Kamis, 15 November 2012

gramatikal

Dengan selendang diikatnya bayinya pada kedua lututnya. Bayinya menangis, kesempatan bagus baginya menyuapkan nasi putih, segumpal demi segumpal ke dalam mulut bayi yang terbuka lebar menjerit jerit. Cuma nasi putih setengah piring dilumat air secukupnya. Bayinya terus menangis, tangannya tak berhenti menjejalkan nasi putih ke dalam mulut bayi.
Ibu sejati ingin bayinya makan dan tumbuh besar. Bayi yang baik tak suka disuapi gumpalan nasi putih. Aku harus tersenyum, terpikir olehku sang bayi kelak akan membenci acara suap menyuap. Menyuapi dan menyuap kuharap tidak berbeda makna meskipun berbeda kata, cuma satu huruf saja. Apalah arti satu huruf bagi dunia.
Aku wajib mengutuk diri sendiri jika jatuh kasihan pada anak beranak yang sedang makan. Budaya punya banyak cara menakjubkan untuk membuat manusia menerima semua apa adanya. Sudah nasib sang bayi menjadi anak ibunya. Nasib yang ditulis oleh penulis nasib yang telah sangat berpengalaman, penulis yang sama yang juga menuliskan nasibku, nasib ibu, nasib nenek, hingga nasib anakku.
Cara hidup terbaik adalah dengan bahagia. Percaya bahwa segala hal indah pada akhirnya. Sebenarnya aku bimbang apakah kalimat, menerima suap dan menerima suapan berhubungan dekat.
Bayinya seperti menelan rasa lapar, terus menerus dimuntahkan, tangan ibu tak lelah menjejalkan makanan. Lumayan mengharukan, belum lagi lolongan, jeritan, beserta tangisan tak putus putus selama acara suapan berlangsung. Tapi aku tersenyum seperti patung, kepalaku serasa tak berongga, mengeras padat. Aku bisa tertawa membayangkan sedang dalam posisi siap menyeruduk punggung ibu. Kalau bayinya sampai tunggang langgang tentu akan terlihat tambah semarak.
Semua ini cuma tentang makan dan suapan yang ditulis orang buangan. Kubayangkan kebahagiaan mungkin seharga sebuah pisang*