Kamis, 27 November 2014

catatan tanah



Awan hitam pertanda akan turun hujan. Tidak macam kilat, tidak mengejutkan, tidak menyilaukan, tidak menakutkan. Awan hitam berarak pelan, bergerak diam diam. Sebelum pecah, sebelum menjatuhkan dingin dan basah dari atas dunia. Langit mencurahkan air, menaungi bumi dengan gemuruh yang teduh. Mengalirkan deras kepada sungai, menggerakkan gelombang di lautan. Seolah olah tanpa sengaja menjadi sebab.
Tanpa arak, manusia dapat lebih congkak. Seolah olah dapat merangkak sekaligus merayap, serupa bayi ular*

saat sebatang pohon tertidur



Sebatang ranting bermain angin. Beberapa batang ranting lain mematahkan dirinya demi menepati janjinya pada daun daun yang telah gugur*

nubuat



Angin mendesing. Klinting klinting klinting. Sebuah kepala pusing. Nguing nguing nguing. Seekor kucng berbaring, tubuhnya bergulung rapat, hampir bundar, mengacuhkan semua suara, juga suara dengkurnya. Dunia hangat bagi binatang. Ini pujian, setelah ujian yang gagal. Kepala pusing dan angin bertukar aroma, kisah kisah perjalanan, si hitam manis dalam gelas tinggal setengah.

Pada seruas jalan, sebuah kios bensin eceran menuliskan kejujuran. Tanpa penjaga, yang mengambil silahkan membayar. Dan sebuah kepala teringat padanya. Selewat tengah malam, saat kehabisan bahan bakar, masih bukakah kios bensin kejujuran. Ini penting, menguji niat dan nyali kejujuran seorang penjual, dibutuhkan pembeli yang putus asa.

Seminar sanggup mengubur manusia manusia yang terlalu percaya pada kesanggupan sesamanya. Blueberry cheese, adalah nama isian roti. Seperti mochacino, android, memberi alternatif. Untuk kepala pening. Pening atau pusing. Air seni berbau pesing. Sekarang angin mendengar kepala berdesing.

Melintasi seruas jalan asing dengan kepala berdesing. Selembar lidah mengering, semua yang riang dan ramah membuat dahaga. Kios bensin kejujuran mendapatkan kesempatan untuk menyejukkan dada manusia. Berapa harganya. Sebuah jiwa. Apakah satuan ukuran paling tepat untuk jiwa. Sebuah, seruas, selembar. Segalanya berpeluang menjadi masalah ketika menuliskan makalah.

Jika salah, tidak apa apa. Debu menempel pada tiang lampu, merindukan sebatang jari memahat peta setengah jadi. Hanya hujan. Hanya hujan, turun untuk reda. Sepasang mata selalu saling setia dalam kering dan basah. Sepasang mata pada setiap wajah. Kebenaran tak sudi berbagi makna dengan kebetulan. Jendela pelan pelan beranjak terbawa roda.

Bisu. Bisu berwarna biru dalam kantong celana menunggu manusia mengusap wajahnya. Menunggu sambil menumpang kendaraan berwarna biru. Banyak jendela, untuk melihat atau untuk tidak melihat.
Kiamat sudah dekat, kata pak amat*

Senin, 24 November 2014

nasehat kertas



Sudahlah, tengah malam mengiba pada kegilaan, telah berabad abad. Buang saja isi kepalamu, isi dada, isi tiada. Tak akan mengotori apa apa. Surga selalu siaga, sebarisan malaikat siap membersihkan lantainya. Neraka selalu menyala, panasnya cukup melelehkan segala.
Alangkah murahan. Lidah tanpa tulang. Sebutir air mata tersesat, sehembus asap mengolok olok setetes ingus yang baru terjatuh. Tengoklah dunia, makan, mandi, memuji, menghina, minum, maklum, tak ada yang susah. Ingkar sambil berjalan melingkar. 
Catat lalu bakar, sekalian telan. Biar jadi abu dalam kepalamu, dalam dada, dalam tiada*

omg



Oh, tuhan. Apakah yang membuat aku mual, kemuakan, kemauan atau kemarahan. Seandainya aku hantu, tak ada yang sanggup menghantuiku, tidak juga tuhan. 

Oh, tuhan. Jika aku jadi hantu, akankah kau kesepian atau kehilangan. Jangan bilang tidak, kumohon padamu yang maha pemurah. Kau tahu aku tak pernah bisa meludah*

Minggu, 23 November 2014

curhat seekor anjing kepada cacing



Ketika anak anak memutuskan untuk membakar bangkai orang tua mereka. Mestinya ada seseorang yang berdoa, semoga jiwa jiwa menziarahi manusia*