Sabtu, 28 Februari 2015

katakan dengan bunga

Kata orang ia perempuan. Aku sulit percaya. Seseorang mungkin telah menggunduli kepalanya, dadanya benar benar terlihat rata. Sering ia lalu lalang di sekitar lapak lapak pedagang kaki lima. Berjoget dengan gerakan yang menghibur banyak orang. Semua orang yang melihatnya tertawa, sesaat kemudian menyebutnya gila.
Sudah tiga kali dia mendekatiku, tersenyum manis, mengangguk ramah, menyapa hangat. Aku terpesona pada kegilaannya. Siang itu, ia tampak lebih gembira, lebih bersinar dari biasanya. Berdaster kuning, meskipun lusuh dan koyak di beberapa bagian, bajunya membuatnya cantik. Atau mungkin sekuntum bunga kuning yang terselip pada sebelah telinganya bikin ia terlihat makin cantik. Ia kembali menari seirama lagu yang kebetulan diputar di sebuah lapak penjual vcd.
Tak kudengar lagu ataupun iramanya, tapi tariannya memikat mataku. Entah, gerakannya indah, atau hanya karena aku terperangkap khayalan yang tak mudah kujelaskan. Ia terus menari, mengiringi lagu lagu yang silih berganti. Memandangnya sedilit lama, membuat mataku mendengar. 
Tahukah ia telingaku setengah tuli selama tiga puluh hari? Benar benar tuli, sejak demam tinggi dan terkapar di tempat tidur selama tujuh hari. Tahukah ia aku sering menyombongkan diri saat merasa rendah hati? Tahukah ia aku sibuk mencoba menggambar seraut wajah, entah milik siapa, memancarkan cahaya? Tahukah ia aku belajar sungguh sungguh demi setiap sepertujuh helai rambutku, untuk memilih dan memilah antara cinta dan riya? Tahukah ia aku masih ingin…
Tiba tiba ia menghampiriku. Setelah cukup dekat ia mengangguk ramah, merekahkan senyum cerah, menyapaku hangat. “Sendirian mbak, teman temannya belum datang?” Bagaimana ia tahu aku sedang merindukanmu? Bagaimana ia tahu aku mempunyai teman teman yang belum datang? Sekuntum bunga kuning terselip di telinga kanannya, sangat serasi dengan baju dan senyumnya. Pun seandainya ia gila, ia tidak buta warna.  
Aku cuma mampu menjawab sapanya dengan anggukan dan senyum, seadanya saja. Senyum yang belum pernah merekah seharum senyumnya. Ia serupa setangkai bunga, kuning menggoda, menyalakan anganku yang redup, hampir padam ditelan dengung dalam telinga kananku. Angan yang dulu kerap riuh bersiul, tentang padang rumput berbunga eneka warna, danau, kepak sayap burung, percakapan antara serangga dan jamur, dan rentang lenganmu menyambutku.
Alangkah sulit percaya segala kata orang, sebanyak apapun. Bagaimana dapat kupercaya kata kata mereka? Ia sama sekali tidak mirip perempuan gila. Ia serupa setangkai bunga. Siapa tahu ia diutus secara khusus, sakral dan istimewa. Diutus untuk menghibur banyak orang dengan tariannya. Bagaimana aku dapat bertanya padanya, benarkah salah satu misinya adalah mendamaikan jiwa dan raga yang sedang sekarat? Jiwa dan raga yang terkapar bersisian, terluka parah, akibat berperang sekian lama.
Katakan dengan bunga. Siapa yang bersuara? Sepasang kupu kupu kecil bersayap hijau pucat yang baru saja melintas sambil tertawa tawa? Aku menyerah. Sayap sayap rapuh itu bernyanyi, nyaring, merdu, mengalahkan rintihan dan ratapan entah siapa yang sekian lama menulikan telinga kananku.
Katakan dengan bunga? Serupa sekuntum bunga kuning yang terselip di telinga kanannya? Mungkin kalau kuselipkan di telinga kananku... Setelah sekali lagi mengangguk ramah, Ia berlalu, meninggalkan rasa hangat semanis madu pada bibirku yang pecah*

mengasah hati

Dini hari selalu jenih, bahkan telalu jernih. Maaf, kutumpahkan berulang kali. Aku menyayangimu, bisikanku menodai yang paling jernih sepanjang hari, setiap hari. Aku mohon kau mengerti tanpa peduli, kaumaafkan berulang kali. Sepenjang hari. Setiap hari. Sampai kumati*

catatan senja

Ke dalam sebuah sebuah malam ia ingin tenggelam. Sayang sekali, tak ada malam yang cukup dalam. Setiap malam menelan barbatang batang jalan, bermil mil perbatasan, berton ton keresahan. Keruh tanpa penuh. Ia mencoba berenang. Mungkin pada malam yang akan datang ia dapat menyelam. Ia berharap dengan menyelam, keinginannya akan tenggelam, sesedap malam dalam lukisan sebuah matahari terbenam*

pelangi pelangi

Bukan kau yang tak kelihatan saat kau tak ada di sini. Kau selalu ada dan tak pernah kemana mana. Hanya ingatan matahari yang pergi, tak lagi ada di sini, tak tahu kemana dan kenapa. Cahaya seolah lupa cara menghias angkasa. Sia sia gerimis dan hujan menempuh perjalanan rumit demi memenuhi kerinduan para bidadari turun sebentar ke bumi.
Matahari hanya termenung, manyun dan bingung, seperti lupa atau tak kuasa mengucapkan mantra untuk menyihir jejak air jadi lengkung tangga warna warni dari surga. Lantas semua mulai bertanya, bergantian atau bersamaan, kau sedang kemana dan kenapa, kepada sepasang mata yang kehilangan kata kata.
Sepasang mata menggeletar dan menggigil. Sepasang mata kedinginan diserang air. Air yang dingin dan hening, nyaris putus asa, tak lagi bisa bercerita mengiringi nyanyian anak anak yang riang menggambar saat menyambut hujan*