Rabu, 01 Juni 2016

tuhan maha penyayang

Tak ada keikhlasan dalam setiap tulisan. Maka aku menulis.
Terlampau banyak angan angan dalam kehidupan. Aku memandang kenyataan.
Untukku, untuk yang sayang, untuk teman teman. Karena tuhan maha penyayang.
Sebagian orang dapat saling membaca ketidakikhlasan, menuliskan kesalahan. Sebagian lainnya mencoba memahami ketidakikhlasan, membaca kebenaran. Bergantian. Berulang ulang.
Hanya tuhan, tuhan merangkai kebenaran dan kesalahan, helai demi helai, disatukannya dengan ketulusan hati.
Sesaat kemudian, tuhan menjelma kanak kanak, berlari, terjatuh beberapa kali, menuruni lereng bukit. Pada sepetak tanah landai, beberapa manusia aneka rupa dan usia sedang bercengkrama. Kanak kanak berdiri, baju dan wajahnya lusuh setelah beberapa kali terjatuh. Agak canggung, kanak kanak mengembangkan senyum. Kedua tangannya berada di balik punggung, menggenggam karangan kembang liar. Seikat kembang liar yang tanaman maupun bibitnya tak dijual di manapun, dan tak ada yang pernah menanamnya di halaman rumah.
Kenyataan menemukan tuhan sedang memandangku, penuh sayang, serupa kanak kanak memandang semua orang yang sedang bercengkrama di sepetak tanah landai.
Tak ada keikhlasan dalam setiap tulisan. Hanya saling pandang, kemudian senyuman, tuhan maha penyayang*

Selasa, 31 Mei 2016

dari kursi ke hati

Salah satu cara belajar menjadi manusia adalah melihat dan mengerti jejak air mata. Sebutir air mata yang telah terjatuh dari sebuah wajah. Jatuh, setelah sebutir air mata mengalir menyusuri wajah, lalu jatuh, pecah, ke tungkai, telapak kaki, jemari kaki, lantai,  atau tanah. Apakah air mata sedih atau bahagia. Atau hanya air mata cinta. Air mata cinta, air mata cinta tak berharga, tak ternilai harganya. 
Salah dua, masih entah

Kursi, kursi, kursi, untuk semua hati, dengarlah di saat letih. Kursi tak mengalahkan siapa siapa. Kursi hanya bernyanyi setelah membaca hati, seratus kali atau lebih. Menjelang pagi. Tuhan selalu baik hati*

Minggu, 29 Mei 2016

orasi pagi

Alarm. Alarm.
Kebakaran kebakaran.
Hanya kulihat asap, dari lubang hidung dan celah bibir. Terbang melesat menyambut ruang.
Segelas kopi dingin.
Telepon genggam.
Denting piano.
Terbang melingkar lingkar. Sesaat. Sesaat.
Hilang. tersesat. Tersesat
Sudah selesai.
Api yang baik, dan hati yang yang yang yang yang yang
Bermimpi bertemu mimpi*

Selasa, 24 Mei 2016

hum

Seperti seribu malam yang telah lewat, dan sebenarnya lebih. Jika ada tiga ratus enam puluh lima malam dalam setahun penanggalan matahari, maka beribu ribu malam lebih mendekati benar.
Beribu ribu malam yang benar telah lewat. Aku berjalan di trotoar, duduk di bangku, mengayuh sepeda, menengadahkan kepala. Dan sebenarnya harus kukatakan kebenaran yang lebih benar, bukan hanya malam. Kuangkat pundakku, kau paham bahasa tubuh.
Aku melamun sepanjang jalan. Dan masih selamat menempuh setiap perjalanan selama beribu ribu malam ditambah beribu ribu selain malam yang telah kukatakan. Ya, kau mengerti selalu ada waktu yang menyuruhku terburu buru hanya untuk lebih lama menunggu.
Menunggu sesuatu seperti hujan yang seperti kejutan.  Aku tahu artinya berlebihan, aku tahu, kuceburkan kecemasan dalam setiap gelas, kutaburkan lebih banyak keraguan ke dalam setiap kalimat. Dan tak pernah cukup, berlebihan, kecemasan, keraguan, sebenarnya harus kukatakan kerinduan. Aku pasti tidak mengerti, kubaca terlampau dini.
Aku berharap selalu tentang yang terburuk, yang mengajakku meliuk, menangkap pinggangku atau mendorong punggungku. Dan kaupeluk atau terpuruk. Sama sama buruk. Aku ambruk.
Dan duduk adalah yang terburuk. Nyamuk nyamuk semakin gendut setelah mengecupi tungkaiku yang terulur menyentuh lantai. Nyamuk nyamuk mabuk, lupa mendengung. Dan aku tak peduli pada kebingungan yang mengintip di balik punggung.
Masa depan serupa catatan yang penuh jejak lipatan. Dan beribu ribu malam yang kukatakan belum datang.  Dan catatan buruk akan menemukan yang lebih buruk dari yang buruk.  Membaca beribu ribu malam yang telah lewat, catatan catatan buruk.
Aku duduk, mendengung, yang sudahkah kau suntuk atau mengantuk*


whisper

Lebih baik tak usah mengenal seorang perempuan yang sedang merindukan ciuman. Atau kau mau jadi lelaki pengecut, ingin berenang tapi takut tenggelam, ingin menyelam tapi takut dalam.
Ah, tapi untukmu, seorang perempuan yang sedang merindukan ciuman akan menawarkan keringanan.  Karena memandangmu lebih lama lebih menyenangkan, maukah kau hanya bergandengan tangan.
Atau kau mau jadi lelaki murahan, mengobral ciuman demi kerinduan seorang perempuan  pecundang, menggenggam tanganmu hanya dalam angan angan. Tapi untukmu, seorang perempuan yang sedang merindukan ciuman akan kegirangan.
Karena kau. Kau telah mengenal tuhan yang sedang kesepian, untuk mengusap mata seorang perempuan yang sedang kerasukan setan*

Senin, 23 Mei 2016

sweet dream

Selamat tidur mimpi.
Selamat sendiri. Aku mesti bergegas menyambut pagi. Sisa sisa malam mencoba bertahan, menawarkan kelembutan dan keramahan bantal. Mirip masa silam, bertahan. Bertahan. Bertahan. Ingatan mendadak bebal dan bikin kesal. Seperti air liur, tak pernah mengiring meski berulang ulang ditelan. Seperti air liur, mengandung enzim untuk melancarkan pencernaan. Rasanya, bantal lebih paham, bantal tidak menghafal.
Bantal mengerti kepalaku butuh penopang sepanjang malam. Dan lenganmu sekuat dan sesayang apapun, tak setegar bantal. Lenganmu bisa pegal dan kesemutan. Karena sayang, tak dapat kuijinkan kepalaku mengakibatkan kau bangun pagi dengan rasa tak nyaman.  Bukan pengorbanan bagi sebuah bantal, ditindih kepala siapapun, ditetesi air liur yang akrab atau tak dikenal. Bantal hanya bantal, setiap kepala manusia dapat mengandalkan sebuah bantal untuk mengganjal kepalanya sepanjang malam, demi tidur nyenyak, melupakan sejenak segala macam ketidakadilan.
Selamat sendiri. Kukatakan pada bantal sebelum beranjak dari mimpi. Malam memudar, terang menghadang.  Masih, selalu berkhayal aku malam, bertaburan bintang, waktumu bersinar. Kau dan aku, dua bantal berbaring bersama, menopang kepala kepala kelelahan, menadah setiap tetes ludah.
Menyimpan diam diam beraneka mimpi, jejak gambar samudra dan pulau pulau asing. Suatu pagi, ingin kutanyakan pada dua buah bantal, adakah di antara kalian pernah ingin bebas, membentang di ketinggian, seperti langit. Di mana setiap kepala yang tertidur menumbuhkan bergumpal gumpal awan. Lembut, kusut, hitam, kelabu, putih keperakan, bahkan warna warni sesaat seiring terbit dan menjelang terbenamnya mimpi.   
Selamat pagi, terdengar serupa mimpi*

Minggu, 22 Mei 2016

minggu pagi

Mereka berkata ini malam minggu. Aku tak mengerti atau kehilangan konsentrasi, seingatku, esok pagi hari minggu baru dimulai. Bagaimana malam minggu tiba lebih dulu sebelum minggu pagi.
Malam minggu dan minggu pagi, sebentar, aku menyeduh kopi. Gulanya kutakar lebih sedikit. Kuharap pahit menjernihkan pikir. Saat kembali duduk, malam minggu ternyata menungguku. Malam minggu memilih sebuah kursi, lalu menghempaskan dirinya kepada kayu. Tanpa suara, malam minggu duduk satu meja denganku.
Tak kutawakan kopi, sigaret apalagi. Aku mestinya bertanya, kenapa mereka berkata ini malam minggu, selagi malam minggu duduk satu meja denganku. Tapi aku diam, memandangnya sekilas, mataku mengirimkan pesan, atau tuntutan, tak ada harapan.
Malam minggu, aku tak gentar padamu. Sedikit mengantuk, aku menguap bersama asap.
Malam minggu, untuk apa kaurampas sabtu malam dari ingatan setiap orang. Akhirnya kutanyakan, setalah kunyalakan sigaret keempat.  Kopi dan ruang berbisik, berebut kedinginan di dalam dan di luar gelas.
Gelas berdiri tegak, tak menghindar saat kuulurkan tangan. Padat dan sejuk.
Aku berpikir, mungkin lebih baik kubiarkan saja malam minggu menemuiku pada sabtu malam ini. Lagipula, seseorang yang jatuh cinta pernah berkata, apalah arti sebuah nama. Untuk suatu hari, pada setiap hari bermata sama.  Duduk bersama malam minggu dalam satu meja bukan bencana. Kalau mau seduhlah kopimu sendiri, kuhembuskan bersama asap.
Tahukah kau, di mana dan sedang apa sabtu malam ini. Sebentar, aku butuh lebih banyak kopi* 

Jumat, 20 Mei 2016

mantrah

Jatuh cintah setiap hari, kalau bisa lebih. Hari hari terasa terlalu lambat berganti, dalam hati yang jatuh cintah berkali kali.
Kau tahu apa kata lampu ketika berbincang denganku. Apa lampu hanya ingin menyalakan hatiku, mengatakan kau mengirimkan lagu. Suaranya hangat, menerangi sepanjang malam.
Laut, jadilah laut, biarkan hanyut. Hujan tiba tiba terjatuh, aku harus beranjak, terburu buru menyelamatkan jemuran.
Tak disangka sangka, hujan malam ini sangat beringas. Tumpah ruah. Ah…setelah berhari hari gerah, atau lebih baik kukatakan cerah, karena sedang jatuh cintah.
Ya, kadang kadang atau sering, aku berkhayal ada yang menimpali, selalu, karena aku masih pengecut untuk mengatakan selalu, dunia justru indah saat mengacuhkan segalanya. Mengacuhkan segala galanya tentang dunia, duniaku, duniamu, dunianya, demi cinta. Dunia cintah, tertawa atau meludah terserah kau saja. Dunia cintah. Dunia cintah. Maukah kau mengaku kalah, karena aku salah. Dunia cintah. Dunia cintah. Wkwkwk, bukan tertawa, aku mengejek semua pembaca. Dunia cintah. wkwkwk.
Hujan, bahkan cemburu pada lagu lagu, petir menggelegar, caranya menampar atap,  gaduh.  Langit sedang berpesta. Aku beruntung, suara lampu terdengar teduh. Langit langit rumah melindungiku. Sejuk. Meski dingin, aku berkata, sejuk, kering, menggelinding secantik kelereng.
Jika tuhan mendengarku di antara riuhnya hujan di luar sana, tuhan bakal tersenyum. Mungkin sambil menggeleng gelengkan kepala,  menemukanku  sedang mencarinya dengan serius, belum pernah seserius ini sejak aku dilahirkan. Ada yang ingin kukatakan, hanya pada tuhan. Di antara semua yang kukenal, hanya tuhan yang selalu sendirian sekaligus paling pengertian, hanya pada tuhan akan kukatakan.
Dunia cintah ternyata ada, meski aku tiada. Ada dunia cintah di mana mana. Di antah berantah. Di surga dan neraka. Di pusat dan ujung bumi. Di setiap ruas jari tangan dan kaki. Masih ada lagi, semua pembaca boleh mengejekku sambil tertawa, atau mencari tuhan dengn serius. Siapa tahu akhirnya bertemu, hanya tuhan yang tahu, apa yang ingin kukatakan hanya padanya.  Hanya tuhan yang tahu, sungguh.
Hujan masih lebat, ceritanya belum tamat. Hanya tuhan yang tahu, langit atau aku yang sedang curhat. Pembaca silahkan menikmati sesat, menghujat, menuduhku penjahat sekaligus sesat, menyumpahiku tersambar kilat, melontarkan berjuta juta tahi lalat. Apa saja, silahkan. Dunia cintah. Dunia cintah mengajariku ilmu silat sekaligus gulat. Dunia cintah mewariskan untukku buku resep rahasia yang tak akan pernah ditemukan di dunia nyata dan tak akan terbaca di dunia maya. Buku buku yang bahkan sanggup menjadikan seekor ulat mahir menghidangkan salat sambil menggeliat. Lezat, kaya manfaat untuk kesehatan jantung dan otak.
Laut , jadilah laut, biarkan hanyut, maut pasti menjemput*

Rabu, 18 Mei 2016

hampir ketiduran

Sudah jam satu.
Tak ada yang menunggu.
Aku hanya ingin tahu, kenapa aku jadi tak suka menggunakan kata tidak pada kalimat kalimatku.
Kalau bisa tak kenapa tidak.
Terasa meringankan, meringkas penolakan.
Perasaan sama saja, hanya memangkas pengucapan.
Merapikan maksudmu, semacam mengusahakan agar terbaca lebih singkat, terdengar lugas. Tak.
Tidak. Tak benar begitu. Aku hanya ingin tahu reaksimu.
Pentingkah.
Tak tahu.
Kau terbang seperti camar.
Bukannya bersinar.
Tak usah berharap macam macam.
Kau kejam, mirip elang
Kau tak keberatan.
Oh tentu, justru itu, keberatan, aku selalu ingin tahu bagaimana kau bisa kejam, dan aku masih tak keberatan.
Tak ada cara lain untuk kau dan aku saling menyentuh.
Kau atau aku, lebih dulu jatuh.
Haruskah begitu.
Kau dan aku diterbangkan demi permainan, mengendalikan sesuatu yang dapat tiba tiba terjatuh.
Aku merasa makin rapuh.
Aku juga tak lagi utuh.
Dapatkah kita lebih dekat, lebih erat.
Dapat. Lebih cepat terjerat lalu tamat.
Tak ada pilihan.
Tidak.
Oh, permainan sialan.
Layang layang.
Ya. Tak biasanya kau dan aku diterbangkan jam satu malam.
Siang dalam angan angannya.
Ah, angan angan.
Dia kesepian.
Dia bicara sendirian.
Jangan jangan*


Kamis, 12 Mei 2016

hujan

Aku ingin terjun ke kedalaman hatiku atau hatimu, yang manapun lebih pekat, paling pekat, tak ada celah untukku dan keikhlasan bertemu pandang. Hanya aku dan entah. Oh entah, kau menyanyangiku menyayangiku selalu tanpa menampakkan wajahmu. Kau yang punya nama nama indah, kuberanikan menyapamu entah. Kau menyayangiku, mungkinkah kau lebih sayang, jika aku tak ingat nama nama indahmu. Menyayangiku lebih dari ibu yang melahirkanku. Menyayangiku lebih dari kusayangi anakku*

Senin, 02 Mei 2016

dongeng sebelum tidur

Hujan semacam riwayat, tentang seseorang yang kesepian, menempuh perjalanan. Langit tiba tiba terasa hampa dan terlalu luas. Sepekat awan hitam, seseorang penat melayang sendirian, merindukan suara suara riang dan segala yang meloncat dan bergetar menyambut kedatangannya. Tanpa pikir panjang ia nekad mendekati bola api raksasa, meleburkan diri hingga ia pecah berderai.
Ia jatuh, terhempas jauh, tak lagi utuh. Senang betul ia, menyentuh siapa saja yang tak berteduh. Semua yang disentuhnya mendadak berkilau, licin, sejuk, ia meluncur tak terbendung. Ia hanyut untuk menghanyutkan, tak ingin surut. Serupa anak anak terpesona mainan, ia memegang, menggenggam, menimang nimang, enggan melepaskan segala yang ditemukan sepanjang jalan. Ia terseret hasratnya sendiri, menabrak, menerobos celah, mengalir deras, ia ingin kesenangannya berlanjut. Tanpa sadar ia meluap, menerjang sembarangan, mendaki kian tinggi, seakan berniat menguasai semua yang telah membangkitkan semangatnya. Hingga ia kehabisan daya, segenap yang ada padanya telah luruh, mengalir jauh. Kelelahan sekaligus kesenangan, ia mulai tenang, memandang sekeliling.
Berpasang pasang mata, berupa rupa wajah di sekitarnya, sekarang ia menggenang. Berpasang pasang mata menatapnya resah. Sesaat kemudian ia melihat beberapa wajah menengok ke atas, mendesah, saling bicara. Didengarnya suara suara,”bagus, tak ada mendung sekarang.”  “Semoga tetap cerah.” “Kuharap ini cepat surut.” “Banjir terkutuk.”
Lalu ia sadar, suara suara itu bicara tentang dirinya. Awan hitam yang kini genangan sisa hujan.  Ia merasa keruh.
Tiba tiba ia bergelombang, segera ia berpaling ke arah datangnya seruan dan sentuhan yang menderanya.  Dilihatnya di kejauhan, sekumpulan anak anak sedang bermain, berlarian, terjun, berteriak, saling dorong sambil tertawa. Sesaat ia melupakan dirinya.  Tak tahu pasti, ia tak yakin atau tak peduli, kehangatan atau keruh yang membuat pandangannya kabur.
Genangan  air tak lagi merasakan apapun. Semua terlihat samar serupa bayangan. Saat bola api api raksasa mengulurkan jemari menyentuhnya, panas menyengatnya. Ia hanya menguap, menikmati kenyamanan dan kehangatan ruang dan waktu yang tepat. Ia sempat menggeliat, dan terus menguap, seperti seorang anak menjelang tidur pulas, setelah kelelahan main hujan hujanan seharian*  

Minggu, 01 Mei 2016

ampas

Pagi datang, bila mau biarlah dia membenahi dirinya. Membasuh wajah, merapikan meja, mengirimkan doa. Apakah surga hanya milik seseorang, beberapa atau semua orang. Tak apa tak ada surga, jika dapat menjadikan satu orang saja merelakan segala yang ada padanya tiada, tanpa meminta apapun sebagai gantinya. Seandainya surga membaca, mengabulkan doa doa, mengubahku menjadi udara, cahaya, atau air. Aku berkata, kau lebih tahu yang layak untukmu saat kau berkenan menyentuhku* 

instan

Apa yang dapat dibicarakan, tentang dini hari. Berseri sekaligus perih. Menyadari bahwa seseorang mungkin terluka di luar sana. Dingin dan ngilu.  Kemarin seperti melambaikan tangan, mencoba mengubah wajah sendunya jadi lirik lagu.
Cinta masih terjaga. Suaranya lebih halus dari detak jantung,  bukan siapa siapa, bukan siapa siapa. Jam dinding menyahut,  masih, masih, masih. Ruangan seumpama rahim, pada saatnya melahirkan pesan dan kesan. Tentang rindu, tentang ragu. Seseorang memaksa dirinya untuk sempurna. Tarian asap seirama huruf huruf berloncatan.
Kupu kupu yang lucu, bunga bunga mengangguk. Asbak membaca jejak kehangatann bibirmu pada puntung sigaretku. Bibirmu, bukan bibirku. Akan kufitnah setiap batang sigaretku mengada ada. Kau tak pernah ada. Kau tak pernah ada. Cinta hanya bermimpi, kurentangkan sayap sayapku terlalu dini. Bunga bunga belum ditanam. Taman masih hamparan bebatuan.
Segelas kopi lagi, sedikit tambahan gula, bersulang untuk berkurangnya usia. Instan* 

Jumat, 29 April 2016

percakapan kertas dan tinta

Apakah ini kisah cinta?

Ini kisah kita, cintalah yang menuliskan.

Siapa yang membaca?

Cinta dan siapa saja yang dapat membaca, seluruh dunia.

Wah…Kenapa bukan kau saja, atau aku. Bergantian saling menulis dan membaca satu dan lainnya.

Kau lumpuh dan lemah, sedang aku buta dan basah, kau dan aku hanya dapat diam menunggu. Bersabarlah tangan tangan cinta akan menemukan kita, menuliskan banyak kisah. Setiap kisah ditulis dan dibaca, kau dan aku menyatu. Pada kesedihan dan kebahagiaan, bahkan kehidupan dan kematian, aku melekat padamu, tak terpisahkan selamanya.

Sungguh?

Yah…lihatlah buku buku itu*

Selasa, 26 April 2016

first love

Tulisan pertama, ingin kucari, kutemukan kembali.
Duduk bersamamu, meluangkan lebih banyak waktu untuk memikirkan bagaimana caranya agar kau tak ingin sempurna. Jangan sedih, jangan berkecil hati karena aku. Kesedihanku tak ada hubungannya denganmu. Aku berharap kau masih percaya atau setidaknya pura pura mengerti, aku tulus sepenuh hati. Akan kubuktikan, aku siap menanggung segalanya demi kau menjadi susunan kalimat kalimat yang tak pernah ingin kuralat.
Seandainya hanya satu, di antara kau atau aku, harus menjadi pengecut atau pembual ketika dituntut menghadapi kenyataan. Akan kupaksa kau mengalah. Akulah dia, tak tahan kau dicela, tak rela mendengar mereka berkata kau mengada ada. Akulah dia, pengecut atau pembual, pengecut sekaligus pembual boleh juga.
Aku sanggup mengatakan apa saja demi kau percaya, aku baik baik saja meski kelelahan mencari. Aku baik baik saja, hanya tak menyangka, kau tak mencari namun menemukanku kembali.  Kulihat matamu berkaca kaca, seperti bertanya, adakah yang terluka.
Ingin kutuliskan berkali kali, aku selalu baik baik saja, masih membacamu apa adanya*

Selasa, 19 April 2016

home sweet home



Tak kusangka, kau sanggup mengaburkan makna kata. Kota dan rumah. Rencana dan angan angan. Kerinduan dan kehilangan.
Pohon pohon di halaman diam. Karena tak kenal, apalagi paham, tentang kepalsuan. Dan aku, kaukembalikan aku jadi murid taman kanak kanak, belum dapat menuliskan sendiri namaku pada buku buku bergambar. Bapak atau ibu membelikannya untukku, bambi, pena dan botol tinta, keangkuhan dan kerendahan hati.
Duduk tanpa bersandar, kuharap dapat membuatku jera menyangkal asam dan pahit asap yang kuhirup lantas kuhembuskan. Keluarga kucing tidur pulas, damai, menguarkan kehangatan di setiap sudut. Dinding tegak, warna kusamnya menyiratkan pesan, jangan cemaskan retak. Langit langit menatapku, memahami, memaklumi. Mungkin sekarang saatku bermimpi.
“Aku hanya ingin pulang. Aku hanya ingin pulang.”
Ke dalam pelukan, kudengar suara redup sinar lampu mengusap mataku, menerangi bisikanku*

kata buku pada kutu,



tak perlu ragu. Jadikan aku tak berharga untukmu. Cinta maha kaya, tak menawar, tak meminta keringanan, tak khawatir kehabisan*

bekal hidup



Beberapa orang mengumpulkan bekal hidupnya dengan cara mengais sampah. Aku melihat. Mereka seperti menulis yang tak sanggup kutuliskan dengan kata kata.  Mereka membuatku bertanya, apakah aku sungguh sungguh membutuhkan kesedihan? Jika ya, untuk apa, selain untuk menjadikan diriku manusia?
Seseorang yang menjadikan dirinya semacam pesulap. Memakai sebuah topi yang sesaat nanti dari dalamnya akan kukeluarkan seekor kelinci. Di atas pentas, seekor kelinci kumunculkan dari dalam sebuah topi, putih dan manis. Seekor kelinci yang membuat penonton  mendesah, kagum, menggumam, senang, bertepuk tangan, puas. Berapa orang pesulap hidup di bumi, berapa pesulap mengenakan topi, berapa ekor kelinci seolah olah terlahir dari topi. Beberapa orang mengumpulkan bekal hidupnya dengan cara membodohi orang lain. Beberapa orang mengumpulkan bekal hidupnya dengan cara membela dirinya, dengan gigih dan penuh percaya diri, berkata seorang pesulap tidak membodohi siapapun, semua pesulap menghibur setiap orang, setidaknya dengan seekor kelinci putih yang datang dari kedalaman sebuah topi hitam.
Aku membutuhkan kesedihan, demi meraih kesempatan untuk mengubah setiap kesedihan menjadi kesenangan, atau kebahagiaan, atau kebanggaan.
Beberapa orang mengumpulkan bekal hidupnya dengan cara membeli dan menjual, barang dan jasa. Apapun bentuk dan rasanya, berapapun harganya. Setiap orang mengumpulkan bekal hidup di dunia.
Aku ingin berkata, hidup teramat singkat. Setiap mahluk telah dibekali cukup untuk seumur hidup, bekal yang diberikan bersamaan dengan denyut jantung. Aku berharap kau marah karena aku sungguh ingin mengatakannya kepada setiap orang. Aku berharap kau akan mencibir, kemudian berpaling dan selanjutnya menyebutku hipokrit yang munafik. Bahkan sempat terpikir, aku akan lebih puas dan lega seandainya kau menampar atau meludahi wajahku, setelah meneriakkan umpatan paling biadab tepat di depan telingaku. Apakah aku sakit jiwa dan sesat pikir? Tidak sama sekali. Aku hanya sedang menyayangi diriku sendiri, mungkin juga sekaligus menyayangi segenap mahluk penghuni bumi. Aku membutuhkan kesedihan, bahan utama yang harus ada untuk kuciptakan kesenangan, atau kebahagiaan, atau kebanggaan.
Seandainya benar, harus berpikir agar sungguh sungguh ada. Aku ingin memikirkan cara agar sungguh sungguh tiada. Tak pernah ada*

(NB : Tulisan ini ada karena sms dari no +62853439…. yang saya terima pada tanggal 18April2016,02.55pm dan 19April2016,10.44am. “sy REZKY dari MALAYSIA Brencana investasikan uang sy Sbagai bekal hidup di indo,sy butuh org yg bs sy percayakan uang sy RM 5jt,bila Bsedia, sms di 0853439….”)

simply



Kutulis saat aku ingin menangis. Untukmu. Aku masih percaya kau mencintaiku dan dengan senang hati akan membaca setiap tulisanku. Aku tak tahu, haruskah kau tahu, apakah ketika usai menulis aku akhirnya menangis. Baiknya kau putuskan sendiri, apa yang kauinginkan terjadi padaku saat kaubaca tulisanku.
Ingin kukatakan aku sungguh ingin, namun tak kutulis. Maka kau hanya akan membaca, aku ingin. Tidak orisinil. Kau benar. Inilah aku, menjadi tidak orisinil adalah satu, bagian dari entah berapa hal yang sering membuatku ingin menangis.
Tak akan kubuat panjang. Hanya setengah bagian dari selembar kertas. Selembar berukuran standar, tidak besar tidak pula kecil. Terserah kau mau berpikir apa tentang ukuran standar selembar kertas. Tak kaupikirkanpun tak apa.  Aku akan baik baik saja.
Asal kau masih membaca, semua yang kutulis saat aku ingin menangis.
Aku menggambar dua ekor angsa, lehernya tak terlalu panjang dan tanpa warna. Kau tahu aku selalu memanfaatkan kekosongan pada bagian belakang kertas. Kau juga tahu kenapa.
Kenapa aku tiba tiba menangis, sebelum selesai menulis. Aku menangis, bertanya tanpa suara, tanpa kata. Aku ingin kau tahu semua yang belum dapat kutulis untukmu.
Gerimis di luar kamar, lewat tengah malam. Aku ingin bermimpi kau mencintaiku dengan cinta yang belum pernah dikisahkan siapapun. Lalu terjaga, menemukan kau sedang tertawa menyaksikan sebuah tayangan di layar kaca. Begitu sederhana. Bukan salah siapa siapa. Cinta membuatku tak berdaya. Cinta bukan siapa siapa. Aku hanya mengenalnya, mengingatnya, setelah mengenalmu dan setiap kali mengingatmu.
Tuhan. Sengaja kutulis untuk membuatmu enggan membacaku. Semakin kacau, cinta. Apakah sebatang pensil mencintai setiap lembar kertas atau tangan tangan yang menggerakkan sebatang pensil. Jejak. Aku mencintaimu, bermimpi menghalau semua yang ingin kuimpikan tentang kau, cintamu mencintaiku. Aku bermimpi, bermimpi tanpa pernah tertidur lagi. Melihatmu berpaling ke arahku, berabad abad. Dunia di matamu, jadikan aku debu. Satu atau beribu ribu, semua melekat di tubuhmu. Aku hilang saat kau bersihkan badan.
Begitu sederhana, aku menangis, aku menulis, aku mencintaimu, tanpa titik*