Jumat, 25 September 2015

percakapan dalam sebuah gambar

Deru atau debur, ombak melontarkan tanya kepada jantung.
Detak atau degup, jantung melarungkan tebakan  ke laut.
Lalu keduanya diam, mendengarkan gelombang, mendengarkan kesepian meloncat dari laut ke rongga dada, kemudian berbalik arah dan berlari kembali, menceburkan diri ke tengah buih.
Jawaban atau ikan, sepi menggumam, memandangi jejak pasir di kakinya sendiri.
Letih atau bosan, bisikan jejak pasir memecah kesunyian.
Lalu, matahari menguap lebar, menggeliat, mengacaukan barisan awan.
Banyak pekerjaan menjelang musim hujan, awan menghanyutkan kesan, atau alasan, sebelum berhamburan.
Jantung dan laut berkejaran dalam lamunan sebuah sampan, terdengar suara bulan dari dalam tidurnya*

Rabu, 23 September 2015

posesif

Ah hidup yang manis, kukatakan pada segelas kopi, satu satunya pendengarku malam ini.
Lantas, akan kuacuhkan segelas kopi hingga menjelang pagi. Biar segelas kopi merasakan dingin dan pahit, redup dan lelah, waktuku penat menanti.
Sebelum kuteguk habis, segelas kopi seharusnya berkata, tanganku yang menyeduh, lidahku yang menyentuh, akulah satu satunya pemanis dalam gelasnya*

Selasa, 22 September 2015

ikan di mata air

Sekarang, aku hanya ingin menjadi puisi, yang kautuliskan dan kaubaca berulang kali.
Sempurna atau setengah jadi, gelap atau terang, keruh atau jernih. Asal kautulis dan kaubaca dengan sepenuh hati. Berulang kali seperti pertama kali.

Biarkan aku jadi puisi, untukmu dan untuk setiap kata yang menemukan bahasanya sendiri.  Puisi yang tak peduli. Puisi yang tak mau tahu, tentang segala yang semestinya ia tahu, hanya untuk tahu, bahwa puisi tak tahu cara menulis dan membaca dirinya sendiri*

Rabu, 16 September 2015

pelangi pelangi

Kulihat kau menggenggam setangkai kembang gula. Agar aku tersenyum senang sesaat sebelum lumer. Layang layangmu mematuki awan, sendirian, benangnya terhubung pada sebuah kaleng bekas wadah permen. Tidakkah hidup terlalu manis hanya untuk dituliskan pada sebuah siang yang tak sabar. Di sebuah lapangan yang kusebut padang, rumput kering meranggas, debu adalah kilau jubah di tiang lampu.
Masa depan atau masa silam, kau tak menjawab pertanyaan. Sebongkah gula batu, manis, bening dan padat, untuk lidah, mata dan rongga dada. Kutawarkan sebagai ganti kembang gulamu kutanam, layang layangmu kubebaskan. Kau mengerti aku sering berkhayal jadi peri, bahkan di siang hari. Sementara kau tak pernah letih mengembalikan setiap tetes mataair kepada awan.
Di lapangan, di seberang pemakaman, dekat tempat pembuangan sampah, sekawanan ayam mengais berkah, dua ekor kucing saling memandang. Beberapa ekor kambing berlarian, beberapa yang lain berloncatan. Waktu mendekap kepalaku, menahanmu di situ. Di kepalaku yang hanya satu, kembang gulamu menumbuhkan berhelai helai rambutku. Hitam, coklat, kelabu dan putih, tak terhitung, semuanya wangi.
Aku bernyanyi sambil menunggu kau mengejutkanku, kautumbuhkan rambut merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu, di kepalaku*

tung tung tung

Suara ketukan yang kudengar senada irama bunyi langkah seekor kuda. Aku duduk di punggungnya. Kuda berderap riang melintasi malam.
Seruas jalan setapak, merah kecoklatan. Pohon pohon berbaris di sepanjang sisi jalan. Rindang dan tua. Sabar dan bijak, ranting rantingnya terulur cukup panjang hingga menyeberangi jalan, menaungi setiap yang lewat di jalan setapak.
Sepertinya aku salah. Pada waktu malam segalanya akan tampak kehitaman, bukan merah kecoklatan. Malam selalu hening, tidak pernah sehangat ini.
Dan ini bukan pula pagi. Mungkin hampir siang atau menjelang petang. Mengapa aku tidak jalan kaki? Aku melompat turun sebelum kuda berhenti. Apakah ini mimpi atau sebuah khayalan lagi? Aku menatap ujung jalan yang tidak kelihatan sambil menikmati suara ketukan.
Sekarang terdengar seperti bunyi alat musik yang baru kudengar pertama kali. Mengingatkanku pada kehangatan di dalam rahim, merah kecoklatan, berdetak tanpa henti.
Mungkin sebentar lagi menjelang malam, dan dini hari nanti aku akan dilahirkan kembali. Aku berkata, kepada seekor kuda dan barisan pohon pohon di sepanjang sisi jalan, ibuku ada di sana, di ujung jalan, lengannya terbuka, wajahnya merona, seperti setangkai kembang yang mekar dibasahi hujan.
Di sebuah dunia yang tidak mengenal pelana, tali, dan gergaji, seekor kuda berderap riang, kedua pasang kakinya telanjang. Jari jari matahari mengetuk awan, menjatuhkan hujan yang mengetuk ngetuk setiap kembang. Di sana ibuku hilang, sesaat setelah aku datang.
Jalan setapak merah kecoklatan, dedaunan, ranting, dahan dan batang batang pohon rindang, seekor kuda liar. Suara ketukan terdengar menyapa ramah, selamat jalan kehilangan. Apakah aku puisi yang sedang membaca diriku sendiri? Aku bertanya sebelum suara ketukan berhenti*