Senin, 20 April 2015

ikhtiar

Hanya seorang lelaki tua peminta minta mengetahui rahasia menjadi kaya tanpa harus bersusah payah. Bagaimana ia dapat percaya masih banyak kemudahan dan kemurahan di atas bumi. Hanya dengan mengulurkan tangan, memasang wajah memelas, menggumamkan beberapa kata tak jelas, ia dapat menyalakan hasrat manusia untuk berbagi harta.
Hartamu berada di mana hatimu berada, kuingat kau pernah berkata. Hanya pengemis tak ragu menitipkan hatinya pada sembarang manusia. Meskipun aku pernah menggelengkan kepala, menolak saat ia butuh kukembalikan sebagian hartanya. Pengemis berlalu begitu saja, bejalan ke arah manusia lain, mengulurkan tangan sekali dan berkali kali tanpa lelah.
Mungkin karena aku manusia setengah manusia. Setengahnya entah apa. Perempuan dekil itu menatapku tajam saat kuperhatikan caranya memunguti sisa sisa dari tempat sampah. Demi apa atau siapa, ia rela menjadi hina. Bau busuk tak menusuk, malah menunduk di hadapan niatnya mengubah sampah menjadi harta.
Masih kugenggam hatiku. Betapa mujurnya, hatiku utuh, tak kuberikan sedikitpun pada pengemis tadi. Jika kuberikan hatiku pada pemulung, mungkin ia dapat menjadikan hatiku seharga permata. Tangan pemulung akan memperlakukan hatiku bagai batu batu mulia. Tentu mudah, tak sulit sama sekali bagi seorang pemulung yang telah terbiasa menyayangi sampah*

Minggu, 19 April 2015

kincir angin

Cintaku sangat malu saat ketahuan mencuri hatimu. Kau tak marah, hanya berkata,”Sayang aku cuma punya satu hati.”
“Maaf. Aku tak tahu diri, cuma satu malah kucuri.”
“Aku juga minta maaf, merepotkan.”
“Tidak, kau menyenangkan. Kau sangat baik, tak marah, tak menghukum, padahal kucuri hatimu yang cuma satu.”
“Hmm, justru itu. Karena cuma satu, kembalikan padaku.”
“Nanti pasti kukembalikan, dan tak akan kucuri lagi.”
“Kembalikan sekarang, nanti mesti kaucuri lagi.”
“Oh…yayaya…aku mengerti.”
Begitulah, maka cintaku tak tahu malu lagi, mencuri hatimu yang cuma satu berkali kali. Kau selalu sama, menyenangkan, sangat baik, tak marah, tak menghukum. Hanya sedikit merepotkan, kadang kadang, tidak sering. Setelah sempat terpikir, akhirnya kutanyakan,”Kenapa bukan kau yang mencuri hatiku seperti kucuri hatimu. Kadang kadang aku ingin tahu, bagaimana rasanya kehilangan hati.”
“Hmm, aku ceroboh dan pelupa, pemalas dan tak suka mengerjakan yang sama berulang ulang. Kalau kucuri hatimu tak akan kukembalikan lagi.”
“Tak apa. Kalau tak kaukembalikan hatiku, tak akan kukembalikan hatimu. Kita bisa bertukar hati.”
“Dengan apa akan kaucuri hatiku kalau hatimu sudah kucuri? Kita cuma punya satu hati, satu hati yang hanya dapat dicuri dengan hati. Tak mungkin bertukar hati. Salah satu dari kita harus rela jadi pencuri, sementara lainnya ikhlas kehilangan hati, percaya pencurinya pasti mengerti, hatinya akan kembali.”
“Ah…kau benar. Aku bodoh sekali.”
“Kau mau mencuri dan mengembalikan berkali kali.”
“Kau mau percaya pada pencuri berkali kali.”
“Ada berjuta juta kebodohan pada satu hati.”   
Oh…cintaku cintaku, siapakah kau, siapakah aku, yang ini hatiku atau hatimu. Maaf aku tertidur sebentar dan tak ingat yang mana yang benar, ini hatimu atau hatiku. Ah, tak apa kalau tertukar sesekali, nanti tohk kucuri lagi*

repeat

Begitulah. Semua ilusi. Seperti pagi atau malam, seolah olah semua manusia berangkat bekerja atau terbuai mimpi. Padahal para penganggur berkeliaran, tersebar, berdiri, berjalan, duduk atau tidur tiduran sepanjang hari. Dan mimpi tak punya kehendak dan tak ada kemampuan membuai manusia, sebaliknya manusialah yang membuai mimpi mimpinya, Dengan dalih mimpi adalah kunci, persis penggalan syair lagu. Kunci apa, apa guna kunci jika tak tahu apa yang ingin dibuka atau ditutup. Hati. Ah, itu terlalu imajinatif. Lihat saja bapak itu, usianya telah begitu uzur, sulit menerima kanyataan ada manusia menghabiskan berpuluh puluh tahun hidup hanya dengan mengulurkan tangan minta sedekah. Ibu itu, tak jauh beda, sehari dua kali, pagi dan sore, mengacak tempat sampah, memulung kerdus bekas dan gelas plastik bekas kemasan air mineral.
Jadi sebaiknya merasakan apa, kesia siaan atau kekaguman. Tidak tepat. Semua ilusi, hanya ilusi, cuma ilusi. Sudah tertulis di kitabnya, sia sia segalanya, seperti menjaring angin.
Yang hujan turun lagi. Lagu itu lagi. Tak apa hanya ilusi.
Tepat sekali ilustrasi yang digambarkan sebagai ide dan gagasan  yang keluar dari dalam kepala manusia, sebuah gelembung berisi lampu pijar, menyala, melayang dekat kepala. Seandainya bisa dipadamkan dengan menekan sebuah tombol. Apa gunanya kunci. Tidak penting. Asal lampu pijar dalam gelembung melayang dapat dipadamkan. Pecahkan dulu gelembungnya, lampunya akan jatuh ke lantai, lantas pecah. Jadi gelap. Gelap, tak ada lagi ide, tak ada gagasan. Semoga segalanya kembali seperti semula. Ya, gelembung berisi lampu pijar yang melayang layang dekat kepala menimbulkan kecemasan. Pecah dan padam. Setelah tiada ternyata hanya tiada, seperti segala yang pernah ada, akhirnya tiada.
Sehangat pelukan, tiada jarak, tiada keraguan, tiada keterikatan sekaligus tiada kebebasan. Bahkan tak saling pandang. Terbenam. Senja selalu menawan. Dunia berputar. Terbenamnya matahari juga ilusi, bahkan langit tak peduli, rona cantiknya benar benar nyata. Senja afalah kebahagiaan atau kesedihan yang terbenam, jika matahari adalah mata hati yang sinarnya sedang teralingi, bumi berputar dan bergerak melingkar, air matanya sungguh sungguh basah.
Yang hujan turun lagi. Lagu itu lagi* 

Sabtu, 18 April 2015

bukan hanya tapi

Begitulah. Semua ilusi. Seperti pagi atau malam, seolah olah mengabarkan semua manusia berangkat bekerja atau terbuai mimpi*

Jumat, 17 April 2015

cuci mata

Ketelanjangan selalu suci, maka tubuh mesti ditutupi. Dunia dan mata manusia tak tahan berhadapan dengan kesucian.
Aku pernah menyangka, memiliki kesanggupan mencintai sesama manusia tanpa hasrat bercinta. Seperti biasa, sangkaanku seringkali salah, entah kau, hanya kau yang tahu dan kau boleh mengatakan padaku atau menyimpannya untuk dirimu. Yang kutahu, sangkaanku salah. Aku tak pernah sanggup mencintai tubuh tubuh tak bagus, tulang bengkok, terlampau gemuk atau kurus, kulit kusam dan keriput, mata lamur, bibir perot, rambut rapuh, tangan dan kaki gemetar tak terkendali. Jangankan mencintai, memandang sekilas saja membuatku muak. Manusia manusia buruk yang tak mampu membangkitkan hasrat atau sekedar khayalanku bercinta, tak pernah dapat kucintai mereka, pedulipun tidak, malahan ingin kumusnahkan mereka.
Maka kata kata manisku pahit semua. Hinalah aku supaya aku berhak menuduhmu ngawur. Setelah kita saling menghancurkan imajinasi, akan kucoba sekali lagi mencintaimu. Untuk sedikit lebih membenarkan sangkaanku. Jika dapat kucintai sesama manusia tanpa nafsu, mungkin akan kumengerti kau sepersekian bagian, aku ragu berapa bagian kira kira tepatnya, dan bosan berprasangka yang kemudian ternyata lagi lagi terbukti salah.
Hanya kau yang bisa mencintai setiap manusia. Aku merasa terlalu bebal, tak bakal bisa belajar. Maka kualihkan perhatian dengan menulis surat atau sajak. Menghisap sigaret, menikmati kopi, kadang kadang menenggak arak. Tentu saja kau tahu, semua kukerjakan  untuk berbagi kesalahan, bahkan kusebut kegilaan. Dan aku bangga menjadi semacam seniman. Kebangganku bukankah adalah sebagian dari pujian untukmu? Kau tahu aku dapat menulis tanpa jeda, memabukkan diri dengan kata kata bermetafora. Sajak kujadikan setara dengan arak. Malah lebih berkhasiat. Arak dalam jumlah tertentu menjadikan aku jatuh tertidur tanpa mabuk. Sajak membuatku selalu nyalang, terang, mabuk keindahan dengan penuh kesadaran. Aku memang bangsat, kutuliskan sambil tersenyum puas. Tentang ini bukan sangkaan, kenyataannya aku tahu pasti, lebih nikmat mengumpat diri sendiri daripada dimaki maki sesama manusia yang pernah kusangka dapat kucintai setulus hati.
Sajak sajak, terutama yang kutulis sendiri membuat sekujur tubuhku bengkak. Kepala beserta isinya, juga dada dengan segenap organ organ yang berdenyut di dalamnya. Meskipun bengkak, aku merasa sehat dan penuh semangat. Kemudian aku menyangka namanya syahwat, sehat sekaligus sesat. Kecanduan arak atau nikotin sudah kutaklukkan, sangat mudah, tanpa campur tangan ahli jiwa, hanya dengan sajak. Kecanduan sajak, aku bahkan belum pernah menyangka akan begini parah. Belum kutemukan penawar kepedihan.
Manusia manusia buruk rupa begitu banyak, mengepungku, kupejamkan mata atau kutundukan kepala, menuliskan khayalanku. Wangi tubuh dan rambut, pundak dan lengan tegap, tungkai panjang dan lentur, jemari lentik, mata berbinar, suara hangat, senyum nakal. Apa artinya cinta tanpa bercinta? Ada. Kalau aku bukan manusia, kucing misalnya, akan kujilati wajahmu tanpa letih, atau kera, akan kuhabiskan hampir seluruh hidupku untuk mencari setiap kutu di tubuhmu.
Bahkan binatang binatang lebih paham tentang kesucian tubuhnya. Ketelanjangan tidak memalukan karena tak berakal atau karena berahlak mulia. Aku dapat mengatakan sejuta prasangka, benar atau salah. Tubuh manusia bagaimanapun bentuknya, adalah bait suci, dengan tubuhnya manusia beribadah, berlutut atau bersujud dengan melipat kaki dan melengkungkan punggung, berdoa dan berzikir dengan menggetarkan pita suara dan bibir, memandangi sesama manusia dan menyangka dapat mencintai semuanya dengan mata, otak dan kelenjar kelenjar penghasil hormon dalam tubuhnya. Bercinta, menjalankan amanah mengisi dunia dengan sekujur tubuh dan organ reproduksi di dalamnya. Ah, ternyata menulis juga dengan menggerakkan lengan, telapak dan jari jari tangan.
Selama masih kutemukan keajaiban dalam sajak sajak yang kutuliskan aku belum dapat beranjak. Kelak mungkin akan kutemukan dan kukerjakan yang lebih mulia daripada berkutat di sekitar sajak sajak. Mungkin kelak aku bisa menjahit baju atau merajut sepasang kaos kaki. Karena dunia dan mata manusia tak akan pernah sanggup berhadapan dengan ketelanjangan. Akal selalu dikalahkan kesucian. Segalanya akan lebih sederhana seandainya aku tahu ada berapa lapis syahwat menyelubungi jasat.  
Hanya kau yang tahu, tentang segala prasangka yang kusangka, benar atau salah. Siapa mampu mengusikmu, lalat, ngengat, atau bangsat, atau penjahat, atau syahwat, atau taubat. Ular melingkar lingkar di atas pagar yang kukatakan berulang ulang dan belum juga benar. Ada apa dengan lidahku, dia tak mau patuh pada kerinduanku, mengatakan rindu lebih dekat kepada kesempurnaan, tidak kekanakan seperti bocah baru belajar bicara.
Kelinci meloncat loncat di bawah pohon. Belalang mengangguk angguk di atas daun. Lebah madu hinggap pada sekuntum bunga. Masih dapat kupilih banyak kalimat yang dapat kuucap lebih tepat. Kenapa masih harus menuntut dan menginginkan kebenaran mengucapkan, ular melingkar lingkar di atas pagar. Betapa ringan saat kuingat, kau pasti tahu segala sesuatu yang aku tak tahu sedikitpun.
Akhirnya aku tanya, manakah yang lebih buruk, mengumbar syahwat atau tidak menutupi aurat. Manakah yang lebih tak dapat dihadapi dunia dan mata manusia, ketelanjangan tubuh atau ketelanjangan pikiran. Kalau kaubaca ini, kusangka aku sedang menuntaskan hasrat, sedang tersesat dalam kenikmatan yang tak sanggup kuhadapi dengan mataku sendiri. Selamat. Ah, selamat hanya nama biskuit coklat, masih banyak selamat lain sebelum wafat atau kiamat*

Kamis, 16 April 2015

empiris

Pematang sawah pasti lupa, betapa gerimis terburu buru jatuh, betapa usil dan licin lumpur. Setelah terpeleset, terjatuh untuk yang ke dua kali, kuingatkan diri. Semua dapat lupa atau lalai tanpa sengaja, juga pematang sawah, boleh lupa atau lalai menjadi jalan yang benar. Tak apa aku terlihat kacau, mirip kerbau, dari mata kaki sampai pinggang belepotan lumpur.
Hujan menderas. Rupanya hujan menyesal, berniat menghapus jejak kesalahan. Aku segera kembali bersih. Agar tak terpeleset sekali lagi, kepada pematang sawah kukatakan,”Sekarang aku akan jalan pelan pelan.”
Untuk hujan, kerena lebat dan bersuara riuh, kuteriakkan,”Sudahlah, aku basah, tapi kau tak bersalah.” Setelah mendengarku, semoga hujan dapat meredakan diri secepatnya* 

al kautsar

Habiskan seluruhnya, hingga ampas yang mengendap, pahit namun tuntas. Sesaat lagi penawar rasa akan dituangkan ke dalam tempurung kelapa yang sama. Rasakan manisnya, nantikan khasiatnya. Siapkah kau bertemu keajaiban tanaman obat*

ziarah

Tak ada lampu dalam kamar itu. Cukup diterangi matahari saat pagi, biar dipeluk gelap saat malam.  Wajah wajah dalam selembar kertas adalah wajah wajah yang mampu mengacuhkan kegelisahan. Kapan.  Kau tersenyum menanti kilat kecil datang.  Siapa yang membidikmu. Kau dan dia telah abadi. Ingatkah kau, naluri insani, ingin abadi. Selamat menikmati kesejukan bening sepanjang hari. Serupa embun beku mendekap senyuman, melekat arat, tak ada jarak, tak ada bayang bayang. Kenangan mengenal jalan pulang.
Selamat pagi ayah, selamat menikmati serealmu. Maaf aku mengatakannya seperti biasa. Aku merasa kau belum lupa caraku bicara. Aku masih sama, masih ingat kau mahir menanam dan belum kutanam.  Aku tersenyum menemukan senyumku abadi bersama senyummu di atas meja.  Sebelum beranjak kusapa kaca, selamat malam penjaga senyuman*

Sabtu, 11 April 2015

just peachy

Kemarilah sayang, jangan sibuk atau lelah. Kita harus bicara. Aku ingin mendengarmu mengatakan semua yang tak dapat kaukatakan pada semua orang.  Dunia akan baik baik saja, meskipun kita acuhkan sebentar atau lama. Tapi aku bakal merana, bila tak ada kau dekatku, atau didekatmu tanpa kauperhatikan sepenuh hasratmu.
Kemarilah sayang, dekat dan lebih dekat. Akan kubisikkan sebuah rahasia yang tak akan pernah terbuka sepanjang usia semesta. Kau tahu, telah kaudengar sejak pertama kita berjumpa saat pandangan matamu tertuju padaku, segalanya akan berlalu, dan kita selalu begitu tentang sesuatu. Yang lucu, yang membuatmu tertawa yang menjadikan aku terus mengulang ulang beberapa kata.
Kenapa. Bagaimana. Benarkah. Kita lupa. Kita bertanya tanya. Kita ada. Kita siapa. Kita tertawa. Dan tak ada yang mencuri waktu. Kita menunggu waktu datang, atau kita tak peduli, waktu memamerkan kesanggupannya mengubah segalanya dalam sekedip mata, kemudian memohon kita meminta kesepakatannya tentang menikmati ketepatannya.

Kemarilah sayang. Kueratkan genggam tangan. Kulekatkan lengan. Padamu. Kugumamkan, kau tahu tanpa kuberitahu, kau sungguh tahu hanya kau yang tahu. Aku kecil dan dungu dan lucu dan kau mau jatuh hati untukku* 

Senin, 06 April 2015

mata lumpur

Musim dan kucing, bertemu di teras rumahku, di jejak langkah berlumpur. Aku merenung, semakin dalam, semakin buram. Hujan telah usai, dunia masih basah, serupa kanak kanak baru beranjak dari bak mandinya, tubuh dan rambutnya harum, bersih, sejuk, meneteskan air.
Ada yang ingin kutanyakan, tapi belum teringat. Aku terpaku, seakan debu di sebuah sudut yang tak tersentuh. Mendesah tanpa makna, terpikir saja olehku,”Benakku tak berpintu.” Segala boleh datang dan pergi tanpa permisi, semua boleh mampir sejenak atau lama. Dan aku bahkan belum mampu mengingat yang mestinya kuingat. Tak ingat, serumit tak melupakan. Tak mampu kuingat apa yang seharusnya kulupakan.
Kucing siapa, musim apa. Aku tak lupa, hanya tak ingat. Lumpur seakan tak terlihat. Haruskah aku sedih atau senang tanpa sebab. Dan aku tahu ini bukan amnesia. Aku manusia, itu saja, tersesat di teras rumah. Jendela jendela melihatku tanpa merasa iba, mungkin hanya peasaanku saja. Kasihan. Angin tiba tiba berdesir, kudengar deru mesin.
Seorang pengendara motor lewat begitu saja. Menerobos kekosongan yang kukira terhampar semacam jalan lengang di luar pagar. Betapa asing dunia. Betapa tak kukenal. Kucoba melangkah kembali ke tempatku, gerak yang tak menciptakan jarak, diam. Serasa berjuta jam, kelopak mataku akhirnya terkatup. Gelap. Ini baru nyata. Lumpur hitam. Mataku terpejam, kubuat gelap. Paling tidak aku masih mengendalikan sesuatu. Bukan pintu di benakku.
Kuraih titik titik berkilau yang beterbangan dalam kegelapan, mestinya terburu buru, kudengar suara, getar tubuh kucing. Semakin asing, dengkuran kucing. Bau tanah basah. Angin tiba tiba menyerbu dekat, meruntuhkan sisa hujan dari daun daun dan ranting di atas pohon. Suaranya seperti mengingatku sedang melupakan tempat dan waktu. Seperti sedang mendongak ke arah sepasang mata, pandangannya bersirat tanya,”Kau baik baik saja?”
Ya. Apakah aku baik baik saja. Sebaiknya aku lupa. Mengapa harus sungguh sungguh melangkah. Apakah harus ke mana.  Lumpur lumpur yang lucu. Hujan hujan, kubisikkan. Kucing mendengkur tanpa tidur. Jika bukan pintu, mungkin jendela. Tak berpintu tak pasti selalu terbuka. Ya, melompati jendela, kududuki tepinya. Burung kakak tua sejak lama hinggap di jendela.
Wah…dunia rumah…jendela mata…aku mulai lelah, mulai merasa salah memilih kata*