Senin, 05 November 2012

rupa rupa pura pura

Sudah semestinya kau merasa yang kurasa. Kesedihan yang pura pura kehilangan arah. Mendongakkan kepala, menemukan semua mata menerawang, pura pura menemukan tujuan.
Aku hanya ingin memeluk anaknya, membisikkan, tidak semua ibu seperti ibumu, tidak semua ayah serupa ayahmu, tidak semua teman sama dengan temanmu. Ada berupa rupa ibu, ayah dan teman yang kemarin, hari ini dan besok pagi yang sama sekali tidak sama dengan yang kaugambarkan dalam ingatan yang sekarang sedang kaukarang.
Kemudian kau dan aku bisa memohon bersama agar menjadi batu karang. Supaya percaya, ombak selalu menerpa dengan cara berbeda. Tak ada yang menghitung berapa kali sehari itu terjadi. Hempasan ombak, percikan buih. Kau atau aku hanya tak pernah benar benar sendiri, tak pernah terbersit satu kalipun dalam benakmu atau benakku batu karang akan mengering.
Kau atau aku, atau kau dan aku yang akan menggambar teras rumah malam ini. Teras rumah yang sederhana namun hangat, dinaungi bayang bayang ranting dan daun sedang merenangi cahaya lembut. Teras rumah lebih sering lengang, tak ada yang tinggal lama di sana. Para penghuni datang dan singgah untuk menikmati sesaat hilangnya rasa penat, sesaat sebelum ke ruang dalam. Tak ada tirai, tak ada lukisan, patung, dan lemari kaca yang menyimpan pajangan di situ. Teras rumah tak peduli kata kata bahagia.
Anaknya memeluk ibunya, meracau tanpa kata kata. Persis semua anak memeluk ibu mereka.
Kau atau aku tertawa. Anak anak penyu berlarian ke pelukan laut, meninggalkan jejak jejak kecil pada hamparan pasir. Jejak pasir yang lucu, yang tidak terlindung, segera terseret arus, hanyut.
Alih alih kau atau aku, teras rumah menjadi batu karang, pura pura menunggu ombak*