Senin, 03 Desember 2012

kuda kayu

Kuda kudaan kayu berbaris di trotoar. Seperti memandang jalanan dan semua yang lalu lalang. Kuda kudaan kayu tidak sendirian, tidak kesepian, tidak mengharapkan seorang anak mencoba menungganginya lalu merengek kepada orang dewasa di dekatnya, memohon agar kuda kudaan kayu boleh dibawa pulang.
Dari pagi hingga malam kuda kudaan kayu mengacuhkan segala sesuatu. Juga aku.
Yang menatapnya setiap ada waktu, berharap dalam diam, suatu saat kuda kudaan kayu akan menyenangkan seorang anak yang kebetulan lewat dekat trotoar di mana kuda kudaan katu berdiri tegar.
Tak ada yang butuh percakapan untuk menggambar sebuah lingkaran sempurna.
Kurasa aku perlu berterima kasih kepada ibuku karena ia tak pernah menemuiku untuk menuruti rengekan masa kecilku untuk menunggangi kuda kudaan kayu. Sebuah foto tua menunjukkan padaku seorang anak perempuan tersenyum di punggung salah satu kuda kudaan kayu paling bagus, badannya terbungkus semacam kulit coklat berbulu lembut, pelana dan tali kekang berhias manik manik dan irisan kaca, bundar dan bersinar.
Gambar gambar selalu mempertemukan siapapun yang sedang saling merindukan.
Dunia yang luas sekaligus sedarhana.
Kuda kudaan kayu tak perlu nama, atau mengingat wajah wajah kecil yang pernah menyentuhnya.
Maka aku kembali tersenyum tanpa sebab, atau karena aku sudah malas mengatakan bahwa hidup berayun ayun lembut di tangan waktu. Dan aku kembali mengingat ibu yang tak pernah membuatkan kenangan untukku*