Suara
ketukan yang kudengar senada irama bunyi langkah seekor kuda. Aku duduk di
punggungnya. Kuda berderap riang melintasi malam.
Seruas jalan
setapak, merah kecoklatan. Pohon pohon berbaris di sepanjang sisi jalan. Rindang
dan tua. Sabar dan bijak, ranting rantingnya terulur cukup panjang hingga
menyeberangi jalan, menaungi setiap yang lewat di jalan setapak.
Sepertinya aku
salah. Pada waktu malam segalanya akan tampak kehitaman, bukan merah kecoklatan.
Malam selalu hening, tidak pernah sehangat ini.
Dan ini
bukan pula pagi. Mungkin hampir siang atau menjelang petang. Mengapa aku tidak
jalan kaki? Aku melompat turun sebelum kuda berhenti. Apakah ini mimpi atau
sebuah khayalan lagi? Aku menatap ujung jalan yang tidak kelihatan sambil
menikmati suara ketukan.
Sekarang terdengar
seperti bunyi alat musik yang baru kudengar pertama kali. Mengingatkanku pada
kehangatan di dalam rahim, merah kecoklatan, berdetak tanpa henti.
Mungkin sebentar
lagi menjelang malam, dan dini hari nanti aku akan dilahirkan kembali. Aku berkata,
kepada seekor kuda dan barisan pohon pohon di sepanjang sisi jalan, ibuku ada
di sana, di ujung jalan, lengannya terbuka, wajahnya merona, seperti setangkai
kembang yang mekar dibasahi hujan.
Di sebuah
dunia yang tidak mengenal pelana, tali, dan gergaji, seekor kuda berderap
riang, kedua pasang kakinya telanjang. Jari jari matahari mengetuk awan,
menjatuhkan hujan yang mengetuk ngetuk setiap kembang. Di sana ibuku hilang,
sesaat setelah aku datang.
Jalan setapak
merah kecoklatan, dedaunan, ranting, dahan dan batang batang pohon rindang, seekor
kuda liar. Suara ketukan terdengar menyapa ramah, selamat jalan kehilangan. Apakah
aku puisi yang sedang membaca diriku sendiri? Aku bertanya sebelum suara
ketukan berhenti*