Minggu, 13 Maret 2016

paradoks



Kata bulan kepada siang yang kehilangan terang,”Bumi hanya satu, diciptakan hanya untukku.”
Matahari berbisik dalam kegelapan,”Berapa juta bintang terbit pada satu malam.”
Semua bersuara demi sebutir bumi yang mengacuhkan rumus sekaligus ramalan. Bumi yang asyik bermain ranting, tak peduli siang atau malam, ranting ranting menggelitik angin.
Anak anak manusia berlarian sambil tertawa, beberapa dari mereka rela mengantri, sebagian lagi berebut menaiki tangga besi untuk dapat duduk di puncaknya sesaat, hanya sesaat, kemudian meluncur turun pada sebuah papan, tak penting plastik atau logam, semakin curam dan licin anak anak manusia berteriak semakin lantang dan riang.
Ah sudahlah, hujan adalah hujan, tak ada kaitan antara hujan dan air mata kerinduan.
Dan, tuhan, hantu dan hutan, hanya lima huruf yang sedang bertukar tempat. Sebatang pohon lanjut usia tak berkedip memandangi sekelompok anak anak bermain ular naga*

Jumat, 11 Maret 2016

kau,



Segelas air jernih yang menungguku seusai berlari. Tak pernah kausia siakan dahagaku. Kau membasuhku pada bagian yang tak tersentuh, menciptakan kesejukan di dalam, menikmati kelegaan setiap tegukmu kutelan. Kenapa baru sekarang tanyaku terbit, setelah tak lagi sanggup kuhitung, atau tak mungkin dapat kuingat, berapa gelasmu kuhabiskan dan berapa kali pelarianku kaunantikan*

piringan hitam



Semua lukaku sebatas kata kata, pelan pelan kaukunyah, kenyal dan kian hambar. Lantas sesekali kautiup hingga menggelembung, sesaat kemudian meletus bersama decak lidahmu. Aku tersenyum, teringat permen karet kegemaranku. Bukan karena ikut ikutan tren atau gara gara meniru seorang tokoh yang sedang populer. Aku memang suka permen karet sejak kecil. Sejak permen karet masih terlarang untuk anak seumurku. Sering kali kupandangi dengan sepenuh hati anak anak yang sedang asyik mengunyah permen karet. Bahkan aromanya bikin aku terpesona.
Sungguh aneh mengingat sesuatu dengan tiba tiba, kemudian berhasrat menulis. Kutujukan kepada waktu. Aku tak menulis untukmu atau untukku lagi. Tapi, untuk waktu. Karena waktu mengubahku dan mengubahmu.
Kau meludahkan kesembuhanku, di sembarang tempat. Macam remaja gegabah yang sedang beranjak, siap memberontak. Aku hampir meledak sebelum sempat kupilih benar mana yang lebih layak, menangis atau tertawa. Bagaimana kau begitu yakin tentang aku. Kesembuhan itu tak ada baiknya. Aku dapat berlari kencang tanpa hati hati, terjatuh dan terluka lagi. Apakah kau mengerti betapa kebenaran lebih memuakkan dibanding kesalahan.
Seingatku sudah pernah kutulis, waktu gemar membodohi dirinya sendiri. Mengapa belum cukup, aku tak suka mengulang, tak ingin kau bosan. Tapi waktu, membuatku menjadi tak nyaman dengan diriku dan mencemaskan ketidaknyamanmu pada diriku.
Aku tak suka caramu mengendalikanmu. Suatu hari, aku pasti bebas darimu. Tak mudah, sementara ini aku mau tak mau pura pura patuh, dengan tersenyum, nikmati saja air mata dan gelak tawaku. Tak akan lama. Tak akan lama, kau tak akan menemukanku menghiburmu lagi. Bila kau sungguh dapat mengendalikan segalanya, sebaiknya kau mulai belajar mengendalikan dirimu sendiri saja. Seandainya kau mengerti betapa sia sia membodohi diri sendiri.
Kelak suatu hari, ketika tak ada waktu lagi, akan kutulis sesuatu yang baru, untukmu dan untukku, bisa jadi seluas angkasa atau lebih, kata kata tak terbatas makna. Saat itu, kau dan aku tiba tiba lupa pernah ada waktu di antara kita*

alarm



Teringat puisi, ingin kutuliskan kau lagi.
Teringat kau, aku lupa semua puisi yang pernah, yang ingin dan yang belum terpikir untuk kutuliskan kembali.
Kudongakkan kepala ke arah langit, langit tidak berwarna biru saat ini. Langit berwarna langit. Berawan putih, kusam, dan pucat.
Sesaat kemudian kutundukkan kepala, kutemukan sepasang kaki, lekat namun terasa asing, mestinya aku menahan diri dan tak berkata, ternyata aku tak bisa ke mana mana. Sepasang kaki mendengarku, dengan sepasang telinga yang seperti dua helai daun yang tumbuh pada sebongkah batu yang membebani tubuhku.
Sepasang mata  sepasang lengan berayun pelan di kedua sisi tubuhku, seperti waktu, ingatan atau kerinduan. Kau tidak meninggalkan kenangan, tidak menitipkan harapan. Ketika jalan bertemu langkahku, kau persimpangan lebih dari empat. Aku menunggu, menunggu lebih dari tiga cabang jalan kehilangan seseorang.
Aku menunggu, menunggu punggungku membelakangi tubuhku. Seperti sebuah sore mengacuhkan harinya sendiri. Seperti bayang dalam naungan keteduhan. Hilang.
Pada suatu hari atau seribu hari yang bermain sepanjang hari*