Rabu, 01 Juni 2016

tuhan maha penyayang

Tak ada keikhlasan dalam setiap tulisan. Maka aku menulis.
Terlampau banyak angan angan dalam kehidupan. Aku memandang kenyataan.
Untukku, untuk yang sayang, untuk teman teman. Karena tuhan maha penyayang.
Sebagian orang dapat saling membaca ketidakikhlasan, menuliskan kesalahan. Sebagian lainnya mencoba memahami ketidakikhlasan, membaca kebenaran. Bergantian. Berulang ulang.
Hanya tuhan, tuhan merangkai kebenaran dan kesalahan, helai demi helai, disatukannya dengan ketulusan hati.
Sesaat kemudian, tuhan menjelma kanak kanak, berlari, terjatuh beberapa kali, menuruni lereng bukit. Pada sepetak tanah landai, beberapa manusia aneka rupa dan usia sedang bercengkrama. Kanak kanak berdiri, baju dan wajahnya lusuh setelah beberapa kali terjatuh. Agak canggung, kanak kanak mengembangkan senyum. Kedua tangannya berada di balik punggung, menggenggam karangan kembang liar. Seikat kembang liar yang tanaman maupun bibitnya tak dijual di manapun, dan tak ada yang pernah menanamnya di halaman rumah.
Kenyataan menemukan tuhan sedang memandangku, penuh sayang, serupa kanak kanak memandang semua orang yang sedang bercengkrama di sepetak tanah landai.
Tak ada keikhlasan dalam setiap tulisan. Hanya saling pandang, kemudian senyuman, tuhan maha penyayang*

Selasa, 31 Mei 2016

dari kursi ke hati

Salah satu cara belajar menjadi manusia adalah melihat dan mengerti jejak air mata. Sebutir air mata yang telah terjatuh dari sebuah wajah. Jatuh, setelah sebutir air mata mengalir menyusuri wajah, lalu jatuh, pecah, ke tungkai, telapak kaki, jemari kaki, lantai,  atau tanah. Apakah air mata sedih atau bahagia. Atau hanya air mata cinta. Air mata cinta, air mata cinta tak berharga, tak ternilai harganya. 
Salah dua, masih entah

Kursi, kursi, kursi, untuk semua hati, dengarlah di saat letih. Kursi tak mengalahkan siapa siapa. Kursi hanya bernyanyi setelah membaca hati, seratus kali atau lebih. Menjelang pagi. Tuhan selalu baik hati*

Minggu, 29 Mei 2016

orasi pagi

Alarm. Alarm.
Kebakaran kebakaran.
Hanya kulihat asap, dari lubang hidung dan celah bibir. Terbang melesat menyambut ruang.
Segelas kopi dingin.
Telepon genggam.
Denting piano.
Terbang melingkar lingkar. Sesaat. Sesaat.
Hilang. tersesat. Tersesat
Sudah selesai.
Api yang baik, dan hati yang yang yang yang yang yang
Bermimpi bertemu mimpi*

Selasa, 24 Mei 2016

hum

Seperti seribu malam yang telah lewat, dan sebenarnya lebih. Jika ada tiga ratus enam puluh lima malam dalam setahun penanggalan matahari, maka beribu ribu malam lebih mendekati benar.
Beribu ribu malam yang benar telah lewat. Aku berjalan di trotoar, duduk di bangku, mengayuh sepeda, menengadahkan kepala. Dan sebenarnya harus kukatakan kebenaran yang lebih benar, bukan hanya malam. Kuangkat pundakku, kau paham bahasa tubuh.
Aku melamun sepanjang jalan. Dan masih selamat menempuh setiap perjalanan selama beribu ribu malam ditambah beribu ribu selain malam yang telah kukatakan. Ya, kau mengerti selalu ada waktu yang menyuruhku terburu buru hanya untuk lebih lama menunggu.
Menunggu sesuatu seperti hujan yang seperti kejutan.  Aku tahu artinya berlebihan, aku tahu, kuceburkan kecemasan dalam setiap gelas, kutaburkan lebih banyak keraguan ke dalam setiap kalimat. Dan tak pernah cukup, berlebihan, kecemasan, keraguan, sebenarnya harus kukatakan kerinduan. Aku pasti tidak mengerti, kubaca terlampau dini.
Aku berharap selalu tentang yang terburuk, yang mengajakku meliuk, menangkap pinggangku atau mendorong punggungku. Dan kaupeluk atau terpuruk. Sama sama buruk. Aku ambruk.
Dan duduk adalah yang terburuk. Nyamuk nyamuk semakin gendut setelah mengecupi tungkaiku yang terulur menyentuh lantai. Nyamuk nyamuk mabuk, lupa mendengung. Dan aku tak peduli pada kebingungan yang mengintip di balik punggung.
Masa depan serupa catatan yang penuh jejak lipatan. Dan beribu ribu malam yang kukatakan belum datang.  Dan catatan buruk akan menemukan yang lebih buruk dari yang buruk.  Membaca beribu ribu malam yang telah lewat, catatan catatan buruk.
Aku duduk, mendengung, yang sudahkah kau suntuk atau mengantuk*


whisper

Lebih baik tak usah mengenal seorang perempuan yang sedang merindukan ciuman. Atau kau mau jadi lelaki pengecut, ingin berenang tapi takut tenggelam, ingin menyelam tapi takut dalam.
Ah, tapi untukmu, seorang perempuan yang sedang merindukan ciuman akan menawarkan keringanan.  Karena memandangmu lebih lama lebih menyenangkan, maukah kau hanya bergandengan tangan.
Atau kau mau jadi lelaki murahan, mengobral ciuman demi kerinduan seorang perempuan  pecundang, menggenggam tanganmu hanya dalam angan angan. Tapi untukmu, seorang perempuan yang sedang merindukan ciuman akan kegirangan.
Karena kau. Kau telah mengenal tuhan yang sedang kesepian, untuk mengusap mata seorang perempuan yang sedang kerasukan setan*

Senin, 23 Mei 2016

sweet dream

Selamat tidur mimpi.
Selamat sendiri. Aku mesti bergegas menyambut pagi. Sisa sisa malam mencoba bertahan, menawarkan kelembutan dan keramahan bantal. Mirip masa silam, bertahan. Bertahan. Bertahan. Ingatan mendadak bebal dan bikin kesal. Seperti air liur, tak pernah mengiring meski berulang ulang ditelan. Seperti air liur, mengandung enzim untuk melancarkan pencernaan. Rasanya, bantal lebih paham, bantal tidak menghafal.
Bantal mengerti kepalaku butuh penopang sepanjang malam. Dan lenganmu sekuat dan sesayang apapun, tak setegar bantal. Lenganmu bisa pegal dan kesemutan. Karena sayang, tak dapat kuijinkan kepalaku mengakibatkan kau bangun pagi dengan rasa tak nyaman.  Bukan pengorbanan bagi sebuah bantal, ditindih kepala siapapun, ditetesi air liur yang akrab atau tak dikenal. Bantal hanya bantal, setiap kepala manusia dapat mengandalkan sebuah bantal untuk mengganjal kepalanya sepanjang malam, demi tidur nyenyak, melupakan sejenak segala macam ketidakadilan.
Selamat sendiri. Kukatakan pada bantal sebelum beranjak dari mimpi. Malam memudar, terang menghadang.  Masih, selalu berkhayal aku malam, bertaburan bintang, waktumu bersinar. Kau dan aku, dua bantal berbaring bersama, menopang kepala kepala kelelahan, menadah setiap tetes ludah.
Menyimpan diam diam beraneka mimpi, jejak gambar samudra dan pulau pulau asing. Suatu pagi, ingin kutanyakan pada dua buah bantal, adakah di antara kalian pernah ingin bebas, membentang di ketinggian, seperti langit. Di mana setiap kepala yang tertidur menumbuhkan bergumpal gumpal awan. Lembut, kusut, hitam, kelabu, putih keperakan, bahkan warna warni sesaat seiring terbit dan menjelang terbenamnya mimpi.   
Selamat pagi, terdengar serupa mimpi*

Minggu, 22 Mei 2016

minggu pagi

Mereka berkata ini malam minggu. Aku tak mengerti atau kehilangan konsentrasi, seingatku, esok pagi hari minggu baru dimulai. Bagaimana malam minggu tiba lebih dulu sebelum minggu pagi.
Malam minggu dan minggu pagi, sebentar, aku menyeduh kopi. Gulanya kutakar lebih sedikit. Kuharap pahit menjernihkan pikir. Saat kembali duduk, malam minggu ternyata menungguku. Malam minggu memilih sebuah kursi, lalu menghempaskan dirinya kepada kayu. Tanpa suara, malam minggu duduk satu meja denganku.
Tak kutawakan kopi, sigaret apalagi. Aku mestinya bertanya, kenapa mereka berkata ini malam minggu, selagi malam minggu duduk satu meja denganku. Tapi aku diam, memandangnya sekilas, mataku mengirimkan pesan, atau tuntutan, tak ada harapan.
Malam minggu, aku tak gentar padamu. Sedikit mengantuk, aku menguap bersama asap.
Malam minggu, untuk apa kaurampas sabtu malam dari ingatan setiap orang. Akhirnya kutanyakan, setalah kunyalakan sigaret keempat.  Kopi dan ruang berbisik, berebut kedinginan di dalam dan di luar gelas.
Gelas berdiri tegak, tak menghindar saat kuulurkan tangan. Padat dan sejuk.
Aku berpikir, mungkin lebih baik kubiarkan saja malam minggu menemuiku pada sabtu malam ini. Lagipula, seseorang yang jatuh cinta pernah berkata, apalah arti sebuah nama. Untuk suatu hari, pada setiap hari bermata sama.  Duduk bersama malam minggu dalam satu meja bukan bencana. Kalau mau seduhlah kopimu sendiri, kuhembuskan bersama asap.
Tahukah kau, di mana dan sedang apa sabtu malam ini. Sebentar, aku butuh lebih banyak kopi*