Kata orang
ia perempuan. Aku sulit percaya. Seseorang mungkin telah menggunduli kepalanya,
dadanya benar benar terlihat rata. Sering ia lalu lalang di sekitar lapak lapak
pedagang kaki lima. Berjoget dengan gerakan yang menghibur banyak orang. Semua orang
yang melihatnya tertawa, sesaat kemudian menyebutnya gila.
Sudah tiga
kali dia mendekatiku, tersenyum manis, mengangguk ramah, menyapa hangat. Aku terpesona
pada kegilaannya. Siang itu, ia tampak lebih gembira, lebih bersinar dari biasanya. Berdaster kuning,
meskipun lusuh dan koyak di beberapa bagian, bajunya membuatnya cantik. Atau mungkin
sekuntum bunga kuning yang terselip pada sebelah telinganya bikin ia terlihat
makin cantik. Ia kembali menari seirama lagu yang kebetulan diputar di sebuah
lapak penjual vcd.
Tak kudengar
lagu ataupun iramanya, tapi tariannya memikat mataku. Entah, gerakannya indah,
atau hanya karena aku terperangkap khayalan yang tak mudah kujelaskan. Ia terus
menari, mengiringi lagu lagu yang silih berganti. Memandangnya sedilit lama, membuat
mataku mendengar.
Tahukah ia telingaku setengah tuli selama tiga puluh
hari? Benar benar tuli, sejak demam tinggi dan terkapar di tempat tidur selama
tujuh hari. Tahukah ia aku sering menyombongkan diri saat merasa rendah hati? Tahukah
ia aku sibuk mencoba menggambar seraut wajah, entah milik siapa, memancarkan
cahaya? Tahukah ia aku belajar sungguh sungguh demi setiap sepertujuh helai
rambutku, untuk memilih dan memilah antara cinta dan riya? Tahukah ia aku masih
ingin…
Tiba tiba ia
menghampiriku. Setelah cukup dekat ia mengangguk ramah, merekahkan senyum cerah, menyapaku hangat. “Sendirian mbak, teman temannya belum datang?” Bagaimana
ia tahu aku sedang merindukanmu? Bagaimana ia tahu aku mempunyai teman teman
yang belum datang? Sekuntum bunga kuning terselip di telinga kanannya, sangat
serasi dengan baju dan senyumnya. Pun seandainya ia gila, ia tidak buta warna.
Aku cuma
mampu menjawab sapanya dengan anggukan dan senyum, seadanya saja. Senyum yang belum
pernah merekah seharum senyumnya. Ia serupa setangkai bunga, kuning menggoda,
menyalakan anganku yang redup, hampir padam ditelan dengung dalam telinga
kananku. Angan yang dulu kerap riuh bersiul, tentang padang rumput berbunga eneka warna, danau,
kepak sayap burung, percakapan antara serangga dan jamur, dan rentang lenganmu
menyambutku.
Alangkah sulit
percaya segala kata orang, sebanyak apapun. Bagaimana dapat kupercaya kata kata
mereka? Ia sama sekali tidak mirip perempuan gila. Ia serupa setangkai bunga. Siapa tahu ia diutus secara khusus, sakral dan istimewa. Diutus untuk menghibur banyak orang dengan
tariannya. Bagaimana aku dapat bertanya padanya, benarkah salah satu misinya
adalah mendamaikan jiwa dan raga yang sedang sekarat? Jiwa dan raga yang terkapar bersisian,
terluka parah, akibat berperang sekian lama.
Katakan
dengan bunga. Siapa yang bersuara? Sepasang kupu kupu kecil bersayap hijau
pucat yang baru saja melintas sambil tertawa tawa? Aku menyerah. Sayap sayap
rapuh itu bernyanyi, nyaring, merdu, mengalahkan rintihan dan ratapan entah
siapa yang sekian lama menulikan telinga kananku.
Katakan
dengan bunga? Serupa sekuntum bunga kuning yang terselip di telinga kanannya? Mungkin
kalau kuselipkan di telinga kananku... Setelah sekali lagi mengangguk ramah, Ia berlalu,
meninggalkan rasa hangat semanis madu pada bibirku yang pecah*