Ketelanjangan
selalu suci, maka tubuh mesti ditutupi. Dunia dan mata manusia tak tahan
berhadapan dengan kesucian.
Aku pernah
menyangka, memiliki kesanggupan mencintai sesama manusia tanpa hasrat bercinta.
Seperti biasa, sangkaanku seringkali salah, entah kau, hanya kau yang tahu dan kau
boleh mengatakan padaku atau menyimpannya untuk dirimu. Yang kutahu, sangkaanku
salah. Aku tak pernah sanggup mencintai tubuh tubuh tak bagus, tulang bengkok,
terlampau gemuk atau kurus, kulit kusam dan keriput, mata lamur, bibir perot, rambut
rapuh, tangan dan kaki gemetar tak terkendali. Jangankan mencintai, memandang
sekilas saja membuatku muak. Manusia manusia buruk yang tak mampu membangkitkan
hasrat atau sekedar khayalanku bercinta, tak pernah dapat kucintai mereka, pedulipun
tidak, malahan ingin kumusnahkan mereka.
Maka kata
kata manisku pahit semua. Hinalah aku supaya aku berhak menuduhmu ngawur. Setelah
kita saling menghancurkan imajinasi, akan kucoba sekali lagi mencintaimu. Untuk
sedikit lebih membenarkan sangkaanku. Jika dapat kucintai sesama manusia tanpa
nafsu, mungkin akan kumengerti kau sepersekian bagian, aku ragu berapa bagian kira
kira tepatnya, dan bosan berprasangka yang kemudian ternyata lagi lagi terbukti
salah.
Hanya kau
yang bisa mencintai setiap manusia. Aku merasa terlalu bebal, tak bakal bisa
belajar. Maka kualihkan perhatian dengan menulis surat atau sajak. Menghisap sigaret,
menikmati kopi, kadang kadang menenggak arak. Tentu saja kau tahu, semua
kukerjakan untuk berbagi kesalahan,
bahkan kusebut kegilaan. Dan aku bangga menjadi semacam seniman. Kebangganku bukankah
adalah sebagian dari pujian untukmu? Kau tahu aku dapat menulis tanpa jeda,
memabukkan diri dengan kata kata bermetafora. Sajak kujadikan setara dengan
arak. Malah lebih berkhasiat. Arak dalam jumlah tertentu menjadikan aku jatuh
tertidur tanpa mabuk. Sajak membuatku selalu nyalang, terang, mabuk keindahan
dengan penuh kesadaran. Aku memang bangsat, kutuliskan sambil tersenyum puas. Tentang
ini bukan sangkaan, kenyataannya aku tahu pasti, lebih nikmat mengumpat diri
sendiri daripada dimaki maki sesama manusia yang pernah kusangka dapat kucintai
setulus hati.
Sajak sajak,
terutama yang kutulis sendiri membuat sekujur tubuhku bengkak. Kepala beserta
isinya, juga dada dengan segenap organ organ yang berdenyut di dalamnya. Meskipun
bengkak, aku merasa sehat dan penuh semangat. Kemudian aku menyangka namanya
syahwat, sehat sekaligus sesat. Kecanduan arak atau nikotin sudah kutaklukkan,
sangat mudah, tanpa campur tangan ahli jiwa, hanya dengan sajak. Kecanduan sajak,
aku bahkan belum pernah menyangka akan begini parah. Belum kutemukan penawar
kepedihan.
Manusia manusia
buruk rupa begitu banyak, mengepungku, kupejamkan mata atau kutundukan kepala,
menuliskan khayalanku. Wangi tubuh dan rambut, pundak dan lengan tegap, tungkai
panjang dan lentur, jemari lentik, mata berbinar, suara hangat, senyum nakal. Apa
artinya cinta tanpa bercinta? Ada. Kalau aku bukan manusia, kucing misalnya,
akan kujilati wajahmu tanpa letih, atau kera, akan kuhabiskan hampir seluruh
hidupku untuk mencari setiap kutu di tubuhmu.
Bahkan binatang
binatang lebih paham tentang kesucian tubuhnya. Ketelanjangan tidak memalukan
karena tak berakal atau karena berahlak mulia. Aku dapat mengatakan sejuta
prasangka, benar atau salah. Tubuh manusia bagaimanapun bentuknya, adalah bait
suci, dengan tubuhnya manusia beribadah, berlutut atau bersujud dengan melipat kaki
dan melengkungkan punggung, berdoa dan berzikir dengan menggetarkan pita suara
dan bibir, memandangi sesama manusia dan menyangka dapat mencintai semuanya
dengan mata, otak dan kelenjar kelenjar penghasil hormon dalam tubuhnya. Bercinta,
menjalankan amanah mengisi dunia dengan sekujur tubuh dan organ reproduksi di
dalamnya. Ah, ternyata menulis juga dengan menggerakkan lengan, telapak dan
jari jari tangan.
Selama masih
kutemukan keajaiban dalam sajak sajak yang kutuliskan aku belum dapat beranjak.
Kelak mungkin akan kutemukan dan kukerjakan yang lebih mulia daripada berkutat
di sekitar sajak sajak. Mungkin kelak aku bisa menjahit baju atau merajut sepasang
kaos kaki. Karena dunia dan mata manusia tak akan pernah sanggup berhadapan dengan
ketelanjangan. Akal selalu dikalahkan kesucian. Segalanya akan lebih sederhana
seandainya aku tahu ada berapa lapis syahwat menyelubungi jasat.
Hanya kau
yang tahu, tentang segala prasangka yang kusangka, benar atau salah. Siapa mampu
mengusikmu, lalat, ngengat, atau bangsat, atau penjahat, atau syahwat, atau
taubat. Ular melingkar lingkar di atas pagar yang kukatakan berulang ulang dan
belum juga benar. Ada apa dengan lidahku, dia tak mau patuh pada kerinduanku,
mengatakan rindu lebih dekat kepada kesempurnaan, tidak kekanakan seperti bocah
baru belajar bicara.
Kelinci meloncat
loncat di bawah pohon. Belalang mengangguk angguk di atas daun. Lebah madu
hinggap pada sekuntum bunga. Masih dapat kupilih banyak kalimat yang dapat
kuucap lebih tepat. Kenapa masih harus menuntut dan menginginkan kebenaran mengucapkan, ular melingkar lingkar di atas pagar. Betapa ringan saat kuingat,
kau pasti tahu segala sesuatu yang aku tak tahu sedikitpun.
Akhirnya aku
tanya, manakah yang lebih buruk, mengumbar syahwat atau tidak menutupi aurat. Manakah
yang lebih tak dapat dihadapi dunia dan mata manusia, ketelanjangan tubuh atau
ketelanjangan pikiran. Kalau kaubaca ini, kusangka aku sedang menuntaskan
hasrat, sedang tersesat dalam kenikmatan yang tak sanggup kuhadapi dengan
mataku sendiri. Selamat. Ah, selamat hanya nama biskuit coklat, masih banyak
selamat lain sebelum wafat atau kiamat*