Sabtu, 15 Desember 2012

atheism

Seperti ada yang kulupakan, yang pernah kukenal kemudian kusangkal. Tanah dan tanaman yang tumbuh meninggi, merimbun, seperti menandai sesuatu. Aku berjongkok, memeluk lututku, menunduk, mengamati seekor cacing.
Mahluk itu memang bernama cacing, tanpa wajah, sepertinya tanpa organ, dan bergerak gerak. Tak ada kepastian. Hanya seekor cacing dengan begitu banyak kemungkinan.
Musim hujan membuat tanah lembek dan becek. Hujan telah berhenti, gerimis sudah reda, cuma meninggalkan aroma khas yang menyulut rasa enggan mengerjakan apapun. Cepat atau lambat aku harus bangkit berdiri. Tungkaiku kesemutan saat aku mulai mendongak. Langit berwarna biru lembut dengan garis garis putih cerah, seolah olah ada yang baru saja menorehkan sebatang kapur. Mataku mengerjap, terasa seperti baru saja ada serpihan ringan melayang dekat sekali dengan kelopak mataku.
Kenapa aku tak ingin berpikir bahwa aku tidak sendirian. Mungkinkah kesendirian bisa begini menyenangkan. Seperti orang orang yang berkata dengan pandangan mata menerawang bahwa mereka mempunyai teman, sahabat, kekasih atau apapun sebutannya, yang selalu menyertai saat sendiri. Sepertinya menyenangkan. Apakah yang seperti itu tidak pasti. Apakah yang pasti itu seperti ini.
Kepastian itu sering disamaartikan dengan keyakinan atau iman. Keyakinan boleh berlaku untuk terbitnya matahari, pasti di timur pada waktu dini hari. Iman terdengar serupa nama tokoh populer pada cerita cerita, setara dengan ivan, iwan, atau malah lebih dekat dengan sebutan mahluk yang sepanjang hidupnya selalu berenang, ikan.
Sepertinya sama sekali tidak penting, tidak fokus, tanpa arah dan tiada tujuan, mengingatkanku pada gerakan cacing di genangan lumpur. Mungkin aku cengeng atau lebih mungkin aku mulai terserang pilek, sangat wajar pada musim hujan.
Seseorang sepertinya sedang mengamatiku dari kejauhan dengan diam diam. Aku memandang lurus kepada ketiadaan, yang mereka namai tuhan*