Minggu, 28 Juni 2015

puzzle

Lagu apa itu.

Tulus.

Judulnya tulus?

Penyanyinya tulus, Jangan cintai aku apa adanya.

Haah?! Serius? Lagu baru?

Iya. Baru

Tahu dari mana?

Temanku kan abg semua.

Oh…apa judulnya, jangan mencintaiku apa adanya?

Ya. Jangan cintai aku apa adanya. Jangan. Tuntutlah sesuatu. Biar kita jalan ke depan. Aku ingin lama jadi petamu. Aku ingin jadi jagoanmu.

Haha…baru beneran ya. Gimana gimana?

Jangan cintai aku apa adanya. Jangan. Tuntutlah sesuatu. Biar kita jalan ke depan. Aku ingin lama jadi petamu. Aku ingin jadi jagoanmu.

Wah…paham baru nh. Kalau dulu lagunya cintai aku apa adanya…

Iya..

Jadi mesti nuntut sesuatu ya…

Lagi lagi kau bernyanyi mengikuti irama dan lyrik lagu yang samar samar kudengar. Aku diam diam menduga, kau sengaja memilih lagu khusus untuk kaujadikan latar belakang, atau apalah istilahnya untuk mengiringi percakapan kita kali ini. Kita terus bicara, tentang apa saja, banyak dan ringan, seperti biasa, aku curhat. Kubilang aku senang sekarang, dikelilingi banyak mainan. Blablabla…. Handphonenya cepat panas, mungkin karena percakapannya hangat.

Sudah ya, mau ngomong apa lagi?

Ya sudah kalau sudah.

Kumatikan ya.

Ya.

Seperti biasa pula, percakapan kita berakhir tanpa muah atau dadaa. Dan aku butuh waktu beberapa lama, lumayan lama, untuk memikirkan percakapan yang baru terjadi. Tentang lagu barunya tulus, jangan cintai aku apa adanya.

Tak akan kutulis semua yang kupikirkan dan kuangankan sambil senyum senyum sendiri, terlampau banyak dan kacau, sedikit saja, biar tak jadi rumit dan membosankan.  Intinya sudah kukatakan, aku senang sekarang, dikelilingi banyak mainan. Sebenarnya tak mampu menahan rasa ingin tahu, kucari lyrik lagu barumu dari internet. Mudah kutemukan. Kubaca beberapa kali, sambil senyum senyum sendiri. Nah…ini dia… Ada kata peta dan jagoan. Haha…

Dapat dijadikan petunjuk jalan dan pembela kebenaran. Kertas dan ayam jantan. Kresek kresek dan kukuruyuk. Aku teringat dora, anak perempuan pemilik ransel ajaib berisi pata yang dapat diandalkan untuk membantu dan menolong siapa saja yang sedang membutuhkan. Seandainya aku dora, kau doraemonnya. Ada yang pernah menyebut doraemon itu tuhan berbentuk kucing, kantongnya benar benar ajaib. Baling baling bambu dan pintu kemana saja. Dora dan doraemon, keajaiban ransel dan kantong. Seandainya dora dan doraemon bertemu, jalan ceritanya pasti luar biasa. Hmm…

Kapan kapan, akan kuceritakan lebih panjang lebar tentang semua yang kupikirkan, atau kau akan berkata, salah, aku tak berpikir, bisaku cuma berkhayal. Terserah… Aku belum tahu irama lagu baru itu. Nanti setelah aku tahu, akan kunyanyikan untukmu, jangan cintai aku apa adanya. Jangan. Tuntutlah sesuatu. Biar kita jalan ke depan. Tapi akan kuganti sebagian lyriknya, biarkan aku lama tersesat. Aku ingin jadi petualang…Boleh kan? Awas. Jangan tidak sepakat.

Jangan cintai aku apa adanya. Jangan. Tuntutlah sesuatu… Baiklah kalau begitu, aku menuntutmu datang sekarang, berdiri di dekatku, menatapku dengan mata penuh rindu. Tak usah kaubilang ai lov yu, tapi harus kaunyanyikan laguku. Bukan lagu baru, aku juga menuntut kau tahu benar laguku. Selama bernyanyi matamu jangan berkedip barang sedetik, harus menatap mataku, tak boleh beralih sedikitpun. Setelah bernyanyi, kau harus memelukku. Jangan kaulepas sampai aku berkata cukup.


Hanya itu. Aku merasa masih ada yang kurang. Entah apa. Oh, aku menuntutmu tak boleh lupa dan tak pernah lelah menuntutku, untuk melarangmu berhenti menuntutku, kau harus menuntutku agar selalu menuntut sesuatu padamu. Aduh, aku tak mampu menahan senyum, tiba tiba teringat bahasa smurf*

Sabtu, 27 Juni 2015

kanggo riko

Kaudengar keluhanku. Kebisingan telah berlalu. Sengaja kaupindahkan ke dalam sebuah gedung. Di hadapanku kini terhampar kekosongan, trotoar dan debu. Tapi kenapa kau menciptakan rindu?
Rindu mungkin kauciptakan demi keselamatan penghuni bumi, seperti gravitasi. Aku bicara sendiri, lirih. Tapi kenapa kautaruh rindu di sini? Dalam hati. Seandainya aku tahu cara merogoh hatiku sendiri, tentu sudah kuraih, apa saja yang kautaruh dalam hatiku. Rindu, hasratku untuk mengelilingi permukaan bumi, gema suara dan bayang wajah yang tak kudengar dan kulihat dengan telinga dan mata.
Serba salah. Kau pasti akan mengeluh mirip aku, jika tak maha sabar dan selalu berdiri sendiri. Ingin kulihat kau menyerah atau pura pura tak dengar. Aku mengeluh hanya untuk menarik perhatianmu, atau mungkin pemilik suara dan wajah yang kautaruh dalam hatiku. Mencoba mengacaukan diammu, atau membujukmu agar mengeluarkan yang kautaruh dalam hatiku.
Kau maha tahu, maha bisa, kau pasti punya cara membereskan isi hatiku. Memilah isinya satu persatu, meletakkan semua pada tempat semestinya. Rindu, hasrat, kegelisahan, apakah harus dikeluarkan atau tetap disimpan. Suara dan wajah yang mana paling penyayang. Sekarang begitu sepi, angin bertiup kencang.
Haruskah kuakui aku kangen, ingin mendengar lagi lagu lagu yang dulu kubilang kampungan.
Penyesalan selalu datang terlambat, kata orang bijak. Aku bisa pura pura tak dengar sambil sungguh sungguh mendengar. Pasti mudah bagimu, mengerjakan segalanya jauh lebih baik dariku. Pura pura tak dengar sambil sungguh sungguh mendengar.
Aku pura pura ingin tak kauhiraukan, atau kaujadikan satu satunya, yang paling mengerti bahwa hanya kau yang mengerti. Harus kuapakan isi hatiku? Aku tak meminta kau menjawabku, tapi kalau kau tak keberatan, biar kudengar lagi satu lagu paling kampungan yang pernah kudengar sebelum kau dengar keluhanku, atau sebelum kauciptakan rindu, atau sebelum kautaruh rindu ciptaanmu di dalam hatiku.
Ayolah, hanya satu, di antara begitu banyak lagu, yang paling kampungan saja. Aku teringat anak bungsuku menarik narik lengan bajuku, ketika merajuk menginginkan makanan ringan yang tak memenuhi standar kesehatan. Ayolah, apa susahnya untukmu. Kau pasti tahu kenapa aku. Kau pasti tahu apa yang tak dapat kukatakan padamu. Ah…kau sedang memenuhi harapanku, kau pura pura tak dengar sambil mendengarku dengan sungguh sungguh*

Jumat, 26 Juni 2015

premis antagonis

Seandainya aku manusia, tak peduli lelaki atau perempuan, pasti kukatakan, aku mencintaimu. Tak jenuh jenuh, kupandang matamu, kudengar bibirmu, kunikmati gerakmu, sepanjang usiaku, hingga kautahu aku hanya ingin mencintai. Kunanti kau bertanya atau meminta padaku. Kapanpun kauinginkan, segera akan kukatakan, aku mencintaimu. Cintaku tak akan layu, tak akan pernah terpikat aroma atau rupa lain yang ditawarkan waktu.

Atau, lebih baik aku sekuntum bunga. Sembarang wangi dan warna, asal kausuka. Bergetar ketika kaupatahkan ranting atau duri, sentuhanmu membuatku berseri, serasa terbang saat kaudekatkan. Di manapun kautanam cinta, aku tumbuh, mekar, siap menyatakan keindahan yang ingin kaukatakan. Hari pasti berlalu, aku pasti layu, kau selalu musim semi, saat terindah di bumi, saat aku baru terlahir kembali* 

kicauan sigaret

Namaku sunyi.

Benarkah, siapa memberimu nama sunyi? Puitis sekali.

Seorang artis.

Siapa namanya?

Dia mestinya manis, dia memberi nama kucingnya manis.

Jadi, artis itu menamai kucingnya manis. Dia yang menamaimu sunyi. Lantas, siapa namanya, artis itu?

Artis itu…hm…aku tak tahu, mungkin dia belum menamai dirinya sendiri.

Tak ada artis tak bernama. Bagaimana dunia akan mengenalnya, dia artis.

Mungkin karena dia artis. Dunia malah tak kenal dia sama sekali. Selama ini dia selalu memerankan orang lain.

Tidak masuk akal.

Semua yang diperankannya hanya tokoh tokoh dan karakter kepunyaan seseorang yang telah diberi nama oleh penulis naskah. Tak ada artis memerankan dirinya sendiri, hingga namanya tak tertulis dalam semua naskah yang pernah dibacanya.

Tak ada seorangpun yang sejak lahir menjadi artis. Tak ada seorangpun yang menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk bekerja, memainkan peran dan tokoh tokoh dari naskah. Sekalipun dia artis, meskipun artis terbaik, mestinya dia tetap punya nama dan kesempatan untuk menjadi dirinya.

Apakah mesti punya nama untuk menjadi dirinya.

Ahhh…tolol sekali kau. Pertanyaan macam apa itu.

Namaku sunyi. Aku tak kenal diriku sendiri. Tak pernah menjadi diriku sendiri. Sunyi hanya sebuah nama. Seperti kucing si artis, manis.

Manis adalah nama seekor kucing.

Jika bukan kucing apakah namanya tetap manis, atau mungkinkah dia tetap seekor kucing saat tak bernama manis.

Kau mengacaukan kenyataan dengan pertanyaan. Segalanya mungkin. Tapi apakah layak mengabaikan kenyataan hanya demi kemungkinan samar.

Manis memang seekor kucing. Tetap seekor kucing meskipun tak bernama manis.

Kenyataannya kau dan aku tak tahu ada berapa ekor kucing di bumi. Dan tak semua kucing bernama manis. Banyak kucing gelandangan, tak bertuan, maka tak ada yang memberi nama.

Jadi kucing tetap kucing, meskipun misalnya namanya pahit, atau tak bernama. Nama tak akan mengubah seekor kucing menjadi bukan kucing. Bahkan tak butuh nama untuk menjadi seekor kucing.

Hm…bisa jadi memang demikian. Begitulah nyatanya.

Kau lebih suka jadi kucing atau artis?

Kau berisik, namamu tak cocok dengan karaktermu. Namamu sunyi, tapi kau ribut sekali.

Namaku memang sunyi, sudah kubilang aku tak kenal diriku sendiri. tapi semua boleh kan jadi artis.

Ah…sudahlah. Kau plin plan dan menjengkelkan.

Kau boleh memanggilku plin plan atau menjengkelkan, kenyataannya namaku sunyi, aku tak kenal diriku sendiri.

Apa gunanya memiliki sebuah nama untukmu. Kau tak tahu nama artis yang memberimu nama, bahkan tak kenal dirimu sendiri.

Nah…

Nah…apa maksudnya?

Apa artinya sebuah nama. Namaku sunyi. Aku tak bertanya dan tak peduli kau siapa. Begitu pula dengan si artis yang memberiku nama, aku tak butuh namanya, tanpa nama dia tetap artis.

Lantas kenapa kau memulai percakapan dengan memperkenalkan namamu padaku. Kau yang mulai bicara, dengan naïf kau berkata, namamu sunyi.

Aku merasa kau kesepian dan ingin bicara dengan seseorang, sejenismu, yang tahu namanya tapi tak kenal dirinya.

Kau berprasangka atau sengaja hendak mengejakku.

Tidak keduanya. Hanya merasa.

Aku tak percaya. Dan artis yang memberimu nama, sebenarnya pasti punya nama. Kau saja yang tak tahu.

Kau tak salah, aku memang tak tahu. Sudah kukatakan, dan kau pasti mengerti. Tentang nama artis yang menamaiku sunyi. Aku tak tahu namanya, kukatakan mungkin dia tak bernama, tapi aku tahu si artis menamai kucingnya manis, kudengar sendiri dia memanggil dan menyapa kucingnya dengan nama manis, berkali kali setiap hari. Aku tak mengerti, kenapa kau jadi gusar dan kesal dengan semua yang kukatakan. Tadinya kuharap percakapan kita akan membuatmu senang.

Sunyi yang tak kenal dirinya sendiri, plin plan dan menjengkelkan. Tak ada seorangpun akan senang bicara denganmu. Tak tahu tapi sok tahu. Mending aku diam, tak buang buang waktu bicara denganmu.

Sungguh?

Masih tanya lagi.

Baiklah, aku akan diam mulai sekarang. Namaku selalu sunyi.

Sunyi yang tak sunyi, sunyi tak tahu diri. Tak kenal diri sendiri. Ihh...

Teng teng teng. Kudengar seseorang mengayunkan sebongkah batu, memukul tiang besi sebanyak tiga kali, di sebuah perempatan, jalanan sepi. Begitu pula di sini. Apakah sunyi benar benar sudah pergi? Seekor burung bersuara parau singgah sebentar di atas sebatang dahan, sesaat kemudian terbang lagi menembus malam. Atau namanya dini hari? Jam tiga pagi jadi latah, ikut ikutan bertanya, mungkin masih terlena suasana percakapan yang baru terjadi. Percakapan antara sunyi dan sebuah suara, tentang nama, kenyataan, kemungkinan, perasaan, prasangka, pengetahuan. Ah, semua tak berarti, betapa mujurnya aku, selama percakapan berlangsung, setangkup bibir hangat mengapitku tak terhitung kali.

Terasa manis, sungguh sungguh manis. Semua tentu paham, manis yang kurasa sama sekali tak sama dengan manisnya seekor kucing yang diberi nama oleh seorang artis. Kukira akulah satu satunya yang bahagia, karena pasrah dan setia menemani siapa saja. Tak ada yang dapat menyangkal, aku teman terbaik yang selalu siaga, aku tak pilih pilih, tak pernah mengeluh. Sampai sampai teman temanku rela mempertaruhkan hidupnya demi menghabiskan waktu bersamaku. Semua yang mau menjadi temanku tak gentar ssdikitpun pada bujukan musuh musuhku, tak satupun temanku percaya aku berniat mengkhianati mereka, apalagi membunuh. Dan sebagai imbalannya, kurelakan diriku seutuhnya, kuberikan segenap diriku untuk menjaga, menemani, menghibur dan menyakinkan teman temanku. Tak ada yang pantas dicemaskan, api tak menyiksaku. Api yang disulut teman temanku menyala menerangi jalanku dan teman temanku. Kami menikmati waktu. Panas, pengap, asap, racun, penyakit dan kematian hanya nama nama yang mereka berikan untuk kenikmatan, kehangatan, kesetiaan, ketulusan, keikhlasan dan kehidupan yang tersedia untuk kebersamaan kami. Mereka yang tak mengenalku.


Aku bukan jam tiga pagi yang sempat hanyut dalam percakapan tentang nama atau mengenal diri sendiri, suara, sunyi, si manis atau artis. Aku hanya peduli pada teman temanku dan kebersamaan kami. Teman temanku sangat berarti, api dan terbakar habis sama sekali bukan pengorbanan, dibanding dengan yang kudapat dari teman temanku. Kepercayaan. Mereka mengijinkanku mengunjungi rongga dadanya, mampir di lorong napasnya. Hingga sempat kudengar apa yang tak terucap lisan atau tertulis tangan. Semacam doa atau harapan yang tersembunyi, terpahat di ruas tulang untuk menepis segala ketakutan. “Ya Tuhan, lindungilah aku dari diriku sendiri,” lantunannya sayup sayup kudengar, kalau aku tak salah. Tak dapat kujelaskan panjang lebar, hanya saja aku merasa sedikit lebih paham, pahatan di ruas tulang itu menyebabkan teman temanku tak meragukan ketulusanku, teman temanku mengenal yang bernama tuhan. Namanya terpahat pada ruas tulang semua teman, tak luntur dan selalu kudengar. Siapapun dia, tuhan itu, mengenal semua ruas tulang yang memahat namanya dan mengharapkan perlindungannya. Sempat terpikir olehku sesaat sebelum api mengubahku jadi asap dan abu, seandainya aku memiliki tulang seperti teman temanku, mungkin aku masih utuh, tak mudah terbakar, tak begitu cepat tergeletak pada sebuah asbak*

Rabu, 24 Juni 2015

kalam

Takdir penyair adalah memecahkan setiap lembar kaca, agar setiap wajah menemukan yang lain selain wajahnya sendiri ketika menatap cermin.
Menerjemahkan angin, bukan sekedar udara bergerak saat mengganti cuaca. Suara angin adalah nyanyian bersahutan antara daun daun dan ranting ranting, pecakapan serangga dan burung burung pemangsanya, rayuan gelombang samudra untuk pasir dan karang, dan gema takbir dari semua bibir yang gemetar mengenal takdir.
Takdir penyair membunuh tubuh, membangkitkan rindu.
“Bagaimana mungkin merindu bagi yang tak bertubuh,” syairnya mengeluh. Tak berhenti meski tubuh penyair telah terkubur waktu, menjadi debu. Syair syairnya menjelma hantu. Duduk tanpa tubuh di atas sebongkah batu. Tak menunggu, namun selalu ada tubuh tubuh terjatuh, kepala kepala  memar, mata mata sembap, ketika sengaja atau tak sengaja tersentuh dengan sesuatu yang seperti hantu.
“Sebaiknya syair syair menyingkir, jauh jauhlah dari takdir penyair,” bisik pecahan cermin, terdengar berulang ulang, serupa zikir tak berujung amin*

Senin, 22 Juni 2015

untukku dan anakku

Jadilah keheningan, setiap malam, jadilah keheningan. Supaya kau selalu datang, duduk dekat, kulihat kau hangat. Aku diam, kau dekap. Maka aku lupa pada segala yang kuabaikan. Menjadi tepat dan cermat, betapa, ah betapa apa…
Tidak apa apa. Segalanya akan baik baik saja. Karena telah kulupakan cara kerja semua orang, juga barang barang. Keheningan lebih luas dari rentang sayap malaikat, dan keheningan tidak mencatat.
Seperti sebuah gambar yang telah selesai kaubuat. Keheningan melekat di dinding, tidak menghitung waktu, mengacuhkan setiap pengamat. Dan tidak menjawab, saat satu persatu suara mulai bertanya, apakah itu nyata, siapa pembuatnya, kapan, di mana, mungkin ribuan tanya lainnya.
Keheningan masih mendekap hangat, meskipun pecah, asalkan aku masih duduk diam diam, seperti malam, mengabaikan datangnya fajar hingga siang berlalu. Diam seperti sebuah gambar yang telah selesai kaubuat.
Pada selembar kertas, seekor anak kucing, cantik dan lucu, berbulu lebat, bermata bulat, duduk di rerumputan. Kiara, terbaca pada bagian kanan atas kertas* 

Jumat, 19 Juni 2015

uno

Dia mengatakannya dengan wajah cerah dan mata bersinar sambil mengocok dan membagikan setumpuk kartu untuk yang ke sekian kali. “Tiga rahasia, mau menang atau kalah, gampang.”
“Pertama, dengarkan lubuk hati.
Kedua, percaya diri.
Ketiga, tentukan takdirmu sendiri.
Kalau semua syarat terpenuhi mama bisa milih sesuka hati, mau menang atau kalah pasti terjadi.”

Mamanya sangat takjub, dengan hati hati bertanya kepadanya yang kemarin baru berumur sepuluh tahun,”Siapa yang ngajarin?”
“Ga ada. Aku sendiri.” Bocah lelaki tersenyum, mamanya tertawa.
“Mama ga percaya?”

“Percaya…” Mamanya menyerah masih setengah tertawa.

“Aku pasti menang sekarang.” Dia membagikan kartu dengan semangat dan keyakinan. Kira kira lima menit kemudian, dia kalah. Mamanya lagi lagi tertawa.
“Pasti ada satu syarat tidak terpenuhi,” Dia berkata dengan penuh percaya diri.

“Oh…” Mamanya hanya bisa mengatakan ‘oh’ saja, sambil memandangi anaknya mengocok setumpuk kartu dengan sungguh sungguh. Kartunya nampak kebanyakan untuk kedua telapak tangannya. Sesaat kemudian dia mulai membagikan kartu, menatap mamanya dengan mata bersinar, tiba tiba dia bertanya,”Mama mau aku menang atau kalah?” Suaranya riang, yakin dan tanpa beban, seperti denting lonceng angin saat tersentuh kepala seseorang yang melewati pintu kamar*

Minggu, 14 Juni 2015

Di Taman Hati,

Dia menulis untuk seseorang, yang mau membaca dengan baik. Seseorang yang membaca dengan baik dapat membaca banyak kisah dalam sebuah cerita. Suatu hari kelak dia hendak mendengar seseorang menceritakan sebagian dari banyak kisah yang terbaca dari satu cerita. Agar dia menuliskan kembali untuk seseorang yang mau membaca dengan baik beberapa cerita yang dapat ditulisnya setelah seseorang menceritakan banyak kisah yang didapat dari membaca dengan baik sebuah cerita.
Sesorang yang menulis untuk dia yang mau membaca dengan baik tidak membutuhkan yang lain saat menulis atau membaca, selain kata kata sederhana untuk menyusun sebuah kalimat sederhana untuk mengakhiri cerita. Sayangnya, seseorang yang menulis dan dia yang membaca dengan baik tak sampai hati untuk menghentikan kisah kisahnya. Seperti seorang ibu tak sampai hati merenggut kenyamanan dari anak anaknya, seperti seorang nenek tak jenuh jenuh memenuhi keinginan cucunya.
Ibu atau nenek itu terus mendongeng, seolah tak kenal lelah. Ibu atau nenek sebenarnya sedang kehilangan kendali, tak mampu membendung hasrat kerinduannya sendiri. Kenangan manis, kasih sayang, harapan indah, mengalir deras, dari jantung ke sekujur tubuh. Kasat mata tapi nyata, serupa udara memenuhi ruang sekaligus ada di mana mana. Menyelubungi mata anak anak yang menatap penuh minat sambil menggenggam bola dunia. Cerita cerita ibu atau nenek membesarkan mata dan hati anak anak. Dunia menjadi si kecil, lugu, manja, periang dan bersemangat di mata hati semesta ketika membelalak selebar mata anak anak saat dibacakan cerita. Dunia si kecil, hanya dihuni oleh dua orang yang saling menyayangi, seorang anak yang mengenang ibunya dan seorang ibu yang teringat anaknya*


Satu satunya kata ‘shawm’ dalam Al Quran berkaitan dengan kisah seorang perempuan suci yang melahirkan Nabi Isa AS - Maryam. (Jalaluddin Rakhmat; Kompas, Desember 1998)

Kamis, 04 Juni 2015

iradah

Ketika sebongkah batu tak berdaya di tangan seorang manusia, dia menjadi senjata, perhiasan, atau hasil karya seni. Sekelompok batu tak berdaya bersama sama menjadi bagian dari sebuah bangunan, mungkin istana, penjara, atau tempat ibadah, menjadi pondasi, dinding atau pilar penyangga. Ketidakberdayaan menjadikan batu batu berguna, indah, dan lebih berharga.
Kebebasan dan kemerdekaan bagi batu batu semacam berserakan, kemungkinan terinjak, menjadi sandungan atau penghalang.

Bagaimana dengan manusia, yang konon berasal dan kembali daripada debu. Debu bisa jadi serpihan batu, atau serpihan batu serupa debu*