Kamis, 01 November 2012

credo

Menjadi pemabuk adalah cita cita paling mulia setelah ia gagal menjadi seorang pemilik kebun anggur. Tak terlalu jauh melenceng dari jalan hidup yang diyakininya paling luhur. Jika tak dapat menyediakan kegembiraan untuk banyak orang, paling tidak ia selalu bisa menggembirakan dirinya sendiri kapanpun ia merasa ada orang lain yang akan terhibur dengan racauan yang dimuntahkannya sambil berjalan terhuyung atau menendangi pintu atau batu. Bahkan ia merasa telah membuat para malaikat yang terkantuk kantuk seketika tersenyum melihatnya sehabis minum anggur.
Sesungguhnya ia merasa iba kepada setiap mahluk yang tak mampu minum anggur dalam jumlah cukup hingga bisa menjadikan mahluk tersebut merasa tidak sia sia atau kecewa karena gagal meraih harapan tertentu. Seandainya tak ada pintu, tak ada penghalang untuk menemui segala pada jam berapa saja. Tak ada yang tersandung di tanah datar tanpa batu Bukankah semua butuh teman. Dan kebutuhan justru paling mengganggu ketika tidak bisa didapat.
Cuma seorang pemabuk merasa memiliki segalanya, kebun anggur, senyum para malaikat, pintu pintu yang terbuka dan ruangan yang menyambut hangat. Segala hal yang bisa ditelan atau dimuntahkan sesuka suka perutnya*.