Selasa, 25 Desember 2012

paradigma

Semua manuisa punya nama. Pemilik nama memberi nama, menciptakan mahluk mahluk bernama, memenuhi dunia. Kukenal namamu, kau mengenal namaku. Padahal tak ada hubungan apapun antara aku dan namaku, atau kau dengan namamu.
Bahkan benda benda dan segala sesuatu mesti punya nama untuk dikenal. Itu meja, jam dinding, pintu, jendela, buku, baju, sepatu. Seluruh isi semesta bernama. Yang bukan manusia, para binatang, tanaman. Gunung, bukit, kawah, lembah, pantai, teluk, pulau, telaga, angin, bahkan juga bintang yang letaknya nun jauh di atas. Badai juga diberi nama indah indah. Seolah olah ada tertulis dalam kitab suci, bahwa wajib adanya untuk menamai segalanya. Kitab suci kupilih di sini, karena hampir semua orang membaca dan berkehendak mengerjakan apa yang dianjurkan di sana. Karena manusia belajar dan menjadikan yang sebelumnya ada sebagai kebiasaan, kelayakan, kepatutan dan teladan.
Maka aku merasa tidak salah kalau merasa tak punya ayah. Karena tak tahu namanya.
Jika ibuku memindahkan surga dari telapak kakinya untuk menjumpaiku aku bisa bertanya padanya.
Ayahku tak bernama, ibuku akan berkata. Dengan intonasi kalimat yang tepat. Kalau kurang tepat sedikit saja aku akan menyangka bahwa tak bernama adalah sebuah nama, seperti tak im, tak eshi, tak amura, atau nama nama lainnya.
Tak ada seorangpun manusia tak bernama. Dari yang paling mulia sampai yang terhina semua punya nama. Beberapa jenis binatang juga harus bernama sebelum menjadi tokoh sebuah cerita. Setiap manusia bernama meski tak punya cerita. Kecuali ayahku.
Setiap nama, entah berapa banyak, tak sanggup aku menghitungnya yang telah kutemui di dunia nyata maupun dunia maya, di rumah dan jalanan. Nama yang ditempelkan pada baju, di atas pintu, di kotak surat, surat kabar dan majalah, di sampul dan seluruh isi buku, tertera pada nisan. Semua nama yang pernah disebutkan media. Singkatnya di seluruh alam semesta, tak ada kutemui nama ayahku.
Aku bersyukur, tak ada teman teman yang bisa mengejekku dengan nama ayahku di masa kecilku. Tak ada seorangpun bisa bergunjing atau menyindirku dengan nama ayahku.
Yang paling asyik adalah bisa kumiliki sepenuhnya setiap pujian atau hujatan yang ditujukan padaku tanpa perlu nama ayahku terbawa bawa. Popularitas tunggal sangat nikmat. Juga tak ada yang bakal berkata aku begini atau begitu karena aku anak ayahku. Semakin kipikirkan semakin terasa nyaman mempunyai seorang ayah tak bernama.
Jika aku ternyata punya ayah tak bernama persis yang akan dikatakan ibuku, suatu hari aku sungguh sungguh bertemu ayahku, aku akan mengenal dan menyayangi ayahku seutuhnya, bukan cuma namanya. Mungkin memegang tangannya, bersandar di dadanya, sembunyi di punggungnya, duduk di pundaknya, bergelayutan di tungkainya.
Tak ada mahluk tak benama di seluruh alam semesta selain tuhan. Tuhan tak bernama. Tuhan adalah sebutan untuk tuhan, seperti ayah adalah sebutan untuk ayah, dalam bahasa indonesia*.