Minggu, 02 Desember 2012

*

Seandainya bisa kutuliskan puisi terakhir untukmu, saat ini, bersama warna teduh dari balik jendela. Aku tidak tahu mesti menulis apa. Segalanya begitu mengalun, menyusup ke balik kulit, mengalir bersama darah di nadi nadiku.
Bagaimana menuliskan penyesalan.
Bagaimana menuliskan kebahagiaan.
Bagaimana menuliskan semua yang kuciptakan bersamamu, di setiap jalan.
Kita di bawah nauangan langit yang mungkin sama, mungkin berbeda. Bolehkah kupinjam matamu, atau kaucerikan saja caramu memandang angkasa, biru, awan, pohon pohon, angin. Aku mendengarmu.
Apakah yang mereka sebutkan, yang berharga dan akan digenggam ketika menemui ajal.
Mimpi tentang angsa putih yang terbuat dari roti, berenang renang di danau rasa stroberi. Sungguh mungil dan kekanakan.
Apa kau mengerti. Kau mengerti, aku sedang bercerita tentangmu kepada hatiku.
Rindu. Aku tidak menginginkan secuilpun dunia yang tak ada kau di sana.
Bukan cuma itu, selalu dan selamanya. Impian kekasih. Sepasang merpati, remah remah biskuit dan coklat hangat menodai baju kita.
Kita tak pernah menanamkan apa apa, kita tak akan pernah kehilangan apa apa. Aku mengutipnya, terasa indah.
Aku merentangkan lengan lebar lebar, terbang. Dan tak bertanya tanya lagi tentang jalan.
Kau, sangat mengerti, aku tidak berhenti*