Kamis, 28 Februari 2013

wafer

Hari yang indah, kau masih tampan dan aku masih berdoa diam diam, semoga kau selalu sehat dan berumur panjang. Ini kalimat yang tidak tidak hangat. Seperti udara malam. Tidak hangat tapi memberi nafas. Daeinyalah kurangkai kata kata menjadikannya makna seluas alam semesta.
Aku tahu kau sama lelahnya denganku, berusaha menjadi manusia tidak sempurna. Malaikat mungkin bisa runtuh oleh ambisi. Entah manusia. Terlebih manusia apatis macam kau atau aku. Aku tidak tahu apa yang mungkin bisa meruntuhkan seseorang yang suka berbaring sepanjang hari. Bersenandung sendiri. Ngobrol sendiri. Mengunjungi ruang ruang di dalam dirinya sendiri. Selalu, setiap waktu.
Ada yang berpendapat sendirian itu tidak sehat. Manusia mahluk sosial, diciptakan untuk memenuhi bumi sambil saling berbagi. Menjadi berarti bagi yang lain. Tapi di sini segalanya mengalun merdu. Tidak ada teman, tidak ada musuh. Mungkin pada suatu hari indah yang lain aku akan menyadari kau sama sekali berbeda dengan bayanganku. Mungkin aku kecewa atau malah bangga. Aku tidak tahu.
Mungkin pada suatu hari indah yang lain lagi aku menyadari betapa memuakkannya kesunyian. Tapi tidak pada keindahan hari ini.
Menjelang senja tadi, petir membahana di angkasa. Kucingku terbirit lari, kaget dan ketakutan, lucu sekali. Hingga malam ini, langit berkilat berkali kali, tampak gagah sekaligus mengerikan. Aku suka memandangnya. Langit di luar dan di dalam diriku serasa serupa. Kau sedekat udara.
Hari yang indah akan berlalu, pun dari kenanganku. Kesunyian tertinggal sendiri pada hari yang indah besok pagi. Menemani manusia manusia tidak sempurna. Bicara, bernyanyi, bercanda. Mengingatkanku pada wajah bayi sebelum mandi. Penuh jajak bubur dan susu. Baunya seperti anak anjing yang membuatku ingin mendekap erat kelelahan. Lalu tertawa tanpa sebab. Adakah yang lebih berharga dari pada tawa tanpa sebab bagi orang waras, tidak ada. Kesunyian diam diam memandangku. Tatapannya penuh sayang. Aku tertawa hingga mataku mataku basah. Pada suatu hari yang indah matahari terbenam diam diam.
Senja. Aku berbagi sekaleng wafer denganmu*

Rabu, 27 Februari 2013

i will

Aku ingin menulis surat untukmu lagi. Kau masih kekasihku sekalipun aku telah mati. Kenapa mati, tanyalah, aku ingin kau bertanya supaya kudapatkan alasan untuk membanting gelasku di hadapan matamu. Aku kekasih pengecut. Hanya berani sebatas itu, tidak ada nyali untuk membenturkan kepalaku di dinding. Aku sangat ingin, sayang tidak ada nyali. Nyaliku tak sebesar sayangku. Aku tak berani meninju hidungmu supaya kau sungguh tahu sebesar apa sayangku. Apalagi menikam atau mencekikmu sampai mati. Membunuh diriku tidak berani, membunuhmu tidak sampai hati. Payah sekali. Aku ingin sekali. Sebelum mati. Menulis surat untukmu lagi kemudian menyerahkannya kepada api.
Seekor katak berjalan di lantai kamar, sayang. Ini beneran. Akan kuceritakan. Aku ingin menjadi mahluk yang peduli dan punya empati malam ini. Tak apa ya... Katak ini berkah. Kaukirimkan untuk bahan percakapan kita. Katak kelihatan tenang tenang saja, tidak mencari jalan keluar. Sesungguhnya begitu adanya, atau hanya karena tidak mengerti. Katak tidak bisa mengatakan atau menyampaikan isyarat tentang keberadaanya di lantai kamar. Alasan dan kehendaknya. Seakan akan katak memang diciptakan untuk berada di lantai kamar demi sebuah tulisan. Kasihan. Kasihan. Kasihan. Kuharap katak tidak berjumpa dengan salah satu kucing penghuni rumah. Hanya itu.
Kekasihku, aku melihatmu mengasihaniku. Serupa benar dengan aku mengasihani katak di lantai kamar. Tapi kau tak berkata atau menuliskan, kasihan, kasihan, kasihan untukku. Apakah sikapmu lebih baik dan bijak dariku. Aku tidak memikirkan kurang atau lebih. Aku masih kekasihmu, sekalipun aku telah mati.
Aku bisa salah, kau kakasihku tidak mengasihaniku serupa kukasihani katak di lantai kamar. Kau tidak ingin aku mengerti. Bukan karena aku telah mati, tapi karena kau masih kekasihku yang sangat kusayangi.
Aku ingin memelukmu sebelum mati. Aku ingin kau memelukku sebelum kaubaca tulisanku.
Aku ingin sungguh sungguh mendengarmu berkata, pulanglah. Kemudian aku ingin berkata, janganlah datang padaku, tapi katakan saja aku sembuh.
Kekasihku aku tak lagi punya api, tak ada nyali untuk membakar kertas manapun. Seandainya aku bisa menangis, meneteskan air cukup deras untuk menghanyutkan kata kata dari mata kepada tiada.
Ini adalah awal, perjalanan sekaligus tujuan. Menjadikanmu kekasih. Sehidup semati*

hawa

Kerinduan patut dirayakan setiap saat. Kalau enggan merayakan kerinduan kita bisa kehilangan ingatan. Menyangka kekasih adalah duri atau polisi. Mengira anak anak adalah serigala atau kepala sekolah. Yang seharusnya tidak pernah pantas berada di dunia.
Tanda tanda menjadi tegar adalah tertawa ketika melihat kedukaan pada wajah wajah di layar kaca. Manusia adalah mahluk luar angkasa yang tersesat di bumi. Yang melupakan jalan lahir. Menggali tanah untuk meletakkan tubuh teman temannya yang telah kaku dan tidak bisa mengganggu.
Setidaknya aku mulai mengerti kenapa manusia manusia masa lampau membangun istana batu. Berdinding kelabu. Meinggalkan kesan dingin dan pilu. Cuma ingin tidak dilupakan di waktu luang. Agar tidak hilang dalam ingatan atau catatan.
Kampret, terompet sama sama cerewat. Tak ada perempuan yang sudi membesarkan keduanya. Perempuan manusia, mahluk luar angkasa tersesat di jalan menuju surga.
Aku dilahirkan oleh sebatang pipa tak berdaya maka berumur panjang dan bahagia. Sama artinya dengan manusia, mahluk luar angkasa tersesat di bumi. Melakukan pekerjaan jorok demi kebersihan, juga kesehatan. Mengupil dan cebok.
Bagaimanapun, kurayakan kerinduan setiap saat. Tanpa enggan, tanpa sungkan. Aku berpakaian, mengusir ketelanjangan yang mengingatku begitu kerap*

Senin, 25 Februari 2013

alur

Aku mesti menyeberang jalan sesering mungkin supaya punya alasan tepat untuk bergandengan tangan. Kau bilang aku kurang waras. Jalan lurus kubuat simpang siur. Kau tahu aku cuma ingin diperhatikan. Kau benar. Aku tidak merasa bersalah mengacaukan lalu lintas. Tidak ada rambu rambu dilarang menyeberang bagi pejalan yang sangat suka bergendengan tangan. Terlambat tiba di tujuan juga bukan masalah besar atau kecil. Saat tangan tangan saling menggenggam waktu terdiam, menatap lampu merah, kuning, hijau sibuk menyala bergantian. Mengingatkanku pada pohon natal di seberang jalan.
Sebuah lampu bersorot terang kadang kadang mendekat cepat, roda menderit, mencengkeram jalanan kuat kuat. Mereka semua bisa berhenti mendadak, seisi kota atau negara atau benua. Tanpa bertanya hendak kemana aku menggandeng tanganmu. Hahaha, mereka melihatku, kemudian ingin tertawa sepertiku.
Tempat tempat indah selalu berkelok jalan jalannya menuju ke sana&

in absentia

Jangan katakan namamu, sangat tidak penting. Kuping gajah ternyata sama sekali tidak mendengar. Renyah, garis garis coklatnya melingkar lingkar dan tidak serasa coklat. Tapi anak anakku gemar memakannya. Rasanya seperti sangat besar. Raksasa mungkin bisa mengunyah kuping gajah sambil mendengarkan suara suara hutan. Teriakan primata, getar sayap serangga, langkah awan. Jangan resah, aku pasti lupa, namamu, namaku, tapi tidak berhenti mengikuti nyanyian semut di dinding kamar. Aku suka bicara yang itu itu saja. Sederhana seperti genangan air. Di dalamnya kutemukan seluruh dunia menjernihkan diri. Tidak mengapung atau tenggelam. Hanya berada di sana. Menjadi penghuni. Menanti dan tidak menanti langkah kakimu. Bercerita dan tidak menceritakan tentang ingat ingat lupa aroma hangat sarapan pagi.  Apapun itu tak akan sesulit membaca. Aku pemalas sekaligus pecundang lebih suka kaubaca, berharap matamu berkaca kaca merenungi sehelai bendera. Sejenis ikan hias yang gemar berenang dekat karang, bendera. Ada yang memberinya nama, bendera. Upacara di dasar laut dangkal. Kuping gajah di mejaku tidak mendengar gemeretak gigiku. Selamat, ingin kujabat tanganku, jika tanganku melupakan namanya. Kucium bibirku, jika bibirku melupakan namanya. Satu demi satu bagian tubuhku kelak bernama tanah, jika aku tidak lupa*

hello midnight

Tidak perlu warna biru untuk menggambar laut. Sebatang pensil cukup. Pensil apa saja, berapapun harganya. BB, 2B, 5B, 8B, atau apapun jenisnya,juga pensil pensil yang tak mencantumkan standar apapun. Kita akan tahu apa saja yang tergambar pada kertas tanpa warna. Buta warna tidak akan menjadi masalah. Awan, pohon, bunga bunga, sungai dan lautan akan terlihat seperti apa adanya sekalipun tidak berwaena. Begitu pula luka. Gambar luka berdarah akan terlihat seperti luka berdarah tanpa harus diwarnai merah. Murid taman kanak kanak mungkin kurang puas dengan gambar hitam putih, tidak yang lainnya. :Lagi pula hitam putih sebenarnya bukan hanya dua warna, manusia dewasa pasti mengenal dan memahami tentang gradasi di antara dua warna, hitam putih, mungkin hanya sepuluh, mungkin seribu atau lebih.
Aku mengenalmu dan memahami kau mengenalku. Aku menggambar laut dan langit hanya dengan pensil, lengkap dengan gelombang, ombak dan buih. Langitnya juga memiliki awan awan yang selalu bergerak seirama cuaca dan musim. Badai hitam putih. Air dan api hitam putih. Dan kau yang mengerti aku mengenalmu. Lidah dan gigi hitam putih. Dan tak ada seorangpun yang berani mengatakan laut dan langit hitam putih bukan gambar laut dan langit yang sebenarnya. Seindah laut dan langit yang tidak hitam putih. Burung merak adalah burung merak meski bulu bulu ekornya tidak diwarnai, seperti laut, langit, air, api.
Cukup sebatang pensil. Percakapan kita tak habis habis. Sebatang pensil untuk digigit saat sedang memikirkan laut dan langit hitam putih. Rasanya manis*

Kamis, 21 Februari 2013

midnight summer song

Kebodohan yang agung, ajarilah aku tersenyum dan menangis pada waktu yang salah. Aku mohon, kebodohan yang agung, Jadilah temanku, satu satunya. Aku pinjam mahkotamu, yang tajam juga kusam, aku perlu disembah supaya mengerti alasanku memuja.
Kucing hitam putih sedang sakit perut hingga buang hajat di atas kasur. Kebodohan yang agung ajarilah aku bersyukur telah memberi makan. Setengah jam yang lalu, sebelum kuhirup aroma dari usus kucing hitam putih yang tumpah.
Kebodohan yang agung, apakah bisa menjadi orang dengan menjaga seonggok kecemasan. Tentang bau badan seorang rembulan. Dan dengung dengung mengurung kesepian. Kebodohan yang agung, katakan rahasianya, kenapa aku tunduk pada setumpuk kertas yang sedang berkotbah. Dan keperihan yang tidak berhenti merayuku untuk menjumpainya. Lagi dan lagi.
Kebodohan yang agung aku masih belajar berterima kasih. Sambil menggosok gigi. Setelah bangun pagi. Waktu menyapamu, cermin, cermin, dan menemuinya sedang menggigiti pensil. Puncaknya telah retak, tapi ia tidak menjerit, tidak sekalipun, tidak selirih bunyi setelah nyanyian tidak bersuara.
Kebodohan yang agung menasehatiku agar memotong kuku. Atau hanya lamunanku, atau kesadaran yang tertidur tanpa dengkur. Kebodohan yang agung, ajarilah aku untuk menuruti kerinduanku mencuci baju.
Kucing hitam putih bertemu gerimis baik hati. Kulihat ia berjalan berputar putar sebelum menemui impian*

seperti

Seperti minuman hangat kehabisan uap dan aroma, aku menunggumu mengatakan sesuatu. Seperti selamat malam pada saat menjelang matahari terbit. Dengarkan angin, aku seperti mendengarmu akhirnya mengatakan sesuatu. Dengarkan angin. Kau mungkin salah. Angin tidak bersuara. Itu bunyi gesekan dedaunan. Daun tidak bicara. Aku merasa menghitung bintik bintik merah pada dinding kubus kecil berwarna putih. Yang mungkin baru dilontarkan angin di atas selambar papan permainan. Kau tidak berdusta, aku percaya. Kau hanya tidak tahu kekosongan di sekeliling gelasku. Menjelang pagi matahari mendaki, makin tinggi. Tidak ada tangga. Tidak ada jejak langkah matahari di semua lereng bumi. Tapi matahari mendaki makin tinggi.
Terdengar seperti kata kata yang diucapkan oleh seseorang demi sesuatu yang tidak mematuhi waktu. Seperti tangisan bayi di dalam mimpi sebelum pagi. Matahri makin tinggi. Aku kembali merasa hangat tanpa uap. Menderu jantungku mendengarmu seperti mengatakan sesuatu. Betapa lucu. Aku mengira kau seperti aku, membaca buku berbentuk abu. Angin diam diam bersuara merdu. Daun daun tumbuh menyerupai telingaku. Sepertinya matahari sedang berada di puncak yang tidak mengenal ketinggian, atau tenggelam di tempat tanpa dataran.
Aku seperti memelukmu tidak dalam bahasa manapun*

Selasa, 19 Februari 2013

ketika

aku berhenti pada sebuah lubang yang mereka sebut jejak bintang. Bundar dan lebar dan tidak curam. Seekor kuda perak mendekat, menyuruhku menunggangi punggungnya. Lubang jejak bintang akan menjadi tong setan. Aku menunggang kuda perak. Berlari kencang mengitari lubang bundar dan lebar dan tidak curam. Tidak ada penonton. Tidak ada sobekan karcis pasar malam berserakan. Kuda perak senang sekali mengajakku mengelilingi lubang. Berputar putar. Kulihat debu debu berkilau di setiap injakan kaki kuda perak yang telanjang. Membubung ke atas, dari kepala sampai angkasa. Matahari silau melihat, menutup mata, padahal masih siang. Lubang tidak menyampaikan terimakasihnya. Kurasa lubang juga senang. Terlalu senang diterbangkan tapak kaki kuda perak. Kulihat kilat berdatangan. Mungkin sebentar lagi menggelegar. Kuda perak dan penunggangnya tidak gentar. Apakah ini kegembiraan yang sering dibicarakan ibu angsa. Tak ada yang tahu, apakah lubang pada akhirnya sungguh sungguh terbang. Aku mau menggambar sayap pada punggung kuda perak pada saat kami beristirahat, kalau sempat. Kuda perak juga punya nama, tidak harus, tapi alangkah baiknya. Untuk kukatakan kalau lubang jajak bintang bertanya, siapa yang sedang berlari riang mengitari dirinya yang bundar dan lebar dan tidak curam, selain aku yang sedang lupa cara berkata kata*

dumb.dumb.dumb

Dalam tayangan jeda komersial terbit kebijaksanaan. Maka belajar untuk bersabar, tidak mengganti saluran ketika televisi menyekat kisah selama tiga puluh detik dikalikan sekian kali. Lagipula penting melatih kesehatan otak. Salah satu kalimat bijaknya terngiang di dalam kepalaku yang meluas dari hari ke hari, yang belum juga memasukkanmu ke dalamnya. Menjadi dewasa itu pilihan. Kupilih tidak. Menjadi kanak kanak itu keharusan. Orang orang dewasa merangkai kata kata menjadi kalimat dengan sengaja untuk menyakiti orang lain. Kanak kanak mengucapkan kata kata untuk menyenangkan orang dewasa dan kanak kanak lain. Orang dewasa dan kanak kanak akan menyangkal setiap ucapannya masing masing sebalum dua puluh empat jam, lagi lagi orang dewasa mengerjakannya untuk menyakiti orang dewasa lain, kanak kanak melakukannya demi menyenangkan semua pendengarnya. Kalau memang menjadi dewasa cuma pilihan, aku tidak memilih. Tidak dan tidak. Dan sekali lagi tidak. Lagi lagi tidak. Tidak ada kanak kanak yang sampai hati membuang mainan bututnya. Menjadi kanak kanak bukan pilihan. Cuma kanak kanak yang berlari sambil berteriak di bawah guyuran hujan. Menjadi basah tidak menakutkan*