Jumat, 29 April 2016

percakapan kertas dan tinta

Apakah ini kisah cinta?

Ini kisah kita, cintalah yang menuliskan.

Siapa yang membaca?

Cinta dan siapa saja yang dapat membaca, seluruh dunia.

Wah…Kenapa bukan kau saja, atau aku. Bergantian saling menulis dan membaca satu dan lainnya.

Kau lumpuh dan lemah, sedang aku buta dan basah, kau dan aku hanya dapat diam menunggu. Bersabarlah tangan tangan cinta akan menemukan kita, menuliskan banyak kisah. Setiap kisah ditulis dan dibaca, kau dan aku menyatu. Pada kesedihan dan kebahagiaan, bahkan kehidupan dan kematian, aku melekat padamu, tak terpisahkan selamanya.

Sungguh?

Yah…lihatlah buku buku itu*

Selasa, 26 April 2016

first love

Tulisan pertama, ingin kucari, kutemukan kembali.
Duduk bersamamu, meluangkan lebih banyak waktu untuk memikirkan bagaimana caranya agar kau tak ingin sempurna. Jangan sedih, jangan berkecil hati karena aku. Kesedihanku tak ada hubungannya denganmu. Aku berharap kau masih percaya atau setidaknya pura pura mengerti, aku tulus sepenuh hati. Akan kubuktikan, aku siap menanggung segalanya demi kau menjadi susunan kalimat kalimat yang tak pernah ingin kuralat.
Seandainya hanya satu, di antara kau atau aku, harus menjadi pengecut atau pembual ketika dituntut menghadapi kenyataan. Akan kupaksa kau mengalah. Akulah dia, tak tahan kau dicela, tak rela mendengar mereka berkata kau mengada ada. Akulah dia, pengecut atau pembual, pengecut sekaligus pembual boleh juga.
Aku sanggup mengatakan apa saja demi kau percaya, aku baik baik saja meski kelelahan mencari. Aku baik baik saja, hanya tak menyangka, kau tak mencari namun menemukanku kembali.  Kulihat matamu berkaca kaca, seperti bertanya, adakah yang terluka.
Ingin kutuliskan berkali kali, aku selalu baik baik saja, masih membacamu apa adanya*

Selasa, 19 April 2016

home sweet home



Tak kusangka, kau sanggup mengaburkan makna kata. Kota dan rumah. Rencana dan angan angan. Kerinduan dan kehilangan.
Pohon pohon di halaman diam. Karena tak kenal, apalagi paham, tentang kepalsuan. Dan aku, kaukembalikan aku jadi murid taman kanak kanak, belum dapat menuliskan sendiri namaku pada buku buku bergambar. Bapak atau ibu membelikannya untukku, bambi, pena dan botol tinta, keangkuhan dan kerendahan hati.
Duduk tanpa bersandar, kuharap dapat membuatku jera menyangkal asam dan pahit asap yang kuhirup lantas kuhembuskan. Keluarga kucing tidur pulas, damai, menguarkan kehangatan di setiap sudut. Dinding tegak, warna kusamnya menyiratkan pesan, jangan cemaskan retak. Langit langit menatapku, memahami, memaklumi. Mungkin sekarang saatku bermimpi.
“Aku hanya ingin pulang. Aku hanya ingin pulang.”
Ke dalam pelukan, kudengar suara redup sinar lampu mengusap mataku, menerangi bisikanku*

kata buku pada kutu,



tak perlu ragu. Jadikan aku tak berharga untukmu. Cinta maha kaya, tak menawar, tak meminta keringanan, tak khawatir kehabisan*

bekal hidup



Beberapa orang mengumpulkan bekal hidupnya dengan cara mengais sampah. Aku melihat. Mereka seperti menulis yang tak sanggup kutuliskan dengan kata kata.  Mereka membuatku bertanya, apakah aku sungguh sungguh membutuhkan kesedihan? Jika ya, untuk apa, selain untuk menjadikan diriku manusia?
Seseorang yang menjadikan dirinya semacam pesulap. Memakai sebuah topi yang sesaat nanti dari dalamnya akan kukeluarkan seekor kelinci. Di atas pentas, seekor kelinci kumunculkan dari dalam sebuah topi, putih dan manis. Seekor kelinci yang membuat penonton  mendesah, kagum, menggumam, senang, bertepuk tangan, puas. Berapa orang pesulap hidup di bumi, berapa pesulap mengenakan topi, berapa ekor kelinci seolah olah terlahir dari topi. Beberapa orang mengumpulkan bekal hidupnya dengan cara membodohi orang lain. Beberapa orang mengumpulkan bekal hidupnya dengan cara membela dirinya, dengan gigih dan penuh percaya diri, berkata seorang pesulap tidak membodohi siapapun, semua pesulap menghibur setiap orang, setidaknya dengan seekor kelinci putih yang datang dari kedalaman sebuah topi hitam.
Aku membutuhkan kesedihan, demi meraih kesempatan untuk mengubah setiap kesedihan menjadi kesenangan, atau kebahagiaan, atau kebanggaan.
Beberapa orang mengumpulkan bekal hidupnya dengan cara membeli dan menjual, barang dan jasa. Apapun bentuk dan rasanya, berapapun harganya. Setiap orang mengumpulkan bekal hidup di dunia.
Aku ingin berkata, hidup teramat singkat. Setiap mahluk telah dibekali cukup untuk seumur hidup, bekal yang diberikan bersamaan dengan denyut jantung. Aku berharap kau marah karena aku sungguh ingin mengatakannya kepada setiap orang. Aku berharap kau akan mencibir, kemudian berpaling dan selanjutnya menyebutku hipokrit yang munafik. Bahkan sempat terpikir, aku akan lebih puas dan lega seandainya kau menampar atau meludahi wajahku, setelah meneriakkan umpatan paling biadab tepat di depan telingaku. Apakah aku sakit jiwa dan sesat pikir? Tidak sama sekali. Aku hanya sedang menyayangi diriku sendiri, mungkin juga sekaligus menyayangi segenap mahluk penghuni bumi. Aku membutuhkan kesedihan, bahan utama yang harus ada untuk kuciptakan kesenangan, atau kebahagiaan, atau kebanggaan.
Seandainya benar, harus berpikir agar sungguh sungguh ada. Aku ingin memikirkan cara agar sungguh sungguh tiada. Tak pernah ada*

(NB : Tulisan ini ada karena sms dari no +62853439…. yang saya terima pada tanggal 18April2016,02.55pm dan 19April2016,10.44am. “sy REZKY dari MALAYSIA Brencana investasikan uang sy Sbagai bekal hidup di indo,sy butuh org yg bs sy percayakan uang sy RM 5jt,bila Bsedia, sms di 0853439….”)

simply



Kutulis saat aku ingin menangis. Untukmu. Aku masih percaya kau mencintaiku dan dengan senang hati akan membaca setiap tulisanku. Aku tak tahu, haruskah kau tahu, apakah ketika usai menulis aku akhirnya menangis. Baiknya kau putuskan sendiri, apa yang kauinginkan terjadi padaku saat kaubaca tulisanku.
Ingin kukatakan aku sungguh ingin, namun tak kutulis. Maka kau hanya akan membaca, aku ingin. Tidak orisinil. Kau benar. Inilah aku, menjadi tidak orisinil adalah satu, bagian dari entah berapa hal yang sering membuatku ingin menangis.
Tak akan kubuat panjang. Hanya setengah bagian dari selembar kertas. Selembar berukuran standar, tidak besar tidak pula kecil. Terserah kau mau berpikir apa tentang ukuran standar selembar kertas. Tak kaupikirkanpun tak apa.  Aku akan baik baik saja.
Asal kau masih membaca, semua yang kutulis saat aku ingin menangis.
Aku menggambar dua ekor angsa, lehernya tak terlalu panjang dan tanpa warna. Kau tahu aku selalu memanfaatkan kekosongan pada bagian belakang kertas. Kau juga tahu kenapa.
Kenapa aku tiba tiba menangis, sebelum selesai menulis. Aku menangis, bertanya tanpa suara, tanpa kata. Aku ingin kau tahu semua yang belum dapat kutulis untukmu.
Gerimis di luar kamar, lewat tengah malam. Aku ingin bermimpi kau mencintaiku dengan cinta yang belum pernah dikisahkan siapapun. Lalu terjaga, menemukan kau sedang tertawa menyaksikan sebuah tayangan di layar kaca. Begitu sederhana. Bukan salah siapa siapa. Cinta membuatku tak berdaya. Cinta bukan siapa siapa. Aku hanya mengenalnya, mengingatnya, setelah mengenalmu dan setiap kali mengingatmu.
Tuhan. Sengaja kutulis untuk membuatmu enggan membacaku. Semakin kacau, cinta. Apakah sebatang pensil mencintai setiap lembar kertas atau tangan tangan yang menggerakkan sebatang pensil. Jejak. Aku mencintaimu, bermimpi menghalau semua yang ingin kuimpikan tentang kau, cintamu mencintaiku. Aku bermimpi, bermimpi tanpa pernah tertidur lagi. Melihatmu berpaling ke arahku, berabad abad. Dunia di matamu, jadikan aku debu. Satu atau beribu ribu, semua melekat di tubuhmu. Aku hilang saat kau bersihkan badan.
Begitu sederhana, aku menangis, aku menulis, aku mencintaimu, tanpa titik*