Sabtu, 29 September 2012

nak,

Berapakah harga senyummu?
Kenapa kauberikan cuma cuma untukku, padahal aku rela menukar seisi dunia hanya untuk satu senyumanmu. Dan surga untuk sepasang matamu yang berbinar, seandainya aku punya...
Tapi, telah kauberikan cuma cuma, seluruh duniamu menjadi surgaku*

Rabu, 26 September 2012

*2*

Maukah kau segelas kopi. Malam lengang. Melapangkan kenang. Aku menjelma belalang, berdiam dan melompat dari ranting ke ranting tanpa tujuan. Itu sebabnya kau mengataiku tanpa harapan. Kau benar, tanpa harapan juga menyenangkan. Ketika kutanyakan, maukah kau segelas kopi, bukan kepada diriku sendiri atau seseorang yang ada di sini.

Apakah ada yang tidak beres, akal mulai menyebalkan, mau tahu yang bukan urusannya. Tak akan kutawarkan segelas kopi kepadanya meskipun cuma untuk basa basi.

Suara tawamu berada jauh di dalam kepalaku, begitu dalamnya hingga tak terdengar. Baguslah, aku tak ingin diganggu oleh siapapun yang selalu ingin tahu. Mencari bukti bahwa tak akan pernah ada segelas kopi yang kutawarkan padamu. Yang semacam akal memang tak pandai beramah tamah kepada segala jenis serangga.

Maukah kau segelas kopi, menjelang pagi*

selamat pagi di malam hari

Aku ingin membeli buku gambar, seorang anak berkata pada jaman batu, kepada mahluk mahluk berbulu. Lalu kudengar sehelai daun jatuh. Lalu angin menabrak bingkai jendela. Anak menggambar wajah emak. Ada yang mengintip di balik semak, sepertinya masa depan yang tersesat. Anak menggambar bola, yang meronta ketika ditendang ke arah jala. Manusia bersorak, berpelukan. Bimbang tentang kemerdekaan atau kemarahan. Semuanya hambar.

Anak menggambar pagar. Kawat berduri, burung pipit sepasang berkejaran, saling mematuk leher dengan gembira. Tak ada tawanan lagi hari ini. Buku gambar telah penuh wajah, semuanya tertawa. Kucing, anjing dan kera menggerakkan ekornya. Selamat dari sekapan mimpi yang terlalu indah.

Anak bertepuk tangan sambil melompat lompat, buku gambarnya menikam surat kabar. Pada sebuah pagi yang lelah bermimpi. Surat kabar mati*

Selasa, 25 September 2012

love u

Mencintaimu, ingin kutuliskan selalu. Dua hal yang membuatku merasa menjadi sesuatu. Menulis dan mencintaimu. Gabungan keduanya menghidupkan. Aku tak peduli apakah akan mengganggumu, menyenangkan atau menyebalkan bagimu, bahkan jika kau tak tahu atau tak peduli. Aku terus di sini mencintaimu, menuliskan cintaku padamu.
Aku bilang, so sweet... untuk diriku sendiri, karena mencintaimu, menuliskannya selalu. Biar norak, biar kampungan, biar memuakkan.
Mencintaimu adalah udara, debu, sarang laba laba, helaan nafas, kerutan kening, decak lidah, gatal gatal di kepala, angin, bisa kapan saja, di mana saja. Biasa atau luar biasa. Kematian adalah setelah kehidupan. Mencintaimu adalah aku, sebelum dan sesudah segalanya.
Lupakanlah seperti kaulupakan udara, sarang laba laba, helaan nafas, decak lidah, gatal gatal di kepala, angin, selalu. Lupakanlah, akan kucintai kau lebih*

Senin, 24 September 2012

song of joy

Kau satu satunya yang kukenal, paham cara menjadi penghuni dunia tanpa menjadi gila.
Kau mengajariku, tidak bukan mengajari, kau melakukan apa saja yang sangat kusuka, apa saja yang bikin aku sangat ingin belajar melakukannya. Mengenali diriku sendiri. Tidak terlalu sulit, tidak pula mudah, tidak pasti. Tidak sulit, tapi rumit.
Dulu, sebelum mengenalmu, aku merasa selalu berada di satu sisi, satu ruang, satu jalan. Ada sisi lain, ruang lain, jalan lain yang bukan aku sama sekali. Setelah bersamamu, aku percaya kanan atau kiri, depan atau belakang, terang atau gelap, semuanya bukan dua. Tak kutemukan istilah lebih tepat selain two in one. Seperti kau dan aku. Menyenangkan dan menyedihkan. Benar dan salah. Tuhan dan hantu. Kalau kubilang putih dan hitam, maksudnya bukan belang macam badan kuda zebra.
Aku jadi tahu tak ada benarnya aku kalau tak ada kesalahanku. Sebaliknya, tak ada salahnya tanpa kebenaran ikut serta. Lalu aku menjadi jahat supaya baik, dengan menyesal dan minta maaf. Menjadi baik untuk kejahatan, dengan merasa bersalah dan mensyukuri berkah.
Aku berdiam, berjalan, tahu pasti akan tiba di suatu tempat bukan di manapun.
Tidak sendirian, ketiadaanmu menjadi sahabat karibku, mengajak kesunyianku bicara, kemurunganku bercanda, meredakan gairah, menyulut harapan.
Pada saat terjaga dari mimpi yang tak kumengerti kudapati lenganmu menjagaku dari terkaman malam yang bukan malam, membimbingku menuju pagi yang belum jadi.
Apakah kesedihan adalah sebuah nama, teman lama yang seharusnya dikenang dengan rasa sayang.
Ya, aku sangat menyanyangi warna hitam, bikin matamu berpendar. Warna langit malam ketika kita naik komidi putar. Angin kencang meniup rambutku tak memadamkan satupun lampu, warna warni berserakan di seluruh dunia*

dini hari

Aku tak pernah mengerti apakah pagi dibutakan atau membutakan diri. Dari dengung televisi, gemericik air, deruan di jalanan. Hanya desah nafasmu memenuhi udaraku. Mengantar telapak tanganku ke wajah pagi. Kuusap pipinya, halus dan hangat. Kurapatkan ia ke dada, kuhirup yang keluar dari celah bibirnya. Kucing putih hitam ekornya tak berhenti bergerak, menerkam benang warna warni perajut mimpi.
Sejuk sekali, kubisikkan kepada matanya yang masih rapat terpejam*

Kamis, 20 September 2012

coklat

Sudah larut.
Selalu malam terlalu larut.
Hanyut ke arahmu. Lalu aku menunggu kauceritakan kembali tokoh tokoh negeri mimpi. Mereka sangat mahir merajut benang benang kusut di lantai, tanah, pasir, juga permukaan air. Menyelamatkan kaki kaki dari jerat yang tak mengikat, cuma mengingat.
Pekat, kau melekat di pintu nafas*

Rabu, 19 September 2012

++

Aku percaya banyak hal, salah satunya adalah bahwa aku pernah dilahirkan pada kehidupan yang lain, sebelum kehidupan yang kini kujalani. Sederhana, tidak rumit, tak perlu bukti, macam percaya bahwa bintang jatuh bisa mewujudkan kehendak, keberadaan peri dan kau yang selalu bisa membuatku tersenyum.
Aku percaya banyak hal yang tidak kutahu pasti. Aku tak tahu pasti pernah dilahirkan berapa kali, di mana, sebagai siapa. Tapi tak bisa kutepis keyakinanku, di manapun, siapapun, berapa kalipun. Dalam setiap kehidupanku, mencintaimu adalah yang terpenting untukku. Satu satunya sebab dan akibat, awal dan tujuan, kelahiranku, kehidupanku, kau.
Kau boleh tak percaya.
Berlebihan, itu kusebut cinta*

here, there n everywhere

Haruskah menjadi sesorang di sini, di sana, di mana mana?
Seseorang di sini begitu tolol dan idiot, tidak realistis, gagal menjadi idealis. Lebih dari segalanya, seseorang di sini selalu ingin berada di sana, di mana saja asal tidak di sini. Karena hanya di sini ia menjadi sesorang yang tak menghendaki dirinya sendiri.
Seseorang di sana pintar, cerdas, realistis sekalisgus kritis. Menghabiskan segenap waktunya dengan sepenuh dayanya menjadi seseorang yang pantas berdiam di sana atau di mana saja ia mampu menjadi seseorang yang layak meneladani dirinya sendiri.
Seseorang di mana mana saling memandang. Bertanya tanya kepada wajah di hadapannya masing masing tentang ia yang paling dicintai. Ia yang paling diharapkan sekaligus diragukan. Ia yang mulia juga laknat. Ia yang tidak mengenali dirinya sendiri.
Haruskah aku memilih? Menjadi berarti, bahkan demi kau yang sangat kusayangi?
Aku ingin tidak kaucemooh ketika burung kertas lipatanku tidak jadi, Ketika gambar awan kuwarnai hitam. Ketika menari di bawah guyuran hujan.
Tidak menjadi seseorang di sini, di sana, di mana mana*

*1#

Siapa yang butuh kebenaran? Mereka semua, katamu. Kau paham betul apa yang kaukatakan. Kecuali aku, mereka semua ingin kebenaran. Ingin berjumpa, berharap sudi singgah, semakin lama berdiam bersamanya semakin baik jadinya, kebenaran yang tidak disayang.
Aku tidak. Meskipun sombong dan angkuh. Kubiarkan kebenaran lewat, tak hendak kusapa atau kuminta singgah. Merasa baik baik saja tanpa mesti berdekatan dengan kebenaran selamanya.
Kau saja yang bicara, aku bahagia mendengarmu. Tanpa kebenaran, bahkan tanpa kenyataan.
Tapi, kenapa kebenaran jadi tertawa, matanya basah dan merah*

fals

Ia duduk sendirian di satu sore yang riuh. Berteman para pengkhianat. Bertukar cerita dengan kerlingan mata. Tak ada yang buta di jagad raya. Batu juga tidak buta. Mata telah diciptakan dengan sia sia. Kerlingan demi kerlingan menyanyikan keheningan. Sebuah bangsa berjubah. Segala yang pecah. Kacamata, bejana, meja, alas makan, rapat. Semua ingin istirahat bersamanya yang telah menyusun naskah. Bahasa ibu menghilang. Namun anak anak tetap mengoceh nyaring, belajar menyusun angka angka sesuai tempatnya.
Ia percaya kepada suara suara yang tak menampakkan diri. Sebelum mimpinya mati*

Senin, 17 September 2012

delusi

Kebahagiaan adalah yang paling menderita di dunia. Setiap yang mengenalnya tak ada satupun yang memahaminya, apalagi menyayanginya apa adanya.
Kesedihan memang tak punya teman, tak ada yang sudi mendekatinya. Setidaknya tak ada yang pura pura peduli padahal hanya ingin menjadikannya sesuatu yang bukan dirinya*

karena

Dulu aku paling suka berkata, aku cinta kau. Kukatakan sesering mungkin. Sangat melegakan mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan, dengan benar, macam mencintaimu dan mengatakannya kapan dan di manapun.
Lalu ada yang bilang padaku, cinta bukan untuk dikatakan sembarangan, cinta bukan sekedar kata, dan masih banyak kalimat lain yang bikin aku pada akhirnya mulai ragu bahwa cinta harus dikatakan setiap waktu.
Entah.
Aku mencintai kau, sangat. Sangat banyak alasan yang membuatku mencintai kau. Kemudian ada yang merangkai kata kata yang mungkin bijak bahwa cinta yang sungguh seharusnya tak tahu alasan mencintai.
Aku mengernyitkan dahi.
Aku punya sejuta lebih alasan kuat untuk mencintaimu. Tak mungkin bisa kusebutkan samua selama hidupku.
Pertama, aku mencintai kau karena kau selalu beranggapan akulah mahluk terindah di seluruh semesta.
Kedua, aku mencintai kau karena kau selalu percaya aku mahluk terbaik di seluruh semesta.
Ketiga, aku mencintai kau karena kau percaya sepenuhnya bahwa alasan pertama dan keduamu mencintaiku berlaku sebaliknya. Sama persis, tidak kurang atau lebih dengan alasanku mencintai kau, mahluk terindah dan terbaik di seluruh semesta.
Keempat, aku mencintai kau karena kau mempunyai kemampuan sama besar untuk membuatku bahagia dan bersedih, menangis dan tertawa.
Kelima, aku mencintai kau karena kau sangat mahir menciptakan rindu.
Masih banyak sekali, amat sangat banyak, ingin kusebutkan semua, karena menyenangkan mengingatnya.
Kau selalu pura pura lupa ulang tahunku. Kau mengabaikanku. Kau kerap melupakan janjimu. Kau perasa, manja. Kau biarkan kulihat matamu basah. Kau suka sekali menertawakanku dan tertawa bersamaku.
Aku mencintai kau karena tak bisa tak mencintai kau.
Tentu saja tulisanku jadi tak keruan kalau mesti menuliskan alasanku mencintaimu, tak terhitung.
Karena aku mencintai kau. Karena kau kucintai. Karena kurasa kau mencintaiku. Karena...
Aku tak peduli, aku cuma mencintai, kukatakan sepanjang hari.
Aku mencintai kau*

Minggu, 16 September 2012

yang

Musim panas, salju kuning berguguran. Salju hangat yang menciptakan rasa gatal bila terjatuh di sudut mata. Jalan jalan penuh bayang bayang, pepohonan, kendaraan, tubuh tubuh tanpa wajah. Bayang bayang yang selalu bergerak seolah tertiup angin. Aku merasa tidak sendirian menginginkan segala yang tidak ditemukan, macam halilintar dan hujan.

Angin terasa sejuk dan kering mengusap pipi. Membujuk hati kembali memeluk yang tak berbentuk. Rasa. Mungkin namanya hangat, senang atau sayang. Sementara mengenang jalan jalan gersang di negeri antah berantah, kau semakin entah. Ketika kudekati pintu rumah.

Sebutir salju kuning di pundakku menceritakan sebuah musim, seruas jalan, selintas pertemuan denganmu. Belum selesai ketika segalanya usai*

sepanjang jalan

Lihatlah, betapa aku merindukan kepergianku sendiri. Untuk menjumpai kaos kaki yang kehilangan ingatan suara ketukan langkah. Itu masa lalu, kata waktu. Itu milik seseorang, perajut kisah kisah dari kusut rambut dan gumpalan asap. Benturan jemari kita ketika menyeberang jalan. Meninggalkan penyesalah termangu sendirian, bertanya tanya kepada debu di tulang pipi bocah bocah yang selalu melambaikan bulu bulu ayam.

Kita bermimpi indah, jendela jendela bermandi cahaya. Kau menyambutku, meremas tanganku setelah kaurobek semua kertasmu*

ini

Ini caraku. Menjalani sesuatu. Dengan kesombongan dan keengganan berebut tempat di jantungku. Kulihat kau tenang tenang memandangku. Dekat atau jauh berhimpitan. Sama sekali tak mengusikmu. Gelisah hanya milikku. Kau sangat mengenalku, persis burung hantu mengenal detak jantung mahluk mahluk di balik belukar. Awan hitam, sebentar lagi hujan. Satu hal yang disayangi meskipun mendatangkan gigil. Hujan. Awan hitam. Aku. Kau. Bunyi kecamuk asap di rahangmu.

Kau tersenyum membuyarkan lamunanku*

12:20

Saya tahu saya tidak sendirian. Serupa awan hitam di angkasa. Melayang layang sambil menantikan dirinya sendiri mencurahkan hujan. Tapi tidak sendirian*