Rabu, 31 Oktober 2012

kota yang hilang

Sebuah kota yang bahagia.
Hanya ada satu makam di sana, dengan nisan terbuat dari kayu, kokoh, padat, berkilat, tanpa coretan atau pahatan.
Semua jasad penduduk kota dikuburkan di dalam satu liang lahat. Hingga yang mati tak pernah kesepian. Dalam satu satunya liang lahat di kota yang bahagia, mereka yang mati bisa mengulang kembali semua percakapan yang belum selesai. Kematian semeriah kehidupan.
Sebuah makam yang bahagia.
Seluruh penduduk kota berziarah di sana. Setiap hari, bersama sama atau bergantian penduduk kota menaburkan bunga dan doa doa ke satu malam bernisan kayu yang kokoh dan utuh. Para pejabat dan pemberontak, bangsawan dan rakyat jelata, tuan dan hamba saling berjumpa saat berziarah, berdiri berdekatan di depan nisan sambil mengenang kehidupan orang orang yang terkubur di satu liang lahat.
Liang lahat yang sangat kerap digali dan ditimbun, paling banyak ditaburi bunga.
Kabar tentang kota dan makam yang bahagia entah bagaimana akhirnya tersebar luas. Orang orang berdatangan dari luar kota. Kota semakin ramai dan megah, makam semakin semarak.
Mereka yang sebatang kara kebanyakan bercita cita hijrah ke kaota yang bahagia menjelang ajalnya. Sayang sekali kota yang bahagia tidak bernama dan tidak bisa ditemukan di peta*

*

Ingin kubekukan waktu saat bersamamu.
Saat segenap keindahan mengepung nafasku.
Serupa salju menyelimuti bunga bunga bermekaran*

good night

Kubayangkan sedang menulisi langit malam. Mungkin cuma mencoret coret atau menggambar. Memunculkan yang mirip bintang bintang atau rembulan. Karena cuma dua benda itu yang kutemui pada langit hitam malam, dengan bentuk tak beraturan dan warna warna yang tidak sama setiap malam. Bentuk dan warna yang tidak tertelan pekatnya hitam.
Apa yang kau dan aku pikirkan ketika menatap langit malam. Aku bukan pembaca pikiran, tak tahu apa yang kau pikirkan jika tidak kau katakan. Aku lebih sering tidak memikirkan apa apa. Hanya menatap, lama, dan masih tidak memikirkan apa apa.
Mereka berkata pikiran kitalah yang membentuk keadaan. Kalau tanpa pikiran, apakah yang akan kubentuk. Kalau secara wajar jawabnya bukan apa apa. Tidak merisaukan apa apa. Hanya terus menatap langit hitam. Tidak memperkirakan nasib, tidak juga meramal cuaca.
Aku juga tak tahu, apakah langit hitam malam lebih bahagia dipandang apa adanya.
Bintang bintang berpijar, rembulan membesar, langit menghitam. Mereka bernama malam. Tempatku menatap dunia, apa adanya. Noda noda di wajah, tubuh dan pakaian memudar.
Malam juga menidurkan raga. Setiap yang sedang terlelap tampak lebih cantik dan tegap*

Senin, 29 Oktober 2012

di pasar jam sebelas siang

"Adakah yang tidak sempurna ?" Tanya seorang kekasih kepada kekasihnya.

Empat anak berbaju dekil berteriak, tertawa, saling mengejar.
Tukang parkir menghitung recehan di genggam tangannya.
Bapak bapak memilih nasib pada sebutir batu akik.
Seorang pelacur baru bangun tidur.

"Adakah yang tidak sempurna ?" Seorang kekasih bertanya kepada kakasihnya.

Bangkai ikan bertumpuk dalam keranjang bambu.
Kangkung yang layu.
Mentimun keriput.
Induk kucing memandikan kedua anaknya.

"Adakah yang tidak sempurna ?" Kekasihnya bertanya lagi, mengira kekasihnya tak mendengar pertanyaan yang telah diulanginya dua kali sebelum ini.
Di tengah kegaduhan, dihimpit kegerahan, matahari terlihat sangat bahagia. Kekasih belum menjawab pertanyaan kekasihnya. Udara pengap menyumbat mulut, asap, rambut kusut, peluh, dan anak anak yang berlarian.

"Adakah yang tidak sempurna ?"
"Kenapa kau bertanya ?"
"Karena kita sedang meniti jalan ke surga."


kotbah

Aku menulis tiga kali sehari, atau lebih. Sebagai pengganti makan nasi. Jantung yang lapar membuatku lebih merana ketimbang lambung yang kesepian. Lagipula ada yang mengkhawatirkan masalah kepadatan penduduk dan ketersediaan bahan pangan. Mereka takut anak anaknya kelak tidak cukup makan karena harus matian matian bersaing mendapatkan beras hanya untuk hidup. Entah hidup macam apa yang bisa diharapkan dari manusia manusia yang resah demi isi perutnya.
Karena aku selalu cukup makan dan masih saja jantungku kelaparan debar. Maka aku gemar merendahkan manusia manusia yang tunduk pada rasa kenyang. Setidaknya aku senang membuktikan pada diriku sendiri bahwa puisi setengah jadi bisa jadi pengganti nasi. Maka masalah kepadatan penduduk dan kekurangan pangan menjadi urusan tidak penting sama sekali.
Seperti kata seorang nabi yang kucintai, manusia tidak hanya hidup dari roti, melainkan kalimat kalimat yang tak perlu dimengerti. Kata kata nabi itupun telah kukutip seenaknya sendiri. Tidak penting, asalkan aku selalu merasa sanggup hidup di jaman edan.
Jaman edan itupun istilah basi. Seperti hal lain yang basi kerap memenuhi bumi. Bumi uzur yang dihuni mahluk mahluk taklukan umur. Kalaupun harus menjadi budak, kurasa lebih nyaman menjadi budak penguasa kepala daripada penguasa perut.
Jadilah aku seperti kehendakku, narsis, penyendiri, pemuja sunyi, dan lain lain yang menurutku sama sekali tak ada hubungannya dengan kenyataan. Tak akan kubuang buang waktu dengan berharap suatu hari akan menyadarkan diriku sendiri, apalagi mahluk lain. Sudah banyak sekali yang bisa peduli, berpikir dan merancang rencana hebat yang katanya untuk 'perbaikan'.
Istilah anjing menggonggong kafilah berlalu memang berlaku, maksudnya televisi berkoar koar manusia berlalu lalang. 
Betapapun seorang guru membutuhkan orang orang dungu. Kabar baik membutuhkan nasib buruk. Pemberi semangat membutuhkan keputus asaan. Penunjuk jalan membutuhkan orang orang sesat. Perancang membutuhkan keruntuhan. Dan para pelayat yang membutuhkan mayat, bukan sebaliknya*

Minggu, 28 Oktober 2012

kiss

Bicara cinta bisa jadi menjemukan.
Bagaimanapun yang menjemukan itu jauh lebih mudah dan menyenangkan daripada menyamarkan pembicaraan tentang cinta dengan kata kata penuh metafora.
Kenapa harus selalu mempersulit diri sendiri, mencoba membicarakan cinta dengan cara santun dan anggun, berharap cinta menjadi lebih bermakna dengan kalimat kalimat indah dan macam macam kiasan yang luar biasa.
Apakah cinta begitu angkuh atau malu malu. Tak rela terbaca apa adanya. Tak mau diketahui bahwa cinta hanya penuh cinta yang tetap begitu begitu sepanjang waktu.
Suatu ketika, entah kapan, selalu, saat bersamamu, aku ingin cinta menjadi jemu dengan segala topeng atau tirai yang membuatnya terkesan agung sekaligus misterius.
Apakah kucingku sedang bicara cinta dengan satu bunyi yang sama, ngeong, ngeong, ngeong, ketika berhadapan dengan lawan jenisnya. Atau kucing tak kenal cinta. Mungkin kucing betina menjilati pantat anaknya cuma berdasarkan naluri semata, tak ada kaitannya sama sekali dengan cinta.
Tidak semestinya menghubungkan cintaku dengan cinta kucing.
To the point saja, aku bicara cinta malam ini. Tanpa membawa bawa bulan dan bintang bintang, tanpa campur tangan angin dan ranting. Tanpa apa apa. Cuma cinta.
Aku ingin kau melotot kepadaku, menatapku dengan pandangan jenaka sekaligus menghina, lalu berbisik tajam,"sssttt, jangan bicara."  Kalau kurasa kurang, aku akan terus bicara cinta sampai kau muak, benar benar tak tahan, hingga mendiamkan bibirku dengan bibirmu, mengunci lidahku dengan lidahmu.
Jangan kaulepas, atau aku akan bicara cinta lagi*

menemukan kehilangan

Boneka beruang kehilangan masa kanak kanaknya di toko mainan.
Boneka prajurit kehilangan perang di tangan seorang anak laki laki laki yang kehilangan teman.
Boneka barbie kehilangan pentas di pangkuan seorang anak perempuan yang tertidur sendirian.
Anak laki laki dan anak perempuan kehilangan rumah pada sebuah istana di toko mainan*

point

Kurasa aku perlu mandi dua kali sehari, biar beribu ribu debu yang sama tak pernah jenuh menghinggapi tubuhku. Mencuci rambutku demi kau tak enggan menciumi jejak kematian kutu kutu di kepalaku.
Begitulah caraku memaknai kebersihan, syarat untuk menemui pintu yang berjejer di sepanjang jalan.
Apakah aku telanjang, aroma anggur terbaca tajam. Malam yang kesekian untuk matahari yang tidak terbenam. Mungkin matahari itu enggan untuk terbenam setiap malam karena malam terlalu sebentar, segera kembali tiba waktu mendaki angkasa.
Ingin kumandikan matahari malam ini, setiap malam agar tak lelah menyambut pagi. Aku perlu pagi supaya bisa mandi dan mencuci rambutku. Pintu pintu masih menunggu, memenuhi pinggiran jalan dengan keterasingan pada ketelanjangan*

Sabtu, 27 Oktober 2012

di tengah hari

Kerinduan kehilangan kata kata.
Setia menemani langkah.
Menghitam dan memanjang.
Menjadi bayang bayang, membuatku percaya
bahwa aku sedang berdiri di bawah cahaya*

senja

Awalnya, aku tak suka mengakui bahwa aku telah kecanduan. Kecanduan tak bisa disembuhkan dengan obat. Hanya bisa diredakan dengan sesuatu yang menjadi sebab kecanduanku. Orang orang yang tidak paham bersikap kejam dengan menyebut orang lain yang kecanduan sebagai budak dari candunya.
Pernah ingin kucari di kamus bahasa arti kata kecanduan atau candu, tapi segara kubatalkan. Pertama tak ada kamus di dekatku dan aku malas untuk berusaha mendapatkannya jauh jauh. Kedua, kurasa memahami sebuah kata sama sekali tidak berguna jika hanya untuk memahami saja, aku toh bukan ahli bahasa dan tak akan ada yang lebih bersimpati terhadap kecanduanku meski kupahami betul arti katanya. Ketiga, aku merasa tak sanggup buang buang waktu selain untuk meredakan kecanduanku, atau sekedar menikmatinya, memberi selamat kepada diriku karena telah menyadari dan mengakui sedang kecanduan. Keempat, tak perlu kumengerti arti katanya untuk membuat kecanduanku semakin berkualitas. Masih bisa kutemukan alasan kelima dan seterusnya yang bikin aku merasa yakin mampu merumuskan sendiri perasaanku tanpa tambahan keterangan dari kamus manapun.
Kecanduan kudefinisikan sebagai kesehatan spritual. Tidak masalah apakah benar atau salah. Yang pasti aku merasa punya kehendak kuat untuk obyek kecanduanku. Semacam semangat atau daya hidup yang tak akan pornah dirasakan orang orang yang tidak kecanduan. Sangat menguntungkan untukku dan siapa saja di sekelilingku, dengan catatan siapa saja itu tak mengetahui kecanduanku. Mereka akan selalu baik baik saja, merasa turut gembira melihatku yang tak pernah lelah mengejarmu yang menjadi kecanduanku.
Banyak hal akan runtuh dan dan mati kalau tak memiliki hasrat kuat untuk mencapai tujuan. Dengan gairah dan semangat sebesar ini saja hari hari masih sering terasa panjang dan lengang. Tak bisa kubayangkan mesti melewati sehari tanpa mencanduimu.
Maka setelah kupikir pikir aku jadi suka mengakui bahwa aku telah kecanduan. Semakin kupikir lebih dalam semakin suka kuakui aku kecanduan dan telah mengatakannya. Lama lama aku malah bangga mengakui dan mengatakan telah kecanduan. Dan aku tak butuh obat.
Mungkin suatu hari aku bahkan tak butuh apapun selain kecanduan. Setelah kian parah, kurasa kecanduanku tak lagi butuh sebab. Cukup kecanduan saja, tanpa kau. Saat itu kukira hidupku akan menakjubkan. Tidak berpikir, tidak merasa, tidak berkata kata.
Menakjubkan, seperti matahari terbenam*

Jumat, 26 Oktober 2012

gambar

Anak perempuan itu menggambar banyak garis panjang tersekat pada lengannya. Serupa barisan salib, tanda tambah pada aljabar atau pagar. Ia bilang itu bekas jahitan. Banyak sebab telah merobek kulitnya. Mata, hidung, siku, jari jari tangan semua yang menyentuhnya, semua yang berada di dekatnya adalah benda tajam. Aku tercengang mendengar imajinasinya. Anak perempuan itu ternyata lebih perasa ketimbang kelopak kelopak bunga. Kalau saja gambar bekas jahitan pada lengannya masih ada saat ia tumbuh dewasa, mungkin aku tak lagi harus percaya mujizat. Tak perlu mujizat untuk menghentikan benda benda tajam yang berkeliaran. Tak perlu obat atau alat menyembuhkan luka, karena tak ada luka. Cukup sebuah pena untuk menggambar bekas jahitan pada lengan yang tak pernah tersayat.
Ingin kudekap erat anak perempuan dengan mata, dada, lengan dan seluruh tubuhku, seluruhnya hanya sentuhan lembut serupa kabut membelai rambutku* .

puzzle

Masa muda artinya menuliskan satu nama berulang ulang dalam satu halaman buku. Tidak lucu dan mengharukan. Kukatakan aku tak perlu matahari, hujan dan dilahirkan, jika tak boleh menggandeng tanganmu meniti pelangi setiap hari. Ini rahasia. Sampai kapanpun tak boleh kau tahu aku pernah lebih dungu dibanding keledai, terperosok tak terhitung kali ke dalam lubang yang sama, yang tumbuh dari satu nama. Aku tak mau melihatmu pura pura tak mengenalku karena malu berteman dengan orang dungu. Meski aku sangat ingin tahu pendapatmu, apakah masa muda itu selamanya. Aku tahu kau pandai, pendapatmu selalu cermat dan tepat. Kau satu satunya yang bisa menjelaskan kenapa masa mudaku tak pernah berlalu. Semua halaman bukuku masih kutulisi satu nama berulang ulang. Tidak lucu dan mengharukan.
Kurasa keledai sengaja menjadi dungu untuk menyenangkan lubang*.

bab

Kubaca lagi setumpuk catatanku. Kukira penglihatanku melamur. Catatan catatan tak lagi kukenal, menjadi sesuatu yang asing dan jauh. Atau waktu memusuhiku, merampas ingatan, wajah dan nama nama yang pernah dekat. Adakah penyesalanku. Kucoba kembali membaca, menumpahkan isi kepala. Catatan mengoyak perutnya, kulihat kalimat kalimat berhamburan, semakin jauh. Kurasa ini saatnya mengguyurkan air untuk membawa pergi yang pernah singgah. Rasa kenyang, kesenangan, kesempatan untuk tidur lama. Adakah yang benar benar setia. Lalu diam, kemudian lapang. Rasa sakit dan kerutan tak lagi melilit. Kurasa aku telah menuntaskan sesuatu yang seharusnya begitu.
Kursi kayu memang seharusnya tidak menghuni kamar mandi, tidak menjadi saksi siapapun yang ingin mengosongkan diri*

gloria

Menemukan api adalah awal peradaban manusia. Aku tak mengerti, api tak menghangatkanku, tak membakar, tak menghanguskan, tak menjadikanku hilang atau ringan macam abu. Aku manusia atau bukan, kubisikkan tanyaku ke lehermu. Kau mengira aku tidak sungguh sungguh bertanya, aku manusia atau bukan waktu sedang jatuh cinta, menemukanmu membakar sekujur tubuhku. Lidah lidah api tak menari atau berwarna seindah kau. Aku manusia atau bukan, kurasakan angin menerbangkanku, lebih jauh dan tinggi daripada semua abu*

topeng kaca

Aku bukan ibuku, bukan ayahku, tidak mirip dengan saudara saudaraku.
Aku berbeda denganmu, tidak sama dengannya.
Cermin meledakkan tawanya, pecahan kaca mengoyak mata.
Mata mereka berlumur darah*

anak sapi

Mereka membeli ternak terbaik untuk disembelih besok pagi. Mereka menyebutnya berkorban. Tanpa kesedihan. Adakah korban tanpa kesedihan. Jadi apa gunanya tuhan, tak ada yang harus dicurahkan surga, tak ada yang perlu dihibur karena kehilangan.
Mungkin aku salah. Aku pernah mendengar kisah seorang ayah hendak menyembelih anaknya.
Kalau suatu hari aku kelak aku siap berkorban, akan kubeli seekor sapi betina yang baru disapih. Kurawat dengan tanganku sendiri, kuusap hidungnya paling sedikit sekali sehari. Setelah sapi betina dewasa akan kubawakan sapi jantan paling gagah untuk menjadi kekasihnya.
Ketika sapi betinaku mengandung akan kujaga seperti kujaga anak perempuanku. Menemaninya waktu kesakitan melahirkan anak sapi, yang kusambut layaknya cucuku sendiri. Melihat anak sapi menyusu, berdiri dengan keempat kakinya, mula mula gemetar hingga kokoh menjejak tanah. Berlarian riang, gemerincing lonceng pada tanduk kecilnya. Kupandangi lekat lekat kasih sayang seorang ibu sejati pada sepasang mata seekor induk sapi.
Dua tahun kemudian kalau aku cukup tegar mungkin aku bisa berkorban. Menyerahkan anak sapi yang telah tumbuh menjadi sapi muda, sehat dan tampan, buah hati sapi betinaku untuk disembelih. Sebelumnya tentu aku harus berani mengatakan apa yang akan kulakukan kepada induknya, dengan sungguh sungguh, dengan menatap lurus ke dalam matanya di mana akan kulihat setiap kenangan tentang kelahiran dan masa kecil sapi muda yang akan segera mati.
Hari berkorban akhirnya datang. Aku dan induk sapi berkata dalam hati, sapi muda pasti masuk surga. Tuhan sendiri yang akan menyabit rumput untuk memberi makan sapi muda yang tidak kehilangan dunia.

Hanya sebatas itu, tak mungkin aku berniat menyembelih anakku sendiri seperti seorang ayah kesayangan tuhan yang kisahnya pernah kudengar*

Kamis, 25 Oktober 2012

mooo...*

Malam gaduh. Aku ingat percakapan sepasang sapi yang saling mencintai. Saling mencintai dengan kekasih menciptakan bahasa dengan satu kata. Tapi aku manusia, mengatakan saling mencintai adalah mencintai kekasih melebihi mencintai hidup, melebihi kau dan aku mencintaimu dan mencintaiku. Jika tuhan menciptakan sesuatu untuk dibunuh kenapa darahnya tidak membeku, menjadi kelopak bunga berwarna merah, harum dan sejuk Tidak meresap ke dalam tanah, hanya bersandar, menikmati hangat cahaya sampai renyah.
Alangkah banyak pertanyaanku, sebanyak kutipan buku buku.
Sesungguhnya aku gentar pada ujian. Kuberanikan diri demi ribuan pasang kekasih yang bercinta untuk terakhir kali. Pagi segaduh malam. Manusia membunih kekasih kekasih yang bukan kekasihnya sendiri*

kitab

Laci meja sekolah penuh naskah tak berdosa. Karena tuhan tak pernah lalai mengabulkan doa, ampunilah tangan tanganku, mereka tak tahu apa yang telah mereka perbuat kepada teman temanku. Lagipula semua temanku tak pandai membaca, mereka merobek kertas kertas untuk mendengar suaranya. Kertas kertas tak bernyawa serupa bangku dan meja sekolah, tak pernah mengeluh, tak kesakitan sedalam dan sepanjang apapun aku memahat, mencatat kesalahan*

mata tangan

Tangan tangan buta pemberi berkah. Aku ingin tahu apa yang terselip pada mata perempuan dan lelaki kecil pemecah batu. Adakah tawa, air mata bahagia pada jejak kapakmu. Tangan tangan buta, selalu buta. Dan kanan kiri cuma diketahui wajah yang telah pandai bicara.
Anjing anjing baik hati selalu mengejar segala yang dilontarkan tangan, tidak peduli sebelah mana. Tangan tak pernah bertengkar berebut arah.
Maka tak ada yang salah. Tak perlu air mata jika manusia bersedia menjulurkan lidah, mengibaskan ekornya, kemudian berlari mengejar apa saja yang dilontarkan tangan yang tak tahu arah. Seluruh kapak akan bahagia mendengar batu batu tertawa pada perempuan perempuan kecil dan lelaki lelaki kecil pemahat wajah wajah malaikat*

Rabu, 24 Oktober 2012

buletin malam

Tikus got dan aku terperangkap pada sebuah malam yang sama. Kudekap langit yang diceraikan dinding. Tikus got merasa aman berlarian di lorong sempit, dindingnya menebal oleh lumpur. Tikus got dan aku menumpahkan sebotol tinta hingga warnanya menyerbu kota. Ungu, kelabu, kusam, warna apapun yang berteman debu. Tikus got dan aku tidak mabuk, sama sama merasa puas tanpa perlu menenggak obat. Sehat, hanya terjerat surga beraroma sampah, muntahan doa, deru roda.
Aku bersulang, mengagumi kuku kakinya. Tikus got mahir merawat kukunya, menjaga kebersihan, kukunya hitam dan licin. Giginya runcing, kulihat waktu tikus got menertawakan wajahku yang berlepotan tanah.
Meski tak kupahami caranya bicara, aku tahu tikus got sepakat dengan kalimat, hidup itu nikmat. Senikmat sebutir tanah yang menempel di puncak hidungku, membuatku kelihatan lucu dan tikus got mengenali segenap lorong dan jalan secerdik dewa.
Aku bersendawa, dikenyangkan udara, kubuat tikus got kembali tertawa. Malam yang nakal, aku yang bebal, tikus got berakal panjang. Roda selalu terjaga, menemani debu mengunjungi setiap pintu di tubuhku*

Selasa, 23 Oktober 2012

home sweet home

Sebelum pulang mesti kubangun rumah. Dengan daun pintu yang sungguh sungguh daun, bingkai bingkai jendela tanpa kaca. Rumah yang betah menghuni jantungku yang mencintai hutan dan tanaman rambat, tangan tangan angin dan semua sampah yang tercecer dari lantai langit*

notes

Kucatat namamu dalam sebuah buku hingga penuh seluruh halamannya. Buku pertama setebal hasratmu ketika memandang lereng gunung di kejauhan. Kulanjutkan mencatat namamu memenuhi buku ke duaku, kertas kertasnya seharum musim semi. Buku ke tiga segera sesak oleh namamu, warnanya serupa langit pagi.
Buku ke empat, ke lima, ke enam, namamu masih belum habis kucatat. Pada buku ketujuh aku ingin merasa cukup. Tanpa kusadari buku ke delapan lewat. Tiba tiba aku berada di halaman terakhir buku ke sembilan. Kutengadahkan kepala dari namamu yang memenuhi setumpuk buku. Kulangkahkan kaki di bawah ksdip bintang dan senyuman bulan.
Aku lega masih ada toko penjual buku belum menutup diri selarut ini. Harus kubeli sebuah buku lagi, buku ke sepuluh. Kuharap setebal rambutmu untuk mencatat namamu. Bagaimanapun menuangkan namamu ke dalam setumpuk buku, berapapun itu akan sangat meringankan tubuhku*

kencan

Berjalan di sisimu di atas sederet papan kayu, mendekati laut. Adalah sebuah gambar yang membuatku gembira. Tiada jejak kita di situ. Tak ada yang akan berkata betapa sedikitnya langkahku mengiringimu. Tanpa perlu hujan turun menghapus yang tak akan terbenam ke dalam lumpur. Laut diam diam menatapmu lewat mataku, bergelombang perak, menyampaikan pesan keabadian. Tangamu hangat menggenggam.
Sudah pasti tak terhapus apapun yang semula tak ada. Senja di dermaga tersembunyi. Pelukisnya pasti bangga menemukannya, membuat garis dan lengkung, mewarnai cakrawala di atas angan dan bayangan. Laut mendekat, jalanan kayu memanjang*

khilaf

Kepalaku begitu kecil untuk mengingatmu. Mereka bilang ingatan letaknya di dalam kepala manusia. Sebelum mengingatmu aku percaya. Setelah tak melupakanmu aku tak percaya siapa saja mereka.
Aku mengingatmu di luar kepala. Pada segala yang ada di atas kepala hingga di bawah kaki, ke semua arah, delapan penjuru mata angin yang berpusing tanpa henti mengelilingi kepala.
Ketika mereka berniat memenggal kepalaku karena menentang kebenaran mereka tentang ingatan, tak terbersit sedikitpun risauku. Apa artinya kehilangan kepala. Ingatan tentang kaulah yang membuatku cemas kalau tak punya kepala untuk menyimpannya. Kini aku senang melihat mereka mengasah pedang.
Tanpa kepala semakin tak mungkin kau kulupakan*

Senin, 22 Oktober 2012

kembang api

Kulontarkan bintang bintang, berjuta juta sebelum padam.
Menepilah, sejenak menikmati bintang bintang. Musim gugur yang panjang, tak ada yang mengeluh tentang debu juga peluh. Tanah sepertinya merindu bintang bintang yang kubuang. Dalam angan angannya aku tak pernah menghitam.
Tak ada manusia tanpa tanda jasa. Aku ingin bicara tentang keriangan dalam kegelapan. Sepasang tangan menggantungku pada dahan. Menciptakan pohon berbunga bintang bintang. Berjuta juta sebelum padam.
Kebahagiaan adalah tak punya ingatan berapa banyak bintang bintang kubuang sebelum menghitam. Memeluk malam rapat rapat. Tergantung di dahan pohon kemudian dilupakan kemeriahan. Membunuh api dan tidak membakar apapun yang disayangi melebihi angan angannya sendiri*

kapas di hari natal

Salju hangat
Rambut dan bulu sayap malaikat.
Khayalan manusia membuatku bahagia meski tak berguna, tak bisa mengusap luka*

ruang kerja

Botol botol pulas menenggak lupa. Rindunya telah habis kutumpahkan membasahi kebun anggur yang tumbuh di daun pintu. Biji semangka berdansa tengah malam. Lantai serupa stroberi putih, melambai lambai, merayu tulang punggung sebuah patung lelaki pemikul ikan. Kayu hitam dari hutan, padat dan berkilat. Lelaki pemikul ikan yang santun, pura pura melangkah. Tak berpindah, ikan ikannya kekal. Botol botol menatapnya dan berkata dalam kekosongannya, tak ada yang dahaga atau lapar, tak ada ginjal atau lambung dalam kayu hitam.
Lampu baca membunuh cahaya*

ziarah

Sepi sepi sepi berderet abadi.
Tak ada namaku di situ.
Sspi wafat berkali kali.
Suatu hari datang menjemputku.
Di hari libur, kataku.
Sepi buta huruf berdiri saja
di bawah sepatu*

Minggu, 21 Oktober 2012

pusaran

Ibu tak letih menyetrika baju bajuku yang cuma satu. Aku berdiri telanjang menunggu baju bajuku yang cuma satu diluruskan ibu. Tidak kedinginan, kupandangi tali pusar yang hilang dengan rasa sayang. Bagaimana bisa kulupakan dahulu, ibu selalu membuatku kenyang. Melayang dalam kehangatan dekat jantungnya.
Setelah berpakaian, kugantungkan ingatan dalam lemari baju*

Sabtu, 20 Oktober 2012

malam minggu

Kemenangan hanya kenangan, demikian pula perang.
Tapi, kehilangan adalah teman yang menyalakan kerinduan, menciptakan nyanyian, menggerakkan senar, menyinari tanah dengan teramat banyak warna, seperti senja. Tak ada yang menyebutkan berapa warnanya, itu indah. Maka kuhilangkan diriku dari tatapan mata lampu dan buku buku dan kartu kartu. Biar bintang bintang menghitungku*

Jumat, 19 Oktober 2012

a couple

Berapa ribu puisi lagi mesti menghentikan waktu. Aku menulis seakan tanpa jeda, berharap kata kataku mengiringi langkahmu. Bertambah jauh semakin erat serupa simpul pada tali yang kedua ujungnya saling meninggalkan. Tidak seperti kesedihan manapun, sungguh, aku tersenyum untuk kalimat yang selalu kaukatakan demi mencela deru suaraku. Betapapun kau sangat paham, menulis puisi jauh lebih mudah dikerjakan dari pada berdebat. Dunia menunjukkan setiap hal ada sepasang, serupa mata, tangan, kaki beserta alasnya, dan kita*

Kamis, 18 Oktober 2012

puzzle

Aku cemburu kepada diriku sendiri. Karena sangat mencintaimu.
Apakah cinta bisa basi macam nasi, karam macam kapal, putus macam benang. Titik tanpa tanda tanya.
Aku tak mau tahu tentang cinta atau apapun yang tak menyangkut kau. Tapi tak kutemukan satu katapun selain cinta yang lebih tepat kupakai ketika aku ingin menuliskanmu. Aku tahu aku lebay. Lebay gara gara kau terasa keren.
Kau bukan tongkat yang bisa dipatahkan, bukan kertas yang bisa koyak, bukan balon yang bisa meletus atau terbang menjauh kemudian hilang ketika terlepas dari genggaman. Aku sangat mencintaimu hingga cemburu kepada diriku.
Mungkin bukan cinta, mungkin cinta, pasti cinta, tak layak kuperdebatkan, apalagi dengan diriku sendiri. Aku selalu ingat kautemukan lagu paling merdu, when we hungry love will keep us alive. Setiap kali kaudendangkan sambil tertawa dengan matamu untukku, ingin sekali kupukul lenganmu kuat kuat.
Setelah sungguh sungguh memukul lenganmu, kau tak hentikan nyanyianmu. Apa bisaku selain menjadi lebay, menuliskan kalimat kalimat basi. Berharap sepenuh hati tak kaubaca agar kau tak tambah besar kepala.
Jangan dibahas, kalimat kalimat cinta selalu sesat, lebih lebih kalau ditulis di saat sedang lapar, atau terkapar.
Aku makin mencintaimu, makin cemburu kepada diriku dari waktu waktu*

truly

Aku mematungkan diriku di sebuah taman lengang, memandangi para pejalan mencari arah. Menatap bukit bukit hijau menyala di kejauhan. Biru putih angkasa.
Kenapa semua ingin melangkah, berpindah. Tak adakah satupun yang merasa indah sebagaimana kau yang menjadi muasalku memasung tubuh.
Hujan pasti mendekat kelak, menuruni bukit bukit hijau menyala, meninggalkan bitu putih angkasa. Menghampiri taman lengang yang tidak menunggu matahari menerbitkan pelangi*

bunga bangkai

Lagu tumbuh dari ketukan palu. Hujan yang terjatuh di padang pasir. Benih benih yang terkubur. Ramalan cuaca selalu asing untuk musim musim bersayap yang singgah di atap rumahku. Tak ada yang mendengar tanah bertanya siapa nama bunga paling megah, aromanya lebih tajam dari segala bunga. Kumbang hitam bertanduk tersesat dalam seragam sekolah. Celana kelabu yang memaksa anak anak membaca buku. Kucing kucing yang datang kemudian menghilang. Sungguh, bunga tak pernah menggugat nama namanya, pemberian manusia. Cara terbaik mengingat sesuatu yang menciptakan decak lidah, anggukan kepala, nanar mata. Diam bukan emas, setidaknya tidak mempermalukan bibir.
Lagu tumbuh dari ketukan palu. Mata yang tertutup peristiwa, hidung yang tersumbat kata kata. Tanah yang menumbuhkan bunga bunga, segala bunga tak bernama*

amazing

Mereka yang membaca dengan jari jari tangannya  bikin ku percaya bahwa tak perlu mata hanya untuk memandang lalu memahami segala. Lalu aku tenang, melihatmu dan segala yang tiada setiap saat bukan indikasi gangguan jiwa. Keajaiban tidak istimewa, hanya ajaib. Ajaib semacam rasa membuncah pada susu yang mendidih, buih buih laut yang meninggi menyentuh langit. Yang pernah memegangi matamu waktu tanganmu menggenggamku. Pasir memeluk telapak kaki. Kulihat ombak merindukanmu dan istana pasir yang kaubangun, yang melambaikan tangan, menjulurkan lidah menggoda laut. Untuk lebur ke dalam debur. Terbenam sebentar. Ketam, kerang, kepiting berkejaran. Awan bertukar tempat. Dan senja tidak memadamkan apa apa.
Aku percaya karang dan ganggang tidak saling bicara, hanya saling memandang selamanya. Menjulang dan mengapung, timbul tenggelam di mata laut. Langit selalu memeluk*

dejavu

Di luas padang rumput kulihat kau berdiri, menerbangkan layang layang yang terbuat dari angin. Kau satu satunya yang bisa membuat layang layang dari angin. Menerbangkannya di langit biru yang terbit dari kertasku. Ada yang tak berkedip memandangimu selain aku. Kau berpaling ke arahku dan tersenyum sesaat setelah kautemukan sepasang mata cantik yang tergenang telaga. Jejak layang layangmu menggurat awan, mengukir satu kata berulang ulang. Kugerakkan kepalaku, membalas senyummu. Kertas kertasku seperti menulis cinta*

puzzle

Kita bicara tentang kematian seolah benar benar mengenalnya. Hanya sepuluh menit sebelum kau terlelap. Kau pasti lelah setelah dua jam bertempur, menyusun strategi untuk mengalahkan segala jenis tentara. Sementara aku masih terjaga, berharap rasa hangat dan riang belum letih bicara tentang masa depan. Samar berarti harapan, teman baik dan terjaga bersama sinar matahari yang terbit dari celah bibirmu*

Rabu, 17 Oktober 2012

realita

Anakku bertanya,"Apakah unicorn itu ada?"
Aku meringkik keras sambil memegangi topi kerucut yang terbuat dari kertas warna warni yang kutaruh di kening.
Anakku tertawa sebelum berkata,"Suara ibu persis kuda."

sampoerna

Jaman telah merdeka. Memberi manusia kemampuan memilih kelaminnya. Jaman tak butuh tuhan. Cukup guntingan rambut setebal kitab suci, tungkai sepatu setinggi menara menara tempat ibadah. Siapa masih bisa bersedih pasti tak berteman dengan jaman. Lalu kau menemukan namaku tersulam di baju seragam. Putih berlengan panjang. Tersayat sayat kemarahan atau kesepian. Sekarang aku kenal siapa pengkhianat sekaligus penghujat yang membuatku tergila gila. Teman teman sekelasku memberitahu yang tertera di halaman terdepan buku pelajaranku. Aku menjadikannya kekasih bagi diriku sendiri. Segelas kopi dingin menjelang basi.
Jaman merindukan tuhan. Rindu tidak sama dengan butuh. Satu tambah satu tidak sama dengan dua. Tertulis di perjanjian lama, kalau belum terbakar atau terbenam dalam koran* 

Selasa, 16 Oktober 2012

rumah dan rusa

Tungku berpijar di sudut ruang, menghangatkan musim dingin yang rapat memeluk seisi rumah. Di balik dinding angin meraung raung kesepian. Tak terlalu jauh dari dinding rumah seekor rusa berdiri. Mematung di celah pepohonan yang memutih. Setumpuk kecil salju bertengger di ujung tanduknya.
Seekor rusa jantan sedang menatap sebuah ruang tertutup yang kedinginan tanpa gigil dan tanpa geletar. Sepertinya seekor rusa itu merasa kasihan karena ruang tertutup tersebut tak bisa menggerakkan dirinya untuk mengibaskan tumpukan salju yang membuatnya beku*

234

Kematian menamaiku kehidupan.
Kepulangan menamaiku kepergian.
Kehilangan menamaiku keadaan.
Kegelapan menamaiku terang.
Kau menamaiku alamat, seraut wajah, senada suara, sederet angka. Kepalaku mengembang, memenuhi jendela jendela terbuka. Manyun seharum tanganmu. Kedunguan mengetuk pintu ketika kuimpikan sepiring hidangan hangat yang pernah dimasak si mati.
Apakah serupa roti yang pernah dilipat gandakan di bukit bukit. Pendengar kelaparan tanpa bekal. Kusimpan di ruas tulang, malam secerah bulan. Menepilah si mati berjubah jingga, luntur oleh kabut, menjadi teman akrab bercengkrama. Detak detak tak lagi sendirian.
Tikus kecil menerobos di bawah pintu memadamkan kesepian. Kukatakan aku sehat dan senang. Kunamai kau kekasih. Kekasih membalas kebaikanku, sekali lagi menamaiku kesunyian. Serupa lantai terinjak injak tanpa mengelak, tanpa perlu mengenal ketabahan. Kesunyian mestinya mengepulkan asap, memenuhi paru paruku dengan penunjuk waktu, lalu tersenyum*


Minggu, 14 Oktober 2012

zig zag

Lampu membisu, kalimat idiotku. Lampu kunyalakan untuk kukenal kegelapan yang baru berlalu. Kegelapan pergi, berpindah tidak dengan tangan dan kaki. Kalau saja aku mahluk bercangkang yang belum menetas mungkin bisa kusampaikan pada udara, bahwa tak apa ia tak ada.
Jalan terdiam, kutinggalkan. Tersesat bukan kehilangan jalan. Kalau tahu tujuan mungkin aku butuh arah menuntunku. Berdoalah angin, agar daun daun bernyanyi kembali untukmu menari. Di luar atau di dalam, ada ruang. Pintu menghadap, menghalangiku menemui kehilangan.
Jendela terbuka mengantar jalan jalan pulang di pelukan hitam putih*

Jumat, 12 Oktober 2012

*

Aku tak bisa mendengeng lagi, kisah kisah telah menghanyutkan diri bersama hujan di mataku.
Tapi, aku tak berhenti menyanyangimu di musim kemarau, menyala, menjalari hutan hutan di rambutku.
Tidak berharap adalah keteguhan bersahaja yang membenci kegaduhan dan keputus asaan*

ajal

Saat paling tepat untuk kembali mengingat kelinci yang paling kusayangi, yang mati terinjak kakiku sendiri.
Saat paling sempurna merancang masa depan, menengok ke belakang, menemui wajah wajah yang terbenam, yang pernah kulontarkan ke dasar kolam demi sebuah permohonan*

makar

Semakin pintar aku menggambar
gambar gambar semakin cepat memudar
sebelum sempat terbakar*

chloe

Malam menyimpan ingatan, catatan tentang dengung, bingung, linglung dan apa saja yang terlihat ketika para mahluk sedang merenung. Seperti fitnah untuk yang bukan manusia, yang selalu menatap dengan mata lebar, berjaga, bergerak lincah, memecah kegelapan. Jalanan bundar tak berujung tak sanggup bersaksi lebih. Hujan pertama sungguh sebentar, belum sempat mempertemukan semak semak dan tangga tangga. Keduanya masih melingkar lingkar di tempat berjauhan. Jam makin tekun membolak balik catatan malam. Tak ada yang tahu di mana letih akhirnya menyelipkan diri*

Selasa, 09 Oktober 2012

mind

Bukan rahasia, sama sekali tidak istimewa, bagaimana mungkin seseorang menulis tentang yang lain selain dirinya sendiri atau yang paling dicintai. Seluruh rangkaian kata kata dari semua bahasa belum cukup, tak akan pernah cukup mengatakan tentang satu manusia dan buah hatinya. Tak ada waktu, tak ada tempat, pun tak ada hasrat yang lain, selain diri dan apa yang tumbuh dari dalamnya. Yang mengenyangkan laparnya, menyejukkan dahaganya, memuaskan kehendaknya hanya sesuatu yang telah berada di dalam.
Segelas air sama sekali tak berarti, tak punya peran apapun jika berada di dalam gelas di atas meja, sebelum kureguk untuk meredam hausku, sebelum tumpah di rongga mulut, mengalir di kerongkongan, menempati organ tubuh, melewati urat nadi hingga tiba di kandung kemih.
Yang di luar sana bukan apa apa. Begitu nyata, kubaca semua yang kutuliskan hanyalah segala yang menjadikan aku. Aku yang mencintai buah buah hatiku dengan segenap rasa bangga sekaligus kecewa.
Kata kataku pasti hanya untukku. Buah buah hatiku biar saja tumbuh menyerupai segala khayalan dan harapanku.
Tak kutanyai diriku sendiri yang memaki sambil memuji diriku sendiri. Lebih tak kumengerti jika aku juga masih ragu siapa lagi yang selalu membuatku marah, dongkol dan memastikan kebebalan dan pembuat onar. Tak ada siapapun selain aku, betapa aneh rasanya menjadi penguasa alam semesta, satu satunya subyek sekaligus obyek, kata ganti orang pertama hingga keberapa dalam semua kalimatku.
Maka kubisikkan kepada diriku dengan mesra, tak perlu resah, aku memang paling hina, tapi juga satu satunya yang termulia*

duckling

Para itik betina tak bisa bicara. Diam seribu bahasa ketika aku bertanya, siapa ingin jadi perempuan. Mereka itik itik yang lucu, berjalan bergerombol sambil menggerakkan pantatnya. Di pematang sawah yang baru dipanen, itik itik betina hendak berpesta. Sama sekali tak tahu menahu tentang gerak pantatnya yang diperdebatkan perempuan di televisi.
Aku tak mengerti kepada siapa sesungguhnya tuhan lebih berbaik hati. Atau tak seharusnya sepelik itu, menjadi perempuan yang membenci kaumnya sendiri. Akan kutanyakan lagi satu hal sederhana, cara bertelur dan mengeram tanpa sepatah kata. Menjadi induk yang riang gembira setiap waktu meski tak bicara seribu bahasa*

to be continue...

Kepada siapa lagi aku berhutang budi, selain cermin dan asap. Yang membuatku memandang sepasang mata perih, yang ternyata milikku sendiri.

Malam, ruang, menjelang hilang bersama segenap hembusan nafas yang tak henti henti mengamati tepian sigaretmu, berkelip kelip menggodaku*



Senin, 08 Oktober 2012

otentik

Kubunuh benda benda mati di sekitarku. Rak piring seisinya sudah mati. Meja kursi, televisi, lampu, setumpuk surat kabar, buku buku, apa saja yang berada dekat kepala telah kujadikan bangkai. Ocehan meraka tak tertahankan lagi. Membunuh benda benda mati membuatku merasa hidup. Gelas kopiku tak menjerit kepanasan lagi. Kebanyakan mereka benda benda sialan itu, menuding hidungku, ribut membicarakanku, bodoh atau tak acuh, mengerti atau tuli, segala pilihan yang tak layak kudapat. Lebih baik aku kejam tak berperasaan dari pada menjadi gila oleh ocehan benda benda yang tak bertelinga, tak bermulut, tak berlidah. Pantas saja kata katanya selalu ngawur, benda benda itu juga tak berhidung, bagaimana mungkin mereka mampu memilah harum dan busuk. Benda benda keparat, sekarang aku tak lagi terjerat oleh apapun namanya, mirip sopan santun. Aku merdeka, naskah yang harus kubaca telah pula kumusnahkan. Aku tak harus memerankan apa apa.
Aku membakar bantal sambil berdoa, semoga mimpi indah*

amin

Sudah pasti aku pengecut. Tak ada larangan untuk menjadi pengecut dalam sepuluh perintah Allah yang disampaikan kepada Musa. Tidak boleh mencuri, merampas, mesum, membunuh, itu yang kuingat. Aku yakin tak ada larangan untuk menjadi pengecut. Allah maha tahu, sungguh sungguh mencintai umatnya, memahami bahwa tidak mencuri, merampas, mesum, membunuh lebih mudah dari pada tidak mengenal diri sendiri*

seandainya,

semua perempuan pelacur
semua lelaki pezina, alangkah indah
kita saling mencinta
mendekap lalu lenyap
ke puncak pohon tak berbuah,
tak bernama* 

breaking news

Domba domba amat banyak di padang rumput.
Aku sedang tak berminat menghitungnya.
Biar saja mereka diam diam di padang rumput menikmati malam*

Minggu, 07 Oktober 2012

outsider

Kalau yang maha adil menciptakan dua hal, tentu keduanya tak akan kurang atau lebih satu sama lainnya.
Tak ada yang maha adil jika aku percaya neraka tak sebaik surga. Padahal aku yakin bukan aku sendirian yang menaruh harap pada akhir jaman yang maha adil akan memutuskan semua perkara. Yang maha adil harus ada, agar tak sia sia semua bayi yang mati dikerubuti serangga di tempat sampah, di mana ibunya menaruhnya setelah melahirkannya. Aku tak suka kalimat kalimat panjang dan bertele tela, tapi memang harus jelas dan lengkap mencatat demi mengosongkan kepala.
Yang maha adil harus ada. Jika neraka dan surga benar ada, bikinan yang maha adil, pasti sama persis.
Surga dan neraka, sejuk atau hangat, penuh berkat atau laknat, tak ada bedanya.
Maka aku membunuh anak anak ayam yang belum menetas demi kesehatan*

Sabtu, 06 Oktober 2012

pray

Aku berhenti memikirkan anak anak terlantar, kaum miskin, orang orang jompo. Kulupakan panti asuhan, panti jompo, rumah sakit dan penjara. Sungguh, tak sudi lagi peduli. Tak mau kaucintai aku karena baik hati, sakit.
Kau benar, kata maaf dan terima kasih cuma basa basi. Juga segala yang menjadikan aku ada, bernama, berakal dan bercita cita. Basa basi.
Dan kesepian, menguatkan atau mematikan.
Kuharap hanya aku sendirian dan satu satunya di bumi yang membenci basa basi dan mencintaimu saja*

bulan madu

Waktu membentang luas pada gelap.
Kupejamkan mata, menemuimu menunggu di sebuah daratan tak bersekat. Apakah warna lantainya, permadani atau rerumputan mengalasi kaki. Mataharikah yang menaungimu, kau terlihat hangat dan bersinar. Apakah kau mengatakan sesuatu, sapaan riang yang ringan serupa kata kata, halo, hei...apa kabar, senang bertemu kembali. Apakah bahasa kita, terdengar indah nada bicaramu sempurna menyiratkan rasa. Yang entah.
Aku terjaga.
Bau samudra, alun gelombang, lenganmu menyentuhku, serupa laut yang pernah kukejar, sangat akrab. Kulit kerang, serpihan karang, seperti rumah. Aku tak kemana mana lagi. Kau sedang apa sekarang, menyusun pecahan mimpiku yang berserakan di pundakmu.
Waktu selalu meneduh bersama redup.
Samar samar kudengat kau datang lagi, atau kau tak pernah pergi.
Mendekati mataku yang menunggu, kaubawakan percikan air terjun yang sedang bermain di pintu langit. Tertawa manis digelitik cahaya. Apakah kau menyentuh kelopak mataku, sejuk sekali. Aku berbisik, belum tidur, jangan hentikan ceritanya.Senandungmu membuatku tak perlu tertidur agar terjaga. Tak perlu menutup mata untuk bermimpi indah.
Apakah kau jenuh pada mata berlumur rinduku. Tak mengapa, tak kenapa kenapa. Kau seperti selalu berkata kata. Genta jiwa mengetuk tanah, melambung, membangunkan surga jika ada surga. Lagu lagu membuaiku.
Aku tersesat. Wangi musim semi, rambutmu merangkai hutan sehabis hujan.
Waktu sembunyi di pagi hari*

ensiklopedia

Mawar adalah mawar. Bukan karena merah, merekah, basah, wangi, atau menggoda.
Mawar adalah mawar. Di saat layu, kusam, mengering, satu satu kelopaknya terlepas, jatuh, terinjak, lenyap.
Mawar adalah mawar. Sendirian atau berkawan, semua mawar adalah mawar, tak menyembah atau membalas jasa siapa siapa. Karena ia adalah mawar*

truly

Segelas bir lebih berkelas dari sekaleng bir, kau tahu kenapa. Anak kalimat tanya itu menghancurkan image. Tapi memang ingin tahu.
Yang bisa pecah selalu terlihat lebih megah, mewah. Soal isi belakangan saja dipertimbangkan. Sebenarnya segelas bis beraroma lebih wangi dari sekaleng bir. Apalagi kalau gelasnya anggun dan cantik. Mata bisa membujuk hidung, lidah juga.
Lantas apa aku mesti pura pura pucat dan rapuh, menjauhi kau yang sedang mabuk karena khawatir retak hingga pecah kaubuat.
Andai aku terpaksa mengakui aku berkelas serupa gelas, tentu anggun, berkilau, jernih dan wangi. Sama sekali tak berpengaruh pada hasratku.
Ingin remuk di kepalan tanganmu. Ingin pecah oleh tebasan tanganmu.
Dengan kecerobohanmu atau kesengajaanmu, bersama kehancuranku.
Dan, jika ternyata aku cenderung kaleng, kakimulah yang kuharap menginjak atau menendang, sampai koyak seluruhku. Agar tak ada pemulung sudi memungutku, menjauhkan aku dari kau.
Sendawamu sangat merdu, saat aku sedang memahat telingaku*

Kamis, 04 Oktober 2012

sayap sayap yang tidak patah

Tak ada yang tahu kenapa harus dilahirkan sebagai manusia.
Sampai suatu hari menemukan seorang manusia yang tak ingin tahu kenapa harus dilahirkan sebagai manusia. Seseorang yang sangat sibuk bercanda serta tertawa setiap saat hingga tak sempat bertanya tentang tempat dan tanggal lahir, ayah bunda, nama jalan dan nomor rumah. Seseorang yang tidak seperti manusia dan tidak peduli.
Hari itu, kutemui sebatang lilin menyala dalam ruangan terang benderang, seolah sia sia sang lilin melelehkan diri, api di ujung sumbu tidak peduli, terus menari, mencairkan lilin. Lalu aku merasa ringan, semua bukan. Lipatan kertas mengepak, mengacuhkan bentuk.
Mungkin esok hari tidak mati* 

a moment

Apalagi yang bisa hilang darinya. Kalau itu masa lalu yang tak pernah dikenang, tak bisa hilang.
Mengenang awal menghilang, atau hilang kemudian dikenang. Memangnya harus memikirkan segala tetek bengek itu. Istilah masa lalu. Bangku kayu terlihat semakin tua semakin tampan. Pahatan cuaca pada sandarannya seolah menunggu seseorang. Untuk diberitahu tentang masa lalu yang pernah duduk di situ.
Seorang kekasih yang gemar datang, saling menunggu. Ketika bertemu merapatkan pundak dan lengan, pura pura enggan dengan pelukan. Rerumputan juga tahu tak ada yang tak akan menjadi masa lalu.
Bangku kayu yang sama, setia bercerita, arah angin, gaya rambut dan busana, semua tetek bengek itu.
Masa lalu mengintip malu malu serupa bocah bocah baru menemukan seraut wajah yang membuatnya tersipu. Bangku kayu seperti memandang jauh, dedaunan jatuh, berpindah tempat, angin menggenggam hangat.
Apalagi yang bisa ditemukan. Kematian akan selalu baik baik saja, tak pernah meratapi rerumputan yang terinjak pada saat pemakaman.
Masih terbaca seperti cinta*

Rabu, 03 Oktober 2012

i n u

Aku tak mau menyesal tentang segala hal. Meskipun ada yang bilang sesal membuatku menjadi manusia seutuhnya. Yang bilang juga manusia, manusia yang sama sekali tak tahu menahu tentang kau. Mending aku bebal, tak ada sesal, bahkan kalau itu memang membuatku bisa dikutuk menjadi kadal. Pasti kadal bukan manusia, aku tak tahu apakah karena kadal tak menyesal.
Sesungguhnya aku tak tahu apapun selain kau. Tak ada sesal. Mengenalmu. Cuma kau saja. Aku bisa menggambar pelangi sendiri, teori. Faktanya aku butuh kertas dan alat alat gambar bikinan pabrik yang dijual di toko. Tentu saja jadi tak masuk akal mengatakan bisa menggambar pelangi sendiri. Ada entah berapa manusia lain ikut andil dalam sebuah gambar pelangi. Aku tak peduli. Bebal sejati.
Aku berkeras bisa menggambar pelangi sendiri. Tak ada kaitan apapun antara kau dan gambarku. Aku cuma tahu tak menyesal tentangmu, juga tentang semua manusia yang tak kupedulikan.
Dunia milik kita berdua memang pernyataan kampungan, norak. Aku bebal, masa bodoh dengan dunia. Masa bodoh dunia milik siapa.
Tapi kau...
Aku mau menyesal untukmu.
Pertama, kuakui aku menyesal tak pintar memijat kaki dan pundakmu. Setidaknya, kau pintar melakukannya untukku.
Menghilangkan sakit, penat dan bebal.
Masih ada beberapa sesal tentang kau. Bukan segenap manusia atau seluruh dunia. Tapi, kau...maka
Aku tak menyesal karena plin plan*

i m u

Seandainya manusia bersayap, ssperti yang sering kuimpikan dan kuharapkan, betapa kacaunya angkasa. Tidak juga, manusia bisa berjalan lalu lalang seenaknya tanpa saling menabrak. Angkasa kelihatannya lebih luas dari dunia. Klise sekali, ingin terbang itu klise. Aku senang ketika kukatakan ingin terbang kau tidak tertawa, tersenyum, mengejek atau apa saja. Tak sepatah kata. Jadi bisa kupikirkan yang indah indah. Emas tak ada apa apanya dibanding diammu. Kau sangat gemar bikin gemas, kalau tidak sedang diam.
Kaupikir bagaimana aku bisa melalui waktu tanpa kau berada dalam radius rengkuhanku. Tak perlu kaupikirkan, aku tak bisa, tak sudi pula.
Jadi aku mesti repot repot menyusulmu naik pesawat terbang. Hahaha...berlagak kaya. Untung sekali aku sekarang telah lupa bagaimana pendapat dan ekspresi wajahmu tentang itu. Bisa kukarang sendiri dalam benakku, berganti ganti, semuanya lebih berkilau dibanding semua emas di seluruh dunia*

i l u

Berhenti menghisap sigaret saja kau tak sanggup, apalagi melupakanku.
Aku tahu aku macam jalan buntu yang harus ditempuh, demi segala sesuatu yang mungkin menghidupkanmu. Aku juga kegalauan yang bikin kau merasa ada serta muda selamanya.
Ini memang memuakkan, pasti kutuliskan ketika aku sedang merasa mengerikan, merindukan asap menyesaki dadaku, merindukan rasa pahit di lidah, merindukan seteguk atau berapapun api melewati tenggorokanku, merindukan lumatanmu di bibirku.
Semoga saja lebih sederhana, cuma sebatang sigaret, atau berapa ribu, siapa peduli. Tapi itu cuma rindu, sedangkan aku menyayangmu. Apalah artinya rindu, aku menyayangimu*

Selasa, 02 Oktober 2012

kelabu

Matanya rapat terpejam. Muak dan mual oleh asap. Teriakan teriakan di udara,"Bunuh, bunuh, bunuh!" Ia sangat ragu, manakah yang lebih baik dan menyenangkan, mati atau hidup. Tidak sesederhana kedengarannya. Matinya adalah kehilangan dan menghilang dari segala yang hingga detik ini menjadi tumpuannya. Hidup juga bukan berarti tidak mati untuknya. Seandainya ia tidak harus memilih. Hidup dan mati bukanlah masalah bagi siapa saja.

Keadaan, juga situasi yang menjadikannya harus memilih membuatnya serba salah. Mungkin saat saat itulah seorang manusia merasa paling membutuhkan tuhan, untuk menentukan pilihan. Manusia mungkin memang hanyalah hamba, sebenar benarnya hamba, yang tak mampu sama sekali diberi mandat dan tanggung jawab. Mungkin itu pula manusia berusaha selalu mengingat kata kata takdir, nasib, dan lainnya sejenis itu, yang bisa dijadikan kambing hitam dalam semua keadaan.

Keributan di luar sana nyaris tak mengusiknya. Ia sangat kecewa kepada siapapun atau apapun yang serba mungkin. Ia merasa pengecut. Ia merasa pantas mati, tapi itupun tak pasti. Semestinya ia lebih baik dibanding kebanyakan manusia lain, tapi apalah artinya, sama sekali tak membantunya untuk tidak menggunakan kata mungkin di tiap kalimatnya, apalagfi menjadi alasan baginya untuk memilih hidup.

Ahh, makanya seseorang yang tengah menjalani hukuman mati seringkali terlihat lebih keren dan berkarakter, sebab mereka tidak memilih. Ia nyengir, setidaknya segala kekacauan ini tidaklah sia sia. Ia mendapatkan hikmahnya. Ia berharap ada orang lain yang menyadari ia belum mati, cuma pura pura mati, dan orang tersebut mau melakukan apa yang tak ingin dilakukannya, menentukan nasibnya, memilih jalannya.
Atau, jangan jangan semua orang saat ini serupa saja dengannya, tidak ingin menentukan nasibnya, tidak mampu memilih hidup dan mati bagi dirinya sendiri.

Ia merasa lebih mengerti dan maklum kenapa manusia lebih bisa menghormati jenasah. Jenasah telah menentukan atau ditentukan pilihannya, pasti, meredam kericuhan di dalam kepalanya, yang manusia tak mampu kerjakan sebelum menjadi jenasah*

Senin, 01 Oktober 2012

riddle



Kita adalah teka teki tersembunyi. Puas dengan kotak kotak tak berwarna. Serupa embun yang bersyukur kepada pucuk pucuk daun, dan cahaya yang menjadikannya tidak terlupakan. Ataukah sore itu, dengan beranda hangat dan secangkir teh keemasan dan getar getar bibir kita adalah lukisan yang hilang.

Kita bersenandung, waktu, waktu, waktu, membuat batu batu runtuh dari langit senja. Menimbun tubuh tubuh yang masih bersuara, bersusah payah menghela udara. Kita telah sekian lama membantu paru paru memompa udara.

Ban sepeda berderit derit. Pintu pintu, jembatan, palang palang, gundukan jalan menjetit jerit. Sepi diceraikan ke dalam kotak kotak, tapi tidak mati. Maka kita bernyanyi sambil bersembunyi. Tak perlu menanti wajahmu berseri.

Kita belum terisi*

buat ibu

Aku lega sekali ketika menyadari bahwa anak anakku tak tahu kalau aku tak beribu. Aku tak ingin mereka menganggap kehadiranku tidak istimewa. Sama sekali tak ingin anak anakku menyadari bahwa tanpa ibu seorang anak bisa tumbuh, macam aku, menjadi seorang ibu, melahirkan anak anak yang menakjubkan, macam anak anakku.
Aku senang mereka, anak anakku, sedikitpun tak tahu serupa apa dunia untuk seorang manusia yang tak tahu menahu tentang ibunya.
Ibu, maafkan aku tak punya waktu menemuimu, aku terlalu sibuk bermain dengan anak anakku. Dan terima kasih telah melahirkanku*.