Kamis, 29 Januari 2015

karena tak tahu nomor handphonemu


Aku ingin menimpuk langit atau menangis. Akhirnya aku mesti menangis setelah tak mampu menimpuk langit. Langit teramat jauh dan tinggi, aku sangat kecil, ayunan tanganku tak cukup kuat, tak ada batu yang cukup ringan atau bisa terbang, langit tidak mendekat.
Aku menangis, setelah gagal menimpuk langit. Meneteskan air mata yang kemudian entah pergi ke mana. Aku hanya dapat berharap tangisku serupa hujan, setiap tetesnya jatuh, melesap ke dalam tanah, mengalir jauh atau dekat, lantas menguap. Berpindah tempat dari bumi ke angkasa, semoga air mataku akhirnya tiba di langit. Dan langit tahu ada yang berbeda yang menyentuhnya, bukan uap air biasa, melainkan uap air mata.
Bila harapanku menjadi nyata, aku ingin kau bertanya, kenapa aku ingin menimpuk langit atau menangis. Agar kudapatkan alasan, boleh berteriak dengan suara sebising dan sejauh angin hingga kaudengar, seperti kudengar bisikanmu semesra halilintar.
“Sebentar lagi hujan air, bukan hujan batu. Karena aku masih sayang padamu.” Sungguh? Akupun begitu, ingin menimpuk langit atau menangis demi memuaskan hasratku membalas pesan kilatmu*

Senin, 26 Januari 2015

redaksiani


Betapa teganya kau, menempatkan aku di sini. Di antara orang orang tanpa harapan, lagu lagu kampungan. Untuk penglihatan dan pendengaranku semuanya di bawah standar, jauh sekali, sedalam jurang bedanya.
Apa salahku? Satu, aku merasa tak ada yang pantas untukku. Dua, aku merasa mahluk sempurna, indah dan peka. Tiga, aku pernah membual rela dan sanggup menanggung apa saja demi cinta. Empat, padaku, tak ada yang tidak salah. Lima, aku bertanya, apa salahku.
Kalau kau punya jawaban lain, tolong tuliskan, agar dapat kubaca. Membaca, setidaknya membuatku sebentar lupa pada keadaan sekitar. Betapapun sebentar, kurasa pasti berpengaruh baik bagi kesehatan fisik dan mentalku.
Sebenarnya baik buruknya orang dan nyanyian bukanlah urusan penting. Masalahnya aku merasa gelap, tak ada seorangpun, tak ada satu syairpun yang menyadari keberadaanku, tak ada yang dapat melihat cahaya dalam hatiku.
Mereka semua memandang dan berdendang dengan cara yang sangat menyebalkan. Seolah olah aku sudi berurusan dengan meraka. Kalaupun aku tak dapat menghindar, mestinya aku menjadi pusat perhatian, dan sumber pengharapan. Nyatanya mereka mengira aku setara dan dengan sendirinya menjadi bagian mereka. Tidakkah mereka merasa malu dan hina karena telah menyebabkan aku menderita. Lebih buruk lagi, penderitaanku sia sia, tak disadari, apalagi dijadikan inspirasi, tak menyentuh dan tak bikin trenyuh siapapun.
Ya, orang bebal, tidak berpendidikan, apa yang bisa diharapkan oleh orang bijak dan terpelajar macam aku dari mereka. Masuk akal jika aku tak dapat berharap dari mereka, yang tidak masuk akal, mereka juga tak berharap apa apa dariku. Tidakkah mereka melihat bahwa ada seseorang yang lebih mulia di antara mereka, aku. Sampai putus asa kunanti, tak seorangpun menyambutku, tak ada yang menyatakan hormat dan menanyakan cara bertobat. Benar benar terlalu. Dasar orang orang pinggiran tak berwawasan. Bagaimana mungkin mereka semua menyia nyiakan kesempatan untuk mendapatkan pencerahan dariku?
Apa lihat lihat? Ya ejek saja aku sampai kau puas. Mungkin setelah puas, kau akan menyadari kelalaianmu. Ah, aku tiba tiba ingat kau sering bersikap begitu. Entah lalai atau sengaja hendak memancing perkara, kau keliru menyusun jalannya peristiwa. Orang orang baik bernasib buruk, sedang orang orang busuk hidup makmur. Hmm, kau butuh pengakuan atau pengesahan, bahwa kau pencipta sekaligus penguasa jagat raya? Bukankah untukmu sudah kuberikan pemujaan dan persembahan dengan tulus ikhlas? Kau merasa masih kurang, meskipun setiap saat aku taat, bahkan sering tirakat?
Kalau kau benar benar peduli padaku yang baik ini, kumohon kau kaji kembali dengan teliti, tentang keputusanmu menempatkan aku di sini. Memang aku sering melakukan kesalahan kesalahan kecil, tapi kau maha bijaksana, pasti paham semua orang pernah bersalah. Dan kesalahan kesalahan kecilku tidak mengacaukan apa apa, seingatku aku juga selalu menyesal dan segera minta maaf. Jika ini hukuman, kukira kau keterlaluan, kau mengacuhkan konsep keadilan dan tidak berperi kemanusiaan.
Maaf, kalau kata kataku kelewat tajam, kau kan maha pemaaf. Mungkin aku sedang khilaf. Sedang terpengaruh lagu goyang dumang*

Minggu, 25 Januari 2015

fitrah


Kulihat kau sepanjang waktu, kupatahkan rindu yang melekat di tubuhku.
Adakah yang lebih indah dari rasa bersalah hingga tak berdaya. Salahkah jika kurawat perasaan yang membuat mataku basah. Pada saat rasa terindah memenuhi segenap daya, membawaku terbang, melayang. Serupa sehelai daun yang telah cukup umur, merah keemasan, ringan dan rapuh, sedang terjatuh. Sekilas menyentuh keningmu, lanjut meluncur, melewati lututmu setelah nyaris terlena di pangkuanmu. Akhirnya mendarat diam diam dekat kakimu, berbaring di atas tanah menanti kaulangkahi.
Kau tak tahu, alangkah mantap pijakan kakimu. Tanah menyerah, merentangkan tangannya menyambutku, lantas mendekap erat dan hangat.
Tentu kau tak perlu tahu, telah begitu lama aku menunggu. Mengamati kau dari ketinggian. Berayun, menari, gemulai bersama angin. Diam diam, persis caraku terjatuh di dekat kakimu. Kau tak akan tahu bedanya, sehelai daun kering sedang jatuh cinta atau ribuan daun kering yang tak merasakan apa apa. Tidakkah itu indah? Sehelai yang berserah di antara sekian banyak yang berserakan tanpa makna. Membuktikan kalimat pujangga yang telah dinyatakan berabad abad silam, cinta cukup untuk cinta. 
Kau tersenyum, entah untuk apa. Ketidaktahuan adalah jalan kebahagiaan. Dekapan erat tanah, gemerisik suara suara, akhirnya aku buta. Seperti kata mereka, cinta itu buta. Kemudian apa lagi? Musim akan berganti, pasti berganti. Suatu hari kau akan kembali duduk di bawah naungan sebatang pohon, seperti hari ketika sehelai daun kering akhirnya terjatuh diam diam di dekat kakimu.
Kulihat kau sepanjang waktu, kebutaanku tak pernah berlalu*

sundae


Aku sedang merayakan kebodohan, juga kesalahan. Yang sungguh bodoh dan benar benar bersalah, tak menyadarinya. Jika dengan sukacita dan penuh kesadaran aku mengaku bodoh dan salah, artinya aku hanya setengah bodoh dan setengah salah.
Kenapa manusia selalu menghabiskan banyak waktu dan energi untuk tampil lebih bijak dan pintar dari pada sebenarnya. Masalah yang sangat serius. Sebetulnya tidak akan berdampak buruk pada siapapun. Ingin mengerti atau dimengerti? Solusi termudahnya, pura pura tidak peduli.
Berilmu lebih memalukan ketimbang menjadi dungu. Menjadi dungu sangat aman, menjadikan diri sendiri dungu tidak bertanggung jawab. Terkutuklah setiap filsuf dan nabi yang tidak mengenalku. Akulah jalan, kebenaran dan hidup, seperti kata yesus. Dan semua manusia selayaknya meneladani kata kata yang terucap oleh siapapun yang mampu menghidupkan orang mati.
Kenapa gentar pada keangkuhan? Keangkuhan lebih bersahaja dari pada kemunafikan. Mari bercinta, tak ada ajakan lain yang lebih mulia dari itu. Mari bercinta dengan segenap jiwa. Bukan tuhan, jika tak maha penyayang. Mari bercinta dengan mesra. Percuma mengaku beriman jika tidak berani bercinta, juga dengan dosa.
Kukira aku gila, tentu saja dikatakan oleh orang waras, paling parah cuma setengah gila. Ada apa dengan cinta. Oh tuhan, ampunilah hamba karena selalu takut salah. Jika mungkin dilahirkan sekali lagi, aku sangat ingin menangis keras dan lama. Benarkah air mata dapat memadamkan amarah.
Kalau terpaksa berdosa, menangis saja di neraka, berharap air mata dapat meredam api dan dahaga*.

puzzle


Percakapan kita selalu semrawut, mirip benang kusut. Artinya setiap orang normal akan merasa tergoda untuk menguraikannnya atau meluruskannya. Menguraikan benang butuh konsentrasi, ketekunan, juga kesabaran berkali lipat ketimbang meluruskan baju kusut. Begitulah, kusetarakan masalah seluruh umat manusia dengan baju kusut, dan obrolan kita dengan benang kusut.
Berlebihan? Jika tidak, malah kekurangan.
Entah dari mana idenya, aku lupa. Aku mengarang atau mengingat pendepat seseorang. Tentang permainan menggunakan jari tangan, kenapa Cuma tiga jari mendapat peran. Ibu jari, telunjuk, kelingking. Kasihan jari tengah dan jari manis, tidak diajak bermain.
Singkat cerita, kukatakan padamu, versi baru. Ibu jari, telunjuk dan kelingking tetap pada perannya masing masing, gajah, manusia dan semut. Jari manis bisa jadi macan, lebih simple dikatakan dan dituliskan dari harimau. Jari tengah jadi petir. Kau menyimak, sesaat kemudian kautanyakan aturan mainnya. Untuk jari manis yang jadi macan, ada aturan panjang dan sedikit lebih rumit dari pada yang telah ada. Tak akan kutuliskan, karena, sebenarnya sekarang aku sudah lupa.
Kau tertawa keras, setelah kuberitahu aturan main yang berlaku untuk jari tengah, si petir. Semua jari harus dikalahkan petir, tapi hanya boleh digunakan sekali. Berikutnya giliran lawan main yang boleh memakai jari tengah alias petir unuk mengalahkan siapa saja yang pada permainan sebelumnya telah menggunakan petir untuk memenangkan permainan.
Kau tertawa, hingga aku menyerah, ikut tertawa, lebih keras dan berantakan. Beberapa tetes liur berhasil menghiasi bagian bawah wajahku, akibat tawa yang berlebihan. Jorok dan konyol, seperti manusia manusia yang selalu mengepung langkah kita di mana mana.
Benarkah kau jatuh cinta? Semakin jatuh cinta gara gara aturan main yang tak masuk akal. Aku masih tak ingat dari mana asalnya atau bagaimana awalnya, macan dan petir ikut bermain. Aku ingat petir, setiap kali tanpa sengaja mengamati jari jariku yang lentik. Hahaha… Tak bakal aku takut atau jera disambar petir, terbakar sampai hangus sekaligus basah kuyup. Telah kualami berulang kali sejak kau ada di dekatku. Dan analoginya masih kurang hebat dibanding kenyataannya.
Badai pasti berlalu, mungkin besok pagi atau satu abad lagi, siapa peduli. Selama kau ada, sengaja atau tidak, kaubuat aku berlebihan*