Minggu, 25 November 2012

;)

Pagi yang meleleh dari mimpi seperti senyuman bidadari. Melayang menghampiri sepasang kaki montok yang masih nyenyak tertidur. Aku mencoba menulis rasa manis yang mendengung di sebuah tempat yang kurasa dekat, namun gagal. Kegagalan yang sangat memuaskan. Kepuasan yang tak bisa diragukan. Ketika kulihat dinding dinding menertawakan ruangan bersegi empat yang diapitnya. Yahh, perlu banyak kata bantu berbunyi 'yang' untuk menerangkan macam macam keadaan atau perasaan, yang semuanya merasa benar. Benar benar bersinar, seperti pagi yang meleleh dari mimpi. Bidadari yang tersenyum kepada kicauan burung.
Kurasa ia sekarang lebih mirip manusia, menikmati pagi dari lelehan mimpi, aku mengerti. Memandikan burung warna tanah. Mengantar sekolah. Ada terlalu banyak ketidaktahuan yang tidak seharusnya tidak mencari tahu demi senyuman bidadari atau cuma setangkup roti, yang tidak hangat tapi mengisi. Aku melihatnya tertawa, dengan air menetes netes dari puncak keningnya. Selamat pagi dunia.
Begitulah semestinya sebuah bahasa, tanpa kewajiban menerangkan atau menggelapkan. Benda benda langit butuh pekerjaan, demi pengetahuan dan penantian untuk yang datang. Aku mendengar, senyuman bidadari terdiam. Mimpi mengalir, mengisi cangkir demi cangkir beruap hangat. Musim hujan tak sabar menyapa sayap sayap yang masih mengepak. Bidadari belum terbang, atau terbang dengan cara yang tak bisa dikatakan. Siapapun ia, pasti ada sangat banyak yang tak mengenalnya. Apakah bidadari sudah ingin mandi matahari. Langit tampak bersih. Lelehan pagi tak meninggalkan noda setitikpun di wajahnya. Sempurna tiada bandingnya. Seperti lidah buaya yang tidak pernah dahaga.
Ia memandangiku dan berkata,"..." Ia lebih mirip manusia, bidadari tersenyum memimpikannya. Ini akan sepanjang masa, kalau aku mengerti kata katanya yang seperti senyuman hujan*