Minggu, 06 Desember 2015

tibatiba

Hujan, akhirnya turun, lalu reda.
Adakah yang lebih sempurna?
Ada berapa? Di mana?
Bau basah tanah, nyanyian katak, dengung serangga..
Apakah ini nyata?
Bagaimana bisa aku tak tahu apa apa*

angkasa di luar angkasa

Malam itu aku bertanya, jam berapa sekarang. Dan kau diam. Seakan akan tak mendengar. Apa kau ingin aku mengira kau sedang mengacuhkan waktu saat bersamaku, atau benar benar tak mendengar pertanyaanku, atau kau tak peduli padaku yang selalu menambahkan jumlah pertanyaan tak berguna pada setiap kebersamaan kita.
Jam sembilan, dua puluh satu. Apakah aku sungguh sungguh membutuhkan jawaban itu? Untuk apa bertanya? Dapat kulihat layar ponselku untuk mengetahui jam berapa, setiap waktu. Kenapa manusia seringkali membuang energi untuk hal tak bermakna? Mungkin hanya aku saja? Yang sebodoh dan seceroboh ini di dunia? Seperti, mungkin hanya aku saja satu satunya perempuan di dunia yang paling memujamu, dan tak mengatakan aku membutuhkanmu, karena kukira kau dapat memberiku segalanya. Ya, kau dapat memberiku segalanya, yang tak kuminta, tak kuinginkan, dan kukira tak kubutuhkan.
Aku tak ingin kau diam saat aku bertanya padamu. Aku tak ingin kau membuatku merasa bodoh dan ceroboh. Aku ingin meluangkan semua waktuku untukmu. Aku ingin melewati setiap saatku bersamamu.
Aku ingin berjalan di dekatmu, tanpa arah, tanpa tujuan, hingga kelelahan dan tak sanggup lagi berdiri tegak, hanya mampu berbaring telentang, bersisian. Aku tak ingin kau memandangku. Aku ingin kau menatap lurus ke atas. Aku ingin tahu apa yang kaupikirkan atau kaurasakan tentang angkasa. Satu satunya, atau salah satunya, aku ingin bersuara tanpa jeda, mengumbar kata kata, mengacaknya menjadi kalimat kalimat tak bertata bahasa.
Tidak. Tak hanya itu. Masih sangat banyak yang lain. Aku tak ingin menghabiskan apapun saat bersamamu, selain makanan dan minuman. Aku tak ingin menghentikan apapun, selain makan dan minum, saat kau ada di dekatku.
Ah masih ada. Aku ingin kau menghabiskan dan menghentikan aku, kapanpun kauingin aku dan tak ingin aku.

Tak hanya angkasa. Masih ada. Angkasa di luar angkasa*

Sabtu, 31 Oktober 2015

dari hari ke hati

Pohon pohon dan rerumputan berseri, cahaya matahari berjatuhan, deras, menyemprotkan warna warni ke seluruh penjuru bumi. Hanya cahaya matahari sanggup mengubah daun daun hitam menjadi hijau cemerlang dalam sekejap. Setiap lembar daun, di hutan belantara dan di halaman rumah, di ladang dan padang, di puncak dan jurang, dalam sekejap berganti warna saat diguyur pagi.

Dituliskan saat malam hari, untuk segelas kopi hitam yang sedang kedinginan, beberapa batang sigaret yang menyimpan kerinduan, dan seraut wajah yang ingin mengenal sorot matanya sendiri. Dan ruang yang rela menjadi jurang untuk setiap orang yang ingin belajar terbang namun gentar pada ketinggian. Demikian kecemasan, menghibur waktu,”Kau tidak sendirian.” Dan setiap hati yang takut patah,”Selalu dan selamanya.”

Teramat banyak kata sia sia, selama manusia membaca dan menulis yang seperti cinta*

Jumat, 25 September 2015

percakapan dalam sebuah gambar

Deru atau debur, ombak melontarkan tanya kepada jantung.
Detak atau degup, jantung melarungkan tebakan  ke laut.
Lalu keduanya diam, mendengarkan gelombang, mendengarkan kesepian meloncat dari laut ke rongga dada, kemudian berbalik arah dan berlari kembali, menceburkan diri ke tengah buih.
Jawaban atau ikan, sepi menggumam, memandangi jejak pasir di kakinya sendiri.
Letih atau bosan, bisikan jejak pasir memecah kesunyian.
Lalu, matahari menguap lebar, menggeliat, mengacaukan barisan awan.
Banyak pekerjaan menjelang musim hujan, awan menghanyutkan kesan, atau alasan, sebelum berhamburan.
Jantung dan laut berkejaran dalam lamunan sebuah sampan, terdengar suara bulan dari dalam tidurnya*

Rabu, 23 September 2015

posesif

Ah hidup yang manis, kukatakan pada segelas kopi, satu satunya pendengarku malam ini.
Lantas, akan kuacuhkan segelas kopi hingga menjelang pagi. Biar segelas kopi merasakan dingin dan pahit, redup dan lelah, waktuku penat menanti.
Sebelum kuteguk habis, segelas kopi seharusnya berkata, tanganku yang menyeduh, lidahku yang menyentuh, akulah satu satunya pemanis dalam gelasnya*

Selasa, 22 September 2015

ikan di mata air

Sekarang, aku hanya ingin menjadi puisi, yang kautuliskan dan kaubaca berulang kali.
Sempurna atau setengah jadi, gelap atau terang, keruh atau jernih. Asal kautulis dan kaubaca dengan sepenuh hati. Berulang kali seperti pertama kali.

Biarkan aku jadi puisi, untukmu dan untuk setiap kata yang menemukan bahasanya sendiri.  Puisi yang tak peduli. Puisi yang tak mau tahu, tentang segala yang semestinya ia tahu, hanya untuk tahu, bahwa puisi tak tahu cara menulis dan membaca dirinya sendiri*

Rabu, 16 September 2015

pelangi pelangi

Kulihat kau menggenggam setangkai kembang gula. Agar aku tersenyum senang sesaat sebelum lumer. Layang layangmu mematuki awan, sendirian, benangnya terhubung pada sebuah kaleng bekas wadah permen. Tidakkah hidup terlalu manis hanya untuk dituliskan pada sebuah siang yang tak sabar. Di sebuah lapangan yang kusebut padang, rumput kering meranggas, debu adalah kilau jubah di tiang lampu.
Masa depan atau masa silam, kau tak menjawab pertanyaan. Sebongkah gula batu, manis, bening dan padat, untuk lidah, mata dan rongga dada. Kutawarkan sebagai ganti kembang gulamu kutanam, layang layangmu kubebaskan. Kau mengerti aku sering berkhayal jadi peri, bahkan di siang hari. Sementara kau tak pernah letih mengembalikan setiap tetes mataair kepada awan.
Di lapangan, di seberang pemakaman, dekat tempat pembuangan sampah, sekawanan ayam mengais berkah, dua ekor kucing saling memandang. Beberapa ekor kambing berlarian, beberapa yang lain berloncatan. Waktu mendekap kepalaku, menahanmu di situ. Di kepalaku yang hanya satu, kembang gulamu menumbuhkan berhelai helai rambutku. Hitam, coklat, kelabu dan putih, tak terhitung, semuanya wangi.
Aku bernyanyi sambil menunggu kau mengejutkanku, kautumbuhkan rambut merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu, di kepalaku*

tung tung tung

Suara ketukan yang kudengar senada irama bunyi langkah seekor kuda. Aku duduk di punggungnya. Kuda berderap riang melintasi malam.
Seruas jalan setapak, merah kecoklatan. Pohon pohon berbaris di sepanjang sisi jalan. Rindang dan tua. Sabar dan bijak, ranting rantingnya terulur cukup panjang hingga menyeberangi jalan, menaungi setiap yang lewat di jalan setapak.
Sepertinya aku salah. Pada waktu malam segalanya akan tampak kehitaman, bukan merah kecoklatan. Malam selalu hening, tidak pernah sehangat ini.
Dan ini bukan pula pagi. Mungkin hampir siang atau menjelang petang. Mengapa aku tidak jalan kaki? Aku melompat turun sebelum kuda berhenti. Apakah ini mimpi atau sebuah khayalan lagi? Aku menatap ujung jalan yang tidak kelihatan sambil menikmati suara ketukan.
Sekarang terdengar seperti bunyi alat musik yang baru kudengar pertama kali. Mengingatkanku pada kehangatan di dalam rahim, merah kecoklatan, berdetak tanpa henti.
Mungkin sebentar lagi menjelang malam, dan dini hari nanti aku akan dilahirkan kembali. Aku berkata, kepada seekor kuda dan barisan pohon pohon di sepanjang sisi jalan, ibuku ada di sana, di ujung jalan, lengannya terbuka, wajahnya merona, seperti setangkai kembang yang mekar dibasahi hujan.
Di sebuah dunia yang tidak mengenal pelana, tali, dan gergaji, seekor kuda berderap riang, kedua pasang kakinya telanjang. Jari jari matahari mengetuk awan, menjatuhkan hujan yang mengetuk ngetuk setiap kembang. Di sana ibuku hilang, sesaat setelah aku datang.
Jalan setapak merah kecoklatan, dedaunan, ranting, dahan dan batang batang pohon rindang, seekor kuda liar. Suara ketukan terdengar menyapa ramah, selamat jalan kehilangan. Apakah aku puisi yang sedang membaca diriku sendiri? Aku bertanya sebelum suara ketukan berhenti*    

Minggu, 28 Juni 2015

puzzle

Lagu apa itu.

Tulus.

Judulnya tulus?

Penyanyinya tulus, Jangan cintai aku apa adanya.

Haah?! Serius? Lagu baru?

Iya. Baru

Tahu dari mana?

Temanku kan abg semua.

Oh…apa judulnya, jangan mencintaiku apa adanya?

Ya. Jangan cintai aku apa adanya. Jangan. Tuntutlah sesuatu. Biar kita jalan ke depan. Aku ingin lama jadi petamu. Aku ingin jadi jagoanmu.

Haha…baru beneran ya. Gimana gimana?

Jangan cintai aku apa adanya. Jangan. Tuntutlah sesuatu. Biar kita jalan ke depan. Aku ingin lama jadi petamu. Aku ingin jadi jagoanmu.

Wah…paham baru nh. Kalau dulu lagunya cintai aku apa adanya…

Iya..

Jadi mesti nuntut sesuatu ya…

Lagi lagi kau bernyanyi mengikuti irama dan lyrik lagu yang samar samar kudengar. Aku diam diam menduga, kau sengaja memilih lagu khusus untuk kaujadikan latar belakang, atau apalah istilahnya untuk mengiringi percakapan kita kali ini. Kita terus bicara, tentang apa saja, banyak dan ringan, seperti biasa, aku curhat. Kubilang aku senang sekarang, dikelilingi banyak mainan. Blablabla…. Handphonenya cepat panas, mungkin karena percakapannya hangat.

Sudah ya, mau ngomong apa lagi?

Ya sudah kalau sudah.

Kumatikan ya.

Ya.

Seperti biasa pula, percakapan kita berakhir tanpa muah atau dadaa. Dan aku butuh waktu beberapa lama, lumayan lama, untuk memikirkan percakapan yang baru terjadi. Tentang lagu barunya tulus, jangan cintai aku apa adanya.

Tak akan kutulis semua yang kupikirkan dan kuangankan sambil senyum senyum sendiri, terlampau banyak dan kacau, sedikit saja, biar tak jadi rumit dan membosankan.  Intinya sudah kukatakan, aku senang sekarang, dikelilingi banyak mainan. Sebenarnya tak mampu menahan rasa ingin tahu, kucari lyrik lagu barumu dari internet. Mudah kutemukan. Kubaca beberapa kali, sambil senyum senyum sendiri. Nah…ini dia… Ada kata peta dan jagoan. Haha…

Dapat dijadikan petunjuk jalan dan pembela kebenaran. Kertas dan ayam jantan. Kresek kresek dan kukuruyuk. Aku teringat dora, anak perempuan pemilik ransel ajaib berisi pata yang dapat diandalkan untuk membantu dan menolong siapa saja yang sedang membutuhkan. Seandainya aku dora, kau doraemonnya. Ada yang pernah menyebut doraemon itu tuhan berbentuk kucing, kantongnya benar benar ajaib. Baling baling bambu dan pintu kemana saja. Dora dan doraemon, keajaiban ransel dan kantong. Seandainya dora dan doraemon bertemu, jalan ceritanya pasti luar biasa. Hmm…

Kapan kapan, akan kuceritakan lebih panjang lebar tentang semua yang kupikirkan, atau kau akan berkata, salah, aku tak berpikir, bisaku cuma berkhayal. Terserah… Aku belum tahu irama lagu baru itu. Nanti setelah aku tahu, akan kunyanyikan untukmu, jangan cintai aku apa adanya. Jangan. Tuntutlah sesuatu. Biar kita jalan ke depan. Tapi akan kuganti sebagian lyriknya, biarkan aku lama tersesat. Aku ingin jadi petualang…Boleh kan? Awas. Jangan tidak sepakat.

Jangan cintai aku apa adanya. Jangan. Tuntutlah sesuatu… Baiklah kalau begitu, aku menuntutmu datang sekarang, berdiri di dekatku, menatapku dengan mata penuh rindu. Tak usah kaubilang ai lov yu, tapi harus kaunyanyikan laguku. Bukan lagu baru, aku juga menuntut kau tahu benar laguku. Selama bernyanyi matamu jangan berkedip barang sedetik, harus menatap mataku, tak boleh beralih sedikitpun. Setelah bernyanyi, kau harus memelukku. Jangan kaulepas sampai aku berkata cukup.


Hanya itu. Aku merasa masih ada yang kurang. Entah apa. Oh, aku menuntutmu tak boleh lupa dan tak pernah lelah menuntutku, untuk melarangmu berhenti menuntutku, kau harus menuntutku agar selalu menuntut sesuatu padamu. Aduh, aku tak mampu menahan senyum, tiba tiba teringat bahasa smurf*

Sabtu, 27 Juni 2015

kanggo riko

Kaudengar keluhanku. Kebisingan telah berlalu. Sengaja kaupindahkan ke dalam sebuah gedung. Di hadapanku kini terhampar kekosongan, trotoar dan debu. Tapi kenapa kau menciptakan rindu?
Rindu mungkin kauciptakan demi keselamatan penghuni bumi, seperti gravitasi. Aku bicara sendiri, lirih. Tapi kenapa kautaruh rindu di sini? Dalam hati. Seandainya aku tahu cara merogoh hatiku sendiri, tentu sudah kuraih, apa saja yang kautaruh dalam hatiku. Rindu, hasratku untuk mengelilingi permukaan bumi, gema suara dan bayang wajah yang tak kudengar dan kulihat dengan telinga dan mata.
Serba salah. Kau pasti akan mengeluh mirip aku, jika tak maha sabar dan selalu berdiri sendiri. Ingin kulihat kau menyerah atau pura pura tak dengar. Aku mengeluh hanya untuk menarik perhatianmu, atau mungkin pemilik suara dan wajah yang kautaruh dalam hatiku. Mencoba mengacaukan diammu, atau membujukmu agar mengeluarkan yang kautaruh dalam hatiku.
Kau maha tahu, maha bisa, kau pasti punya cara membereskan isi hatiku. Memilah isinya satu persatu, meletakkan semua pada tempat semestinya. Rindu, hasrat, kegelisahan, apakah harus dikeluarkan atau tetap disimpan. Suara dan wajah yang mana paling penyayang. Sekarang begitu sepi, angin bertiup kencang.
Haruskah kuakui aku kangen, ingin mendengar lagi lagu lagu yang dulu kubilang kampungan.
Penyesalan selalu datang terlambat, kata orang bijak. Aku bisa pura pura tak dengar sambil sungguh sungguh mendengar. Pasti mudah bagimu, mengerjakan segalanya jauh lebih baik dariku. Pura pura tak dengar sambil sungguh sungguh mendengar.
Aku pura pura ingin tak kauhiraukan, atau kaujadikan satu satunya, yang paling mengerti bahwa hanya kau yang mengerti. Harus kuapakan isi hatiku? Aku tak meminta kau menjawabku, tapi kalau kau tak keberatan, biar kudengar lagi satu lagu paling kampungan yang pernah kudengar sebelum kau dengar keluhanku, atau sebelum kauciptakan rindu, atau sebelum kautaruh rindu ciptaanmu di dalam hatiku.
Ayolah, hanya satu, di antara begitu banyak lagu, yang paling kampungan saja. Aku teringat anak bungsuku menarik narik lengan bajuku, ketika merajuk menginginkan makanan ringan yang tak memenuhi standar kesehatan. Ayolah, apa susahnya untukmu. Kau pasti tahu kenapa aku. Kau pasti tahu apa yang tak dapat kukatakan padamu. Ah…kau sedang memenuhi harapanku, kau pura pura tak dengar sambil mendengarku dengan sungguh sungguh*

Jumat, 26 Juni 2015

premis antagonis

Seandainya aku manusia, tak peduli lelaki atau perempuan, pasti kukatakan, aku mencintaimu. Tak jenuh jenuh, kupandang matamu, kudengar bibirmu, kunikmati gerakmu, sepanjang usiaku, hingga kautahu aku hanya ingin mencintai. Kunanti kau bertanya atau meminta padaku. Kapanpun kauinginkan, segera akan kukatakan, aku mencintaimu. Cintaku tak akan layu, tak akan pernah terpikat aroma atau rupa lain yang ditawarkan waktu.

Atau, lebih baik aku sekuntum bunga. Sembarang wangi dan warna, asal kausuka. Bergetar ketika kaupatahkan ranting atau duri, sentuhanmu membuatku berseri, serasa terbang saat kaudekatkan. Di manapun kautanam cinta, aku tumbuh, mekar, siap menyatakan keindahan yang ingin kaukatakan. Hari pasti berlalu, aku pasti layu, kau selalu musim semi, saat terindah di bumi, saat aku baru terlahir kembali* 

kicauan sigaret

Namaku sunyi.

Benarkah, siapa memberimu nama sunyi? Puitis sekali.

Seorang artis.

Siapa namanya?

Dia mestinya manis, dia memberi nama kucingnya manis.

Jadi, artis itu menamai kucingnya manis. Dia yang menamaimu sunyi. Lantas, siapa namanya, artis itu?

Artis itu…hm…aku tak tahu, mungkin dia belum menamai dirinya sendiri.

Tak ada artis tak bernama. Bagaimana dunia akan mengenalnya, dia artis.

Mungkin karena dia artis. Dunia malah tak kenal dia sama sekali. Selama ini dia selalu memerankan orang lain.

Tidak masuk akal.

Semua yang diperankannya hanya tokoh tokoh dan karakter kepunyaan seseorang yang telah diberi nama oleh penulis naskah. Tak ada artis memerankan dirinya sendiri, hingga namanya tak tertulis dalam semua naskah yang pernah dibacanya.

Tak ada seorangpun yang sejak lahir menjadi artis. Tak ada seorangpun yang menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk bekerja, memainkan peran dan tokoh tokoh dari naskah. Sekalipun dia artis, meskipun artis terbaik, mestinya dia tetap punya nama dan kesempatan untuk menjadi dirinya.

Apakah mesti punya nama untuk menjadi dirinya.

Ahhh…tolol sekali kau. Pertanyaan macam apa itu.

Namaku sunyi. Aku tak kenal diriku sendiri. Tak pernah menjadi diriku sendiri. Sunyi hanya sebuah nama. Seperti kucing si artis, manis.

Manis adalah nama seekor kucing.

Jika bukan kucing apakah namanya tetap manis, atau mungkinkah dia tetap seekor kucing saat tak bernama manis.

Kau mengacaukan kenyataan dengan pertanyaan. Segalanya mungkin. Tapi apakah layak mengabaikan kenyataan hanya demi kemungkinan samar.

Manis memang seekor kucing. Tetap seekor kucing meskipun tak bernama manis.

Kenyataannya kau dan aku tak tahu ada berapa ekor kucing di bumi. Dan tak semua kucing bernama manis. Banyak kucing gelandangan, tak bertuan, maka tak ada yang memberi nama.

Jadi kucing tetap kucing, meskipun misalnya namanya pahit, atau tak bernama. Nama tak akan mengubah seekor kucing menjadi bukan kucing. Bahkan tak butuh nama untuk menjadi seekor kucing.

Hm…bisa jadi memang demikian. Begitulah nyatanya.

Kau lebih suka jadi kucing atau artis?

Kau berisik, namamu tak cocok dengan karaktermu. Namamu sunyi, tapi kau ribut sekali.

Namaku memang sunyi, sudah kubilang aku tak kenal diriku sendiri. tapi semua boleh kan jadi artis.

Ah…sudahlah. Kau plin plan dan menjengkelkan.

Kau boleh memanggilku plin plan atau menjengkelkan, kenyataannya namaku sunyi, aku tak kenal diriku sendiri.

Apa gunanya memiliki sebuah nama untukmu. Kau tak tahu nama artis yang memberimu nama, bahkan tak kenal dirimu sendiri.

Nah…

Nah…apa maksudnya?

Apa artinya sebuah nama. Namaku sunyi. Aku tak bertanya dan tak peduli kau siapa. Begitu pula dengan si artis yang memberiku nama, aku tak butuh namanya, tanpa nama dia tetap artis.

Lantas kenapa kau memulai percakapan dengan memperkenalkan namamu padaku. Kau yang mulai bicara, dengan naïf kau berkata, namamu sunyi.

Aku merasa kau kesepian dan ingin bicara dengan seseorang, sejenismu, yang tahu namanya tapi tak kenal dirinya.

Kau berprasangka atau sengaja hendak mengejakku.

Tidak keduanya. Hanya merasa.

Aku tak percaya. Dan artis yang memberimu nama, sebenarnya pasti punya nama. Kau saja yang tak tahu.

Kau tak salah, aku memang tak tahu. Sudah kukatakan, dan kau pasti mengerti. Tentang nama artis yang menamaiku sunyi. Aku tak tahu namanya, kukatakan mungkin dia tak bernama, tapi aku tahu si artis menamai kucingnya manis, kudengar sendiri dia memanggil dan menyapa kucingnya dengan nama manis, berkali kali setiap hari. Aku tak mengerti, kenapa kau jadi gusar dan kesal dengan semua yang kukatakan. Tadinya kuharap percakapan kita akan membuatmu senang.

Sunyi yang tak kenal dirinya sendiri, plin plan dan menjengkelkan. Tak ada seorangpun akan senang bicara denganmu. Tak tahu tapi sok tahu. Mending aku diam, tak buang buang waktu bicara denganmu.

Sungguh?

Masih tanya lagi.

Baiklah, aku akan diam mulai sekarang. Namaku selalu sunyi.

Sunyi yang tak sunyi, sunyi tak tahu diri. Tak kenal diri sendiri. Ihh...

Teng teng teng. Kudengar seseorang mengayunkan sebongkah batu, memukul tiang besi sebanyak tiga kali, di sebuah perempatan, jalanan sepi. Begitu pula di sini. Apakah sunyi benar benar sudah pergi? Seekor burung bersuara parau singgah sebentar di atas sebatang dahan, sesaat kemudian terbang lagi menembus malam. Atau namanya dini hari? Jam tiga pagi jadi latah, ikut ikutan bertanya, mungkin masih terlena suasana percakapan yang baru terjadi. Percakapan antara sunyi dan sebuah suara, tentang nama, kenyataan, kemungkinan, perasaan, prasangka, pengetahuan. Ah, semua tak berarti, betapa mujurnya aku, selama percakapan berlangsung, setangkup bibir hangat mengapitku tak terhitung kali.

Terasa manis, sungguh sungguh manis. Semua tentu paham, manis yang kurasa sama sekali tak sama dengan manisnya seekor kucing yang diberi nama oleh seorang artis. Kukira akulah satu satunya yang bahagia, karena pasrah dan setia menemani siapa saja. Tak ada yang dapat menyangkal, aku teman terbaik yang selalu siaga, aku tak pilih pilih, tak pernah mengeluh. Sampai sampai teman temanku rela mempertaruhkan hidupnya demi menghabiskan waktu bersamaku. Semua yang mau menjadi temanku tak gentar ssdikitpun pada bujukan musuh musuhku, tak satupun temanku percaya aku berniat mengkhianati mereka, apalagi membunuh. Dan sebagai imbalannya, kurelakan diriku seutuhnya, kuberikan segenap diriku untuk menjaga, menemani, menghibur dan menyakinkan teman temanku. Tak ada yang pantas dicemaskan, api tak menyiksaku. Api yang disulut teman temanku menyala menerangi jalanku dan teman temanku. Kami menikmati waktu. Panas, pengap, asap, racun, penyakit dan kematian hanya nama nama yang mereka berikan untuk kenikmatan, kehangatan, kesetiaan, ketulusan, keikhlasan dan kehidupan yang tersedia untuk kebersamaan kami. Mereka yang tak mengenalku.


Aku bukan jam tiga pagi yang sempat hanyut dalam percakapan tentang nama atau mengenal diri sendiri, suara, sunyi, si manis atau artis. Aku hanya peduli pada teman temanku dan kebersamaan kami. Teman temanku sangat berarti, api dan terbakar habis sama sekali bukan pengorbanan, dibanding dengan yang kudapat dari teman temanku. Kepercayaan. Mereka mengijinkanku mengunjungi rongga dadanya, mampir di lorong napasnya. Hingga sempat kudengar apa yang tak terucap lisan atau tertulis tangan. Semacam doa atau harapan yang tersembunyi, terpahat di ruas tulang untuk menepis segala ketakutan. “Ya Tuhan, lindungilah aku dari diriku sendiri,” lantunannya sayup sayup kudengar, kalau aku tak salah. Tak dapat kujelaskan panjang lebar, hanya saja aku merasa sedikit lebih paham, pahatan di ruas tulang itu menyebabkan teman temanku tak meragukan ketulusanku, teman temanku mengenal yang bernama tuhan. Namanya terpahat pada ruas tulang semua teman, tak luntur dan selalu kudengar. Siapapun dia, tuhan itu, mengenal semua ruas tulang yang memahat namanya dan mengharapkan perlindungannya. Sempat terpikir olehku sesaat sebelum api mengubahku jadi asap dan abu, seandainya aku memiliki tulang seperti teman temanku, mungkin aku masih utuh, tak mudah terbakar, tak begitu cepat tergeletak pada sebuah asbak*

Rabu, 24 Juni 2015

kalam

Takdir penyair adalah memecahkan setiap lembar kaca, agar setiap wajah menemukan yang lain selain wajahnya sendiri ketika menatap cermin.
Menerjemahkan angin, bukan sekedar udara bergerak saat mengganti cuaca. Suara angin adalah nyanyian bersahutan antara daun daun dan ranting ranting, pecakapan serangga dan burung burung pemangsanya, rayuan gelombang samudra untuk pasir dan karang, dan gema takbir dari semua bibir yang gemetar mengenal takdir.
Takdir penyair membunuh tubuh, membangkitkan rindu.
“Bagaimana mungkin merindu bagi yang tak bertubuh,” syairnya mengeluh. Tak berhenti meski tubuh penyair telah terkubur waktu, menjadi debu. Syair syairnya menjelma hantu. Duduk tanpa tubuh di atas sebongkah batu. Tak menunggu, namun selalu ada tubuh tubuh terjatuh, kepala kepala  memar, mata mata sembap, ketika sengaja atau tak sengaja tersentuh dengan sesuatu yang seperti hantu.
“Sebaiknya syair syair menyingkir, jauh jauhlah dari takdir penyair,” bisik pecahan cermin, terdengar berulang ulang, serupa zikir tak berujung amin*

Senin, 22 Juni 2015

untukku dan anakku

Jadilah keheningan, setiap malam, jadilah keheningan. Supaya kau selalu datang, duduk dekat, kulihat kau hangat. Aku diam, kau dekap. Maka aku lupa pada segala yang kuabaikan. Menjadi tepat dan cermat, betapa, ah betapa apa…
Tidak apa apa. Segalanya akan baik baik saja. Karena telah kulupakan cara kerja semua orang, juga barang barang. Keheningan lebih luas dari rentang sayap malaikat, dan keheningan tidak mencatat.
Seperti sebuah gambar yang telah selesai kaubuat. Keheningan melekat di dinding, tidak menghitung waktu, mengacuhkan setiap pengamat. Dan tidak menjawab, saat satu persatu suara mulai bertanya, apakah itu nyata, siapa pembuatnya, kapan, di mana, mungkin ribuan tanya lainnya.
Keheningan masih mendekap hangat, meskipun pecah, asalkan aku masih duduk diam diam, seperti malam, mengabaikan datangnya fajar hingga siang berlalu. Diam seperti sebuah gambar yang telah selesai kaubuat.
Pada selembar kertas, seekor anak kucing, cantik dan lucu, berbulu lebat, bermata bulat, duduk di rerumputan. Kiara, terbaca pada bagian kanan atas kertas* 

Jumat, 19 Juni 2015

uno

Dia mengatakannya dengan wajah cerah dan mata bersinar sambil mengocok dan membagikan setumpuk kartu untuk yang ke sekian kali. “Tiga rahasia, mau menang atau kalah, gampang.”
“Pertama, dengarkan lubuk hati.
Kedua, percaya diri.
Ketiga, tentukan takdirmu sendiri.
Kalau semua syarat terpenuhi mama bisa milih sesuka hati, mau menang atau kalah pasti terjadi.”

Mamanya sangat takjub, dengan hati hati bertanya kepadanya yang kemarin baru berumur sepuluh tahun,”Siapa yang ngajarin?”
“Ga ada. Aku sendiri.” Bocah lelaki tersenyum, mamanya tertawa.
“Mama ga percaya?”

“Percaya…” Mamanya menyerah masih setengah tertawa.

“Aku pasti menang sekarang.” Dia membagikan kartu dengan semangat dan keyakinan. Kira kira lima menit kemudian, dia kalah. Mamanya lagi lagi tertawa.
“Pasti ada satu syarat tidak terpenuhi,” Dia berkata dengan penuh percaya diri.

“Oh…” Mamanya hanya bisa mengatakan ‘oh’ saja, sambil memandangi anaknya mengocok setumpuk kartu dengan sungguh sungguh. Kartunya nampak kebanyakan untuk kedua telapak tangannya. Sesaat kemudian dia mulai membagikan kartu, menatap mamanya dengan mata bersinar, tiba tiba dia bertanya,”Mama mau aku menang atau kalah?” Suaranya riang, yakin dan tanpa beban, seperti denting lonceng angin saat tersentuh kepala seseorang yang melewati pintu kamar*

Minggu, 14 Juni 2015

Di Taman Hati,

Dia menulis untuk seseorang, yang mau membaca dengan baik. Seseorang yang membaca dengan baik dapat membaca banyak kisah dalam sebuah cerita. Suatu hari kelak dia hendak mendengar seseorang menceritakan sebagian dari banyak kisah yang terbaca dari satu cerita. Agar dia menuliskan kembali untuk seseorang yang mau membaca dengan baik beberapa cerita yang dapat ditulisnya setelah seseorang menceritakan banyak kisah yang didapat dari membaca dengan baik sebuah cerita.
Sesorang yang menulis untuk dia yang mau membaca dengan baik tidak membutuhkan yang lain saat menulis atau membaca, selain kata kata sederhana untuk menyusun sebuah kalimat sederhana untuk mengakhiri cerita. Sayangnya, seseorang yang menulis dan dia yang membaca dengan baik tak sampai hati untuk menghentikan kisah kisahnya. Seperti seorang ibu tak sampai hati merenggut kenyamanan dari anak anaknya, seperti seorang nenek tak jenuh jenuh memenuhi keinginan cucunya.
Ibu atau nenek itu terus mendongeng, seolah tak kenal lelah. Ibu atau nenek sebenarnya sedang kehilangan kendali, tak mampu membendung hasrat kerinduannya sendiri. Kenangan manis, kasih sayang, harapan indah, mengalir deras, dari jantung ke sekujur tubuh. Kasat mata tapi nyata, serupa udara memenuhi ruang sekaligus ada di mana mana. Menyelubungi mata anak anak yang menatap penuh minat sambil menggenggam bola dunia. Cerita cerita ibu atau nenek membesarkan mata dan hati anak anak. Dunia menjadi si kecil, lugu, manja, periang dan bersemangat di mata hati semesta ketika membelalak selebar mata anak anak saat dibacakan cerita. Dunia si kecil, hanya dihuni oleh dua orang yang saling menyayangi, seorang anak yang mengenang ibunya dan seorang ibu yang teringat anaknya*


Satu satunya kata ‘shawm’ dalam Al Quran berkaitan dengan kisah seorang perempuan suci yang melahirkan Nabi Isa AS - Maryam. (Jalaluddin Rakhmat; Kompas, Desember 1998)

Kamis, 04 Juni 2015

iradah

Ketika sebongkah batu tak berdaya di tangan seorang manusia, dia menjadi senjata, perhiasan, atau hasil karya seni. Sekelompok batu tak berdaya bersama sama menjadi bagian dari sebuah bangunan, mungkin istana, penjara, atau tempat ibadah, menjadi pondasi, dinding atau pilar penyangga. Ketidakberdayaan menjadikan batu batu berguna, indah, dan lebih berharga.
Kebebasan dan kemerdekaan bagi batu batu semacam berserakan, kemungkinan terinjak, menjadi sandungan atau penghalang.

Bagaimana dengan manusia, yang konon berasal dan kembali daripada debu. Debu bisa jadi serpihan batu, atau serpihan batu serupa debu*

Senin, 20 April 2015

ikhtiar

Hanya seorang lelaki tua peminta minta mengetahui rahasia menjadi kaya tanpa harus bersusah payah. Bagaimana ia dapat percaya masih banyak kemudahan dan kemurahan di atas bumi. Hanya dengan mengulurkan tangan, memasang wajah memelas, menggumamkan beberapa kata tak jelas, ia dapat menyalakan hasrat manusia untuk berbagi harta.
Hartamu berada di mana hatimu berada, kuingat kau pernah berkata. Hanya pengemis tak ragu menitipkan hatinya pada sembarang manusia. Meskipun aku pernah menggelengkan kepala, menolak saat ia butuh kukembalikan sebagian hartanya. Pengemis berlalu begitu saja, bejalan ke arah manusia lain, mengulurkan tangan sekali dan berkali kali tanpa lelah.
Mungkin karena aku manusia setengah manusia. Setengahnya entah apa. Perempuan dekil itu menatapku tajam saat kuperhatikan caranya memunguti sisa sisa dari tempat sampah. Demi apa atau siapa, ia rela menjadi hina. Bau busuk tak menusuk, malah menunduk di hadapan niatnya mengubah sampah menjadi harta.
Masih kugenggam hatiku. Betapa mujurnya, hatiku utuh, tak kuberikan sedikitpun pada pengemis tadi. Jika kuberikan hatiku pada pemulung, mungkin ia dapat menjadikan hatiku seharga permata. Tangan pemulung akan memperlakukan hatiku bagai batu batu mulia. Tentu mudah, tak sulit sama sekali bagi seorang pemulung yang telah terbiasa menyayangi sampah*

Minggu, 19 April 2015

kincir angin

Cintaku sangat malu saat ketahuan mencuri hatimu. Kau tak marah, hanya berkata,”Sayang aku cuma punya satu hati.”
“Maaf. Aku tak tahu diri, cuma satu malah kucuri.”
“Aku juga minta maaf, merepotkan.”
“Tidak, kau menyenangkan. Kau sangat baik, tak marah, tak menghukum, padahal kucuri hatimu yang cuma satu.”
“Hmm, justru itu. Karena cuma satu, kembalikan padaku.”
“Nanti pasti kukembalikan, dan tak akan kucuri lagi.”
“Kembalikan sekarang, nanti mesti kaucuri lagi.”
“Oh…yayaya…aku mengerti.”
Begitulah, maka cintaku tak tahu malu lagi, mencuri hatimu yang cuma satu berkali kali. Kau selalu sama, menyenangkan, sangat baik, tak marah, tak menghukum. Hanya sedikit merepotkan, kadang kadang, tidak sering. Setelah sempat terpikir, akhirnya kutanyakan,”Kenapa bukan kau yang mencuri hatiku seperti kucuri hatimu. Kadang kadang aku ingin tahu, bagaimana rasanya kehilangan hati.”
“Hmm, aku ceroboh dan pelupa, pemalas dan tak suka mengerjakan yang sama berulang ulang. Kalau kucuri hatimu tak akan kukembalikan lagi.”
“Tak apa. Kalau tak kaukembalikan hatiku, tak akan kukembalikan hatimu. Kita bisa bertukar hati.”
“Dengan apa akan kaucuri hatiku kalau hatimu sudah kucuri? Kita cuma punya satu hati, satu hati yang hanya dapat dicuri dengan hati. Tak mungkin bertukar hati. Salah satu dari kita harus rela jadi pencuri, sementara lainnya ikhlas kehilangan hati, percaya pencurinya pasti mengerti, hatinya akan kembali.”
“Ah…kau benar. Aku bodoh sekali.”
“Kau mau mencuri dan mengembalikan berkali kali.”
“Kau mau percaya pada pencuri berkali kali.”
“Ada berjuta juta kebodohan pada satu hati.”   
Oh…cintaku cintaku, siapakah kau, siapakah aku, yang ini hatiku atau hatimu. Maaf aku tertidur sebentar dan tak ingat yang mana yang benar, ini hatimu atau hatiku. Ah, tak apa kalau tertukar sesekali, nanti tohk kucuri lagi*

repeat

Begitulah. Semua ilusi. Seperti pagi atau malam, seolah olah semua manusia berangkat bekerja atau terbuai mimpi. Padahal para penganggur berkeliaran, tersebar, berdiri, berjalan, duduk atau tidur tiduran sepanjang hari. Dan mimpi tak punya kehendak dan tak ada kemampuan membuai manusia, sebaliknya manusialah yang membuai mimpi mimpinya, Dengan dalih mimpi adalah kunci, persis penggalan syair lagu. Kunci apa, apa guna kunci jika tak tahu apa yang ingin dibuka atau ditutup. Hati. Ah, itu terlalu imajinatif. Lihat saja bapak itu, usianya telah begitu uzur, sulit menerima kanyataan ada manusia menghabiskan berpuluh puluh tahun hidup hanya dengan mengulurkan tangan minta sedekah. Ibu itu, tak jauh beda, sehari dua kali, pagi dan sore, mengacak tempat sampah, memulung kerdus bekas dan gelas plastik bekas kemasan air mineral.
Jadi sebaiknya merasakan apa, kesia siaan atau kekaguman. Tidak tepat. Semua ilusi, hanya ilusi, cuma ilusi. Sudah tertulis di kitabnya, sia sia segalanya, seperti menjaring angin.
Yang hujan turun lagi. Lagu itu lagi. Tak apa hanya ilusi.
Tepat sekali ilustrasi yang digambarkan sebagai ide dan gagasan  yang keluar dari dalam kepala manusia, sebuah gelembung berisi lampu pijar, menyala, melayang dekat kepala. Seandainya bisa dipadamkan dengan menekan sebuah tombol. Apa gunanya kunci. Tidak penting. Asal lampu pijar dalam gelembung melayang dapat dipadamkan. Pecahkan dulu gelembungnya, lampunya akan jatuh ke lantai, lantas pecah. Jadi gelap. Gelap, tak ada lagi ide, tak ada gagasan. Semoga segalanya kembali seperti semula. Ya, gelembung berisi lampu pijar yang melayang layang dekat kepala menimbulkan kecemasan. Pecah dan padam. Setelah tiada ternyata hanya tiada, seperti segala yang pernah ada, akhirnya tiada.
Sehangat pelukan, tiada jarak, tiada keraguan, tiada keterikatan sekaligus tiada kebebasan. Bahkan tak saling pandang. Terbenam. Senja selalu menawan. Dunia berputar. Terbenamnya matahari juga ilusi, bahkan langit tak peduli, rona cantiknya benar benar nyata. Senja afalah kebahagiaan atau kesedihan yang terbenam, jika matahari adalah mata hati yang sinarnya sedang teralingi, bumi berputar dan bergerak melingkar, air matanya sungguh sungguh basah.
Yang hujan turun lagi. Lagu itu lagi* 

Sabtu, 18 April 2015

bukan hanya tapi

Begitulah. Semua ilusi. Seperti pagi atau malam, seolah olah mengabarkan semua manusia berangkat bekerja atau terbuai mimpi*

Jumat, 17 April 2015

cuci mata

Ketelanjangan selalu suci, maka tubuh mesti ditutupi. Dunia dan mata manusia tak tahan berhadapan dengan kesucian.
Aku pernah menyangka, memiliki kesanggupan mencintai sesama manusia tanpa hasrat bercinta. Seperti biasa, sangkaanku seringkali salah, entah kau, hanya kau yang tahu dan kau boleh mengatakan padaku atau menyimpannya untuk dirimu. Yang kutahu, sangkaanku salah. Aku tak pernah sanggup mencintai tubuh tubuh tak bagus, tulang bengkok, terlampau gemuk atau kurus, kulit kusam dan keriput, mata lamur, bibir perot, rambut rapuh, tangan dan kaki gemetar tak terkendali. Jangankan mencintai, memandang sekilas saja membuatku muak. Manusia manusia buruk yang tak mampu membangkitkan hasrat atau sekedar khayalanku bercinta, tak pernah dapat kucintai mereka, pedulipun tidak, malahan ingin kumusnahkan mereka.
Maka kata kata manisku pahit semua. Hinalah aku supaya aku berhak menuduhmu ngawur. Setelah kita saling menghancurkan imajinasi, akan kucoba sekali lagi mencintaimu. Untuk sedikit lebih membenarkan sangkaanku. Jika dapat kucintai sesama manusia tanpa nafsu, mungkin akan kumengerti kau sepersekian bagian, aku ragu berapa bagian kira kira tepatnya, dan bosan berprasangka yang kemudian ternyata lagi lagi terbukti salah.
Hanya kau yang bisa mencintai setiap manusia. Aku merasa terlalu bebal, tak bakal bisa belajar. Maka kualihkan perhatian dengan menulis surat atau sajak. Menghisap sigaret, menikmati kopi, kadang kadang menenggak arak. Tentu saja kau tahu, semua kukerjakan  untuk berbagi kesalahan, bahkan kusebut kegilaan. Dan aku bangga menjadi semacam seniman. Kebangganku bukankah adalah sebagian dari pujian untukmu? Kau tahu aku dapat menulis tanpa jeda, memabukkan diri dengan kata kata bermetafora. Sajak kujadikan setara dengan arak. Malah lebih berkhasiat. Arak dalam jumlah tertentu menjadikan aku jatuh tertidur tanpa mabuk. Sajak membuatku selalu nyalang, terang, mabuk keindahan dengan penuh kesadaran. Aku memang bangsat, kutuliskan sambil tersenyum puas. Tentang ini bukan sangkaan, kenyataannya aku tahu pasti, lebih nikmat mengumpat diri sendiri daripada dimaki maki sesama manusia yang pernah kusangka dapat kucintai setulus hati.
Sajak sajak, terutama yang kutulis sendiri membuat sekujur tubuhku bengkak. Kepala beserta isinya, juga dada dengan segenap organ organ yang berdenyut di dalamnya. Meskipun bengkak, aku merasa sehat dan penuh semangat. Kemudian aku menyangka namanya syahwat, sehat sekaligus sesat. Kecanduan arak atau nikotin sudah kutaklukkan, sangat mudah, tanpa campur tangan ahli jiwa, hanya dengan sajak. Kecanduan sajak, aku bahkan belum pernah menyangka akan begini parah. Belum kutemukan penawar kepedihan.
Manusia manusia buruk rupa begitu banyak, mengepungku, kupejamkan mata atau kutundukan kepala, menuliskan khayalanku. Wangi tubuh dan rambut, pundak dan lengan tegap, tungkai panjang dan lentur, jemari lentik, mata berbinar, suara hangat, senyum nakal. Apa artinya cinta tanpa bercinta? Ada. Kalau aku bukan manusia, kucing misalnya, akan kujilati wajahmu tanpa letih, atau kera, akan kuhabiskan hampir seluruh hidupku untuk mencari setiap kutu di tubuhmu.
Bahkan binatang binatang lebih paham tentang kesucian tubuhnya. Ketelanjangan tidak memalukan karena tak berakal atau karena berahlak mulia. Aku dapat mengatakan sejuta prasangka, benar atau salah. Tubuh manusia bagaimanapun bentuknya, adalah bait suci, dengan tubuhnya manusia beribadah, berlutut atau bersujud dengan melipat kaki dan melengkungkan punggung, berdoa dan berzikir dengan menggetarkan pita suara dan bibir, memandangi sesama manusia dan menyangka dapat mencintai semuanya dengan mata, otak dan kelenjar kelenjar penghasil hormon dalam tubuhnya. Bercinta, menjalankan amanah mengisi dunia dengan sekujur tubuh dan organ reproduksi di dalamnya. Ah, ternyata menulis juga dengan menggerakkan lengan, telapak dan jari jari tangan.
Selama masih kutemukan keajaiban dalam sajak sajak yang kutuliskan aku belum dapat beranjak. Kelak mungkin akan kutemukan dan kukerjakan yang lebih mulia daripada berkutat di sekitar sajak sajak. Mungkin kelak aku bisa menjahit baju atau merajut sepasang kaos kaki. Karena dunia dan mata manusia tak akan pernah sanggup berhadapan dengan ketelanjangan. Akal selalu dikalahkan kesucian. Segalanya akan lebih sederhana seandainya aku tahu ada berapa lapis syahwat menyelubungi jasat.  
Hanya kau yang tahu, tentang segala prasangka yang kusangka, benar atau salah. Siapa mampu mengusikmu, lalat, ngengat, atau bangsat, atau penjahat, atau syahwat, atau taubat. Ular melingkar lingkar di atas pagar yang kukatakan berulang ulang dan belum juga benar. Ada apa dengan lidahku, dia tak mau patuh pada kerinduanku, mengatakan rindu lebih dekat kepada kesempurnaan, tidak kekanakan seperti bocah baru belajar bicara.
Kelinci meloncat loncat di bawah pohon. Belalang mengangguk angguk di atas daun. Lebah madu hinggap pada sekuntum bunga. Masih dapat kupilih banyak kalimat yang dapat kuucap lebih tepat. Kenapa masih harus menuntut dan menginginkan kebenaran mengucapkan, ular melingkar lingkar di atas pagar. Betapa ringan saat kuingat, kau pasti tahu segala sesuatu yang aku tak tahu sedikitpun.
Akhirnya aku tanya, manakah yang lebih buruk, mengumbar syahwat atau tidak menutupi aurat. Manakah yang lebih tak dapat dihadapi dunia dan mata manusia, ketelanjangan tubuh atau ketelanjangan pikiran. Kalau kaubaca ini, kusangka aku sedang menuntaskan hasrat, sedang tersesat dalam kenikmatan yang tak sanggup kuhadapi dengan mataku sendiri. Selamat. Ah, selamat hanya nama biskuit coklat, masih banyak selamat lain sebelum wafat atau kiamat*

Kamis, 16 April 2015

empiris

Pematang sawah pasti lupa, betapa gerimis terburu buru jatuh, betapa usil dan licin lumpur. Setelah terpeleset, terjatuh untuk yang ke dua kali, kuingatkan diri. Semua dapat lupa atau lalai tanpa sengaja, juga pematang sawah, boleh lupa atau lalai menjadi jalan yang benar. Tak apa aku terlihat kacau, mirip kerbau, dari mata kaki sampai pinggang belepotan lumpur.
Hujan menderas. Rupanya hujan menyesal, berniat menghapus jejak kesalahan. Aku segera kembali bersih. Agar tak terpeleset sekali lagi, kepada pematang sawah kukatakan,”Sekarang aku akan jalan pelan pelan.”
Untuk hujan, kerena lebat dan bersuara riuh, kuteriakkan,”Sudahlah, aku basah, tapi kau tak bersalah.” Setelah mendengarku, semoga hujan dapat meredakan diri secepatnya* 

al kautsar

Habiskan seluruhnya, hingga ampas yang mengendap, pahit namun tuntas. Sesaat lagi penawar rasa akan dituangkan ke dalam tempurung kelapa yang sama. Rasakan manisnya, nantikan khasiatnya. Siapkah kau bertemu keajaiban tanaman obat*

ziarah

Tak ada lampu dalam kamar itu. Cukup diterangi matahari saat pagi, biar dipeluk gelap saat malam.  Wajah wajah dalam selembar kertas adalah wajah wajah yang mampu mengacuhkan kegelisahan. Kapan.  Kau tersenyum menanti kilat kecil datang.  Siapa yang membidikmu. Kau dan dia telah abadi. Ingatkah kau, naluri insani, ingin abadi. Selamat menikmati kesejukan bening sepanjang hari. Serupa embun beku mendekap senyuman, melekat arat, tak ada jarak, tak ada bayang bayang. Kenangan mengenal jalan pulang.
Selamat pagi ayah, selamat menikmati serealmu. Maaf aku mengatakannya seperti biasa. Aku merasa kau belum lupa caraku bicara. Aku masih sama, masih ingat kau mahir menanam dan belum kutanam.  Aku tersenyum menemukan senyumku abadi bersama senyummu di atas meja.  Sebelum beranjak kusapa kaca, selamat malam penjaga senyuman*

Sabtu, 11 April 2015

just peachy

Kemarilah sayang, jangan sibuk atau lelah. Kita harus bicara. Aku ingin mendengarmu mengatakan semua yang tak dapat kaukatakan pada semua orang.  Dunia akan baik baik saja, meskipun kita acuhkan sebentar atau lama. Tapi aku bakal merana, bila tak ada kau dekatku, atau didekatmu tanpa kauperhatikan sepenuh hasratmu.
Kemarilah sayang, dekat dan lebih dekat. Akan kubisikkan sebuah rahasia yang tak akan pernah terbuka sepanjang usia semesta. Kau tahu, telah kaudengar sejak pertama kita berjumpa saat pandangan matamu tertuju padaku, segalanya akan berlalu, dan kita selalu begitu tentang sesuatu. Yang lucu, yang membuatmu tertawa yang menjadikan aku terus mengulang ulang beberapa kata.
Kenapa. Bagaimana. Benarkah. Kita lupa. Kita bertanya tanya. Kita ada. Kita siapa. Kita tertawa. Dan tak ada yang mencuri waktu. Kita menunggu waktu datang, atau kita tak peduli, waktu memamerkan kesanggupannya mengubah segalanya dalam sekedip mata, kemudian memohon kita meminta kesepakatannya tentang menikmati ketepatannya.

Kemarilah sayang. Kueratkan genggam tangan. Kulekatkan lengan. Padamu. Kugumamkan, kau tahu tanpa kuberitahu, kau sungguh tahu hanya kau yang tahu. Aku kecil dan dungu dan lucu dan kau mau jatuh hati untukku* 

Senin, 06 April 2015

mata lumpur

Musim dan kucing, bertemu di teras rumahku, di jejak langkah berlumpur. Aku merenung, semakin dalam, semakin buram. Hujan telah usai, dunia masih basah, serupa kanak kanak baru beranjak dari bak mandinya, tubuh dan rambutnya harum, bersih, sejuk, meneteskan air.
Ada yang ingin kutanyakan, tapi belum teringat. Aku terpaku, seakan debu di sebuah sudut yang tak tersentuh. Mendesah tanpa makna, terpikir saja olehku,”Benakku tak berpintu.” Segala boleh datang dan pergi tanpa permisi, semua boleh mampir sejenak atau lama. Dan aku bahkan belum mampu mengingat yang mestinya kuingat. Tak ingat, serumit tak melupakan. Tak mampu kuingat apa yang seharusnya kulupakan.
Kucing siapa, musim apa. Aku tak lupa, hanya tak ingat. Lumpur seakan tak terlihat. Haruskah aku sedih atau senang tanpa sebab. Dan aku tahu ini bukan amnesia. Aku manusia, itu saja, tersesat di teras rumah. Jendela jendela melihatku tanpa merasa iba, mungkin hanya peasaanku saja. Kasihan. Angin tiba tiba berdesir, kudengar deru mesin.
Seorang pengendara motor lewat begitu saja. Menerobos kekosongan yang kukira terhampar semacam jalan lengang di luar pagar. Betapa asing dunia. Betapa tak kukenal. Kucoba melangkah kembali ke tempatku, gerak yang tak menciptakan jarak, diam. Serasa berjuta jam, kelopak mataku akhirnya terkatup. Gelap. Ini baru nyata. Lumpur hitam. Mataku terpejam, kubuat gelap. Paling tidak aku masih mengendalikan sesuatu. Bukan pintu di benakku.
Kuraih titik titik berkilau yang beterbangan dalam kegelapan, mestinya terburu buru, kudengar suara, getar tubuh kucing. Semakin asing, dengkuran kucing. Bau tanah basah. Angin tiba tiba menyerbu dekat, meruntuhkan sisa hujan dari daun daun dan ranting di atas pohon. Suaranya seperti mengingatku sedang melupakan tempat dan waktu. Seperti sedang mendongak ke arah sepasang mata, pandangannya bersirat tanya,”Kau baik baik saja?”
Ya. Apakah aku baik baik saja. Sebaiknya aku lupa. Mengapa harus sungguh sungguh melangkah. Apakah harus ke mana.  Lumpur lumpur yang lucu. Hujan hujan, kubisikkan. Kucing mendengkur tanpa tidur. Jika bukan pintu, mungkin jendela. Tak berpintu tak pasti selalu terbuka. Ya, melompati jendela, kududuki tepinya. Burung kakak tua sejak lama hinggap di jendela.
Wah…dunia rumah…jendela mata…aku mulai lelah, mulai merasa salah memilih kata* 

Selasa, 31 Maret 2015

silent night

Kanak kanak itu menyentuh salju yang tersangkut pada sebatang pohon cemara, berseru girang,”Hi…dingin!” Sesaat kemudian matanya bertemu pandang dengan wajah seorang malaikat dalam permukaan sebutir bola kuning keemasan, Wajah malaikat seperti wajahnya, sama kanak kanak, ia tersenyum dan berbisik,”Hei…ayo terbang.” Kanak kanak tertawa kecil melihat malaikat mengepakkan sepasang lengannya. 
Tiba tiba tawa kecil kanak kanak teredam, sepasang tangan menangkap sayap sayap malaikat. Kanak kanak diam, merapatkan kedua lengannya pada tubuhnya, mendengar seorang dewasa bicara padanya,”Hati hati, jangan dekat dekat, nanti pohon natalnya rusak.” Kanak kanak menundukkan kepala, enggan menatap wajah malaikat.
Setelah orang dewasa berlalu dari dekatnya, kanak kanak melangkah mundur, malu malu, beringsut menjauh dari pohon cemara cemaraan, diam diam meninggalkan suara suara riang gembira, menghindari kehangatan lagu dan lampu. Di sebuah sudut remang di luar ruang, kanak kanak duduk sendirian, memeluk lututnya, berbicara tanpa suara,”Tuhan yang baik, selamat ulang tahun, maaf aku tak punya hadiah untukmu. Tapi, aku menulis surat, nanti setelah semua orang tidur, kalau sempat, aku sangat ingin kaubaca suratku."
*

Minggu, 29 Maret 2015

suara hati

Dini hari. Kopi dalam gelas kuhabiskan.       
Hari baru sudah datang, tanya hatiku. Hanya hatiku yang belum bisu, yang gemar bertanya ini itu. Suaraku sudah pergi,  berkelana mencari sepasang telinga masih terjaga. Kepadanya suaraku ingin berbisik,”Sebentar lagi pagi, aku  belum tidur, tak pernah bisa diam sebelum kaubungkam dengan ciuman.”
Telingamu sudah pulas. Kopi dalam gelasmu setengah penuh. Seperti biasa, tidak sengaja kausisakan, untuk dini hari untuk kuhabiskan pada suatu hari. Saat kau terjaga nanti, gelasmu akan bernyanyi,”Ijinkanlah kukecup keningmu, bukan hanya ada di dalam angan…”
Suaraku masih di sana, diam diam menunggu kau menggeliat, menggumam ke arah gelas,”Duh…berisik…” Kemudian kau kembali lelap setelah menguap.
Telingamu tak mendengar suaraku mengeluh,”Kau mestinya tahu, seorang peri yang sakit hati telah mengutukku jadi putri tidur dalam hatimu. Serasa beratus ratus tahun kunanti sebuah kecupan.”

Selamat pagi. Dua gelas kopi bertukar salam dari kejauhan, melangkahi kekosongan. Satu di sini, yang lain di sana. Seperti pohon pohon di tepi jalan, seperti diam seperti berlari mengikuti. Melintasi jalan bebas hambatan, melewati kemacetan, menaklukkan kepenatan. Hatiku menunggu suaramu datang, mengantarkan suaraku pulang, bukan hanya dalam mimpi. Seperti aku menunggu, terjaga dalam hatimu, terlelap dalam pelukmu*     

Minggu, 22 Maret 2015

puzzle

Kenapa warung warung favorit kita selalu cepat menghilang? Ini seperti cerita misteri yang sungguh sungguh terjadi. Warung warung yang menyediakan tempat nyaman, menu nikmat dengan harga murah. Satu, dua, atau tiga kali, kita makan di sana, sambil ngobrol, diakhiri dengan bicara panjang lebar sambil menikmati beberapa batang kretek atau sigaret, setelah sendawa seluas dunia, terasa lebih dari cukup. Tak lama kemudian, hanya beberapa hari, kita lewat di jalan sama yang serasa berbeda. Keajaiban terjadi lagi, warung tersebut tutup, pindah tempat atau entah apa dan bagaimana, tak dapat kita temukan. Dan misteri ini terjadi lebih dari tiga kali.
Siapa sih sebenarnya kita? Kenapa? Kasihan manusia lain yang juga pelangan dan penggemar warung warung yang kita sukai. Tentang ini, aku tak berani, mungkin pula tak sanggup mengemukakan pendapat logis. Teramat banyak warung di sepanjang jalan, tapi sengaja atau tidak sengaja kau menemukan tempat ternyaman, makanan paling nikmat, harga terhemat, sayang sekali hanya dalam waktu singkat segera lenyap.
Kau memutar balik arah motor, khawatir warungnya terlewat tanpa terlihat. Dua kali kita bolak balik di jalan yang sama, memusatkan perhatian dan menajamkan ingatan, untuk memastikan warung itu benar benar tak lagi ada. Kemudian mau tak mau mesti percaya, bahwa sekali lagi misteri itu terjadi. Yang sudah terjadi ya terjadi. Satu satunya yang dapat dilakukan adalah mencari lagi, warung pengganti. Kita lelah, lapar dan perlu tempat untuk bertukar pendapat tentang warung ideal yang kembali menghilang.
Lain kali, sebaiknya kita menahan diri, menyimpan baik baik rasa nikmat dan kepuasan setelah singgah dan menikmati hidangan pada sebuah warung ideal. Tentu ada banyak standar dan syarat agar sebuah warung layak diberi gelar ideal, berbeda pada setiap orang. Biar saja, urusan dan standar orang, cukup ideal menurut selera kita saja. Ya, lain kali, kita tak perlu menunjukkan kegembiraan berlebihan saat mendapatkan rasa kenyang lahir batin dengan harga ekonomis. Diam diam saja. Atau jangan berharap menikmati apapun, sekalipun sungguh sungguh nikmat lebih dari tiga kali.
Ini penting. Mungkin warung warung ideal memang lebih baik hilang dari pada kita kehilangan kejutan. Rasa nikmat dapat datang setiap saat, dalam petualangan atau kenangan, bahkan ketika kita salah jalan, kepanasan atau kehujanan, kehausan sekaligus kelaparan. Rasa nikmat dapat menjalar, lebih panjang dari perjalanan. Tapi kejutan tidak. Kejutan datang dan hilang tanpa rencana, tak disangka sangka. Seperti saat kau mendadak mengerem motor tanpa sebab, selain alasan tak bermutu. Hanya demi kaudapat kesempatan mengatakan komentar norak, Hmm…enak.., saat dadaku merapat di punggungmu dan tanganku bergerak spontan memelukmu erat erat. Sebesar apapun kedongkolanku, kejutanmu tak pernah gagal mengalahkan rasa nikmat.
Seperti kejutan, hilangnya warung warung ideal, berhasil menumbuhkan motivasi tingkat tinggi sekali lagi hingga tak terhitung kali, untuk kita kembali berjuang. Mencari tanpa henti warung ideal yang lain. Demi memenuhi kebutuhan jiwa dan raga, kita tak boleh jera, tak boleh patah semangat, tetap menjaga keyakinan, bahwa masih ada warung ideal lain di muka bumi, asal kita ikhlas kehilangan yang lama yang tak lagi ada, dan mau berusaha menemukan yang sesuai harapan dan kata hati.
Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan warung warung favorit kita. Warung warung tersebut benar benar pantas disebut warung ideal. Keberadaannya menyediakan nikmat, ketiadaannya mendatangkan hikmah. Setelah misteri terulang ke sekian kali, saat menikmati hidangan  dalam suasana yang bikin kita merasa kenyang sekaligus saling sayang, kita sulit lupa diri. Dalam hati dan pikir mudah sekali teringat betapa tak ternilai harganya, anugrah terindah, hadiah tak terduga, kejutan tak disangka, petualangan, kenangan, angan angan. Tak harus menjadi seorang militan, menggalang dana dan massa, menebarkan slogan, menggugah kesadaran dan meyakinkan setiap orang, agar ikut serta dalam keprihatinan mewujudkan gerakan #save warung warung ideal. Cukup kita, kau dan aku, bersama, kau atau aku saja, menikmati makanan yang dipilih dan telah dihidangkan sesuai pesanan, tanpa paksaan, sepenuh hati, lantas sesekali cekikikan sambil ngudud dan ngopi, saat kau dan aku berdiskusi.
Lain kali mampir sini lagi, atau  cari yang lain.
Kalau bisa ke sini lagi. Murah. Sambelnya enak, nasinya kaya beras wulung.
Sudah berapa kali kita makan di sini.
Hmm, seingatku sudah tiga kali.
Ya, siap siap aja.
Wah…siap siap gimana.
Sudah biasa kan.
Haa…Bukan biasa. Luar biasa.
Selain ideal, warungnya boleh kita sebut pahlawan. Gugur satu tumbuh seribu. Tidak masuk akal, murah, sedap, nyaman. Warung warung tersebut uniknya juga kerap bernama sama, nama warung kebanyakan yang bertebaran sepanjang jalan di mana mana, lesehan, lumayan, sederhana, barokah, kita, anda, bu sri, kadang kadang tak bernama. Mirip pahlawan. Kita bisa berziarah sambil makan, seperti di taman. Taman apa saja. Tempat nyaman di mana kita bebas tertawa sampai berlinang air mata. Berbincang mesra sambil mengheningkan cipta* 

Rabu, 11 Maret 2015

kesan dan pesan dua ekor lampu

Berjagalah sepanjang malam, setidaknya jangan kausia siakan seluruh waktu malammu dengan memejamkan mata. Tak guna menanti mimpi indah ketika malam sedang menunjukkan kenyataan menakjubkan. Pada malam hari segenap semesta sedang bersuka hati, memamerkan kekayaannya yang tersembunyi. Ya kekayaan yang tak akan dapat kaumiliki di siang hari, tak peduli sekeras apapun kau berkerja untuk mendapatkannya. Kekayaan yang tak terbeli, namun boleh kaunikmati sepuas hati jika kau sanggup bertahan dari deraan rasa letih dan kantuk di malam hari. Tengoklah ke atas, sebutir mutiara paling sempurna berpendar di sana, di sekelilingnya ribuan permata bermacam karat dan ukuran sedang berlomba memancarkan kilaunya. Bukan hanya angkasa. Kalau kau mau sedikit bersusah payah memanjat, naik ke tempat lebih tinggi lantas mengamati yang terhampar seluas pandangan. Akan kaulihat dunia yang sangat berbeda dengan dunia yang kautempati saat siang hari. Dunia malam bertabur cahaya, seperti juga langit, rupa rupa bentuk dan ukurannya, aneka warna sinarnya, semuanya berkelip kelip riang. Tidak macam siang, kota seakan akan tanpa cela di malam hari. Gubuk dan istana, tempat kumuh dan megah, pembuangan sampah dan taman kota, semua tampak setupa dari tempat kau berada, sama sama memancarkan cahaya. Segala yang padam dan terasa kejam di siang hari, menyala terang dan menyapa ramah di malam hari. Keindahan malam begitu nyata, bukan mimpi di siang bolong. Kesunyian, keheningan, ketenangan, mengisi setiap kekosongan yang kaukira telah dipenuhi kesepian dan harapan tak bertepi. Kau dapat mendengar hela nafasmu sendiri, detak jam dan jantungmu ternyata seirama dan bersahutan, persis nyanyian katak sehabis hujan, tidak merdu tapi menyenangkan, seperti percakapan dua orang yang saling mengerti*


Untuk apa menghabiskan waktu mengingkari kegelapan. Menerbangkan angan angan memang lebih mudah ketimbang menerbangkan layang layang. Kau sudah terlalu tua untuk begadang. Sayangilah usia, kesehatan sangat mahal. Malam tidak menyingkirkan kekecewaan, tidak menghapus kepedihan, hanya menutupi atau mengalihkan perhatianmu dari setiap luka dan memar, kalau tidak dengan kegelapan, pasti dengan kelap kelip cahaya di kejauhan. Mendekatlah, menyerahlah, kepada hasrat dan kehendak alami dirimu sendiri. Hanya pengecut yang tak dapat tidur karena takut bermimpi buruk. Kau hanya manusia dan sekarang masih menghuni dunia. Selayaknya bila lelah dan tidak sempuna. Bagaimanapun kesegaran, kehangatan dan terang yang sebenarnya, terbentang sejak terbut hingga terbenamnnya matahari. Segenap kehidupan akan berlanjut meskipun tak ada bulan purnama dan tak terbit satupun bintang di malam hari. Namun, dunia seketika tamat jika kehilangan matahari. Jangan hanya berkhayal, belajar lebih bermanfaat. Kalau kau cukup istirahat di malam hari, tentu dapat kaunikmati keriangan pagi, derap kaki dan celotehan anak anak menuju sekolah, suara suara pekerja siap memperjuangkan nasibnya. Aroma sedap sarapan berputar di udara, kokok ayam jantan, kicau burung burung, bau harum cucian yang baru dijemur. Semua begitu nyata, baik baik saja seperti hari hari lalu. Pagi ini, sekali lagi telah melalui kegelapan dan kesunyian malam dengan selamat. Tak ada yang kurang. Seorang atau beberapa anak mungkin menangis dengan suara nyaring, setelah terjatuh karena berlari kelewat bersemangat. Tak akan lama kesedihannya, segera saja, ada yang mendekat untuk menghibur dan mengobati luka atau memarnya. Meskipun perih, segalanya akan baik baik saja. Tangis si anak terhenti ketika pandang matanya menemukan seekor capung terbang melintas di dekatnya, kemudian hinggap pada sebatang ranting. Seekor kupu kupu telah lebih dulu berada pada sekuntum kembang kecil di dekat ranting. Capung dan kupu kupu bertengger berhadapan, bersama sama mengepakkan sayapnya. Kepakan sayap capung dan kupu kupu tidak selaras, seolah keduanya beradu cepat melontarkan kalimat dalam isyarat kepakan sayap, bertukar cerita lucu tentang keusilan sebutir batu yang menyebabkan seorang anak tejatuh* 

Minggu, 08 Maret 2015

puzzle

Susah susah mudah kau kudekati. Kucari engkau lari. Kudiam kauhampiri. Ini penggalan syair lagu yang pernah populer pada jaman dahulu. Lagu yang pernah dimanfaatkan oleh beberapa lelaki untuk merayuku. Setiap kali mendengarnya aku teringat masa lalu yang bikin aku tersipu tidak tahu malu. Agak kusayangkan pencipta lagu sekaligus penyanyinya, yang pada jaman dahulu sangat kusukai sekarang beralih profesi menjadi bintang iklan kopi. Yah…aku penikmat kopi dan sepakat bahwa semua orang sebaiknya mengubah nasibnya, mengerjakan yang menurut mereka baik demi memperbaiki hidupnya. Namun secara pribadi, tetap sulit untukku menghapus rasa kecewa semacam belasungkawa, yang bangkit dari lubuk hatiku setiap kali menyaksikan seseorang memutuskan atau melakukan tindakan yang menyimpang dari jalan idealisme yang semula telah ditempuh. Hmm, sebenarnya bukan urusan dan niatku untuk membahas tentang orang lain yang tidak kukenal dekat. Sehebat apapun karakter dan karyanya, di dunia tak ada yang sempurna.
Kembali ke topik awal, syair lagu pada jaman dahulu. Kuberikan padamu sebuah batu akik, tanda sayang batin yang tercekik. Sepenggal syair lagu lain, diciptakan dan dinyanyikan oleh orang yang sama, pada jaman dahulu yang sama. Kini sering membuatku tersenyum getir. 
Sejak semula, entah sejak kapan, tepatnya pada jaman sekarang, aku terpaksa berada dan melihat sekumpulan manusia bersuara parau. Sekumpulan manusia yang keberadaanya gagal kuterima apa adanya. Keadaan yang sama berlaku dua arah, sekumpulan manusia yang tidak butuh mendengar setiap kesan dan pesan yang dengan sukarela kuberikan pada mereka. Baguslah, tidak saling menghiraukan. Mereka tercekik batu batu akik, aku tenggelam dalam khayalan.
Namun, debu sekalipun sangat kecil dapat sangat mengganggu, apalagi sekumpulan manusia yang ukurannya rata rata lebih besar dariku. Betapa besar harapanku untuk membersihkan seiiap butir debu yang terlihat. Sebesar anganku untuk mengirimkan ombak paling tinggi yang sanggup menyapu bersih siapa atau apa saja yang aku tidak berkenan.
Perasaan galau membuatku sembilan sepersepuluh putus asa. Entah sengaja atau kebetulan, ada yang  menghiburku dengan mengantarkan ingatanku kepada sebuah nama, squitward tentacles, seekor gurita penggurutu, tokoh sebuah serial film kartun yang kutonton setiap jam enam pagi di televisi. Squitward mengingatkanku pada seseorang yang kukenal sangat dekat, aku. Lantas aku bisa tersenyum tanpa malu, kami mirip sekali. Aku dan squitward sama sama merasa terlalu berbakat dan artistik, tidak layak, bahkan muak, bertetangga dengan sepotong spons yang selalu gagal ujian di sekolah mengemudi, dan seekor bintang laut tak berotak yang satu satunya kehebatannya adalah bersendawa.
Persis squitward, aku merasa sia sia dan paling tidak bahagia. Menjalani profesi dan menghabiskan waktu dengan mencemooh keadaan dan mahluk mahluk yang tak dapat diperbaiki. Hahaha…aku senang, setidaknya aku tidak sendiri, ada yang serupa denganku. Malahan seseorang tak kukenal menciptakan tokoh dalam sebuah film yang karakternya kuilhami.
Setiap hari aku mengeluh, seseorang yang kusayangi, yang pada jaman dahulu sering merayuku dengan lagu lagu kesukaan kami menyebutku, tukang ngroweng. Seharusnya kutulis dalam tanda petik ”tukang ngroweng”. Karena dikatakan dengan cinta dan niat tulus, supaya aku berhenti meracau.
Adakah yang perlu diperbaiki? Semuanya telah dinyanyikan lagu lagu yang sering kami dengarkan bersama dengan gembira, sambil saling tersenyum jahil, saling menggenggam telapak tangan, duduk saling bersandar, pada jaman dahulu. Kalau nona bicara persetan logika, sedikit keras kepala, ah dasar betina…Ahh…senang sekali mendengarnya meskipun hanya sesaat. Belum selesai satu lagu, selalu segera berganti lagu yang lain. Semakin bagus lagunya, semakin sebentar diputar, ini keluhan berdasarkan fakta.
Suatu pagi saat menonton televisi bersama seorang bocah lelaki berumur sembilan tahun, aku bertanya “Squitward itu jahat ya…”
“Ya gak jahatlah. Spongebob dan Patrick yang kelewatan. Kasihan squitward, masa liburan tenang sehari saja sampai gak bisa.”
Oh, alangkah manisnya, kata kata bocah lelaki umur sembilan tahun. Membuatku tersenyum malu bertabur rindu. Bocah lelaki itu lebih tampan darimu, lebih pandai merayu ketimbang semua lelaki yang pernah mengenalku. Memandang matanya aku tidak bisa tidak bernyanyi dalam hati.
Kuberikan padamu setangkai kembang pete, lambang cinta abadi namun kere. Buang jauh jauh impian mulukmu, sebab kita tak boleh bikin uang palsu. Kalau di antara kita jatuh sakit lebih baik tak usah ke dokter, sebab ongkos dokter di sini terkait di awan tinggi… Aku bernyanyi, tanpa ragu, tidak tahu malu, persis squitward memainkan klarinetnya.
Bocah lelaki itu tersenyum mendengar nyanyian dalam hatiku. Seperti squitward, menurut pendapatnya aku tidak jahat. Apakah ini liburan? Aku merasa sedang menikmati secangkir coklat hangat*

Sabtu, 28 Februari 2015

katakan dengan bunga

Kata orang ia perempuan. Aku sulit percaya. Seseorang mungkin telah menggunduli kepalanya, dadanya benar benar terlihat rata. Sering ia lalu lalang di sekitar lapak lapak pedagang kaki lima. Berjoget dengan gerakan yang menghibur banyak orang. Semua orang yang melihatnya tertawa, sesaat kemudian menyebutnya gila.
Sudah tiga kali dia mendekatiku, tersenyum manis, mengangguk ramah, menyapa hangat. Aku terpesona pada kegilaannya. Siang itu, ia tampak lebih gembira, lebih bersinar dari biasanya. Berdaster kuning, meskipun lusuh dan koyak di beberapa bagian, bajunya membuatnya cantik. Atau mungkin sekuntum bunga kuning yang terselip pada sebelah telinganya bikin ia terlihat makin cantik. Ia kembali menari seirama lagu yang kebetulan diputar di sebuah lapak penjual vcd.
Tak kudengar lagu ataupun iramanya, tapi tariannya memikat mataku. Entah, gerakannya indah, atau hanya karena aku terperangkap khayalan yang tak mudah kujelaskan. Ia terus menari, mengiringi lagu lagu yang silih berganti. Memandangnya sedilit lama, membuat mataku mendengar. 
Tahukah ia telingaku setengah tuli selama tiga puluh hari? Benar benar tuli, sejak demam tinggi dan terkapar di tempat tidur selama tujuh hari. Tahukah ia aku sering menyombongkan diri saat merasa rendah hati? Tahukah ia aku sibuk mencoba menggambar seraut wajah, entah milik siapa, memancarkan cahaya? Tahukah ia aku belajar sungguh sungguh demi setiap sepertujuh helai rambutku, untuk memilih dan memilah antara cinta dan riya? Tahukah ia aku masih ingin…
Tiba tiba ia menghampiriku. Setelah cukup dekat ia mengangguk ramah, merekahkan senyum cerah, menyapaku hangat. “Sendirian mbak, teman temannya belum datang?” Bagaimana ia tahu aku sedang merindukanmu? Bagaimana ia tahu aku mempunyai teman teman yang belum datang? Sekuntum bunga kuning terselip di telinga kanannya, sangat serasi dengan baju dan senyumnya. Pun seandainya ia gila, ia tidak buta warna.  
Aku cuma mampu menjawab sapanya dengan anggukan dan senyum, seadanya saja. Senyum yang belum pernah merekah seharum senyumnya. Ia serupa setangkai bunga, kuning menggoda, menyalakan anganku yang redup, hampir padam ditelan dengung dalam telinga kananku. Angan yang dulu kerap riuh bersiul, tentang padang rumput berbunga eneka warna, danau, kepak sayap burung, percakapan antara serangga dan jamur, dan rentang lenganmu menyambutku.
Alangkah sulit percaya segala kata orang, sebanyak apapun. Bagaimana dapat kupercaya kata kata mereka? Ia sama sekali tidak mirip perempuan gila. Ia serupa setangkai bunga. Siapa tahu ia diutus secara khusus, sakral dan istimewa. Diutus untuk menghibur banyak orang dengan tariannya. Bagaimana aku dapat bertanya padanya, benarkah salah satu misinya adalah mendamaikan jiwa dan raga yang sedang sekarat? Jiwa dan raga yang terkapar bersisian, terluka parah, akibat berperang sekian lama.
Katakan dengan bunga. Siapa yang bersuara? Sepasang kupu kupu kecil bersayap hijau pucat yang baru saja melintas sambil tertawa tawa? Aku menyerah. Sayap sayap rapuh itu bernyanyi, nyaring, merdu, mengalahkan rintihan dan ratapan entah siapa yang sekian lama menulikan telinga kananku.
Katakan dengan bunga? Serupa sekuntum bunga kuning yang terselip di telinga kanannya? Mungkin kalau kuselipkan di telinga kananku... Setelah sekali lagi mengangguk ramah, Ia berlalu, meninggalkan rasa hangat semanis madu pada bibirku yang pecah*

mengasah hati

Dini hari selalu jenih, bahkan telalu jernih. Maaf, kutumpahkan berulang kali. Aku menyayangimu, bisikanku menodai yang paling jernih sepanjang hari, setiap hari. Aku mohon kau mengerti tanpa peduli, kaumaafkan berulang kali. Sepenjang hari. Setiap hari. Sampai kumati*

catatan senja

Ke dalam sebuah sebuah malam ia ingin tenggelam. Sayang sekali, tak ada malam yang cukup dalam. Setiap malam menelan barbatang batang jalan, bermil mil perbatasan, berton ton keresahan. Keruh tanpa penuh. Ia mencoba berenang. Mungkin pada malam yang akan datang ia dapat menyelam. Ia berharap dengan menyelam, keinginannya akan tenggelam, sesedap malam dalam lukisan sebuah matahari terbenam*

pelangi pelangi

Bukan kau yang tak kelihatan saat kau tak ada di sini. Kau selalu ada dan tak pernah kemana mana. Hanya ingatan matahari yang pergi, tak lagi ada di sini, tak tahu kemana dan kenapa. Cahaya seolah lupa cara menghias angkasa. Sia sia gerimis dan hujan menempuh perjalanan rumit demi memenuhi kerinduan para bidadari turun sebentar ke bumi.
Matahari hanya termenung, manyun dan bingung, seperti lupa atau tak kuasa mengucapkan mantra untuk menyihir jejak air jadi lengkung tangga warna warni dari surga. Lantas semua mulai bertanya, bergantian atau bersamaan, kau sedang kemana dan kenapa, kepada sepasang mata yang kehilangan kata kata.
Sepasang mata menggeletar dan menggigil. Sepasang mata kedinginan diserang air. Air yang dingin dan hening, nyaris putus asa, tak lagi bisa bercerita mengiringi nyanyian anak anak yang riang menggambar saat menyambut hujan*  

Kamis, 29 Januari 2015

karena tak tahu nomor handphonemu


Aku ingin menimpuk langit atau menangis. Akhirnya aku mesti menangis setelah tak mampu menimpuk langit. Langit teramat jauh dan tinggi, aku sangat kecil, ayunan tanganku tak cukup kuat, tak ada batu yang cukup ringan atau bisa terbang, langit tidak mendekat.
Aku menangis, setelah gagal menimpuk langit. Meneteskan air mata yang kemudian entah pergi ke mana. Aku hanya dapat berharap tangisku serupa hujan, setiap tetesnya jatuh, melesap ke dalam tanah, mengalir jauh atau dekat, lantas menguap. Berpindah tempat dari bumi ke angkasa, semoga air mataku akhirnya tiba di langit. Dan langit tahu ada yang berbeda yang menyentuhnya, bukan uap air biasa, melainkan uap air mata.
Bila harapanku menjadi nyata, aku ingin kau bertanya, kenapa aku ingin menimpuk langit atau menangis. Agar kudapatkan alasan, boleh berteriak dengan suara sebising dan sejauh angin hingga kaudengar, seperti kudengar bisikanmu semesra halilintar.
“Sebentar lagi hujan air, bukan hujan batu. Karena aku masih sayang padamu.” Sungguh? Akupun begitu, ingin menimpuk langit atau menangis demi memuaskan hasratku membalas pesan kilatmu*