Sabtu, 29 Desember 2012

dekrit

Perintahnya adalah, tuliskan. Ruas jemarimu bertulang, tidak macam lidah yang lembek dan gemar melambai lambai. Ular mendesis dengan lidahnya, melata dengan tubuhnya. Manusia mengoceh dengan lidahnya, bertumpu pada kakinya. Terbaca macam perjanjian lama.
Maka kau, aku dan para mahluk pemilik bahasa, menemukan, atau menciptakan huruf, lambang lambang, lembaran lembaran dan cairan berwarna untuk menorehkan kehendak. Sudah kelihatan bijaksana kan. Rasanya seperti manusia pertama yang masih mempunyai semesta untuk dirinya saja.
Berdustalah dengan lidahmu, bersumpahlah dengan jarimu.
Damai di surga, damai di bumi. Api mengutuk iblis. Perempuan memulas bibir, menggambar sulur sulur bunga pada telapak tangannya.
Di gerbang sama pada setiap kota ia mengerudungi kepalanya dengan kain kusam, menunduk, mendengar, menanti lembaran betuliskan petunjuk jalan. Orang orang cuma melontarkan kepingan logam. Aku setengah percaya ia menyimpan sekantong besar mesiu di balik mantelnya.
Sebaiknya berjalan ke arah laut, ke tempat botol terapung, timbul tenggelam menggenggam selembar penuh huruf buruf yang tak punya suara ketika dibaca. Seisi semesta sudah bosan mendengarku jatuh cinta.
Pada kata. Pada dusta. Pada kita. Asap yang tak pandai bicara. Aku sembah. Membubung memenuhi lambung. Menyambung pita dan benang benang yang murung kehilangan bentuk*