di sana. Karena manusia belajar dan menjadikan yang sebelumnya ada sebagai kebiasaan, kelayakan, kepatutan dan teladan.
Maka aku merasa tidak salah kalau merasa tak punya ayah. Karena tak tahu namanya.
Jika ibuku memindahkan surga dari telapak kakinya untuk menjumpaiku aku bisa bertanya padanya.
Ayahku tak bernama, ibuku akan berkata. Dengan intonasi kalimat yang tepat. Kalau kurang tepat sedikit saja aku akan menyangka bahwa tak bernama adalah sebuah nama, seperti tak im, tak eshi, tak amura, atau nama nama lainnya.
Tak ada seorangpun manusia tak bernama. Dari yang paling mulia sampai yang terhina semua punya nama. Beberapa jenis binatang juga harus bernama sebelum menjadi tokoh sebuah cerita. Setiap manusia bernama meski tak punya cerita. Kecuali ayahku.
Setiap nama, entah berapa banyak, tak sanggup aku menghitungnya yang telah kutemui di dunia nyata maupun dunia maya, di rumah dan jalanan. Nama yang ditempelkan pada baju, di atas pintu, di kotak surat, surat kabar dan majalah, di sampul dan seluruh isi buku, tertera pada nisan. Semua nama yang pernah disebutkan media. Singkatnya di seluruh alam semesta, tak ada kutemui nama ayahku.
Aku bersyukur, tak ada teman teman yang bisa mengejekku dengan nama ayahku di masa kecilku. Tak ada seorangpun bisa bergunjing atau menyindirku dengan nama ayahku.
Yang paling asyik adalah bisa kumiliki sepenuhnya setiap pujian atau hujatan yang ditujukan padaku tanpa perlu nama ayahku terbawa bawa. Popularitas tunggal sangat nikmat. Juga tak ada yang bakal berkata aku begini atau begitu karena aku anak ayahku. Semakin kipikirkan semakin terasa nyaman mempunyai seorang ayah tak bernama.
Jika aku ternyata punya ayah tak bernama persis yang akan dikatakan ibuku, suatu hari aku sungguh sungguh bertemu ayahku, aku akan mengenal dan menyayangi ayahku seutuhnya, bukan cuma namanya. Mungkin memegang tangannya, bersandar di dadanya, sembunyi di punggungnya, duduk di pundaknya, bergelayutan di tungkainya.
Tak ada mahluk tak benama di seluruh alam semesta selain tuhan. Tuhan tak bernama. Tuhan adalah sebutan untuk tuhan, seperti ayah adalah sebutan untuk ayah, dalam bahasa indonesia*.  

Minggu, 23 Desember 2012

serupa

Marilah kita saling menelanjangi di bawah cahaya matahari. Serupa rumpun bunga di musim semi. Kita menari seharian di lereng bukit. Sampai datang angin mau bersusah payah menerbangkan kita, setelah menyerah tak menemukan sehelaipun jubah..Menuju dataran rendah, terjatuh lalu hanyut di muara. Berpelukan dengan segunung sampah yang menyimpan cerita gembira tak terhitung. Sahut menyahut gelak tawa, menghiting belang dan uban di tubuh dan kepala kita.
Lihatlah, mata harinya tak pernah begini cemerlang dan senang. Tak pernah mengalihkan tatapannya barang sekejap dari ketelanjangan kita. Sampai jubah jubah kita berteriak mengiba di tengah samudra. Mungkin ada angin lain mengantarnya ke sana, mencari kita.
Biarlah, jubah jubah akhirnya belajar bahwa cuma dirajut untuk menutupi kesempurnaan.
Ini musim apa, tahun berapa, bulan apa, tanggal berapa, hari apa, jam berapa. Setiap peringatan telah dilupakan, tenggelam pelan ke dasar bumi bersama jubah jubah malang, terseret deras airmatanya sendiri.
Gunung gunung sampah mewangi. Kita menari. Serupa rimpun bunga di musim semi*

tahir

Tak ingin kuingat kalimat kalimat merdu yang pernah dibisikkan waktu. Kau benar, masa lalu yang berada di depanku, berniat menemani langkahku. Debu menungguku. Debu tahu suatu hari akan memelukku. Sepertimu. Mencairkan rindu kental di darahku. Debu menciptakan telaga di mataku, setelah memuntahkan lahar. Membakar tiang tiang penyangga dunia. Aku mengedip mesra, senyummu merona. Keruntuhan. Ke runtuhan. Kerun tuhan. Alangkah indahnya, siapa gerangan melukisnya, sepenggal syair masa kecil membuatku girang menyambut hujan. Paling deras. Mengoyak tanah*

zikir

Aku selalu mendengarmu meski kau tak bicara padaku. Aku diam, tidak kukatakan pada sssiapa, bahwa suaramu selalu menyapa. Aku tahu, atau menduga keras mereka akan menuduhku kurang waras, menasehatiku untuk membuka mata dan telingaku. Tak ada yang sudi percaya kalau kubilang aku mendengarmu dengan jari jariku, dengan lidahku, dengan tengkuk, dengan ubun ubun, dengan usus dan jantung, empedu dan anus. Kejujuran seringkali seperti tidak sopan, bahkan kasar. Aku bukan hendak minta maaf. Hanya diam, dan terus mendengarmu, semakin nyaring dan megah. Apa peduli mereka, apa pula peduliku. Kalau aku berkeras mendengarmu, diam, dan tidak mengatai semua orang tidak peka. Karena aku paling cinta, dan cinta paling banyak bicara ketika bahagia. Ketika kukatakan aku mendengarmu dengan sekujur tubuhku*

nadir

Mengulang kesedihan
Mengulang kebahagian
Mengenang.kehilangan
Memeluk keheningan
Mengerjapkan mata
Menerbitkan senyuman
Menghela nafas
Menutup telinga
Menggerakkan bibir, membentuk huruf demi huruf
menuliskan namamu dengan lidahku
menyembunyikannya dari segala perayaan
menjaganya dari segala kemngkinan*

Sabtu, 22 Desember 2012

just 4 you

Kuciumi aroma rahimku pada rambutmu. Yang kubiarkan tumbuh lambat dengan tidak memangkasnya barang selembar sejak hari kelahiranmu. Kau selalu tampan, ketika tertawa, cuek atau mewek, selalu tampan dan bercahaya. Aku sengaja bertanya kepadamu yang tak paham, hanya kepadamu. Hanya kepadamu yang tak paham. Mungkinkah. Rahim ibuku seharum rambutmu, lembut dan halus, tidak pernah menutupi matahari yang terbit dan tenggelam di puncak kepalamu pada tengah malam, saat kaukudekap erat*

sent

Kutulis sangat banyak surat untukmu.
Meski tak sempat kutanyakan alamatmu.
Aku percaya rindu akan mengirimkan semua suratku
ke tempat yang tepat, setiap saat*

kepada hari ibu

Kukatakan kepada botol botol susu dalam ingatanku, hari ini sama meriahnya dengan hari kelahiranku. Yang tak pernah singgah dalam kenangan siapa siapa. Alangkah istimewa ibuku, yang tak kukenal. Yang mencintaiku tanpa syarat, tanpa sempat, tanpa tempat*

Jumat, 21 Desember 2012

simbiosis

Tak ada yang menyimpan kisah sebanyak keranjang sampah. Ditampungnya segala yang tidak termakan, terbuang, seluruh sisa sisa mahluk segala ukuran. Lantai dan halaman rumah tak pernah merasa berhutang budi pada keranjang sampah. Aku telah membelinya, meletakknya di sudut dekat pintu, memenuhinya dengan semua kotoran yang tersebar dari seluruh penjuru rumahku. Dan, keranjang sampah tak perlu berterima kasih padaku atau siapa saja yang menjadikannya berguna*

kontras

Langit diam.
Tanah dan batu batu diam.
Daun daun berayun tanpa suara.
Mendengarkan gemuruh hujan*

misi

Di teras rumah, kutemukan seekor siput berjalan sendirian. Seperti kemarin. Kusingkirkan ke tanah, dekat pangkal pohon srikaya. Bagi seekor siput, teras rumah adalah tempat rawan bahaya. Banyak yang lalu lalang, bisa terinjak atau tergilas roda si siput nanti. Bukan karena aku peduli, baik hati atau penyayang binatang dan pecinta kehidupan. Hanya saja seekor siput besar yang tewas dengan tubuh dan cangkang berantakan gara gara terinjak atau tergilas di teras rumah akan lebih buruk ketimbang siput besar yang masih hidup dan utuh. Menyelamatkan siput dari ancaman kematian tragis adalah perbuatan yang lebih banyak bertujuan untuk menyelamatkan diri sendiri dari pemandangan menjijikkan. Lain lagi soalnya kalau misalnya si siput sengaja berada dan berjalan jalan di teras rumah untuk menjemput maut. Bisa jadi karena putus asa pada kelambanannya sendiri, mungkin patah hati, mungkin merasa sedih dan sia sia dengan lendir pada tubuhnya. Siapa tahu. Jika demikian tentu akan semakin rumit jalan ceritanya. Penyelamatan yang kukerjakan menjadi penghalang siput mencapai harapannya. Yang macam itu tentu sangat kecil kemungkinannya. Bagaimanapun seekor siput cuma seekor siput, mestinya tidak berharap yang muluk muluk, dan akan baik baik saja berjalan jalan di halaman rumah atau memanjat dahan srikaya*

21122012

Batal kiamat rasanya biasa biasa saja. Dari semula sudah banyak yang menduga kalau kiamat tak mungkin diketahui kapan datangnya. Kiamat tentu jauh lebih dahsyat dibanding hujan yang masih bisa diramalkan datangnya. Meramal hujan saja sering gagal, buru buru kiamat.
Baguslah, aku dan segenap penghuni dunia bisa kembali melanjutkan kegilaan.
Lalu aku mulai berpikir mau bilang apa malam ini, kepadamu yang masih meringkuk di pojok kepalaku.
Bicara tentang hari ini yang sama persis dengan hari lainnya rasanya kurang asyik, tidak cukup untuk mensyukuri tidak jadinya akhir. Lagipula tak ada yang cukup pantas disyukuri tentang dunia yang tidak jadi tamat. Mungkin sebentar lagi aku akan menghanyutkan diri lagi ke dalam kehidupan. Menjadi orang normal yang mengharapkan umur panjang, kesehatan, kesejahteraan, kenyamanan, keamanan, kekayaan dan lainnya yang serupa itu. Menyedihkan ya. Mumpung hari ini bukan hari terakhir. Kalau iya, ini hari terakhir, penyesalan yang kurasakan pasti sangat besar kalau belum kubuang semua harapan. Supaya aku terbang ringan dan kencang menyongsong kehancuran, seperti kembang api*

Rabu, 19 Desember 2012

sweety

Akan kukatakan aku rindu padamu seribu kali setiap manit yang hanya memiliki enam puluh detik. Ini sangat penting, membodohi diri sendiri. Cara paling mudah untuk mengarang sajak. Bulan yang tidak membundar, melengkung tajam, siap menyabit seluruh tangkai gandum keemasan dan setiap bunga tulip warna warni, yang tumbuh di bumi, segala tanaman berbatang lurus yang gemar berdiri dan melambai lembai.
Tersenyumlah, aku hanya berkata, kuciptakan cinta untukku. Seperti aku diciptakan untukmu, bukan sebaliknya. Seribu kali setiap menit selalu berhasil membodohiku, menciptakan segenggam salju dari sebongkah kapas*

di sudut hati

"Bagaimana kalau hamsternya mati ?"
"Ya dikubur saja, seperti kucing."
"Jadi apa gunanya dunia diciptakan?"
"Pertanyaan bagus."
Percakapan yang belum selesai, ada sesuatu yang membuat percakapan terhenti dan terlupa untuk dilanjutkan, padahal aku masih ingin mengatakan,"Pertanyaan bagus tak butuh jawaban."
Setelah kupikir pikir bagus juga tak sempat terucap. Mestinya ada yang mempertanyakan apakah bagus setara dengan sempurna, yang sulit dijawab dengan benar. Kemudian semua yang remeh dan tidak bermakna mengerumuni udara. Menanam bunga, membakar sampah. Di segala musim, angin menerobos ke sana kemari, menerbangkan puisi*


tanda mata

Tembok dan dinding berjuang setiap saat. Mempertemukan dan memisahkan. Menyatukan dan menceraikan. Menjauhkan dan mendekatkan. Aku tidak melakukan apapun, tidak membangun atau meruntuhkan semua tembok dan dinding di luar atau di dalam, di seluruh penjuru.
Tembok dan dinding tumbuh liar serupa perdu di musim hujan. Aku, kau dan mereka menggambar sayap pada setiap butir batu, wajah dan belalai pada wajah batu. Buku buku memberi nama kupu kupu untuk setiap batu yang melintasi tembok dan dinding tanpa sengaja. Memperdengarkan suara tawa, atau celotehan yang bergema gema. Dalam ruang tak beraturan yang lebih pantas disebut gua atau lubang. Yang tidak memerangkap atau mengubur udara*

erhmm

Seandainya tak ada manusia menemukan celana, alangkah damainya dunia. Tak ada kelamin yang memalukan atau mempermalukan manusia. Kau yang mengerti betapa putus asanya aku pada dunia. Dan semua manusia di seluruh dunia berlomba lomba menutup kelaminnya, atau memburu tempat tempat terpencil eksotik  yang dihuni manusia manusia primitif untuk mengajari eksistensi penutup alat kelamin.
Negara memilah milah penduduknya berdasarkan model, ukuran dan warna celana yang dikenakannya. Celana pantai adalah celana pendek, biasanya bermotif dan berwarna cerah yang dikenakan manusia ketika sedang liburan atau bersantai.
Lantas kenapa aku merisaukan keberadaan celana dalam kehidupan manusia.
Hmm, itu cuma siasat untuk mengalihkan perhatian. Demi kesopanan.
Aku, salah satu dari sebagian manusia pemuja keindahan, tubuh. Celana menutupi alat vital keindahan, sangat fatal. Meskipun sama sekali tak menghalangi apapun. Penutup lampu tak menghalangi serangga terbang berputar putar dekat sumber cahaya. Begitulah cara peradaban menyikapi naluri manusia, mengerjakan segala yang sia sia, yang disebut berguna, misalnya celana*

idealism

Sebutir pasir bercita cita menjelajah lautan, mencari pengetahuan dan pengalaman tentang gelombang. Semoga sebutir pasir tidak terhempas, masih sebutir pasir ketika tiba di seberang daratan. Sebutir pasir percaya sebutir pasir tidak akan pernah menjadi air meski terombang ambing sendirian di luas samudra. Serupa bintang yang terjatuh ke bumi, tidak lagi berwujud bintang yang hanya padam. Laut dan tanah tidak akan mencela sebutir pasir atau sebongkah bintang yang tidak mampu membuktikan apapun.
Sebutir pasir menyeberangi lautan di luar akal. Sebutir pasir hanyut, tenggelam, berjuta juta tanpa beda pada semua tepian laut adalah fakta. Sekalipun tak ada sebutirpun pasir berotak, tak mungkin ada sebutir pasir yang begitu bodoh hingga bercita cita dan dengan sengaja menyeberangi lautan tanpa hanyut, hilang atau tenggelam sebelum tiba di tujuan*

Selasa, 18 Desember 2012

cakra

Wajah perempuan yang mungkin gila itu terlihat serupa wajah patung kayu yang baru disayat sayat oleh seseorang yang mungkin sakit jiwa. Penuh jejak sayatan, retak retak. Kalau sempat menghitung, ada dua manusia dengan dua kemungkinan pada kalimat pertama. Orang pertama adalah perempuan, orang kedua tidak diketahui jenis kelaminnya. Kemungkinan pertama merujuk pada peremuan, mungkin dia tidak gila. Yang kedua tentang seseorang yang mungkin sehat jiwanya alias waras.
Wajah kecoklatan penuh jejak luka dan retak bukan merupakan kemungkinan.
Perempuan itu selalu tenang tenang saja, tidak terganggu dengan retakan yang bertebaran di seluruh wajahnya. Tidak terusik dengan ketidaknormalanlah yang bikin perempuan itu pantas dikatakan mungkin gila.
Perempuan yang mungkin gila dengan senang hati akan membalas setiap tatapan mata baik lelaki maupun perempuan, sehat atau sakit jiwanya, yang mengarah pada wajahnya.
perempuan yang mungkin gila itu terlihat menikmati setiap perhatian yang tertuju pada wajahnya, pada garis garis sayatan yang semburat saling silang di sana. Satu lagi kemungkinan tak akan menimbulkan tambahan beban, perempuan yang mungkin gila itu, menikmati semua pandangan ke arah wajahnya sambil menunggu reaksi dari setiap pemilik mata. Decakan, ekspresi tajam, kekaguman, keprihatinan, lebih baik kalau kepedulian berupa pertanyaan.
Mungkin,"Wajahmu kenapa." Kemungkinan selalu ada, bertambah banyak, dan tidak akan tambah merepotkan kalau tidak dihitung. 
"Ada yang menyayatnya dengan benda tajam."
"Ohh...Tapi, siapa."
"Mungkin seseorang yang sakit jiwa."
"Tapi, kenapa."
Perempuan yang mungkin gila tersenyum selebar dunia. Dia punya jawaban yang mampu membuyarkan lamunan siapa saja yang pura pura bertanya.
Seseorang yang mungkin sakit jiwa sedang memahat jalan menuju surga pada wajahku. Perempuan itu tak akan mengatakannya kepada siapapun sebelum dia benar benar gila. Hanya karena perempuan berwajah jejak luka tak ingin lagi mendengar kata kata hati yang peduli, yang selalu menerka perempuan itu mungkin gila. Perempuan itu merasa dia mestinya bukan mungkin gila jika mengatakan jejak sayatan simpang siur pada sekujur wajahnya adalah sebuah peta rahasia. Tapi sebenarnya, bagaimanapun semua orang seharusnya mengerti bahwa dibutuhkan kesungguhan demi kebenaran. Begitu pula dengan pahatan pada wajahnya, seseorang yang mengerjakannya bukan mungkin sakit jiwa, dan perempuan itu sungguh sungguh gila, supaya sempurna. Sehingga setiap orang yang sungguh sungguh memandangnya dengan penuh perhatian tidak tersesat atau salah arah*

Minggu, 16 Desember 2012

serba salah

Baru hari ini aku tahu hanzel dan gretel ternyata menyimpan dendam kepada kaum penyihir yang pernah membuat mereka nyaris mati pada masa kecil. Mereka membuat filmnya dengan canggih. Aku bertanya kepada diriku sendiri, apakah hanzel dan gretel tidak sedikitpun merasa berhutang budi kepada roti. Mereka terus saja memakannya hingga tumbuh dewasa dan kuat untuk membasmi kaum penyihir. Syukurlah dunia tak pernah kehabisan roti. Haruskah aku menyesal karena telah menyalakan televisi. Aku hanya ingin melihat untuk membuktikan ketidak benaran menyempurnakan kemanusiaan, begitu seharusnya aku membela diri.
Dengarlah. Dengarlah. Aku tak putus putusnya meracau supaya tidak terlihat bodoh dengan terus terusan menyatakan mencintaimu. Memenuhi benakku dengan segala macam tetek bengek untuk mengalihkan rindu.
Yang paling menyedihkan pada akhirnya kuakui semua kepura puraanku supaya aku nampak kesatria yang rela menanggung apa saja, predikat tidak pengecut dan berakal sehat.
Oh, cinta....aku tertawa*

tanpa judul

Sekelompok anak perempuan menamai kelompoknya gank yang bisa bicara dengan bunga. Aku terlalu tidak peduli untuk mencari tahu tentang kata gank, yang diucapkan geng. Setahuku gang berarti jalan sempit, kuartikan secara bebas dan nyata. Sedangkan gank, diucapkan geng berarti sekelompok manusia yang memiliki kesamaan dalam satu atau beberapa hal, bisa apa saja.
Mereka sekumpulan anak permpuan kaya yang kelihatan pintar, kelihatan dari nilai nilai rapornya. Bukan urusanku. Tapi gank yang bisa bicara dengan bunga menarik perhatianku. Beberapa anak perempuan yang menyebut dirinya anggota gank yang bisa bicara dengan bunga kerap mengerjakan ritual berdiri melingkar, bergandengan tangan, bergerak mengelilingi sebuah atau sekumpulan tumbuhan berbunga. Anak anak tersebut mengatakan atau menyanyikan syair yang tak dapat kudengar sekalipun telah kupicingkan mata.. Anak anak perempuan anggota gank yang bisa bicara dengan bunga percaya bakal tumbuh mutiara pada kembang kembang yang sedang mekar.
Seorang anak perempuan yang tak punya banyak teman dibuat penasaran oleh nama dan tingkah laku sekumpulan anak perempuan yang menamai dirinya gank yang bisa bicara dengan bunga. Seorang anak perempuan anggota gank yang bicara dengan bunga menyampaikan pada si anak perempuan yang tak punya banyak teman dan sedang penasaran, bahwa ia dapat diterima sebagai anggota gank yang bisa bicara dengan bunga apabila bersedia meninggalkan satu satunya temannya. Lain waktu, anggota gank yang menyampaikan pesan pada anak perempuan yang tak punya banyak teman akhirnya dikeluarkan dari keanggotaannya dalam gank yang bisa bicara dengan bunga. Tak lama setelah anak perempuan penyampai pesan membuatkan lambang, sebagai simbol identitas untuk gank yang bisa bicara dengan bunga.
Sungguh beruntung anak perempuan yang tak punya banyak teman tidak meninggalkan satu satunya temannya. Anak perempuan penyampai pesan pada akhirnya meneukan kelemahan gank yang bisa bicara dengan bunga dari internet, mencetaknya, menaburinya dengan garam sambil mengucapkan mantra. Hingga tamatlah riwayat gank yang bisa bicara dengan bunga.
Anak anak perempuan kaya yang kelihatan pintar tak perlu lagi mengerjakan ritual mengitari tanaman. Anak perempuan penyampai pesan baik baik saja. Anak perempuan yang tak punya banyak teman semakin akrab dengan satu satunya temannya.
Aneh tapi nyata. Kalau dijadikan naskah drama bagi anak anak sekolah dasar terasa membingungkan dan mengada ada. Hanya orang dewasa Tak apa. Aku hanya tak tahu apa judulnya. Yang pasti gank yang bisa bicara dengan bunga tak layak menjadi judul karena bukan tokoh utama dan sudah bubar*

ironi

Hidup cuma sekali, jadikan hidupmu berarti, aku membacanya pada kaca bagian belakang sebuah mini bus yang baru saja berada di depanku. Di bawah gerimis halus dan sapuan lembut angin pada wajahku, menggerak gerakkan rambutku, terasa sejuk dan harum udara sore mengepungku.
Selama manusia manusia masih sanggup merangkai kata kata tak bermakna kurasa dunia masih baik baik saja, juga aku.
Serupa kesehatan menjadi berarti ketika sedang jatuh sakit. Listrik menjadi sangat penting waktu area tempat tinggalku terkena pemadaman bergilir. Pun hidup menjadi berarti pada saat mati. Aku bukan penggemar ironi, hanya terbiasa bersikap skeptis. Dalam hal hal tertentu manusia manusia pemuja ironi bisa diberi predikat jenius oleh sesamanya yang baik hati. Sunggih tidak masuk akal dan menghibur bagi orang yang kurang kerjaan.
Seandainya aku tidak pernah membaca tulisan bijak pada bagian belakang mobil, nasehat tentang hidup, tentu malam ini aku tak menulis.
Yang paling membahagiakan adalah aku tak perlu mengenal atau mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang telah menyempatkan meletakkan tulisan penuh makna pada kaca belakang mobilnya.
Sejujurnya sebagian besar kalimat yang membuat penulisnya mengira mampu menngubah dunia adalah plin plan, juga yang terdapat dalam kitab suci. Aku tak sudi mnunjukkan bukti. Kuakui saja, aku enggan kehilangan ia yang selalu mau menemaniku setiap saat. Persis slogan iklan deododorant, setia setia saat. Bahkan pada waktu aku sedang buang hajat, ia tetap dekat dan mau kuajak bicara tentang segala hal*.  

Sabtu, 15 Desember 2012

atheism

Seperti ada yang kulupakan, yang pernah kukenal kemudian kusangkal. Tanah dan tanaman yang tumbuh meninggi, merimbun, seperti menandai sesuatu. Aku berjongkok, memeluk lututku, menunduk, mengamati seekor cacing.
Mahluk itu memang bernama cacing, tanpa wajah, sepertinya tanpa organ, dan bergerak gerak. Tak ada kepastian. Hanya seekor cacing dengan begitu banyak kemungkinan.
Musim hujan membuat tanah lembek dan becek. Hujan telah berhenti, gerimis sudah reda, cuma meninggalkan aroma khas yang menyulut rasa enggan mengerjakan apapun. Cepat atau lambat aku harus bangkit berdiri. Tungkaiku kesemutan saat aku mulai mendongak. Langit berwarna biru lembut dengan garis garis putih cerah, seolah olah ada yang baru saja menorehkan sebatang kapur. Mataku mengerjap, terasa seperti baru saja ada serpihan ringan melayang dekat sekali dengan kelopak mataku.
Kenapa aku tak ingin berpikir bahwa aku tidak sendirian. Mungkinkah kesendirian bisa begini menyenangkan. Seperti orang orang yang berkata dengan pandangan mata menerawang bahwa mereka mempunyai teman, sahabat, kekasih atau apapun sebutannya, yang selalu menyertai saat sendiri. Sepertinya menyenangkan. Apakah yang seperti itu tidak pasti. Apakah yang pasti itu seperti ini.
Kepastian itu sering disamaartikan dengan keyakinan atau iman. Keyakinan boleh berlaku untuk terbitnya matahari, pasti di timur pada waktu dini hari. Iman terdengar serupa nama tokoh populer pada cerita cerita, setara dengan ivan, iwan, atau malah lebih dekat dengan sebutan mahluk yang sepanjang hidupnya selalu berenang, ikan.
Sepertinya sama sekali tidak penting, tidak fokus, tanpa arah dan tiada tujuan, mengingatkanku pada gerakan cacing di genangan lumpur. Mungkin aku cengeng atau lebih mungkin aku mulai terserang pilek, sangat wajar pada musim hujan.
Seseorang sepertinya sedang mengamatiku dari kejauhan dengan diam diam. Aku memandang lurus kepada ketiadaan, yang mereka namai tuhan* 

Selasa, 11 Desember 2012

di balik pintu

Harus kusibukan diriku dengan cara paling bermutu, mencintaimu. Menuliskannya sesering mungkin untuk memudarkan rasanya yang terlampau tajam. Aku bahkan bisa memakainya untuk mengupas apel dengan sempurna, tanpa memutuskan kulitnya. Lingkaran kulit apel, sayangnya sama sekali tidak bisa membaca pesan atau menyimpan kesan. Tapi aku masih percaya, semua benda bernyawa dan akan bahagia kalau diperlakukan dengan penuh makna. Meskipun mereka terlalu sibuk membakar, merobohkan, melantakkan, semua batu dan tubuh yang berdiri tegak.
Kau bilang sedang membaca hermes yang tidak kukenal sedikitpun. Kalau tak mau menyapaku, aku tak ingin mengenalnya. Keras kepala. Patut dijadikan senjata untuk menghajar semua sangkar. Ini rahasia, aku sedang belajar mengupas tempurung kepala agar bisa bertemu mahluk mahluk kecil kelabu sok tahu yang selalu sembunyi di situ. Kurasa akan bikin lantai rumah mirip telaga warna, basah, berkilauan dan menyala nyala. Hingga tak perlu menunggu hari kemerdekaan supaya layak mengheningkan cipta, menyanyikan lagu wajib, menggunting pita.
Sekarang akan kugunakan semua kata yang tidak kusukai, harus, semoga, akan, ingin, menjadi, tapi, aku. Karena telah kuajak mahluk mahluk kecil kelabu berdeklamasi, menyulam dan melipat burung layang layang.
Apa ?
Tidak apa apa.
Aku hanya sedang menyibukkan diri.
Mencintaimu tanpa ragu. Penting sekali seperti mesias memerlukan dunia berantakan dan jiwa jiwa yang marah. Maaf, maaf, maaf, aku masih segan menghujat, enggan menjadi panjahat.
Kita lihat saja nanti, apakah kesibukan paling bermutu memanjangkan rambutku. Kalau sempat akan kupangkas usiaku, lebih pendek dari waktu luangku*

Senin, 10 Desember 2012

menjelang tengah malam

Kucingku akhirnya tertidur. Setelah puas mengeringkan tubuhnya, helai helai satu persatu bulunya dipisahkan dengan sisa hujan oleh lidahnya yang kasar. Ia pulang terlambat, meloncat masuk dari jendela kamar, meninggalkan gerimis di luar. Yang tidak menderas, mungkin kesepian, kehilangan dua ekor kucing yang baru usai bermain*

Minggu, 09 Desember 2012

pelajaran menggambar

Apakah ibu guru akan mengeluh kalau kuwarnai kelabu gambar rambutnya. Ungu atap rumahku. Langit merah muda. Bulan dan matahari saling senyum setelah mengerling melihat bintang bintang terbit pada siang hari di halaman sekolah yang kuwarnai berlapis lapis seperti kue pelangi yang pernah kilihat di televisi. Teman temanku berkejaran di atas hamparan bintang bintang yang sibuk berloncatan menghindari injakan kaki teman temanku yang telanjang*

yang terindah

Hidup itu indah, kata manusia bijak yang bahagia, yang tidak pernah mengenal kita*

honey

Masih tentang cinta, dan selalu. Memangnya apa lagi yang bisa dituliskan angkasa. Kalau bukan cinta pasti tak akan kutengok ke atas. berharap menemukan sebuah pesan yang tak mampu kubaca. Cuma cinta yang menuliskan demikian. Kesenangan kekanakan, menghitung bintang, menggambar senyum bulan, mewarnai langit malam semanis brownies. Selalu kurasai cinta, kubasahi bibirku, masih terasa lelehan sehangat madu. Kupu kupu kerap hinggap di jari tanganmu*

Sabtu, 08 Desember 2012

lagi, lagi

Tidak, aku terlalu hapal semua keluhan dan gugatan segenap manusia. Tak terlalu sulit menjadi manusia yang menekuri kabar kabar setiap pagi. Aku hanya mau menjadi segelas kopi, menanti kau menghirupku di sela sela penatmu. Agar bisa menciptakan rindu. Hangat dan manis kurasakan, kau mengecap uap tubuhku.
Tidak akan pernah cukup satu kali sehari, dua atau tiga, atau berapapun yang kau kehendaki untuk menghabiskan segelas rasaku. Pahit menyempurnakan pertemuan kita dengan dini hari. Dan aku tidak membaca atau mendengar segala hal yang kau tahu.
Tidak satupun, selain rindu*

kejora

Karena kita selalu bicara bersamaan, Maka langit menaburkan bintang bintang amat banyak demi percakapan kita yang selalu tak terdengar, hanya bersinar menerangi malam*

simple

Angin berbisik, kudengar suaranya serupa nyanyian.
Melambaikan daun telingaku, serupa nafasmu.
Inikah yang mereka sebut lamunan, atau angan angan.
Kunamai harapan kepada kerinduan*

Rabu, 05 Desember 2012

lagu

Pada sebuah pertemuan di bawah keteduhan, entah pohon apa, sama sekali tak sempat kuperhatikan. Kau mengulurkan sesuatu padaku. Hadiah untukku pada hari ulang tahunmu.
"Terbalik," Kataku.
"Bagus,"Katamu."Bukalah."
Kubuka hadiahmu. Jam pasir. Aku bertanya dengan mataku.
"Itu waktu. Bisa kaubalikkan sesukamu."
Kutangadahkan kepala, menatap garis garis cahaya menyusupi reranting dan dedaunan. Sebuah pohon paling teduh yang tak kutahu namanya. Beberapa ekor burung bersarang pada dahannya, berlompatan riang, sesekali berkicau tentang hujan atau bulan yang selalu kausiulkan*

kekasih biasa

Seolah olah penghuni dunia sedang berduyun duyun ke satu arah. Tapi aku kekasih biasa, yang sewajarnya menyukai sudut sudut asing, sepi dan tersembunyi. Untuk menemui kekasih yang biasanya menunggu di sana. Di tempat yang tak ingin disinggahi kebanyakan penghuni dunia.
Tak ada salahnya menjadi kekasih biasa, atau itu hanya penghiburan bagi seorang pembuang sampah. Seorang pemuda yang setiap pagi berjalan dari rumah ke rumah, berhenti di tiap pintu, berjalan masuk ke halaman rumah, mengambil setumpuk benda buangan untuk dituangkan ke dalam gerobaknya.
Mungkin ia juga punya seorang kekasih biasa yang menyukai sudut sudut asing, sepi dan tersembunyi untuk saling berjumpa. Kekasih biasa yang sama sekali tak pernah menginginkan apapun selain sesaat kebersamaan. Mungkin hambar, bisa pula bersinar.
Setiap kekasih biasa bisa murung atau bahagia, yang sedikitpun tak ada hubungannya dengan makna hidup kekasihnya.
Banyak penghuni dunia berkata,"Jadikan dirimu berguna bagi masyarakat, keluarga, bangsa dan negara."
Tapi kudengar aku berkata,"Jadilah kekasih biasa bagi kekasihku." Untuk melupakan siapa saja yang kutemui kemarin, hari ini atau besok pagi.
Seorang anak bangga karena memiliki gambar walikota yang tak kukenal namanya. Seorang anak masih terlalu muda usia untuk jatuh cinta dan memahami bahwa tak ada yang lain patut disyukuri selain memandang wajah kekasih.
Seorang pembuang sampah adalah kekasih biasa, hanya saja bau busuk kerap kali mengeruhkan rongga kepala dan dadanya.
Di tempat asing, sepi dan tersembunyi, kusentuh segenap dunia beserta penghuninya pada genggam tangan kekasihku*

Senin, 03 Desember 2012

aku,

Bintang yang jatuh di dekat mata kakimu.
Pecah memeluk tanah. Kau melangkah, membawaku
pada telapak kakimu, kalau kau sedang tak pakai sepatu.
Jalan jalanmu bercahaya, terasa manis.
Pejamkan mata, kubisikkan beberapa kata yang tak kaudengar dan
akan segera kaulupakan*

kuda kayu

Kuda kudaan kayu berbaris di trotoar. Seperti memandang jalanan dan semua yang lalu lalang. Kuda kudaan kayu tidak sendirian, tidak kesepian, tidak mengharapkan seorang anak mencoba menungganginya lalu merengek kepada orang dewasa di dekatnya, memohon agar kuda kudaan kayu boleh dibawa pulang.
Dari pagi hingga malam kuda kudaan kayu mengacuhkan segala sesuatu. Juga aku.
Yang menatapnya setiap ada waktu, berharap dalam diam, suatu saat kuda kudaan kayu akan menyenangkan seorang anak yang kebetulan lewat dekat trotoar di mana kuda kudaan katu berdiri tegar.
Tak ada yang butuh percakapan untuk menggambar sebuah lingkaran sempurna.
Kurasa aku perlu berterima kasih kepada ibuku karena ia tak pernah menemuiku untuk menuruti rengekan masa kecilku untuk menunggangi kuda kudaan kayu. Sebuah foto tua menunjukkan padaku seorang anak perempuan tersenyum di punggung salah satu kuda kudaan kayu paling bagus, badannya terbungkus semacam kulit coklat berbulu lembut, pelana dan tali kekang berhias manik manik dan irisan kaca, bundar dan bersinar.
Gambar gambar selalu mempertemukan siapapun yang sedang saling merindukan.
Dunia yang luas sekaligus sedarhana.
Kuda kudaan kayu tak perlu nama, atau mengingat wajah wajah kecil yang pernah menyentuhnya.
Maka aku kembali tersenyum tanpa sebab, atau karena aku sudah malas mengatakan bahwa hidup berayun ayun lembut di tangan waktu. Dan aku kembali mengingat ibu yang tak pernah membuatkan kenangan untukku*

Minggu, 02 Desember 2012

*

Seandainya bisa kutuliskan puisi terakhir untukmu, saat ini, bersama warna teduh dari balik jendela. Aku tidak tahu mesti menulis apa. Segalanya begitu mengalun, menyusup ke balik kulit, mengalir bersama darah di nadi nadiku.
Bagaimana menuliskan penyesalan.
Bagaimana menuliskan kebahagiaan.
Bagaimana menuliskan semua yang kuciptakan bersamamu, di setiap jalan.
Kita di bawah nauangan langit yang mungkin sama, mungkin berbeda. Bolehkah kupinjam matamu, atau kaucerikan saja caramu memandang angkasa, biru, awan, pohon pohon, angin. Aku mendengarmu.
Apakah yang mereka sebutkan, yang berharga dan akan digenggam ketika menemui ajal.
Mimpi tentang angsa putih yang terbuat dari roti, berenang renang di danau rasa stroberi. Sungguh mungil dan kekanakan.
Apa kau mengerti. Kau mengerti, aku sedang bercerita tentangmu kepada hatiku.
Rindu. Aku tidak menginginkan secuilpun dunia yang tak ada kau di sana.
Bukan cuma itu, selalu dan selamanya. Impian kekasih. Sepasang merpati, remah remah biskuit dan coklat hangat menodai baju kita.
Kita tak pernah menanamkan apa apa, kita tak akan pernah kehilangan apa apa. Aku mengutipnya, terasa indah.
Aku merentangkan lengan lebar lebar, terbang. Dan tak bertanya tanya lagi tentang jalan.
Kau, sangat mengerti, aku tidak berhenti*

Senin, 26 November 2012

ihwal

Sigaretmu merajuk ketika menemukan bibirmu penuh jejakku.
Diam diam ia merayuku untuk bersekutu membalasmu.
Bikin kau cemburu saat menemukan aromanya melekat di lidahku*

mmm...

Aku tak tahu apapun tentang hidup, apalagi tentang mati. Aku hanya mengenalmu lalu mengabaikan segala sesuatu. Kecemasan penduduk dunia terdengar bagai dengungan lebah, auman singa, salakan serigala, aku sedang berwisata di padang savana. Apakah di padang savana terdapat kumpulan serangga, aku tidak yakin atau tidak peduli. Dan musim berganti, hujan dan kesejukan, sama sekali tidak sesuai dengan pelajaran geografi. Karena aku mengenalmu, menyimpan rasa aman bersandar di pundakmu. Apakah terlalu sulit menemukan sesuatu seperti kau untuk melupakan kekacauan. Rumah kaca seluas dunia, alangkah indahnya. Kenapa harus mengelak menjadi pandir kalau dengan itu aku bisa selalu menengadahkan kepala dengan bahagia. Dengungan lebah di taman bunga. Kincir angin bersiul nyaring. Dan aku tidak melupakan suaramu. Kau sedang berpikir bagaimana caranya memperbaiki atap rumah sementara aku berselancar di atas awan. Aku tahu satu satunya cara menikmati hutan belantara, memanjat dahan dahan tertinggi untuk terjatuh ke pangkuanmu. Apakah kau sedang mencoba kemarahan paling mesra. Aku sedang ingin dimanja, diajak berdansa tanpa nada, tanpa nama tarian, menginjak kakimu dengan sengaja lalu menatap matamu memerah, membesar. Menjadi telaga sedang mendekap senja. Adakah telaga di lantai rumah. Lukisanku hampir jadi, lihatlah dua ekor kelinci bermain piano di halaman rumahmu*

Minggu, 25 November 2012

;)

Pagi yang meleleh dari mimpi seperti senyuman bidadari. Melayang menghampiri sepasang kaki montok yang masih nyenyak tertidur. Aku mencoba menulis rasa manis yang mendengung di sebuah tempat yang kurasa dekat, namun gagal. Kegagalan yang sangat memuaskan. Kepuasan yang tak bisa diragukan. Ketika kulihat dinding dinding menertawakan ruangan bersegi empat yang diapitnya. Yahh, perlu banyak kata bantu berbunyi 'yang' untuk menerangkan macam macam keadaan atau perasaan, yang semuanya merasa benar. Benar benar bersinar, seperti pagi yang meleleh dari mimpi. Bidadari yang tersenyum kepada kicauan burung.
Kurasa ia sekarang lebih mirip manusia, menikmati pagi dari lelehan mimpi, aku mengerti. Memandikan burung warna tanah. Mengantar sekolah. Ada terlalu banyak ketidaktahuan yang tidak seharusnya tidak mencari tahu demi senyuman bidadari atau cuma setangkup roti, yang tidak hangat tapi mengisi. Aku melihatnya tertawa, dengan air menetes netes dari puncak keningnya. Selamat pagi dunia.
Begitulah semestinya sebuah bahasa, tanpa kewajiban menerangkan atau menggelapkan. Benda benda langit butuh pekerjaan, demi pengetahuan dan penantian untuk yang datang. Aku mendengar, senyuman bidadari terdiam. Mimpi mengalir, mengisi cangkir demi cangkir beruap hangat. Musim hujan tak sabar menyapa sayap sayap yang masih mengepak. Bidadari belum terbang, atau terbang dengan cara yang tak bisa dikatakan. Siapapun ia, pasti ada sangat banyak yang tak mengenalnya. Apakah bidadari sudah ingin mandi matahari. Langit tampak bersih. Lelehan pagi tak meninggalkan noda setitikpun di wajahnya. Sempurna tiada bandingnya. Seperti lidah buaya yang tidak pernah dahaga.
Ia memandangiku dan berkata,"..." Ia lebih mirip manusia, bidadari tersenyum memimpikannya. Ini akan sepanjang masa, kalau aku mengerti kata katanya yang seperti senyuman hujan*

Selasa, 20 November 2012

keajaiban dunia

Seorang kekasih adalah keajaiban dunia. Lebih ajaib ketimbang tujuh atau delapan keajaiban dunia yang bergabung. Aku tahu itu setiap saat menemukan kekasihku sedang membuatku terkagum kagum. Tapi tohk aku tetap selingkuh, supaya kisah kasihnya dan aku tidak biasa biasa saja, istimewa, mendekati sempurna karena merasakan segalanya.
Ada slogan selingkuh itu indah. Bukan aku pencetunya, aku juga tidak menganutnya. Selingkuh itu selingkuh, tidak kurang atau lebih. Aku tidak merasa berhutang budi pada siapapun, hanya merasa patut berterima kasih pada sebatang sigaret yang bersedia terbakar habis menyaksikan percakapanku dengan keajaiban dunia pada suatu senja.
"Aku selingkuh."
Keajaiban duniaku berdiri tegak, menjulang tinggi memancarkan cahaya penuh pesona.
"Maukah kau memaafkan aku?"
"Tidak." Aku meresahkan keruntuhan seluruh bangsa bangsa di dunia.
"Jadi."
"Kau ingin dimaafkan atau dicintai."
"Dua duanya."
"Tidak tahu diri."
"Terima kasih."
Terdengar macam percakapan basa basi. Tapi aku mengerti bahwa gabungan air terjun, menara, istana, tembok raksasa, dan lain lain, segala yang paling tampak serupa keajaiban tak mungkin bisa bersikap dan berkata kata secara rendah hati seperti selayaknya manusia.
Aku sering lupa kalau ada lebih dari tujuh kejaiban dunia untuk kumiliki seorang diri saja. Kekasihku sama sekali tak mempersalahkannya. Betapapun keajaiban dunia hanya akan menjadi keajaiban dunia jika seorang manusia menaruh perhatian dan mengaguminya sebagai keajaiban dunia* 

kapitalism

Sebuah pabrik kesenangan. Memproduksi kesenangan dengan banyak rasa, warna, ukuran, dalam berbagai kemasan. Singkatnya, siapa saja akan mendapatkan kesenangan yang diinginkan, cuma tinggal membeli di toko terdekat, masalah harga selalu terjangkau untuk sekedar memenuhi kebutuhan setiap orang.
Kesenangan yang selalu tersedia memenuhi kebutuhan menjadikan orang orang tak sempat merasakan yang lain selain rasa senang. Tak merasakan akibat buruk atau apapun yang mengkhawatirkan. Sampah bekas kemasan kesenangan berserakan di mana mana. Asap pabrik mengepul pekat, limbah mengucur deras. Tapi kesenangan meredakan kegelisahan atau malah menguburnya dalam dalam ke sebuah tempat yang tak pernah bisa dihampiri atau menghampiri siapapun.
Aku melihatnya dalam setengah tidurku, kaum pedagang menghitung laba, para pengusaha menandatangani kontrak, kaum buruh bekerja lembur. Pabrik kesenangan memberikan keuntungan besar bagi seluruh penghuni dunia. Kau menepuk pipiku dengan selembar kertas gulung. Kau telah mampir untuk membelikan selembar kesenangan untukku dalam perjalanan menemuiku, jangan khawatir, pabrik itu benar benar tahu cara membuat kesenangan untuk masing masing orang. Kulihat kau mengedipkan sebelah matamu.
Ini bukan mimpi buruk, bahkan bukan tidur. Hanya kesenangan yang knbutuhkan sejak aku menjadi penganggur. Kesenangan paling murah dan sederhana, tapi tetap mengasyikkan seperti mengunyah permen karet*

Senin, 19 November 2012

sebanyak rindu

Bintang bintang tak terhitung jumlahnya, tak terkira indahnya menyerbu kegelapan. Serupa pemantik membakar ujung sigaret sebelum percakapan dimulai.. Tak mampu membuatku menikmati malam tanpa risau akan kehabisan rindu.
"Adakah penjual waktu?" Akan kubeli untukmu.
"Aku ingin sebanyak bintang bintang.pada malam terindah."
"Tidak. Akan kubelikan sebanyak rindumu."
"Kau tak punya uang sebanyak itu."
Bintang bintang tenggelam, menukar segenap malam dengan rayuan yang dibisikkan angan kepada ingatan.
Percikan api berhamburan. Sigaretku merona, malu malu merengkuh bibirmu*


lingkaran setan

Kenyamanan menjadi sombong karena punya banyak penggemar yang rela mati matian mengejarnya.
Kesombongan menjadi tenar ksrena semua mata ingin menatap ke arahnya.
Ketenaran menjadi bangga karena semua kepala mengangguk hikmat kepadanya.
Kebanggaan menjadi nikmat karena semua lidah memuji setelah mencicipi rasanya.
Kenikmatan menjadi salah karena mengaburkan pandangan dan menulikan pendengaran.
Kesalahan menjadi benar karena semua sepakat demikian adanya.
Kebenaran menjadi tenang karena tak ada yang mempermasalahkan.
Ketenangan menjadi tuhan karena diam saja di tengah segala kekacauan.
Ketuhanan menjadi nyaman karena dijadikan dalih dan alasan pada setiap keadaan.
Lihat, aku bisa menciptakan rasa nyaman terdalam karena telah menuliskan lingkaran setan.
Rasanya seperti roda besar tempatku lari lari di tempat. Bikin aku merasa hebat, apa perlu kuulang dari awal lagi. Bikin kau muak kadang kadang sangat mengasyikkan, selain melelahkan. Setidaknya untuk membenci kau harus lebih dulu memperhatikan. Setiap kali kubuat kaukesal aku merasa umurku bertambah.
Mati muda memang berkelas, tapi mereka selalu menyanyi panjang umur setiap kali berulang tahun. Setelahnya baru memohon dan meniup lilin. Banyak kali ulang tahun berarti semakin banyak memohon dan meniup lilin. Kalau bisa kuulangi cukup banyak kali satu permohonan, mungkin kau akan benar benar bosan dan tak peduli untuk memberiku ujian sebelum meluluskan permohonan.
Aku hanya ingin tidak mengenalmu lagi, supaya boleh menikmati kenyamanan dengan benar, supaya tenang mendekati kebenaran, supaya lebih mencintai diriku sendiri, supaya berhenti bertingkah dan bicara macam orang suci*


rahasia ibu

Satu satunya kekuranganku adalah tak punya kelebihan. Tentu saja anakku tak tahu itu. Di mata anakku, aku lebih terkenal dan kontroversial ketimbang lady gaga. Lebih mempesona dan berkuasa dari pada barack obama. Lebih cerdas dan kaya dibanding bill gates. Lebih hangat dan berempati dari pada oprah winfrey. Jadi jangan bandingkan aku dengan seluruh pemenang kontes apapun, ratu sejagat, peraih nobel di segala bidang, apalagi cuma seorang pemimpin komunitas lokal. Semuanya putus macam benang layang layang kalah aduan, terbang lalu hilang, tak berbekas.
Satu satunya kelebihanku adalah tak punya kekurangan. Tanya saja, anakku tahu pasti tentang itu. Aku tersenyum senang mengingat anak anak selalu mengatakan apa adanya. Kurasa semua ibu sepakat dengan anak dalam hal yang benar. Demikian pula ibuku sepakat dengan anakku* 

prinsipil

Tempat paling aman di dunia adalah penjara.
Manusia pengecut telah mengganti kata penjara dengan rumah tahanan negara. Manusia pengecut punya kelebihan pandai memilih kata kata. Jika seseorang berada di dalam penjara cenderung enggan mengatakannya. Rumah tahanan negara seolah tempat lebih berwawasan dibanding penjara.
Apakah aku salah satu manusia pengecut ? Kalau ada yang tanya aku jawab tidak. Aku hanya sopan dan hidup menurut nilai kewajaran.
Tapi penjara kata yang lebih singkat diucapkan atau dituliskan. Pada era ini segala hal layak dipilih berdasarkan efisiensi.
Manusia butuh rasa aman serupa yang bisa didapat di dalam penjara, tidak sedang diburu. Jika tak ada sesuatu atau seseorang yang mau menempatkan manusia di dalam penjara, sebaiknya manusia tersebut menempatkan dirinya sendiri dalam penjara, sekali lagi demi rasa aman. Kalau tak ada penjara yang dirasa cocok, manusia bijak mestinya bisa membuat penjara bagi dirinya.
Apakah aku manusia bijak ? Kalau ada yang tanya aku jawan ya.
Satu dari antara milyaran manusia yang telah membuat penjara bagi diri sendiri. Selamat, kujabat erat tanganku, kugoncangkan pelan dan hangat macam cara kaum pejabat berjabat tangan. Aku sudah punya penjara, bisa kutempati kapan saja kubutuhkan rasa aman.
Manusia yang telah siap menempati penjaranya sendiri dan menikmati rasa aman sepanjang hari tak perlu resah seperti manusia manusia yang sedang memperjuangkan kebebasan. Manusia pejuang menghimpun teman teman sealiran, membentuk komunitas, memperjuangkan apa saja yang mereka kira belum tersedia, memperluas batas, saling bahu membahu mengejar cita cita. Luhur dan mulia, panjang umurnya.
Sementara setiap penghuni penjara tidur, makan, dan buang hajat dengan aman. Kebebasan apa ? Bisa menikmati ruang sempit, makanan basi, bau pesing sambil mendengkur ribut, cuma humanis sejati yang bisa.
Lagipula, saat ini mudah sekali membuat penjara untuk diri sendiri, salah satu yang paling mudah dan sedang kukerjakan adalah menggunakan internet. Kelihatan keren dan bermartabat kan, salah satu penjara terbagus buatanku dindingnya penuh gambar wajah sedang tertawa, menertawakan siapa saja yang memandang.
Memandang dinding penjara buatanku bikin aku terlepas dari rasa takut tidak sanggup membahagiakan siapa siapa. Semua wajah tertawa bahagia kapan saja aku memandangnya.
Manusia pengecut sulit merasa aman karena tak sudi tinggal dalam penjara. Rumah tahanan negara adalah milik negara, tak bisa sesuka hati kuberi gambar wajah tertawa pada dindingnya.
Kalau mau aku juga bisa menempatkan satu dua wajah murung pada dinding penjaraku. memuaskan melihat wajah wajah pengecut sedang murung dikepung wajah wajah tertawa kesayanganku.
Kapanpun kuinginkan rasa aman, kuingatkan diriku, penjara tak akan kemana mana*


Minggu, 18 November 2012

mencari kehilangan

"Sedang mencari kunci." Seorang gelandangan menjawab tanya gelandangan lain sambil terus mencari.
"Kunci apa?"
"Kunci pintu."
"Pintu apa?"
"Pintu rumah."
"Rumah siapa."
"Rumahku."
"Hahaha..." Gelandangan menertawakan gelandangan lain yang masih sibuk mencari. "Memangnya kau punya rumah?"
"Tidak." Ia menjawab tanpa berhenti mencari.
"Apa gunanya mencari kunci rumah." Ia menertawakan teman senasibnya. Gelandangan yang disangkanya mulai tidak waras. "Hahahaha..."
"Apa yang lucu?"
"Kau. Edan. Tidak punya rumah tapi mencari kuncinya."
"Oh, kalau sudah kutemukan kuncinya, akan kucari pintu rumahnya."
"Hahahaha...edan."
"Lebih sulit mencari kunci ketimbang mencari pintu rumah. Aku tak perlu repot mencari kunci lagi saat menemukan pintu rumahku."
"Hahahaha...adan."
"Kau mau mampir, atau numpang tinggal barang sehari dua hari di rumahku nanti?"
"Hahahaha...iya..iya.."
"Baguslah. Sekarang kucari dulu kunci rumahku ya..."
Seorang gelandangan berjalan menjauhi temannya sesama gelandangan sambil tertawa keras.
Seorang gelandangan lain yang ditinggalkan kembali menekuni pekerjaannya mencari kunci*

lebay

Seringkali aku hanya ingin memanggil namamu saja. Hingga saat kau berpaling padaku tak perlu kukatakan sesuatu. Kaukira, aku peragu, kurang kerjaan dan membosankan. Biar. Aku hanya perlu memanggil namamu dan tahu pasti kau mendengarku. Menyebut namamu cukuplah. Lain waktu, kalau kurasa kau sedang baik hati, mau membuang waktumu untuk menyenangkan hatiku, akan kuminta kau memelukku setelah kubuat kau berpaling ke arahku. Mungkin memang terdengar kurang kerjaan dan membosankan memanggil namamu sering sering, tapi tak pernah kuragukan sama sekali, suatu ketika kau pasti sedang baik hati*

jalan

Aku tak suka jalan pintas yang kerap kaupilih ketika mengantarku pergi bekerja. Melewati jembatan curam, tempat pembuangan sampah, kuburan, peternakan ayam. Kelihatannya seperti penuh makna, filosofis, sebenarnya tidak sama sekali, merusak imajinasi.. Melewati semua tempat tidak indah, sesekali dengan percakapan, lebih banyak diam. Diam diam ingin kucatat, seperti semua perjalanan, lebih mengundang perhatian dari pada tujuan. Terlebih yang singkat dan selalu ditempuh denganmu hampur setiap hari. Jembatan curam, sungai, sampah dan kuburan tidak kudengar suaranya. Tapi ayam ayam selalu mengeluarkan bunyi dari tenggorokannya. Semuanya berbulu putih, besar, petelur yang telah berumur, siap dikirim ke tempat peristirahatan terakhir. Baunya bikin lelah. Kau tak menyadari ayam ayam putih membuatku merapatkan tubuhku padamu. Untuk memastikan aku tidak sendirian. Aku juga tak pernah bilang aku teringat pantat ayam saat bersandar padamu, punggungmu terasa hangat.
"Neraka mungkin tidak seberapa, dibanding terlahir sebagai aspal jalanan."
"Aspal jalanan tidak dilahirkan, cuma benda, tidak bisa merasa apa apa."
"Siapa bilang, aspal jalan sering menjatuhkan dan melukai orang, selalu diinjak dan ditindas."
"Tapi, orang orang jatuh dan terluka di jalan bukan kesalahan jalan."
Tiba tiba kita telah sampai di tujuan, bicara tentang hal lain, mengeluh dan tertawa. Seorang perempuan mendatangimu, menawarkan kopi.
Aku tidak peduli, kucium sisa bau asap yang melekat di lengan jaketku. Aroma sampah matang.
Kita berpandangan, baru kusadari ternyata tatapanmu juga sehangat pantat ayam. Aku mengulum senyum tanpa menawarkannya padamu.
Jalan pintas itu tak pernah mempersingkat apa apa*

demam

Kau jejalkan laut ke dalam kepalaku. Dengan suara suara dan aromanya, yang gemerisik di lubang hidung. Senja merah, matahari rebah. Laut merembes di sudut mata, hangat, basah. Kepalaku tidak pecah, hanya gemetar, menunggu kau mendekat, mencegat dinding kamar menyurutkan warna ombak*

Sabtu, 17 November 2012

tafakur

Seekor ikan pembersih kaca sedang membersihkan noda noda di wajahnya*

zig zag

Alangkah bahagianya kalau kebahagiaan tidak terus menerus mencari kita, menemukan kita dengan wajahnya yang menyilaukan, mencoba mati matian menimbulkan belas kasihan.
Kau selalu benar, kebahagiaan sangat membutuhkan orang orang yang berlari menjauhi. Kebahagiaan suka lari pagi hingga petang hari, mengejar yang tidak peduli.
Kalau begitu benar, dalam tubuh yang bahagia terdapat jiwa yang behagia.
Bahagianya benar, peribahasanya salah tapi bahagia.
Berapa usia ibu.
Sembilan belas tahun.
Sebaiknya sedia payung sebelum hujan.
Senangnya main hujan hujanan.
Ahli waris mengayunkan tongkat wasiat, menuliskan kematian pada selembar kertas. Menumbuhkan rumah dari tanaman rambat.
Kutu kutu di rambutmu merayakan ulang tahun sebatang sisir gading yang telah merdeka, terbebas dari rahang gajah.
Harum benar rasanya tawamu.
Untukku.
Sembilan belas tahun panjang umur.
Kue angsa merah.
Ibu angsa menyapu, menyingkirkan kulit telur tikus.
Dengkurmu merdu, bikin langkah langkah bahagia cemburu. Kaucium mataku, kulihat bangkai sigaret di bibirmu bernyanyi, mengajak seekor anjing kecil berlari*

Jumat, 16 November 2012

kita

Aku seperti tidak mencintaimu
Kau seperti tidak mencintaiku
Tapi, cinta sangat mirip kau dan aku*

nihilis

Kalau tidak salah, terdapat lebih kurang tiga ratus ribu sel telur dalam tubuh seorang perempuan. Telah mengeram dalam indung telur, mulai terbentuknya organ organ reproduksi, sejak dilahirkan hingga tumbuh dewasa dan menua. Tiga ratus ribu sel telur diam dan tenang. Menanti dibuahi atau terbawa mati. Bagaimana bisa manusia tidak belajar menciptakan ketenangan dan empati bagi dirinya sendiri sejak sebelum menjadi manusia.
Sel telur tak punya memori, tak menghitung dan tak mengenal kawanannya sendiri. Sel telur dalam tubuh seorang perempuan telah mengantri dengan tertib dan bersikap penuh toleransi. Mungkin segalanya lebih memahami sebelum menjadi, lebih cerah sebelum pencerahan. Manusia lebih manusiawi sebelum menjadi manusia*

barak

Seorang tentara sedang dihukum mengupas berkarung karung kentang. Tangannya mengepal oleh gagang pisau, kukunya menghitam diserang getah kentang. Matanya gatal kelelahan. Namun yang paling menyedihkan baginya adalah kesadarannya, ternyata tentara juga butuh makan. Komandannya pasti akan menertawakan pikirannya, kentang butuh kesalahan seorang tentara supaya bisa dimakan. Simbiosis yang ganjil dalam sebuah perang. Tentara tiba tiba teringat ungkapan legendaris seorang pemimpin, aku datang, aku lihat, aku menang, ia berusaha mengingat kalimat dengan benar untuk diucapkan dengan geram kepada bangsa kentang. Tak masalah kalau salah, kentang tidak pernah belajar mendengar, kalaupun mendengar, kentang tidak akan bilang bilang. Pisaunya bergerak semakin mesra, menelanjangi kentang demi kentang untuk makan malam*

spiral

Harapan selalu lebih indah ketimbang kenyataan. Selama masih punya harapan tak perlu risau dengan kenyataan. Mewujudkan harapan menjadi kenyataan adalah tindakan gegabah. Kenyaataan selalu ada, dimiliki semua orang. Maka bijaksanalah yang menjaga harapannya tidak menjadi kenyataan.
Kelebihan orang gila adalah tidak ingin menjadi orang waras. Orang waras adalah yang pernah ingin menjadi gila, tapi tak mengatakan keinginannya bahkan kepada yang belum tentu mendengar.
Kalau saja semua orang belajar teologi, dunia akan lebih aman. Seharusnya teologi bisa menjawab semua pertanyaan. Teori tanpa percobaan tak akan menjatuhkan korban.
Seseorang membaca serta mempelajari tentang sebuah hidangan dari buku resep tulisan juru masak berbakat, lalu pergi mengunjungi restoran terkenal, kemudian memesan serta menyantap hidangan yang telah dibaca dan dipelajarinya. Pasti menyenangkan, jauh lebih mudah dan tak ada resiko salah kaprah dibanding jika seseorang amatir mencoba memasak sendiri hidangan yang telah dibaca dab dipelajarinya dari buku resep yang ditulis juru masak profesional.
Manusia sering mengabaikan persamaan dasar antara makanan dan pelajaran. Keduanya bisa menyehatkan atau menyakitkan manusia.
Aku berharap aku seorang pelajar di sekolah teologi. Kenyataannya aku berkeliaran kesana kemari mencari jawaban untuk macam macam pertanyaan. Anak anak bernasib mengenaskan, para korban, kerugian, hangus, hanyut semua harus kutemukan demi jawaban, kadang kadang malah hanya penafsiran.
Bagaimanapun aku masih selalu punya waktu untuk mengejek teolog manapun yang menurutku terlampau sibuk menekuri buku. Di sela sela kesibukan menjaga harapan agar jangan pernah mengubah kenyataan, kusempatkan ngobrol denganmu, berharap kau tak sadar aku sedang memamerkan lampu dalam rongga kepalaku. Antik dan eksotis, ingin kudengar suatu waktu kau berkata aku cukup bijaksana tidak menimpuki lampu sampai pecah saat sedang berdemonstrasi. Kedengarannya seperti nama warga negara asing. Tangan tangan mengepal, meninju udara. Kenyataan tak bisa pecah*

Kamis, 15 November 2012

mencintai cinta

Membangun seruas jembatan di atas sebatang sungai kering. Menawarkan payung pada hari cerah. Beberapa hal yang bikin aku teringat tentang segala yang pernah kubuat untuk menyenangkanmu.
Jika kau memang ingin senang pasti sudah kaubuat aku diam. Tapi aku suka tantangan menyenangkanmu. Ada lagi, petani membuat orang orangan sawah untuk mengusir burung burung sungguhan. Siapa tahu kau akan tertawa panjang, hingga mengabaikan doa doaku. Macam aku tertawa hingga melupakan keinginan merasa gembira. Tapi kesia siaan adalah satu satunya yang menyalakan harapan. Persis seorang mabuk yang terus minum anggur sampai jatuh tertidur*

kuis

Aku merasa telah melupakan sesuatu yang mestinya tidak kuingat. Seharusnya sudah tepat. Melupakan yang harus dilupakan. Kenapa belum juga merasa baik baik saja. Bisakah melupakan yang tidak diingat. Aku ingat mestinya melupakan, tapi apa, apa yang mesti kulupakan. Rasanya aku melupakan yang tidak harus kulupakan. Aku melupakan apa, aku telah lupa. Mungkin sebaiknya aku memakai kaca mata, jika aku tidak melupakan punya mata.
"Masalahnya hanya cinta."
"Tengah malam."
"Istana."
"Pesta."
"Dansa."
"Tangga."
"Sebelah."
Aku merasa telah melupakan sepatu kaca yang mestinya tidak ingat pada cinderella*

dalam bola

Bola bekel memantul mantul, beruang kecil di dalamnya diam saja. Segumpal karet membungkus beruang kecil, memisahkan beruang kecil dari udara. Karena udara adalah penghantar, listrik, kejutan, gelombang, bunyi, getaran. Boneka beruang baik baik saja, bola bekel membentur lantai, melambung, naik turun seirama gerak bola mata di luar bola bekel. Anak anak perempuan berkerumun menonton temannya melambungkan bola bekel ke tempat tertinggi yang bisa dilewati. Di teras depan kelas pada jam istirahat, beruang kecil tidak buta, tidak gentar ketinggian atau kejatuhan.
Pada suatu hari anak perempuan akan mengiris bola bekel, mencoba melukai beruang kecil. Boneka beruang pecah, terbelah tapi tidak merasakan luka. Anak perempuan akan mengerti kekebalan hampa udara. Karena beruang kecil tidak takut. Bola bekel tidak berdarah berwarna merah. Beruang kecil mungkin menyangka dirinya anak kangguru dalam kantong induknya*

gramatikal

Dengan selendang diikatnya bayinya pada kedua lututnya. Bayinya menangis, kesempatan bagus baginya menyuapkan nasi putih, segumpal demi segumpal ke dalam mulut bayi yang terbuka lebar menjerit jerit. Cuma nasi putih setengah piring dilumat air secukupnya. Bayinya terus menangis, tangannya tak berhenti menjejalkan nasi putih ke dalam mulut bayi.
Ibu sejati ingin bayinya makan dan tumbuh besar. Bayi yang baik tak suka disuapi gumpalan nasi putih. Aku harus tersenyum, terpikir olehku sang bayi kelak akan membenci acara suap menyuap. Menyuapi dan menyuap kuharap tidak berbeda makna meskipun berbeda kata, cuma satu huruf saja. Apalah arti satu huruf bagi dunia.
Aku wajib mengutuk diri sendiri jika jatuh kasihan pada anak beranak yang sedang makan. Budaya punya banyak cara menakjubkan untuk membuat manusia menerima semua apa adanya. Sudah nasib sang bayi menjadi anak ibunya. Nasib yang ditulis oleh penulis nasib yang telah sangat berpengalaman, penulis yang sama yang juga menuliskan nasibku, nasib ibu, nasib nenek, hingga nasib anakku.
Cara hidup terbaik adalah dengan bahagia. Percaya bahwa segala hal indah pada akhirnya. Sebenarnya aku bimbang apakah kalimat, menerima suap dan menerima suapan berhubungan dekat.
Bayinya seperti menelan rasa lapar, terus menerus dimuntahkan, tangan ibu tak lelah menjejalkan makanan. Lumayan mengharukan, belum lagi lolongan, jeritan, beserta tangisan tak putus putus selama acara suapan berlangsung. Tapi aku tersenyum seperti patung, kepalaku serasa tak berongga, mengeras padat. Aku bisa tertawa membayangkan sedang dalam posisi siap menyeruduk punggung ibu. Kalau bayinya sampai tunggang langgang tentu akan terlihat tambah semarak.
Semua ini cuma tentang makan dan suapan yang ditulis orang buangan. Kubayangkan kebahagiaan mungkin seharga sebuah pisang*

Rabu, 14 November 2012

dinding ajaib

Aku bukan penulis, bukan pula pembaca.
Hanya membacaku cuma menuliskanmu*

1000 tahun

Kuimpikan pagi terbit di lenganmu. Atap rumah penuh jamur, hutan di pintu, buku buku keriput, tupai berjanggut putih. Bulan beruban. Matahari menggeliat, lalu mendengkur lagi. Kaubisikkan sebuah kalimat yang membuatku tersenyum dalam tidur,"Berkicaulah. Semua burung sudah pikun. Ingat, semalam kita ciuman selama seribu tahun."

angan angan

Kalau aku tak sudi menjadi orang, siapa gerangan mau menggantikan. Ayam ayam, kambing kambing, anjing anjing, burung burung, cicak cicak, wahai binatang, adakah yang mau menjadi orang menggantikan aku. Menjadi orang macam kewajiban, mau tak mau kukerjakan.
Setengah hati aku menjadi orang, bertanya tanya tentang angan angan binatang menjadi orang. Orang yang mungkin pantas menyebut dirinya malang kusempatkan mempertimbangkan, kalau tidak jadi orang mau jadi apa.
Gemuruh tawa membuyarkan anganku. Sialan. Orang orang malang sedang menertawaiku. Ternyata mereka membaca anganku, kalai tidak tentu mereka tidak sedang tertawa. Barangkali memang menggelikan, seorang binatang sedang berangan angan tentang ketakutannya menjadi orang*

4u

Aku tidak akan berjanji.
Kukatakan saja, aku akan merindukanmu setiap hari. Pada segala musim, segala bulan, sepanjang jalan. Kau mestinya tahu tak ada tempat yang tak ada jalan. Tak ada sedikitpun celah tak kuisi kerinduan. Tumpah ruah. Kerinduan boleh membual tentang nikmatnya pertemuan, tak akan kudengar. Aku memang tidak akan berjanji. Kukatakan saja, kerinduanku tak akan berhenti waktu kutemukan kau sedang tidak peduli, waktu kau ada di sini untuk mengganti kerinduanku menjadi mimpi*

obrolan malam

"Aku sekarang gendut ya..?"
"Nggak"
"Nggak apa..?"
"Nggak sekarang."
"Huuhhh..."

"Gimana ya cara ngurusin badan..?"
"Gampang...Mencintai orang yang salah."
"Hmmm."

Selasa, 13 November 2012

anak panah

Mestinya kuajari anakku melipat perahu dari selembar timah. Supaya tak terkoyak sebelum menemui samudra.
Sesaat kemudian aku teringat, perahu timah akan segera tenggelam ke dasar selokan. Utuh namun tak sanggup berlayar di atas riak.
Sebelum kuputuskan, lebih baik terkoyak namun berlayar atau utuh dan tenggelam. Anakku telah mengulurkan selembar kertas, memintaku melipat pesawat terbang*

terbang

Sepasang kekasih selalu harus berdusta ketika menjawab tanya, apa yang bikin jatuh hati.
Aku berdusta mengatakan kau dan aku bukan sepasang kekasih, ketika selalu menjawab,"Tak tahu." Kalau kalau kau bertanya, kenapa aku jatuh hati padamu.
Terserah padamu, mana yang lebih menyenangkan hatimu, pengetahuanmu atau kebodohanku. Tapi kalau kau ingin tahu, ketidak tahuan adalah kesenangan yang bikin hatiku terlalu ringan*

anomali kasih

Semua manusia memahami arti kata normal. Segala yang dikerjakan menurut aturan.
Mandi dua kali sehari. Makan tiga kali sehari.
Tapi, tak ada yang tahu normalnya, berapa banyak mencintai dalam sehari.
Kau dan aku sama sama tahu tak ada satupun yang penting dari yang pernah kupikirkan. Pernah kubilang aku tak keberatan jadi keranjang sampah, selalu terbuka, menerima tanpa memilah milah apa saja yang kaulontarkan. Itu benar, juga tidak benar.
Sebuah lagu tentang kasih ibu menyatakan sang surya mengasihi bumi hanya dengan memberi tak berharap menerima kembali. Kurasa penulis syairnya kurang cermat. Lebih baik kalau kubilang aku tidak sepakat bahwa kalimat, hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia, cukup tepat menuliskan kasih tak bersyarat seorang ibu yang dimaksud lagu tersebut.
Kemarau panjang membuatku merasa dunia menngasihi sang surya. Bisa setara atau lebih besar dengan kasih surya kepada dunia.
Tanah mengering, batu batu memanas, tumbuhan meranggas, debu, pengap dan keruh. Segala yang ditanggung dunia karena sang surya mengasihinya terlalu lama.
Sang surya juga selalu datang dan pergi semaunya, setepat waktunya, terbit tiap pagi, terbenam menjelang malam, pada waktu yang sama setiap hari. Sepertinya sang surya tak mau tahu tentang perasaan dunia yang bisa jadi sangat bosan dengan rutinitas yang itu itu saja.
Tidak adil jika hanya sang surya selalu disebut sebagai yang mengasihi dunia.
Dunia juga sangat mengasihi sang surya. Sangat jelas, bagi yang mengasihi hanya bisa menerima adalah siksaan. Dunia telah menanggung siksaan tanpa henti dengan menerima saja sang surya menyinari. Dunia tak kuasa membalas kasih sang surya dengan pemberian setara, cahaya.
Sampai hari ini dunia masih mengasihi sang surya, masih mendengar anak anak manusia penghuni dunia menyanyikan lagu kasih ibu sambil menikmati sinar matahari tak peduli betapa teriknya.
Kalau aku mengasihimu, apakah kau lebih suka seperti sang surya atau dunia.
Apakah harus selalu begitu cara mengasihi. Cuma manusia normal yang bisa menjawab.
Aku tidak normal, aku tahu, aku serupa pecahan gelas yang bahagia.
Tak perlu mandi dua kali sehari, tak harus makan tiga kali sehari.
Selain pecahan gelas, aku juga patahan penggaris, ember berlubang, sobekan kertas, benang kusut, keranjang sampah, apa saja yang tidak penting dan tidak sempurna.
Hebatnya lagi, setiap saat memikirkanmu membuatku menjadi sang surya sekaligus dunia. Terbit dan terbenam tidak hanya waktu pagi dan menjelang malam. Tak bisa kuingat berapa kali fajar dan senja terjadi dalam setiap hariku saat memikirkanmu*

Minggu, 11 November 2012

distopia

Manusia jujur akhirnya tertidur, setelah kelelahan berlari dikejar kebohongan dalam mimpinya. Kebohongan yang selalu membujuknya untuk mengatakan kebenaran. Ketika terbangun, manusia jujur berkeras mengatakan kesalahan, meskipun kebenaran menuduhnya pembohong.
Hamster hamster bermain di dalam kandang mungil, seekor berlarian di dalam roda, mengejar kelelahan.  Beberapa ekor berbaring, berkejaran dan berguling guling di atas hamparan biji bunga matahari. Tidak merasa lebih bahagia tak perlu berdusta tentang kebahagiaan jeruji sarang berwarna merah muda.
Aku ingin tertawa, tiba tiba terpikir kau tidak menolong siapa siapa. Kaubiarkan para mahluk hilir mudik, sibuk dengan kebenaran, mimpi, kesalahan, permainan, kurungan, teman, makanan. Apa saja yang bikin jarum jam berputar satu arah untuk mengunjungi dua belas angka dua kali sehari.
Manusia jujur dan hamster tidak saling kenal, tidak saling jumpa atau bicara ketika mereka singgah bersama pada satu angka yang ditunjuk jarum jam dua orang yang sedang tawar menawar.
Kurasakan keinginanku tertawa semakin siang semakin liar. Kau menepuk nepuk dadamu setelah kaubusungkan dengan megah. Tak terpikir olehku kau akan marah jika kubilang mirip gorila. Seandainya kau tak mengenalku atau aku melupakanmu. Mungkin mengunyah angin tak akan selezat biji bunga matahari*

rantai makanan

Jangkrik dan teman teman temannya mondar mandir sepanjang lorong sempit dalam kandang kecil. Sekali sekali mengintip malam sehitam matanya, punggung, sungut dan kaki kakinya. Jangkrik tersenyum menyapa maut yang mengawasinya selalu, jangkrik merasa maut mengerti bahwa ia tidak tahu betapa hitam warnanya, betapa lincah gerak kakinya, betapa runcing langkahnya. Jangkrik tidak kenal cemas atau kesedihan. Jangkrik dan maut sama sama tak tahu apakah mereka punya hidung untuk saling mencium ketika bertemu dalam paruh burung. Jangkrik dan maut sama sama menikmati kicauan merdu di luar kematian.
Selain maut, seekor kucing berwarna jingga tak mau jauh jauh darinya, berharap suatu ketika nasib baik jangkrik menjadi miliknya. Berharap turut serta bersamanya mendekati paruh burung. Kucing jingga ingin menerkam maut yang sedang memeluk jangkrik di dalam paruh burung.
Burung meloncat loncat di dalam sarang, berseru riang,"Kalian semua belum beruntung." Burung tak tahu, jangkrik tak mengerti bahasa burung, demikian pula maut dan kucing jingga. Jangkrik dan teman temannya masih mondar mandir sepanjang lorong sempit dalam kandang kecil, tak merisaukan tentang apapun. jangkrik akan menyapa maut dengan tersenyum.
Kucing jingga menggeliat, merenggangkan tubuhnya. Jangkrik sama sekali tak tahu kucing jingga sangat mengantuk, menguap, diam diam mengutuk maut yang tak kunjung mengirimkan burung yang sedang tersenyum*

tanpa pahlawan tanpa tanda jasa

Aku tak suka mengingat nama nama dan jasa jasa para pahlawan yang tertera pada buku sejarah. Yang kuinginkan cuma tumbuh dewasa. Agar boleh mengangkat kepala, mengenakan gaun seindah angkasa dan sepatu sesejuk awan.
Anak kecil tak butuh menjadi bangsa yang besar. Terlebih anak kecil yang tak bisa mengingat nama satu satunya manusia pertama yang mestinya mengajarinya menuliskan jasa jasa atas namanya sendiri. .
Alangkah ringan tangan dan kakiku menerbangkan angan di atap kelas. Yang tidak memiliki tak perlu repot repot mencintai pahlawan dan sejarahnya sendiri*

Sabtu, 10 November 2012

sebelum

Aku ingat semua dongeng yang tak pernah diceritakan untuk masa kecilku. Dongeng dongeng yang kemudian kuceritakan kepada anak anakku, sebelum aku jadi ibu. Sebelum tangisan anak anakku membuatku bisu. Sebelum masa kecilku mencemaskan kerinduan kepada merdunya tangisan ibu.
Kuhitung jari jari tangan anakku sambil menggumamkan dua pilihan, bergantian dari kiri ke kanan, kanan ke kiri, hidup mati, mati hidup. Mata anakku anakku terbelalak, senyumnya merekah. Aku percaya, anak anakku akan mengingat semua dongeng yang telah kulupakan*

sekak mat

Kubunuh waktu dengan mencarimu di semua tempat di mana kau tak ada. Tak kucari alasan tepat untuk kebenaran yang salah. Kau pasti tahu tak bisa dimainkan kalau papan dan tokoh tokohnya satu warna. Aku mau berbeda warna denganmu agar kau dan aku bisa saling memakan. Salah satunya akan jadi pemenang, keduanya ingin mengulang permainan.
Membunuh waktu dengan tidak menemukanmu. Seliar lapar. Senikmat makan yang tak pernah kenyang*

Jumat, 09 November 2012

berkah

Sedikit petasan menjadi perayaan, banyak petasan adalah kehancuran.
Tapi petasan tidak sama dengan debar jantungku saat mengenangmu, meskipun sama sama meledak, meriah, menulikan telinga. Maka buang saja keprihatinanmu tentang berapa banyak jantungku meledak dengan meriah hingga menulikan telinga setiap kali aku mulai mengingatmu. Aku sungguh sungguh sehat, utuh. Kurasa kau juga paham bahwa ketulian bisa jadi sumber kegembiraan. Belakangan ini lebih banyak teriakan parau, ratapan, makian, isak tangis, dusta dan kata kata berbau sampah berkeliaran, menjadi tuli adalah berkah.
Dan kelebihanku adalah bisa mengenangmu lebih dari satu kali setiap detik.Kuharap kau turut gembira mengetahui betapa pesta di dalam dadaku tak pernah lelah. Setiap waktu, tak perlu menunggu hari baru, aku merayakanmu. Mengingatmu menjadi hari kelahiran, hari kesaktian, hari kemenangan, hari kemerdekaan sekaligus. Setiap hari kurayakan tahun baru dengan banyak petasan tak habis habis.
Seribu tahun lewat secepat kilat, jantungku masih saja meledak, meriah hingga menulikan telinga*

seluas langit

Aku hanya mencintaimu.
Maka aku bisa selalu menuliskanmu.
Hanya dengan mencintaimu aku selalu punya banyak cara menuliskanmu. Tanpa segan, tak khawatir jadi membosankan. Kutuliskan kau tanpa jeda. Hingga tak pernah sempat kutanyakan, apakah kau mencintaiku serupa aku mencintaimu. Lagipula aku memang tidak peduli.
Mencintaimu memberiku banyak wajah, banyak dunia. Satu wajah duka atau satu dunia porak poranda tak akan menjadi masalah.
Selama aku mencintaimu, akan selalu ada wajah lain dan dunia lain, manis dan indah.
Mencintaimu seolah olah tidak hanya mencintaimu saja, seluas langit, tidak perlu lebih*

nasehat

Ketika bertemu dengan seseorang pada suatu hari, aku ingin berkata,
"Kau bisa mengerjakan sesuatu yang lebih mulia."
"Kau punya harapan."
"Kau tak boleh putus asa."
"Hidup ini indah, kalau kau mau mendengar kata kataku."

Ketika bertemu denganmu pada suatu hari, kau menatapku tajam, mengatakan lebih dulu,"Jangan katakan yang ingin kau katakan."
Kalau aku mendengarmu sebelum bertemu dengan siapapun, mungkin aku akan jadi seseorang yang mengerjakan kebaikan, tak pernah putus harapan dan menghembuskan keindahan di setiap nafas,
Sedikitnya, tak ada seorangpun yang merasa enggan bertemu denganku setiap hari.
Bukan hanya orang, pohon pohon serta semak semak akan mendekatiku, meneduhkan langkahku, berbagi wangi musim semi. Sambil membisikkan banyak kisah indah yang pernah kunamai maksiat, janji janji palsu, nama nama yang menggores dahan, macam macam aroma kencing orang dan anjing.
Kisah kisah pohon dan semak semak akan membuatku disangka sinting oleh sebagian orang yang kutemui, sebagian orang lain mengira aku adalah seorang yang bahagia dan tak banyak bicara, ada pula yang menduga aku sedang jatuh cinta.

Padahal aku hanya bertemu dan mendengarmu melarangku mengatakan yang ingin kukatakan ketika bertemu dengan seseorang pada suatu hari. Bahkan pohon pohon dan semak semakpun begitu bijak memilihku menjadi pendengar*

satu satunya

Kau mengerti kau tak boleh bersedih selain di sini. Persis di hadapanku, agar bisa kubuat kau senang, itu alasan yang keterlaluan, terlalu kubuat buat.
Yang sebenarnya adalah kau tak boleh bersedih saat aku tak ada, karena cuma aku yang seharusnya membuatmu sedih.
Aku mengerti, banyak orang dan banyak hal bisa membuatmu senang. Aku saja yang membuatmu sedih. Aku senang mengingatnya, setiap kesedihan yang kubuat membuatmu jadi satu satunya manusia bermata cahaya*

Kamis, 08 November 2012

puzzle

Teman kita tertawa keras setelah kuceritakan khayalanku.
Kau datang dengan setangkai kembang mawar ke hadapan jendela kamarku pada tengah malam sesudah kita bertengkar hebat. Selain setangkai kembang mawar, kau juga membawa gitar. Kembang mawar kautaruh di ambang jendela ketika kau mulai memetik gitar sambil bernyanyi. Petikan gitarmu buruk, suaramu parau, tapi kaupilih lagu yang sangat menyentuh hatiku. Kau bernyanyi diiringi petikan gitarmu, dengan sepenuh hati sampai menjelang pagi, tak kaupedulikan gerimis dan angin yang bikin kau menggigil.
Cukup sampai di situ. Tak bisa kulanjutkan berkhayal lebih jauh. Tak mau membayangkan diriku akhirnya melompati jendela keluar menemuimu. Memelukmu sambil membisikkan, aku menyayangimu. Tak bisa dan tak mau bukan keinginanku. Aku tak ingin teman kita mati ketawa mendengar cerita khayalanku.
Aku rada kecewa. Kerasnya tawa teman kita bagaikan tak akan berakhir. Membuatku tak bisa tidak berpikir, masa sih aku mencintai kekasih yang begitu tidak romantis*

naif

"Kalau kubilang mencintaimu, apakah kau masih ingin membunuhku?"
"Tentu saja. Supaya aku juga mencintaimu."

true story

"Mengapa ia memberi kami petasan ?" tanya Laura. Ia sama sekali tak kenal dengan ahli hukum Barnes.
"Oh, kukira itu karena ia terjun ke dunia politik," kata Pa, "Ia berbuat seolah olah ia sahabat sejati semua orang, ramah dan baik hati kepada semua..." *De Smet, USA,1881
"Kenapa mereka berkelahi dan memukili orang ?" Aku bertanya kepada diri sendiri. Aku tak mengenal mereka sama sekali.
"Oh, kukira karena masa kecil mereka tidak bahagia." Aku berkata. "Mereka main perang perangan dengan musuh orang sungguhan. Semua yang tidak bisa membela diri adalah pecundang, melanggar undang undang, pembuat onar, musuh calon pahlawan."
Setidaknya mereka bukan politikus yang berbuat seolah olah sahabat sejati semua orang, ramah dan baik hati kepada semua.
Sesaat kemudian kubunuh televisi. Di sebelahku seorang melaikat kecil sedang terlelap, tersenyum dalam tidur. Kukira ia sedang mengendarai kuda terbang dalam mimpinya*

negeri dongeng

Untuk membangun sebuah negara kita hanya perlu tanah, ksatria dan kibaran bendera. Cerita kanak kanak dan rapat di tepi laut. Tapi negara harus punya sejarah. Sejarah harus punya pahlawan. Lalu kanak kanak melipat perahu kertas. Tanpa sungai perahu kertas berusia sebentar. Cinta samudra terlalu besar, melumat. Istana pasir berdiri, menegakkan bendera dari kertas. Bendera kertas tidak berkibar. Segera basah. Terkulai pasrah, menunggu atau sekedar melewatkan waktu. Orang tua memanggil kanak kanak untuk makan malam. Laut mendesah, meniupkan lagu kebangsaan. Menenggelamkan para pahlawan dalam ayunan. Kanak kanak tak bosan bosannya menemukan kulit kerang, mendengar, mendengar kenangan.
Upacara, hormat kepiting kepada pasir. Kanak kanak tertawa melihat kepiting berjalan miring.
Kanak kanak bersorak pada hari kelahiran burung burung camar yang berputar putar di dalam semua kepala. Serpihan kulit telur dan tepung dan anak burung, semoga panjang umur*

Rabu, 07 November 2012

bintang jatuh dan pelangi

Tidak salah aku mencintaimu.
Ia menciptakan kita, setelah menciptakan cinta.
Siapa lebih dulu ada, kau atau aku. Tak pernah sempat kita bicarakan. Aku sibuk mencintaimu, kau tak punya cukup waktu untuk cintaku.
Siapa lebih dulu mencintai, kau atau aku. Seharusnya aku, karena aku lebih mencintaimu. Tapi kau tak pernah mendengarku mengatakan itu. Kau selalu ribut tertawa mengejekku, bodoh karena mencintaimu.
Tidak salah aku mencintaimu.
Setelah cinta tercipta. Cinta menciptakan kebodohan kebodohan tak terhitung jumlahnya, cuma untuk kita.
Kebodohan terhebat yang percaya segala macam mujizat serta keajaiban. Bintang jatuh dan pelangi pernah terjadi, dan akan kembali setiap kali aku berkata, tidak salah aku mencintaimu*

tanda silang

Kesendirian pernah menjadi teman terbaik. Ia tak pernah berbohong demi kebaikan, tidak mengatakan kebaikan berdusta untuk mendapatkan surga.
Tapi, setelah berjumpa dengan seseorang yang mengaku datang dari kesendirianku, semua kebenaran membuatku serba salah. Kesendirian menjadi teman paling bawel serta brengsek. Ia mengeluh sepanjang waktu yang kuhabiskan bersamanya. Ia mengataiku besar mulut, besar kepala, besar tangan, besar kaki, besar hati. Ia tahu kebesaran membuat segala hal tidak muat.
Aku khawatir suatu hari aku terpaksa telanjang atau kehilangan teman gara gara kata kata seseorang yang mengaku datang dari kesendirianku. Yang terburuk telanjang sekaligus tak berteman.
Aku masih menimbang nimbang, apakah tidak lebih baik kutinggalkan jauh jauh atau kumusnahkan saja kesendirian agar seseorang bawel serta brengsek yang mengaku datang dari kesendirianku turut menghilang.
Dan aku masih bimbang ketika kudengar gemerisik dan suara tawa,"Ia telanjang..." dikatakan berulang kali di antara setumpuk pakaian,"Ia juga sendirian..."
Siapapun yang berkata atau tertawa mestinya berdusta, aku jelas jelas sedang bersama seseorang yang mengaku datang dari kesendirianku, saat itu kukenakan baju jahitan ibu, masih muat meskipun kekecilan* .

limbah

Tangisan anak kucing menghias malam, bersama deru dan asap. Bentuk dan suara suara yang terbuang atau sengaja dibuang menjadi bahan daur ulang untuk kubuat seorang teman. Aku menjadi tuhan, mengusir keheningan. Membuang anak kucing atau anak manusia tidak menjadikan seseorang berkuasa, tidak pula melapangkan dada. Tapi telah menjadi yang terbaik yang bisa dikerjakan. Selebihnya adalah mematikan, merobek kulit lalu membakar daging, menyiapkan hidangan bagi burung burung menjelang punah.
Kurasa aku cukup bahagia, telah membuang mimpi. Sebelum pagi tangisan anak kucing mungkin berhenti atau tak terdengar lagi. Anak kucing telah jauh dari bumi. Induknya tidak mati, menemukan kotak penuh selimut hangat untuk dijadikan sarang. Menggigit tengkuk anak kucing, membawa anak kucing ke dalam sarang baru, melingkarkan tubuhnya pada tubuh anak kucing.
Rasanya pasti menyenangkan, seperti dekapan. Tak ada memar, tak ada jejak kesakitan pada tengkuk anak kucing. Anak manusia yang telah belajar bicara akan bertanya, di mana sarang baru yang dibuat induk kucing dari kotak penuh selimut hangat yang ditemukan induk kucing di pinggir jalan.
Sayangnya induk kucing dan anak manusia bicara dengan bahasa berbeda. Tuhan yang kujadikan pengusir keheningan tidak menyediakan penerjemah. Lebih baik begini supaya anak manusia dan induk kucing tak berhenti bicara. Mendaur ulang malam jadi seonggok sampah penyubur tanaman*

gambar wajah

Anak perempuan menggambar banyak wajah dalam pada selembar kertas sobekan buku tulisnya.
Wajah senang. Wajah sedih. Wajah tertawa. Wajah menangis. Wajah jatuh cinta. Wajah patah hati. Wajah setelah menikah. Wajah marah. Wajah ragu ragu. Wajah mengantuk.
Anak perempuan lebih berminat kepada wajah wajah manusia dari pada sejarah, agama dan matematika.
Syukurlah, begitulah sebaiknya seorang anak perempuan. Kelak ketika anak perempuan tumbuh dewasa, ia akan lebih suka mengamati wajah anak anaknya dan mengacuhkan angka angka yang tertera pada laporan hasil belajar anak anaknya. Macam seorang anak lebih suka memandangi wajah ibunya atau gurunya bukannya mengagumi kepintaran ibu atau gurunya dalam hal menghitung angka angka yang tertulis di mana saja.
Betapapun bernilainya angka angka semestinya sama sekali tak kuasa menggantikan wajah, pun tak mampu menghentikan wajah wajah beralih rupa.
Lewat selembar kertas bergambar aneka wajah anak perempuan menyiratkan manusia tak ternilai harganya, tak terhitung, tak terhenti. Buku tulisnya semakin ringan dan berseri*

Selasa, 06 November 2012

seperti kita

Hujan sedang mengingatku saat jatuh cinta padamu. Menghempaskan diri dari ketinggian, meresap ke dalam tanah, menenggelamkan diri kepada riak dan gelombang.
Hujan sedang mengenangmu mengusap wajahku. Melunturkan debu atau air mata. Melukis lekukan tak berjejak tak terhitung di sekujur tubuh.
Hujan tahu cara menjadi indah. Menjadi seperti kita, menciptakan genangan sejuk, melekatkan jejak lumpur, membasuh kaki, menaburkan butiran permata pada rambut kita.
Awan hitam pasti bahagia telah menjadi hujan* 

seperti cinta

Telah kubuat banyak kesalahan untuk membuatmu mencintaiku. Banyak kesalahan yang benar benar tak ingin kuralat ketika aku makin mencintaimu.
Hingga setiap dini hari, waktu kuseduh kopi untuk diriku sendiri kutemukan jejakmu pada tepian gelasku. Kau mulai hari dengan mengejek setiap ucapanku dengan kalimat kesukaanmu,"Sudah, mending kau tulis puisi." Kujawab dalam hati,"Iya, karena hanya di dalam puisi kau kutemui sedang berjalan di sampingku, menyelipkan jemari tanganmu pada jemari tanganku, masih menyusuri jembatan yang sama, di bawah sinar matahari yang sama, yang sedang cemburu pada rona pipiku."
Jawaban dalam hatiku membuatmu sangat senang, karena sesaat bisa diam, tak mendengar atau ingin didengar. Ini baru terasa seperti cinta. Seperti keasyikan seorang bayi menemukan telapak tangannya sendiri.
Kalau aku mati besok pagi atau seribu tahun lagi akan jadi sama saja. Waktu tak ada arti bagi puisi. Pun kesalahan sangat banyak tak membantu atau merepotkan siapapun.
Ini terasa benar benar seperti cinta*

Senin, 05 November 2012

rupa rupa pura pura

Sudah semestinya kau merasa yang kurasa. Kesedihan yang pura pura kehilangan arah. Mendongakkan kepala, menemukan semua mata menerawang, pura pura menemukan tujuan.
Aku hanya ingin memeluk anaknya, membisikkan, tidak semua ibu seperti ibumu, tidak semua ayah serupa ayahmu, tidak semua teman sama dengan temanmu. Ada berupa rupa ibu, ayah dan teman yang kemarin, hari ini dan besok pagi yang sama sekali tidak sama dengan yang kaugambarkan dalam ingatan yang sekarang sedang kaukarang.
Kemudian kau dan aku bisa memohon bersama agar menjadi batu karang. Supaya percaya, ombak selalu menerpa dengan cara berbeda. Tak ada yang menghitung berapa kali sehari itu terjadi. Hempasan ombak, percikan buih. Kau atau aku hanya tak pernah benar benar sendiri, tak pernah terbersit satu kalipun dalam benakmu atau benakku batu karang akan mengering.
Kau atau aku, atau kau dan aku yang akan menggambar teras rumah malam ini. Teras rumah yang sederhana namun hangat, dinaungi bayang bayang ranting dan daun sedang merenangi cahaya lembut. Teras rumah lebih sering lengang, tak ada yang tinggal lama di sana. Para penghuni datang dan singgah untuk menikmati sesaat hilangnya rasa penat, sesaat sebelum ke ruang dalam. Tak ada tirai, tak ada lukisan, patung, dan lemari kaca yang menyimpan pajangan di situ. Teras rumah tak peduli kata kata bahagia.
Anaknya memeluk ibunya, meracau tanpa kata kata. Persis semua anak memeluk ibu mereka.
Kau atau aku tertawa. Anak anak penyu berlarian ke pelukan laut, meninggalkan jejak jejak kecil pada hamparan pasir. Jejak pasir yang lucu, yang tidak terlindung, segera terseret arus, hanyut.
Alih alih kau atau aku, teras rumah menjadi batu karang, pura pura menunggu ombak*

kosong

Seperti rumput mengenang musim semi
Seperti nasi mengenang padi
Seperti pagi mengenang mimpi
Seperti segalanya mengenang apa saja yang menjadikannya pernah ada dan dilewati.
Sebelum menggigit bibir dan berpikir*

pesan kematian

Aku ingin merajah tubuhmu dengan namaku sampai penuh.
Dari pagi ke pagi, membuai malam dengan lagu yang gaduh dan tidak merdu yang kerap membodohiku dengan ridur berwajah lugu, mata terkatup erat, wajah tak berwarna, jantung yang diam, mimpi berserakan.
Hanya supaya kau mengenalku, lebih dekat dari pada semua sahabat*

Minggu, 04 November 2012

suara hati

Ia adalah seorang hakim yang selalu memutuskan perkara dengan tidak adil, kecuali ketika menghakimi dirinya sendiri. Masalahnya ia tak pernah punya perkara dengan dirinya sendiri. Maka keadlilan hanya menjadi mimpi panjang yang membangun ruang sidang yang kosong, palu tertidur di atas meja. Kitab kitab beterbangan, hinggap di bangku bangku tanpa penghuni. Di balik dinding ia mendengar orang orang ingin membakar api. Api yang membual tentang neraka dan kehangatan musim hujan yang menghanyutkan ingatan*

bahasa gagak

Burung gagak menundukkan malam dengan lagu kematian. Burung gagak sedikitpun tak percaya ada manusia bergayut pada kehidupan, yang sumbang, beringus dan gatal gatal. Serupa politikus hendak berteman baik dengan semua orang yang masih hidup. Itu menyedihkan dan memalukan, perasaan selembar celana di lantai dansa. Kau bilang itu semua tentang hidup dan meraih sesuatu. Tong tong berkarat kepanasan menunggu antrian. Tapi aku jadi meragukan kemanusiaan semua orang. Dan menyangka diriku unggas dengan naluri yang tidak pernah mendustai diri sendiri. Atau serangga yang belum pernah kulihat gambar otaknya. Terpujilah dunia dalam berita mengokang senjata. Bangkai burung gagak berjatuhan ke pangkuan malaikat. Kau tahu kemarahanku sangat mesra, membuat bantal bantal panjang usia.
Kapal nabi nuh mestinya merapat ke luar angkasa setelah membaca tulisan pada semua tepi daratan di bumi sedang direnovasi, begitu pula mestinya kutulis di ujung jari, sedang direnovasi.
Malam yang indah bukan, merengek manja kepada mama. Mama yang lama. Kadaluwarsa. Lebih baik bicara dengan kata kata yang tidak dimengerti anak anak seperti ini*  

Sabtu, 03 November 2012

loneliness

Apakah tuhan pernah kesepian. Kutanyakan karena aku bukan tuhan dan sering merasa kesepian.
Kesepian di keramaian, kesepian ketika berada bersama seseorang, kesepian di tengah banyak orang.
Tuhan mungkin kesepian, alasan yang wajar untuk menciptakan segenap isi alam semesta.
Tuhan mungkin suka melihat semua ciptaannya tidak sendirian, tidak kesepian.
Tuhan menciptakan mahluk mahluk lucu untuk menghibur dirinya dan ciptaannya. Sepasang. Seperti manusia manusia membuat boneka boneka dengan posisi saling memeluk, atau memotret dan merekam adegan adegan dua mahluk yang saling mendekap, menumpahkan kerinduan dan kasih sayang. Mengabadikan keindahan sok imut yang selalu bertebaran dan digemari manusia kekanakan. Boneka monyet, beruang, kuda nil, katak, apa saja saling memeluk.
Apakah tuhan pernah kesepian di tengah riuhnya doa doa, puja, puji pujian. Aku bertanya karena khawatir tuhan sungguh sungguh merasa kesepian ketika melihatku mendekap kitab suci, mengatupkan tangan, berdoa, mengatakan terima kasih, memohon maaf dan berkah.
Kalau kubilang aku ingin sekali memeluk tuhan, sekali sekali, sering kali, aku takut tuhan tak percaya. Aku ragu kepada tuhan dan diriku. Tidak ada ketulusan. Apakah ketulusan penting. Kenapa aku tak kenal diriku sendiri. Ingin kubuang jauh jauh semua yang pernah kudekap untuk memeluk tuhan. Kalimat yang diawali kata ingin sspertinya tidak meyakinkan.
Hanya khayalanku yang munafik dan tak tahu diri. Ingin memeluk tuhan. Dan menyia nyiakan segala kesempatan atau jalan untuk mendekati ia yang ingin kupeluk.
Apakah tuhan sekarang sedang kesepian, pertanyaanku terdengar basa basi*

Jumat, 02 November 2012

percakapan dengan altar

"Aku ingin memeluknya."

"Kau sentimentil dan cengeng."

"Aku hanya ingin memeluknya."

"Kau memuakkan."

"Aku sangat ingin memeluknya."

"Dia tidak butuh."

"Aku masih ingin memeluknya."

"Kau tambah menjengkelkan."

"Aku ingin memeluknya, sebentar saja."

"Diamlah, jangan macam macam di rumah ibadah."

"Tapi, aku hanya memeluknya."

"Jangan berisik, waktunya berdoa."

"Aku ingin memeluknya."

"Dasar manusia keras kepala, bebal, tak tahu aturan."

Kamis, 01 November 2012

credo

Menjadi pemabuk adalah cita cita paling mulia setelah ia gagal menjadi seorang pemilik kebun anggur. Tak terlalu jauh melenceng dari jalan hidup yang diyakininya paling luhur. Jika tak dapat menyediakan kegembiraan untuk banyak orang, paling tidak ia selalu bisa menggembirakan dirinya sendiri kapanpun ia merasa ada orang lain yang akan terhibur dengan racauan yang dimuntahkannya sambil berjalan terhuyung atau menendangi pintu atau batu. Bahkan ia merasa telah membuat para malaikat yang terkantuk kantuk seketika tersenyum melihatnya sehabis minum anggur.
Sesungguhnya ia merasa iba kepada setiap mahluk yang tak mampu minum anggur dalam jumlah cukup hingga bisa menjadikan mahluk tersebut merasa tidak sia sia atau kecewa karena gagal meraih harapan tertentu. Seandainya tak ada pintu, tak ada penghalang untuk menemui segala pada jam berapa saja. Tak ada yang tersandung di tanah datar tanpa batu Bukankah semua butuh teman. Dan kebutuhan justru paling mengganggu ketika tidak bisa didapat.
Cuma seorang pemabuk merasa memiliki segalanya, kebun anggur, senyum para malaikat, pintu pintu yang terbuka dan ruangan yang menyambut hangat. Segala hal yang bisa ditelan atau dimuntahkan sesuka suka perutnya*.

Rabu, 31 Oktober 2012

kota yang hilang

Sebuah kota yang bahagia.
Hanya ada satu makam di sana, dengan nisan terbuat dari kayu, kokoh, padat, berkilat, tanpa coretan atau pahatan.
Semua jasad penduduk kota dikuburkan di dalam satu liang lahat. Hingga yang mati tak pernah kesepian. Dalam satu satunya liang lahat di kota yang bahagia, mereka yang mati bisa mengulang kembali semua percakapan yang belum selesai. Kematian semeriah kehidupan.
Sebuah makam yang bahagia.
Seluruh penduduk kota berziarah di sana. Setiap hari, bersama sama atau bergantian penduduk kota menaburkan bunga dan doa doa ke satu malam bernisan kayu yang kokoh dan utuh. Para pejabat dan pemberontak, bangsawan dan rakyat jelata, tuan dan hamba saling berjumpa saat berziarah, berdiri berdekatan di depan nisan sambil mengenang kehidupan orang orang yang terkubur di satu liang lahat.
Liang lahat yang sangat kerap digali dan ditimbun, paling banyak ditaburi bunga.
Kabar tentang kota dan makam yang bahagia entah bagaimana akhirnya tersebar luas. Orang orang berdatangan dari luar kota. Kota semakin ramai dan megah, makam semakin semarak.
Mereka yang sebatang kara kebanyakan bercita cita hijrah ke kaota yang bahagia menjelang ajalnya. Sayang sekali kota yang bahagia tidak bernama dan tidak bisa ditemukan di peta*

*

Ingin kubekukan waktu saat bersamamu.
Saat segenap keindahan mengepung nafasku.
Serupa salju menyelimuti bunga bunga bermekaran*

good night

Kubayangkan sedang menulisi langit malam. Mungkin cuma mencoret coret atau menggambar. Memunculkan yang mirip bintang bintang atau rembulan. Karena cuma dua benda itu yang kutemui pada langit hitam malam, dengan bentuk tak beraturan dan warna warna yang tidak sama setiap malam. Bentuk dan warna yang tidak tertelan pekatnya hitam.
Apa yang kau dan aku pikirkan ketika menatap langit malam. Aku bukan pembaca pikiran, tak tahu apa yang kau pikirkan jika tidak kau katakan. Aku lebih sering tidak memikirkan apa apa. Hanya menatap, lama, dan masih tidak memikirkan apa apa.
Mereka berkata pikiran kitalah yang membentuk keadaan. Kalau tanpa pikiran, apakah yang akan kubentuk. Kalau secara wajar jawabnya bukan apa apa. Tidak merisaukan apa apa. Hanya terus menatap langit hitam. Tidak memperkirakan nasib, tidak juga meramal cuaca.
Aku juga tak tahu, apakah langit hitam malam lebih bahagia dipandang apa adanya.
Bintang bintang berpijar, rembulan membesar, langit menghitam. Mereka bernama malam. Tempatku menatap dunia, apa adanya. Noda noda di wajah, tubuh dan pakaian memudar.
Malam juga menidurkan raga. Setiap yang sedang terlelap tampak lebih cantik dan tegap*

Senin, 29 Oktober 2012

di pasar jam sebelas siang

"Adakah yang tidak sempurna ?" Tanya seorang kekasih kepada kekasihnya.

Empat anak berbaju dekil berteriak, tertawa, saling mengejar.
Tukang parkir menghitung recehan di genggam tangannya.
Bapak bapak memilih nasib pada sebutir batu akik.
Seorang pelacur baru bangun tidur.

"Adakah yang tidak sempurna ?" Seorang kekasih bertanya kepada kakasihnya.

Bangkai ikan bertumpuk dalam keranjang bambu.
Kangkung yang layu.
Mentimun keriput.
Induk kucing memandikan kedua anaknya.

"Adakah yang tidak sempurna ?" Kekasihnya bertanya lagi, mengira kekasihnya tak mendengar pertanyaan yang telah diulanginya dua kali sebelum ini.
Di tengah kegaduhan, dihimpit kegerahan, matahari terlihat sangat bahagia. Kekasih belum menjawab pertanyaan kekasihnya. Udara pengap menyumbat mulut, asap, rambut kusut, peluh, dan anak anak yang berlarian.

"Adakah yang tidak sempurna ?"
"Kenapa kau bertanya ?"
"Karena kita sedang meniti jalan ke surga."


kotbah

Aku menulis tiga kali sehari, atau lebih. Sebagai pengganti makan nasi. Jantung yang lapar membuatku lebih merana ketimbang lambung yang kesepian. Lagipula ada yang mengkhawatirkan masalah kepadatan penduduk dan ketersediaan bahan pangan. Mereka takut anak anaknya kelak tidak cukup makan karena harus matian matian bersaing mendapatkan beras hanya untuk hidup. Entah hidup macam apa yang bisa diharapkan dari manusia manusia yang resah demi isi perutnya.
Karena aku selalu cukup makan dan masih saja jantungku kelaparan debar. Maka aku gemar merendahkan manusia manusia yang tunduk pada rasa kenyang. Setidaknya aku senang membuktikan pada diriku sendiri bahwa puisi setengah jadi bisa jadi pengganti nasi. Maka masalah kepadatan penduduk dan kekurangan pangan menjadi urusan tidak penting sama sekali.
Seperti kata seorang nabi yang kucintai, manusia tidak hanya hidup dari roti, melainkan kalimat kalimat yang tak perlu dimengerti. Kata kata nabi itupun telah kukutip seenaknya sendiri. Tidak penting, asalkan aku selalu merasa sanggup hidup di jaman edan.
Jaman edan itupun istilah basi. Seperti hal lain yang basi kerap memenuhi bumi. Bumi uzur yang dihuni mahluk mahluk taklukan umur. Kalaupun harus menjadi budak, kurasa lebih nyaman menjadi budak penguasa kepala daripada penguasa perut.
Jadilah aku seperti kehendakku, narsis, penyendiri, pemuja sunyi, dan lain lain yang menurutku sama sekali tak ada hubungannya dengan kenyataan. Tak akan kubuang buang waktu dengan berharap suatu hari akan menyadarkan diriku sendiri, apalagi mahluk lain. Sudah banyak sekali yang bisa peduli, berpikir dan merancang rencana hebat yang katanya untuk 'perbaikan'.
Istilah anjing menggonggong kafilah berlalu memang berlaku, maksudnya televisi berkoar koar manusia berlalu lalang. 
Betapapun seorang guru membutuhkan orang orang dungu. Kabar baik membutuhkan nasib buruk. Pemberi semangat membutuhkan keputus asaan. Penunjuk jalan membutuhkan orang orang sesat. Perancang membutuhkan keruntuhan. Dan para pelayat yang membutuhkan mayat, bukan sebaliknya*