Selasa, 13 November 2012

anomali kasih

Semua manusia memahami arti kata normal. Segala yang dikerjakan menurut aturan.
Mandi dua kali sehari. Makan tiga kali sehari.
Tapi, tak ada yang tahu normalnya, berapa banyak mencintai dalam sehari.
Kau dan aku sama sama tahu tak ada satupun yang penting dari yang pernah kupikirkan. Pernah kubilang aku tak keberatan jadi keranjang sampah, selalu terbuka, menerima tanpa memilah milah apa saja yang kaulontarkan. Itu benar, juga tidak benar.
Sebuah lagu tentang kasih ibu menyatakan sang surya mengasihi bumi hanya dengan memberi tak berharap menerima kembali. Kurasa penulis syairnya kurang cermat. Lebih baik kalau kubilang aku tidak sepakat bahwa kalimat, hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia, cukup tepat menuliskan kasih tak bersyarat seorang ibu yang dimaksud lagu tersebut.
Kemarau panjang membuatku merasa dunia menngasihi sang surya. Bisa setara atau lebih besar dengan kasih surya kepada dunia.
Tanah mengering, batu batu memanas, tumbuhan meranggas, debu, pengap dan keruh. Segala yang ditanggung dunia karena sang surya mengasihinya terlalu lama.
Sang surya juga selalu datang dan pergi semaunya, setepat waktunya, terbit tiap pagi, terbenam menjelang malam, pada waktu yang sama setiap hari. Sepertinya sang surya tak mau tahu tentang perasaan dunia yang bisa jadi sangat bosan dengan rutinitas yang itu itu saja.
Tidak adil jika hanya sang surya selalu disebut sebagai yang mengasihi dunia.
Dunia juga sangat mengasihi sang surya. Sangat jelas, bagi yang mengasihi hanya bisa menerima adalah siksaan. Dunia telah menanggung siksaan tanpa henti dengan menerima saja sang surya menyinari. Dunia tak kuasa membalas kasih sang surya dengan pemberian setara, cahaya.
Sampai hari ini dunia masih mengasihi sang surya, masih mendengar anak anak manusia penghuni dunia menyanyikan lagu kasih ibu sambil menikmati sinar matahari tak peduli betapa teriknya.
Kalau aku mengasihimu, apakah kau lebih suka seperti sang surya atau dunia.
Apakah harus selalu begitu cara mengasihi. Cuma manusia normal yang bisa menjawab.
Aku tidak normal, aku tahu, aku serupa pecahan gelas yang bahagia.
Tak perlu mandi dua kali sehari, tak harus makan tiga kali sehari.
Selain pecahan gelas, aku juga patahan penggaris, ember berlubang, sobekan kertas, benang kusut, keranjang sampah, apa saja yang tidak penting dan tidak sempurna.
Hebatnya lagi, setiap saat memikirkanmu membuatku menjadi sang surya sekaligus dunia. Terbit dan terbenam tidak hanya waktu pagi dan menjelang malam. Tak bisa kuingat berapa kali fajar dan senja terjadi dalam setiap hariku saat memikirkanmu*