Rabu, 07 November 2012

limbah

Tangisan anak kucing menghias malam, bersama deru dan asap. Bentuk dan suara suara yang terbuang atau sengaja dibuang menjadi bahan daur ulang untuk kubuat seorang teman. Aku menjadi tuhan, mengusir keheningan. Membuang anak kucing atau anak manusia tidak menjadikan seseorang berkuasa, tidak pula melapangkan dada. Tapi telah menjadi yang terbaik yang bisa dikerjakan. Selebihnya adalah mematikan, merobek kulit lalu membakar daging, menyiapkan hidangan bagi burung burung menjelang punah.
Kurasa aku cukup bahagia, telah membuang mimpi. Sebelum pagi tangisan anak kucing mungkin berhenti atau tak terdengar lagi. Anak kucing telah jauh dari bumi. Induknya tidak mati, menemukan kotak penuh selimut hangat untuk dijadikan sarang. Menggigit tengkuk anak kucing, membawa anak kucing ke dalam sarang baru, melingkarkan tubuhnya pada tubuh anak kucing.
Rasanya pasti menyenangkan, seperti dekapan. Tak ada memar, tak ada jejak kesakitan pada tengkuk anak kucing. Anak manusia yang telah belajar bicara akan bertanya, di mana sarang baru yang dibuat induk kucing dari kotak penuh selimut hangat yang ditemukan induk kucing di pinggir jalan.
Sayangnya induk kucing dan anak manusia bicara dengan bahasa berbeda. Tuhan yang kujadikan pengusir keheningan tidak menyediakan penerjemah. Lebih baik begini supaya anak manusia dan induk kucing tak berhenti bicara. Mendaur ulang malam jadi seonggok sampah penyubur tanaman*