Sabtu, 30 Maret 2013

loving

ketika cinta ada tidak untuk mengerjakan sesuatu. ketika kau menjadi udara, dan aku mahluk yang menghirup dan menghembuskannya selalu. keajaiban menjadi tak perlu ada di antara kita. hutan hutan dalam paru paruku berkicau nyaring jika tidak sedang terdiam mengamati bentuk bentuk awan. batu batu bersorak mendengar tangis pertamaku. aku tidak mengenalmu waktu pertama kali kau memenuhi setiap rongga di tubuhku. bahkan tidak mengenal diriku. aku hanya menangis, untuk pertama kali dan menjadikan pohom pohon mengerti cara menyambut seorang bayi. membungkusku dengan sehelai angin paling hangat. angin yang tidak pernah menceritakan satupun dari seluruh kisah kisah yang pernah didengar dan dilihatnya dari balik dinding. aku akan tumbuh sampai ke dasar laut atau patah pada saat pertama menjulurkan dahan. kau terus bernyanyi, cinta ada tidak untuk membuatku menangis atau tidak menangis*

Jumat, 29 Maret 2013

i see

Jika suatu ketika aku menemukanmu, aku tidak mau saat itu sedang mencarimu. Biarlah kita bertemu. Aku lebih suka menjadi sebatang rumput yang tidak pernah menunggu injakan kakimu, sekalipun kau tidak mengenakan sepatu atau alas kaki apapun. Tidak kusambut kedatanganmu serupa kaum manusia menjalankan ibadah. Yang paling menyenangkan, rumput pasti tidak bertanya. Kalau benar kau sehebat yang sering dikatakan semua suara, kau pasti tidak akan berlalu begitu saja. Kalau kau sehebat yang kubayangkan, kau akan berhenti. Menemukanku patah atau merunduk tepat di bawah langkahmu. Tidak pergi begitu saja, kau melihatku dan bertanya, mungkin tanpa suara. Tapi kudengar kau bertanya, apakah aku sengaja berada di jalanmu, menantimu lewat dan menginjakku tanpa kecemasan sedikitpun, tanpa prasangka, tanpa harapan kau akan menunjukkan perhatian.
Bisa kurasakan kau bosan dengan kata kata, yang tersirat dan tersurat, terucap dan tertelan. Kau tidak menjawab dengan alasan atau tanpa alasan. Menumbuhkan rumput liar di segala tempat, tidak berharap ada yang belajar tidak bertanya darinya. Hanya melambai seirama tarian udara, tumbuh tegak menatap angkasa. Tiada sayap, tangan, kaki, mata, hidung dan mulut. Hidup sesaat dan selamanya, menjadi saksi pergantian cuaca. Tidak perlu belajar isyarat atau pertanda apapun yang cuma menumbuhkan kecemasan dan kelegaan untuk mengalihkan perhatian. Rumput tidak mendekat atau menghampiri, tidak menjauh atau sembunyi. Dan sekali lagi kukatakan tidak menanti.
Aku tidak berpikir seluas apa alam semesta, tidak peduli sepanjang apa jalan jalan di bumi, betapa rumit sudut dan keloknya. Aku melihat, tidak ada penghalang apapun antara sebatang rumput dan sebentang langit*

Kamis, 28 Maret 2013

converse

Jarak adalah benang yang terentang di antara tangan kanak kanak dan layang layang. Kanak kanak menggerakkan layang layang. Layang layang menerbangkan kehendak kanak kanak. Keriangan udara mengulurkan benang kian panjang. Kegelapan mungkin kelak menghentikan permainan. Putaran waktu mengantar kembali anggukan ibu, menjawab mata penuh harap yang bertanya, sekarang saatnya kembali mengasah benang*

sequel

Aku mendengar percakapan bahasa asing sepanjang perjalanan pulang. Seperti petunjuk jalan. Untuk pulang, ketika rumah hanya sebuah kata. Kukira penerbangan lebih tepat ketimbang perjalanan. Ketika tujuan menjadi jalan. Melompati genangan air sambil membenamkan kaki. Kudengar suara alarm, azan, hujan bertepuk tangan. Karena kekalahan kelelahan. Ke sini, menepilah, menjadi pembungkus kepala menjelang masak. Kelelawar mengetuk ngetuk dengan taringnya, tikus bersayap bertelinga hebat mendengar dan lapar. Pada denyut urat kepala, baru saja kukatakan jangan resah. Jangan resah kalau tenggelam kegelapan. Jauh di dalamnya kembang api menunggu api. Menunggu isyarat musim berganti. Air, tetaplah cair meski telah menjadi asin, sewarna buah kembang api.
Kata pertamanya adalah sepi, lalu tak bicara lagi. Kelelawar memeluk dahan pohon dengan kaki. Tikus bersayap bertelinga hebat tidak menanam, tidak memetik kembang api, tidak mati. Kepalanya penuh telaga berwarna jelaga, masih hangat dan berasap*. 

Rabu, 27 Maret 2013

thew



Kita di sana. Persis caramu melihat ke gerak bibirku, menyentuh punggungmu yang bergerak naik turun seirama kayuhan kakimu. Roda sepeda berlari kencang seakan takut kehilangan, kita dan sesuatu yang dinamai kebahagiaan oleh penghuni bumi. Kita cuma mengenal perjalanan. Dari pagi ke pagi, melewati bulan, bintang bintang dan matahari yang terpana memandang buah hati yang ranum dalam pelukanmu. Aku tak sadar bicara bahasa burung. Kau serindang pohon, mendengar dan memahamiku tanpa perlu membaca kamus. Tanah ramah dan murah hati terbentang, saling mengirim pesan di setiap putaran roda. Kita jangan pergi, jangan berteduh dari langit*

sublime



Aku menduga kau tak akan percaya kalau aku cerita. Tak apa, tetap akan kuceritakan. Kau boleh tak percaya atau percaya. Kenyataan tetap indah. Ketika dalam perjalanan pulang kulihat seorang perempuan kurus dan kusut menggendong dua anak balita, mungkin sekali anaknya. Perempuan itu layak memiki keduanya. Anak anak yang terlelap. Satu kepala kecil disangga lengannya, satu kepala kecil lainnya terkulai di pundaknya. Satu dada, satu pundak, sepasang tangan, selembar selendang, dua anak kecil yang sedang bermimpi. Mimpi yang selalu menemaniku sepanjang hari, mimpi tentang bumi, pantai sepi, anak anak anjing, nyanyian air. Aku tak bisa menuliskan sebaik yang kuinginkan untuk membuatmu mengingat pelangi yang selalu kauterbitkan untukku. Kemarin dan kemarin dulu. Tapi aku mau kau paham benar aku merasa kehangatan hujan yang selalu kunantikan. Ketika kulihat seorang perempuan berjalan dalam naungan cahaya malam, menopang dua kehidupan. Masa depan, biar saja tenggelam. Lautan waktu tidak akan membunuhku atau kau yang bisa berenang sampai ke seberang. Bumi menyimpan senyuman yang ditanamkan kaki kaki telanjang*

rest



Siang melambaikan tangan lalu berjalan pelan. Menyisakan punggungnya yang menyilaukan. Meninggalkan penantian kegerahan di tepi tepi jalan. Berjejer kegerahan dengan kegelisahan, saling memandang dengan keengganan menanyakan tempat dan tujuan. Seakan akan mereka sedang belajar bersama tentang keputus asaan. Dan paham bahwa senja pasti datang menggantikan cerita. Tidak menyimpan sesuatu yang sungguh sungguh penting untuk dibicarakan. Dan aku kehilangan kehendak dengan cara paling hangat. Menyipitkan mata menatap cahaya silau yang menyerbu ke arah mata bersama debu debu yang tak pernah berhenti bergumul dalam gelembung udara. Penantian berbisik, nada suaranya sendu. Tentang rumah kayu, kerlip gelombang, tarian ganggang, kepakan sayap unggas, kesabaran sampan yang terikat di pinggir telaga. Aku masih ingat bagaimana rasanya tidak membutuhkan kebahagiaan untuk memejamkan mata. Mengijinkan angin mengusap alis, mengecup kening dan kelopak mata, mengacak rambut, mengikuti gerak tanganmu. Apakah ada bedanya, penantian yang telah kukenal sangat dekat dengan yang kutemui baru saja menepi sambil saling pandang dengan keengganan menanyakan tempat dan tujuan. Beribu ribu lorong di dalam kepalaku berujung satu. Debu debu tertegun sebelum meleleh, mengikuti cara angin mengikuti gerak tanganmu, mengusap alis, mengecup kening dan kelopak mata, mengacak rambut. Ini kota, menelan kehilangan dan ingatan, memuntahkannya kembali, segera. Udara menarik debu debu ke dalam pelukan erat. Dan senja berdiri tegak, memandangi semua yang berdiri dan berjalan mendekat selepas siang melambaikan tangan*

Kamis, 21 Maret 2013

clear my heart with a memory of you

seperti,
memahat sebatang pohon dari sebatang kayu*

theosophy

jagalah kebersihan. buanglah sampah pada tempatnya. manusia suka sekali menghimbau sesamanya. seandainya kebersihan tidak dijaga, apakah yang mungkin akan terjadi. paling buruk adalah celaan dan cemoohan. bukankah sama persis dengan yang diberikan kepada para nabi pada masanya. kalau sampah dibuang sembarangan maka tidak akan ada timbunan sampah. tentu saja ini logika yang mengerikan, yang tidak patut dikatakan kepada manusia, apalagi yang belum dewasa. tapi itulah yang kukatakan kapada diriku sendiri. persetan akal sehat. akal sehat tidak menyembuhkan penyakit apapun, malah membuat manusia menjadi sakit. kutanyakan pula kepada diriku sendiri, apakah aku anak muda pemberontak yang masih mencari jati diri. aku tersenyum. aku selalu tersenyum jika teringat kau. sekalipun kotor, penuh sampah berserakan, aku tersenyum. kau suka caraku memusuhi dunia, kalau tidak aku pasti gerah, malu dan segera merapikan sekelilingku. tapi aku lebih suka, jauh lebih suka bermalas malasan sambil memandangmu sepanjang waktu*

raze

jalan buntu menujumu tidak berujung. tak kutemukan di mana kebuntuan yang kerap dikeluhkan mahluk hidup lainnya. aku terus berjalan menyusuri jalan buntu tanpa terhalang sesuatu yang menghentikan langkah langkahku. seandainya aku buta, pasti aku menabrak sesuatu semacam dinding pembatas yang membuat mereka memberi nama jalan buntu pada seruas jalan menujumu. tapi tidak, langkahku tak terhenti apapun. atau mungkin ada lubang teramat besar di ujung jalan yang telah kulewati tanpa kusadari. mungkin aku mengecil, sangat mengecil sehingga dapat melewati celah sempit menembus kebuntuan jalan. serupa angin. mungkin aku menjelma mahluk kasat mata yang sanggup melintasi batas dan sekat begitu saja. mana yang tepat, aku tidak paham. aku hanya tahu jalan buntu kehilangan makna. aku berjalan, menujumu. merapatkan jarak dengan memindahkan diriku. menujumu. kelak jika aku sampai padamu akan kuceritakan tentang jalan yang telah kutempuh. kau mungkin bisa memberitahu tentang jalan buntu tanpa ujung yang mengantarku padamu.
oh, alangkah banyak yang ingin kukatakan. oh, tiba tiba terlintas dalam pikirku, kau dan aku akan mempunyai percakapan tanpa ujung, persis seperti jalan buntu. mungkin itulah sebabnya, kau dan aku meruntuhkan semua penghalang tanpa sengaja, tanpa kehendak. aku bahkan bisa bicara tanpa suara, denganmu. kau mendengar makna tanpa kata kata. hore, aku senang sekali memikirkannya, sampai sampai melompat tinggi tanpa menggerakkan kaki*

Senin, 18 Maret 2013

be,

Kaulihat, aku tidak sembunyi dari siapapun, kecuali diriku sendiri..
Dan dunia, alangkah penuh dengan cermin*

kepada sunyi

Bisakah kau tidak bersuara sejenak, aku ingin mendengarkan musik. Aku berbisik, tak bisa kudengar suaraku. Tidak karena aku berbisik. Diamlah, aku ingin bernyanyi. Sebentar. Untuk membangunkan pagi*

impulsive

Udara mencair. Aku berenang di dalamnya dan tertawa. Rasanya tidak serupa air, tidak dalam, tidak dangkal, tidak bertepi. Aku berenang tanpa henti. Menyelam, mengapung, menyemburkan gelembung gelembung tidak berpenghuni. Begitulah rasanya. Kau tidak tertawa, menggelengkan kepala tanpa kata. Tembok tembok ikut mencair, mengeruhkan air yang bukan air.
Sampai saat itu aku belum tiba di dasar dan terus menyelam tanpa kehabisan nafas. Kutemukan aroma dari lubang hidungmu di setiap riak dan gelombang. Kau tidak mengangguk. Tidak berenang di udara bersamaku. Dan aku tidak berharap udara membeku, tidak dalam mimpi sekalipun. Berenang rasanya sep erti terbang. Dengan mata terbuka. Kulihat kau menatapku. Tanpa kata*

Kamis, 14 Maret 2013

inanimate

Aku teringat kata kata ibuku, ruang dan orang adalah tawanan angan angan tentang kesenangan suara hangat ketika ada yang datang. Oh, ibu jangan bicara sembarangan. Alih alih diam, ibuku malah terus bicara, tentang pertengkaran orang orang berebut ruang. Aku tidak dengar, ingin kuteriakkan di telinga ibuku. Ruangan begitu diam, menelan suaraku yang menyelam ke kedalamannya untuk menemukan telinga ibu.
Kau datang. Untuk membebaskan atau membuktikan kebenaran kata kata orang tak dikenal*

overrate

Pertanyaannya adalah, apakah kutu kutu sungguh sungguh pembaca buku buku. Setahuku tak ada perpustakaan terbangun di kulit kepalaku. Di celah celah rambut ada kebingungan, mabuk oleh aroma telur dan madu. Kutu kutu gemuk dan kurus saling menyapa ketika berjumpa, menanyakan pukul berapa sekarang. Ya, bukan tentang waktu. Rasa gatal menghangatkan, dengan caranya sendiri membuatku teringat aku punya kulit kepala, tertutup rambut aneka warna. Kutu kutu di kepalaku tidak bisa membaca. Tidak di taman, tidak di perpustakaan, tidak di restoran, tidak di istana. Buku buku menertawakanku waktu mendengarku berkata. Buta aksara. Ya, bukan tentang usia. Atau keluasan tempurung yang selalu terkurung jaring hitam. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah huruf huruf mengenalku. Mati dan hidup bersama kutu kutu di kulit kepalaku. Mau tidak mau aku tahu ada yang maha menyanyangiku, beserta segenap kutu kutu yang mengira mereka sibuk membaca. Tawa buku buku. Aku menggunting paruh burung yang mematuki rambutku. Apakah paruh burung menyukai kutu kutu yang pandai membaca buku buku. Kukuk. Kukuk, kudengar ketukan jari manisku*

Rabu, 13 Maret 2013

terse

Singa singa dalam buku mengaum. Selapar jiwaku. Sejauh jiwaku. Dari tungkai zebra. Berlari lari, menyentuh jeruji demi jeruji yang berdiri. Sebotol kecap dan sebotol sambal ingin menulis. Menjadi bagian dari kisah kisah yang berserakan di kebun binatang. Sesempit jam dinding. Jiwaku. Jiwaku berbicara dengan punggung yang terhimpit tulang rusuk ikan paus. Pada abad abad yang sembunyi. Pada jerapah jerapah yang ingin mencium tanah.
Kau tentu tidak berpikir aku bisa mengerti lalu membiarkan aku duduk berteman kursi kursi kerdil. Kau tentu tidak berpikir aku akan menyerah dan minum makan bersama bangsa lilin. Laut tenggelam ke dalam garam. Serigala menjaga anak anaknya. Laut tenggelam.
Dengarlah sayang, laut tenggelam. Sedalam pelukan*

am

Malam berjaket hitam. Menyentuh pundakku pelan. Pundakku merasa seperti mengenal sentuhannya. Mencari album foto tidak berdebu. Warna lengan jaketnya seperti biasa kaukenakan. Aku bertanya pada pundakku yang tidak mendengar. Sibuk bernyanyi, lagu ingatan. Malam melepaskan jaketnya, mengulurkannya ke arah tanganku yang sedang saling menggenggam, kucoba menghangatkan jalanan. Yang warnanya berantakan. Aku ingin menyenangkan malam, menerima ulurannya, mengenakannya sembarangan. Asal kau senang melihatku menemukanmu, setidaknya seperti kau. Malam berjalan, kedinginan dan langkahnya semakin ringan. Pundakku masih bernyanyi, tidak mendengar telingaku memanggil manggil. Tanganku berbisik, bahasa hati. Tanganku mengusap bibir. Malam kini kelelawar mengajakku mencari dahan kokoh untuk menggantung kaki. Menjelang pagi. Bahasa hati diam diam tertidur. Mencoba melukiskan mata terbakar sunyi*

Selasa, 12 Maret 2013

sleepy

Setiap bangun pagi. Segera kututup pintu dan jendela. Sambil berdoa, jangan pergi mimpi, aku ingin mengerti. Sebelum kau mengunjungiku kembali malam nanti. Pagi dan malamku tidak bernama, membuat catatanku berlompatan. Seperti belalang pada rerumputan di padang rumput, satu warna melindungiku dari surga. Hijau. Hijau. Dan hijau. Anak burung akan mati kelaparan jika tidak segera menemukanku. Kudengar kicaunya mulai kelelahan mengetuk matahari*

koma

Aku selalu kanak kanak, menciptakan dunia dari sebuah bola. Menunjuk sebuah titik, di sini rumahku. Kemudian bola kulontarkan, melambung tinggi, melayang sebentar, lalu mendarat. Kupungut kembali bola, kutunjuk lagi sebuah titik pada permukaan lengkungnya. Rumahku tidak pindah, aku mengenalinya dengan tepat. Bola tidak mengatakan aku salah menunjuk tempat. Rumah. Remahan biskuit menutupi atap rumah. Kutemukan rumahku pada seluruh bola di dunia. Ibu mendekat, mengusap telunjukku dengan jari jarinya. Tapi rumahku masih melekat di sana. Aku selalu kanak kanak. Berkata aku pulang setiap kali menghisap jari. Kanak kanak selalu melempar dan memeluk bola bergantian. Rumah rumah menerbangkan remah remah.
Kemudian ada yang berkata rumah berada di dalam dada. Kanak kanak tidak mencerna. Bumi bulat, bola bulat. Rumah terbit tenggelam. Bau bedak yang manis. Remah remah biskuit. Bole plastik. Ibu yang cantik. Kanak kanak selalu memelukku serupa aku memeluk bola, menciptakan dunia di dalam rumah. Titik titik pada bola dunia. Titik titik. Titik titik. Titik titik menemukan lengkung kecil*

Senin, 11 Maret 2013

void



Kamis, 07 Maret 2013

midnight summer song

Satu satunya kesalahan adalah ketika merasa benar. Satu satunya kebenaran terbit dari kesalahan. Kubayangkan aku adalah jam pasir, kulihat matamu menikmati penantian, kunanti tanganmu membalikkan arahku. Kaki dan kepala bergantian mengucurkan butir demi butir penentu takdir. Semua mata melihat waktu, menunggu waktu, melewati waktu, berusaha menghentikan waktu sesekali. Jika tak ada tangan membalik arah berdiri jam pasir seharusnya waktu berhenti. Tapi tidak terjadi. Jam pasir hanya penanda waktu, bukan penentu. Jam pasir ada karena dibutuhkan. Akan lenyap tanpa bekas pada saat tak lagi diinginkan, bisa dilempar sekuat tenaga hingga jatuh di tempat terjauh yang tak akan ditemukan, juga bisa diinjak sampai hancur, lebur dengan sekitarnya. Serpihannya mungkin menempel pada sol sepatu, pasti tak mengganggu sedikitpun.
Hai sayang, aku sedang menikmati malam gerah. Sangat ingin belajar berjalan dengan tempurung kepala. Lebih tepat menggelinding. Karena kepala tidak melangkah seperti kaki. Bundar, bergerak dengan cara menggelinding seperti bola. Leher mungkin menghambat kecepatan, bikin kepala tidak dapat menggelinding sempurna. Aku belum pernah melihat akrobat berjalan dengan kepala, dan sangat tertarik mengira ngira bagaimana mengerjakannya.
Ya, kita, aku yakin kau sama persis denganku, gemar menghabiskan waktu untuk mendengar rekayasa. Semua sedang bermain drama. Pura pura sungguh sungguh bersedih dan bahagia, silih berganti, karena alasan yang sama. Mau apalagi. Kehidupan telah berjalan setidaknya selama dua ribu tahun lebih, belum termasuk tahun tahun sebelum masehi. Kalau masih ada yang merasa pantas disebut orisinil, lebih masuk akal kalau ia adalah bakteri atau virus. Bahkan nyaris tidak mungkin seratus persen.
Pasti nikmat sekali berada di atap rimah, merasakan udara bergerak bebas. Malam gerah dan aku mengoceh dengan suara parau. Mengatakan segala hal tidak bermutu, tanpa peduli betapa menderitanya kau yang berada di dekatku.
Ngomong ngomong, aku ingin vodka, arak oplosan juga tak apa, kalau ada*

Rabu, 06 Maret 2013

ohm

Aku tak perlu pahlawan. Satu atau berapapun. Kesadaran. Kesadaran adalah satu satunya yang kubutuhkan. Bahwa seorang pahlawan mestilah seorang penghancir. Kehancuran memang mengasyikkan bagi penderita sadomasokis, atau apapun istilahnya dalam ilmu kejiwaan, yang suka menyakiti, kalau bukan orang lain ya dirinya sendiri.
Kusadari sore ini, saat kudengar suara jangkrik. Dan aku sangat muak menyadari seekor yang berbunyi mungkin tak lama akan mati, untuk menjadi pahlawan bagi manusia pemelihara burung. Alangkah bodohnya aku. Menjadi manusia bodoh sangat menyedihkan. Pahit.
Kesadaran adalah musuh pahlawan. Lagipula semua pahlawan hanyalah nama nama pada batu nisan di sebuah komplek pemakaman yang diberi nama taman makam pahlawan oleh pejabat negara. Yang terburuk adalah wajah wajah yang tercetak pada selembar kertas yang mati matian diinginkan seluruh umat manusia.
Bencilah aku, maka aku akan menjadi pahlawanmu. Ngeri. Parahnya lagi aku sama sekali tidak berniat membunuh diri. Kesombongan tidak pula sanggup membunuhku.
Kesadaran antara mencintai dan memanipulasi. Aku tidak tahu cara hidup yang benar, dan tidak juga mati. Dan tidak kenal ibuku sendiri. Terkutuklah aku jika sabuah peristiwa, keadaan atau riwayat tertentu kujadikan sakral. Kujadikan sesuatu yang mesti dikenang dan diagungkan. Tidak untukku. Tidak untukmu. Sebutir pasir yang terkurung semen pada dinding rumahku saja tidak pernah mengatakan sepatah katapun. Untuk apa aku memuja atau memprihatinkan manusia manusia yang bebas berjalan jalan, hingga sejauh ujung dunia dari tempatku berada. Kalau masih ada sedikit sifat manusiawi padaku, adalah saat aku mengasihani para pahlawan yang tidak kembali kepada ketiadaan gara gara harus selalu dikenang dengan hormat pada segala macam upacara. Tapi aku terlalu sibuk dan tertekan memikirkan nasib jangkrik jangkrik yang bernyanyi nyaring, seakan akan menghibur kecemasan dan kekerdilan manusiaku. Jangan jangan aku boneka kayu, seperti dongeng masa kecil itu, dan salah seekor dari jangkrik jangkrik itu adalah nuraniku* 

Selasa, 05 Maret 2013

windy

Dunia hanya mengenal tidak lebih dari sepuluh musim. Aku punya lebih dari seribu musim. Kau pernah mengunjungiku pada musim bunga, musim bulan, musim jamur, musim balon, musim layang layang. Tapi kau masih mengejekku dan berkata aku mengada ada. Yang kubilang musim bukanlah musim. Itu hanya bisa bisanya aku dalam upaya menarik perhatianmu. Kau mestinya tahu di antara seribu musim lebih yang kupunyai pasti ada satu musim tidak peduli. Di duniaku ada musim tidak peduli, itulah yang tengah berlangsung setiap waktu kau mulai kesal pada bualanku. Musim tidak peduli seindah musim mencintai, seindah musim semi atau musim gugur, atau musim apapun yang paling kaugemari.
Aku bermain main dan membahagiakan diriku sendiri waktu kau tidak sedang bermain denganku untuk membuatku bahagia. Pada musim mencintai yang bisa datang seribu kali atau lebih dalam sehari, aku mencintaimu ketika kau sama sekali tidak merasa kucintai.
Oh, aku juga punya musim kebenaran. Pada musim kebenaran tidak ada yang lain selain kebenaran di duniaku. Jika kau mengunjungiku pada musim kebenaran, sudah pasti kau menjadi kebenaran seperti juga segala hal di duniaku pada musim itu.
Mungkin kini kau bisa mengacuhkanku, mengejekku, mengataiku bahkan melempariku dengan batu kapan saja kaumau, tanpa perlu memikirkan sebab dan akibat apapun. Sesukamu. Seperti apa adanya kau.
Kapan saja, bagaimanapun juga, aku punya seribu musim, bahkan lebih di duniaku, sehingga kau bisa berkunjung atau beranjak sekehendak hatimu. Akan selalu ada musim yang pantas untuk segala yang kauberi.
Tapi, ada satu hal yang agak tidak wajar pada duniaku dan musim musimnya. Pada semua musim seolah olah musim mencintai tidak pernah benar benar pergi, selalu menyertai setiap saat. Tidak apa. Mungkin sebenarnya mencintai kurang tepat menjadi salah satu musim. Mencintai lebih mirip angin, selalu ada di setiap musim. Kadang kadang berhembus lembut mengantar kesejukan, sesekali bertiup kencang menumbangkan segala yang berdiri tegak.Kau tidak selalu mendengar atau merasakan angin. Gerak udara.
Aku tidak berharap kau melihatnya* 

dreamy

Kudengarkan berulang ulang, lagu tentang mimpi. Bunga tidur adalah kiasan untuk mimpi. Masih samakah hari ini. Bagaimana seseorang yang tidur begitu sedikit bisa memiliki begitu banyak mimpi. Bukan misteri. Mimpi menyukai orang orang yang suka terjaga. Mencuri kenyataan, sebelum kenyataan membunuhnya, adalah tantangan paling menarik untuk mimpi.
Aku bukan lagi pemimpi. Aku telah menjadi mimpi. Telah dibunuh hidup berkali kali. Tidur sebentar kemudian terjaga untuk mendekap pemimpi. Adakah yang lebih menyenangkan dari pada menjadi mimpi yang memeluk erat pemimpi.
Mimpi tidak membesar besarkan masalah. Mimpi tidak menyimpan kesalahan. Mimpi tidak mengenang kesedihan. Mimpi tidak harus datang dan pergi. Mengingatkanku pada cinta. Mimpi seperti cinta, bunga menjadi kiasannya.
Mimpi tidak pernah mencibirkan bibir untuk segala yang membosankan. Mimpi bisa menangis dan tertawa dalam waktu bersamaan.
Yang terbaik, mimpi tidak membalas dendam meskipun kehidupan membunuhnya setiap saat. Mimpi juga serupa kematian, tidak pernah mati*

:)

Seharusnya aku berhenti. Tapi aku tidak suka diharuskan apapun. Maka aku tidak berhenti. Menjadi memuakkan untukku dan seisi dunia. Perasaan itu seperti kelegaan sesaat setelah muntah, setelah sakit kepala yang lama. Tidak berhenti mengosongkan perut seperti orang orang suci, di lain pihak bisa juga serupa orang yang hidup dengan gangguan kejiwaan yang berkaitan dengan makanan. Selebihnya segalanya baik baik saja. Seperti jarum pada seluruh penunjuk waktu di bumi.
Anugrah terhebat seorang bayi adalah tidak memilah milah waktu. Mengerjakan apa saja tepat pada saatnya. Tidak mengenal tadi dan nanti. Cuma ada sekarang.Dan setiap detik sama berharga. Terima kasih untukmu yang telah mengajariku. Aku tidak mengatakannya atau memikirkan terima kasihku untukmu. Tapi aku sangat tahu kau mendengar dan mengetahui terima kasihku.
Hidup terlalu sempurna untuk seseorang tanpa impian*

Minggu, 03 Maret 2013

thingky

Menjelang jam sepuluh malam aku berpikir. Dan merasa lebih ringan karena pikiranku tidak bicara. Aku hanya mengatakan tentang keletihan hujan yang belum berhenti berjatuhan sejak sore. Sama sekali bukan isi pikiranku. Aku merasa telah menjadi penderma sempurna yang memberi hanya dengan satu tangan tanpa sepengetahuan sebelah tangan lainnya. Entah untuk apa atau siapa, entah apa atau bagaimana. Aku hanya merasa dunia akan menjadi lebih baik jika seluruh pasang telinga tak mendengar pikiran. Hanya bunyi gerimis berirama. Pikiran tidak terdengar. Pikiran tidak terdengar. Pikiran tidak mendengar.
Lonceng angin berayun pelan, denting, denting. Aku mendengar tanpa berpikir. Menjadi seperti bayi. Aku tidak berpikir sedang mendengarkan denting lonceng lonceng angin. Lonceng angin berdenting tanpa berpikir.
Sementara berkata aku tidak berpikir, lonceng angin tidak berhenti berdenting. Tidak berpikir bahwa aku berpikir untuk mengatakan tidak berpikir. Susah susah mudah menjadi pemilik otak. Berpikir sedang tidak berpikir. Angin bertiup menggerakkan lonceng angin. Denting. Denting.
Waktu telah menggerakkan ruangku. Jam sepuluh malam telah lewat. Aku tidak berpikir mendengarkan denting ketika angin tidak menggerakkan lonceng angin.
Seekor kucing melompat masuk dari jendela sambil mengeong berisik. Aku tidak berpikir mengerti bahasa kucing. Kucing datang begitu saja seperti angin. Aku suka kucing dan angin yang tidak mendengarku sedang berpikir.
Kupikir aku tersenyum sendiri. Masih mengira tidak sedang berpikir. Gerimis mungkin letih tapi tidak berhenti. Angin akan kembali menggerakkan lonceng angin*

Sabtu, 02 Maret 2013

sometimes

Kadang kadang aku menyesal tidak menjadi tiang lampu. Yang menopang sebuah benda bersinar di sebuah sudut kota. Di dekatnya beberapa manusia berkumpul. Bertukar senyuman, keluhan, kata kata dengan cara dan nada bermacam macam. Dan aku menjadi tiang lampu yang tidak terusik. Sekumpulan manusia tidak akan menyadari kehadiranku selama lampuku bersinar. Tidak merasa mengganggi atau terganngu, sekumpulan manusia merasa telah menemukan tempat dan waktu yang ditunggu. Dan akupun tidak pernah sungguh sungguh merasa tengah berada di tempatku pada waktu itu. Tiang lampu tidak berkeinginan atau berperasaan tentang segala hal. Hanya berdiri tegak, bahkan tidak tahu bahwa ada seseuatu yang menyala pada puncaknya. Yang membuat sekumpulan manusia mendekat dan mengerjakan apapun yang dinginkan di bawah cahaya lampu.
Kubayangkan sebuah benda berbentuk silinder, tinggi dan langsing. Terasa sejuk saat telapak tangan menyentuh tanpa sengaja. Terasa kokoh dan sejuk pula di punggung yang bersandar padanya.  Melihat tapi tidak melihat. Mendengar tapi tidak mendengar. Ada tapi seolah tak ada.
Dan serangga terbang berputar tanpa henti di sekitar puncak yang memancarkan terang. Dan tidak ada satupun yang merasa perlu mengerti apa yang sedang kupikirkan. Para serangga dan sekumpulan manusia berada begitu dekat tanpa merasa aku ada dan menjadi bagian kehidupan meraka suatu ketika.
Kalau menjadi tiang lampu sangat mungkin aku tidak memikirkan siapapun*