Minggu, 18 November 2012

jalan

Aku tak suka jalan pintas yang kerap kaupilih ketika mengantarku pergi bekerja. Melewati jembatan curam, tempat pembuangan sampah, kuburan, peternakan ayam. Kelihatannya seperti penuh makna, filosofis, sebenarnya tidak sama sekali, merusak imajinasi.. Melewati semua tempat tidak indah, sesekali dengan percakapan, lebih banyak diam. Diam diam ingin kucatat, seperti semua perjalanan, lebih mengundang perhatian dari pada tujuan. Terlebih yang singkat dan selalu ditempuh denganmu hampur setiap hari. Jembatan curam, sungai, sampah dan kuburan tidak kudengar suaranya. Tapi ayam ayam selalu mengeluarkan bunyi dari tenggorokannya. Semuanya berbulu putih, besar, petelur yang telah berumur, siap dikirim ke tempat peristirahatan terakhir. Baunya bikin lelah. Kau tak menyadari ayam ayam putih membuatku merapatkan tubuhku padamu. Untuk memastikan aku tidak sendirian. Aku juga tak pernah bilang aku teringat pantat ayam saat bersandar padamu, punggungmu terasa hangat.
"Neraka mungkin tidak seberapa, dibanding terlahir sebagai aspal jalanan."
"Aspal jalanan tidak dilahirkan, cuma benda, tidak bisa merasa apa apa."
"Siapa bilang, aspal jalan sering menjatuhkan dan melukai orang, selalu diinjak dan ditindas."
"Tapi, orang orang jatuh dan terluka di jalan bukan kesalahan jalan."
Tiba tiba kita telah sampai di tujuan, bicara tentang hal lain, mengeluh dan tertawa. Seorang perempuan mendatangimu, menawarkan kopi.
Aku tidak peduli, kucium sisa bau asap yang melekat di lengan jaketku. Aroma sampah matang.
Kita berpandangan, baru kusadari ternyata tatapanmu juga sehangat pantat ayam. Aku mengulum senyum tanpa menawarkannya padamu.
Jalan pintas itu tak pernah mempersingkat apa apa*