Minggu, 16 Desember 2012

ironi

Hidup cuma sekali, jadikan hidupmu berarti, aku membacanya pada kaca bagian belakang sebuah mini bus yang baru saja berada di depanku. Di bawah gerimis halus dan sapuan lembut angin pada wajahku, menggerak gerakkan rambutku, terasa sejuk dan harum udara sore mengepungku.
Selama manusia manusia masih sanggup merangkai kata kata tak bermakna kurasa dunia masih baik baik saja, juga aku.
Serupa kesehatan menjadi berarti ketika sedang jatuh sakit. Listrik menjadi sangat penting waktu area tempat tinggalku terkena pemadaman bergilir. Pun hidup menjadi berarti pada saat mati. Aku bukan penggemar ironi, hanya terbiasa bersikap skeptis. Dalam hal hal tertentu manusia manusia pemuja ironi bisa diberi predikat jenius oleh sesamanya yang baik hati. Sunggih tidak masuk akal dan menghibur bagi orang yang kurang kerjaan.
Seandainya aku tidak pernah membaca tulisan bijak pada bagian belakang mobil, nasehat tentang hidup, tentu malam ini aku tak menulis.
Yang paling membahagiakan adalah aku tak perlu mengenal atau mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang telah menyempatkan meletakkan tulisan penuh makna pada kaca belakang mobilnya.
Sejujurnya sebagian besar kalimat yang membuat penulisnya mengira mampu menngubah dunia adalah plin plan, juga yang terdapat dalam kitab suci. Aku tak sudi mnunjukkan bukti. Kuakui saja, aku enggan kehilangan ia yang selalu mau menemaniku setiap saat. Persis slogan iklan deododorant, setia setia saat. Bahkan pada waktu aku sedang buang hajat, ia tetap dekat dan mau kuajak bicara tentang segala hal*.