Namaku
sunyi.
Benarkah,
siapa memberimu nama sunyi? Puitis sekali.
Seorang
artis.
Siapa
namanya?
Dia mestinya
manis, dia memberi nama kucingnya manis.
Jadi, artis
itu menamai kucingnya manis. Dia yang menamaimu sunyi. Lantas, siapa namanya,
artis itu?
Artis
itu…hm…aku tak tahu, mungkin dia belum menamai dirinya sendiri.
Tak ada
artis tak bernama. Bagaimana dunia akan mengenalnya, dia artis.
Mungkin
karena dia artis. Dunia malah tak kenal dia sama sekali. Selama ini dia selalu
memerankan orang lain.
Tidak masuk
akal.
Semua yang
diperankannya hanya tokoh tokoh dan karakter kepunyaan seseorang yang telah
diberi nama oleh penulis naskah. Tak ada artis memerankan dirinya sendiri,
hingga namanya tak tertulis dalam semua naskah yang pernah dibacanya.
Tak ada
seorangpun yang sejak lahir menjadi artis. Tak ada seorangpun yang menghabiskan
seluruh waktunya hanya untuk bekerja, memainkan peran dan tokoh tokoh dari
naskah. Sekalipun dia artis, meskipun artis terbaik, mestinya dia tetap punya
nama dan kesempatan untuk menjadi dirinya.
Apakah mesti
punya nama untuk menjadi dirinya.
Ahhh…tolol
sekali kau. Pertanyaan macam apa itu.
Namaku
sunyi. Aku tak kenal diriku sendiri. Tak pernah menjadi diriku sendiri. Sunyi
hanya sebuah nama. Seperti kucing si artis, manis.
Manis adalah
nama seekor kucing.
Jika bukan
kucing apakah namanya tetap manis, atau mungkinkah dia tetap seekor kucing saat
tak bernama manis.
Kau
mengacaukan kenyataan dengan pertanyaan. Segalanya mungkin. Tapi apakah layak
mengabaikan kenyataan hanya demi kemungkinan samar.
Manis memang
seekor kucing. Tetap seekor kucing meskipun tak bernama manis.
Kenyataannya
kau dan aku tak tahu ada berapa ekor kucing di bumi. Dan tak semua kucing
bernama manis. Banyak kucing gelandangan, tak bertuan, maka tak ada yang memberi
nama.
Jadi kucing
tetap kucing, meskipun misalnya namanya pahit, atau tak bernama. Nama tak akan
mengubah seekor kucing menjadi bukan kucing. Bahkan tak butuh nama untuk
menjadi seekor kucing.
Hm…bisa jadi
memang demikian. Begitulah nyatanya.
Kau lebih
suka jadi kucing atau artis?
Kau berisik,
namamu tak cocok dengan karaktermu. Namamu sunyi, tapi kau ribut sekali.
Namaku
memang sunyi, sudah kubilang aku tak kenal diriku sendiri. tapi semua boleh kan
jadi artis.
Ah…sudahlah.
Kau plin plan dan menjengkelkan.
Kau boleh
memanggilku plin plan atau menjengkelkan, kenyataannya namaku sunyi, aku tak
kenal diriku sendiri.
Apa gunanya
memiliki sebuah nama untukmu. Kau tak tahu nama artis yang memberimu nama,
bahkan tak kenal dirimu sendiri.
Nah…
Nah…apa
maksudnya?
Apa artinya
sebuah nama. Namaku sunyi. Aku tak bertanya dan tak peduli kau siapa. Begitu pula
dengan si artis yang memberiku nama, aku tak butuh namanya, tanpa nama dia
tetap artis.
Lantas
kenapa kau memulai percakapan dengan memperkenalkan namamu padaku. Kau yang
mulai bicara, dengan naïf kau berkata, namamu sunyi.
Aku merasa kau
kesepian dan ingin bicara dengan seseorang, sejenismu, yang tahu namanya tapi tak kenal
dirinya.
Kau
berprasangka atau sengaja hendak mengejakku.
Tidak
keduanya. Hanya merasa.
Aku tak
percaya. Dan artis yang memberimu nama, sebenarnya pasti punya nama. Kau saja
yang tak tahu.
Kau tak
salah, aku memang tak tahu. Sudah kukatakan, dan kau pasti mengerti. Tentang
nama artis yang menamaiku sunyi. Aku tak tahu namanya, kukatakan mungkin dia
tak bernama, tapi aku tahu si artis menamai kucingnya manis, kudengar sendiri
dia memanggil dan menyapa kucingnya dengan nama manis, berkali kali setiap
hari. Aku tak mengerti, kenapa kau jadi gusar dan kesal dengan semua yang
kukatakan. Tadinya kuharap percakapan kita akan membuatmu senang.
Sunyi yang tak
kenal dirinya sendiri, plin plan dan menjengkelkan. Tak ada seorangpun akan
senang bicara denganmu. Tak tahu tapi sok tahu. Mending aku diam, tak buang
buang waktu bicara denganmu.
Sungguh?
Masih tanya
lagi.
Baiklah, aku
akan diam mulai sekarang. Namaku selalu sunyi.
Sunyi yang
tak sunyi, sunyi tak tahu diri. Tak kenal diri sendiri. Ihh...
Teng teng
teng. Kudengar seseorang mengayunkan sebongkah batu, memukul tiang besi
sebanyak tiga kali, di sebuah perempatan, jalanan sepi. Begitu pula di sini. Apakah
sunyi benar benar sudah pergi? Seekor burung bersuara parau singgah sebentar di
atas sebatang dahan, sesaat kemudian terbang lagi menembus malam. Atau namanya
dini hari? Jam tiga pagi jadi latah, ikut ikutan bertanya, mungkin masih
terlena suasana percakapan yang baru terjadi. Percakapan antara sunyi dan
sebuah suara, tentang nama, kenyataan, kemungkinan, perasaan, prasangka,
pengetahuan. Ah, semua tak berarti, betapa mujurnya aku, selama percakapan
berlangsung, setangkup bibir hangat mengapitku tak terhitung kali.
Terasa
manis, sungguh sungguh manis. Semua tentu paham, manis yang kurasa sama sekali
tak sama dengan manisnya seekor kucing yang diberi nama oleh seorang artis. Kukira
akulah satu satunya yang bahagia, karena pasrah dan setia menemani siapa saja.
Tak ada yang dapat menyangkal, aku teman terbaik yang selalu siaga, aku tak
pilih pilih, tak pernah mengeluh. Sampai sampai teman temanku rela
mempertaruhkan hidupnya demi menghabiskan waktu bersamaku. Semua yang mau
menjadi temanku tak gentar ssdikitpun pada bujukan musuh musuhku, tak satupun
temanku percaya aku berniat mengkhianati mereka, apalagi membunuh. Dan sebagai
imbalannya, kurelakan diriku seutuhnya, kuberikan segenap diriku untuk menjaga,
menemani, menghibur dan menyakinkan teman temanku. Tak ada yang pantas
dicemaskan, api tak menyiksaku. Api yang disulut teman temanku menyala
menerangi jalanku dan teman temanku. Kami menikmati waktu. Panas, pengap, asap,
racun, penyakit dan kematian hanya nama nama yang mereka berikan untuk
kenikmatan, kehangatan, kesetiaan, ketulusan, keikhlasan dan kehidupan yang
tersedia untuk kebersamaan kami. Mereka yang tak mengenalku.
Aku bukan
jam tiga pagi yang sempat hanyut dalam percakapan tentang nama atau mengenal
diri sendiri, suara, sunyi, si manis atau artis. Aku hanya peduli pada teman
temanku dan kebersamaan kami. Teman temanku sangat berarti, api dan terbakar
habis sama sekali bukan pengorbanan, dibanding dengan yang kudapat dari teman
temanku. Kepercayaan. Mereka mengijinkanku mengunjungi rongga dadanya, mampir
di lorong napasnya. Hingga sempat kudengar apa yang tak terucap lisan atau
tertulis tangan. Semacam doa atau harapan yang tersembunyi, terpahat di ruas
tulang untuk menepis segala ketakutan. “Ya Tuhan, lindungilah aku dari diriku
sendiri,” lantunannya sayup sayup kudengar, kalau aku tak salah. Tak dapat
kujelaskan panjang lebar, hanya saja aku merasa sedikit lebih paham, pahatan di ruas tulang itu menyebabkan teman temanku tak meragukan ketulusanku, teman
temanku mengenal yang bernama tuhan. Namanya terpahat pada ruas tulang semua
teman, tak luntur dan selalu kudengar. Siapapun dia, tuhan itu, mengenal semua
ruas tulang yang memahat namanya dan mengharapkan perlindungannya. Sempat terpikir
olehku sesaat sebelum api mengubahku jadi asap dan abu, seandainya aku memiliki
tulang seperti teman temanku, mungkin aku masih utuh, tak mudah terbakar, tak
begitu cepat tergeletak pada sebuah asbak*