Selasa, 28 Oktober 2014

masif

bahkan kesepian, tak sudi menemaninya. setelah menatapnya dengan pandangan yang tidak dapat dimengerti, kesepian memalingkan wajahnya, membalikkan tubuhnya. kesepian melenggang pergi, benar benar tak peduli, bahkan tak ingin mengetahui apa kira kira yang bakal dikatakan atau dilakukannya begitu menyadari tak ada lagi yang menemani. benar benar tak ada. dia sendiri, tanpa siapa siapa, tanpa kesepian, tanpa pemahaman, tanpa kecemasan akan kehilangan. dia mulai menyadari, sekarang segalanya akan lebih sederhana. kehilangan ternyata bukan kehampaan. dia tidak lagi mencari kata kata tepat yang belum ditemukannya untuk menyusun kalimat. dia juga tidak bertanya, kenapa baru sekarang merasa waras. dia tidak peduli dia tahu, karena tak ada siapa siapa lagi yang meragukan kewarasannya sendiri. kesendirian justru nikmat ketika tidak lagi dinikmati.
sekarang, malah kata kata berdesakan meminta makna dari kalimat kalimatnya. sementara dia tidak membutuhkan kata kata, tidak ada siapa siapa yang menuntut penjelasan darinya. dia tidak terjebak, hanya tidak beranjak. dia bukan siapapun, bukan pula kesepian yang telah meninggalkan dirinya. dia tak akan kemana mana, di manapun dia tak ada. tak ada pengamat, tak ada peristiwa, tak ada nama, tak ada celah, tak ada yang menjalar, tidak sejajar, tidak belajar, tidak bergetar.
duaaar! dia tidak mendengar*

wajar

belajar berjalan mestinya sambil berjalan.
belajar berenang mestinya sambil berenang.
belajar bernyanyi mestinya sambil bernyanyi.
belajar menggambar mestinya sambil menggambar.
belajar membaca mestinya sambil membaca.
belajar menulis mestinya sambil menulis.

belajar menulis mestinya tidak sambil membaca*


naik naik ke puncak gunung

biar lereng gunung bernyanyi, hingga habis suara. untuk sepasang jejak kaki  yang mengingat derap langkah langkahnya. riang dan hangat, bergandengan, mengayunkan sepasang lengan.
biar lereng gunung bernyanyi, merayakan semak dan pohon yang tak mengenal namanya menyambut pecahan subuh menggelitik telapak kaki. sepasang suara mesra merayu udara, katakan tak lelah, katakan selamanya.
di sepanjang pelukan yang terulur dari dasar jurang hingga menyentuh awan. biar lereng gunung bernyanyi, beradu merdu dengan sayup sayup bisik ranting dan daun daun, berdebat tentang umur, sepasang bibir tertawa lirih.
langit berkedip, bintang bintang berkelip, mengintip lereng gunung bernyanyi, meninabobokan sepasang jantung beradu degup dalam satu kantong tidur*

kedip

oh puisi, tuliskan aku lagi. dengan ketukan ketukan yang membangunkan persimpangan. perempatan jalan tempat kita menguji ketaatan, atau kesepakatan, mereka reka kesempatan. bersama perjalanan, sejenak berhenti, menanti lampu berganti warna.
hanya kau yang bisa menghanyutkan keraguan ke arah kepasrahan. sebelum tidur menangkupkan tangan, bersuara lirih memohon jalan memutar, pergi untuk kembali. betapa berarti. mendung, gelegar halilintar, isyarat datang musim hujan yang mengajari kita kemarahan dan kesalahan yang tak kenal penyesalan.
oh puisi, tuliakan aku lagi. dengan sepi dan gerimis yang saling menemukan keteduhan. tak ada yang kekal, tak ada yang kekal. kita saling mengenal, saling genggam, bertukar salam. demi candu yang kunamai rindu menggerakkan bibirku. demi namamu tertulis di batu batu.
karena, telah kutanyakan segenap rencana yang gugur serupa daun, berapa helai tertinggal pada dahan pohon. aku mohon kau tak menghitung, hanya berkata, lebih banyak. selalu lebih banyak dari jarak dan matahari terbenam yang dapat kukenang. tak ada waktu, tak ada waktu, sehelai bulu mata terjatuh saat kulihat kau meringkuk di sudut mata, berbagi gerah dengan sebutir debu sebelum bertemu air mataku.
oh puisi, tuliskan aku lagi, dengan jernih yang kauciptakan sendiri, tanpa cermin. dengan hening yang tejaga, dengan putaran roda. dengan kepak sayap serangga. dengan bercak bercak di tirai jendela. tanpa angin, kita berdesir, saling mengirim gambar di dinding istana pasir*

Senin, 27 Oktober 2014

labirin

iya. aku sinting, gila, miring. kalau tidak begitu, mana bisa hidup. kalau belum bisa hidup, mana pantas mati. aku ingat aku janji, suatu hari pasti mati, pasti kutepati. sebelum mati, aku mau dengar kau berkata, aku seputih merpati. jangan burung dara, aku tak sudi digoreng, disantap bersama lalapan di warung warung lesehan. kau paham. merpati dan burung dara mahluk yang sama, yang punya dua nama dalam bahasa kita. tak ada yang salah, hanya saja, nama pertama lebih aman dan mesra, yang kedua lebih menggoda selera. bahasa memang bisa saja. aku sinting, gila, miring untukmu saja. untuk yang lain aku cuma dinding*

lol

akan kutanggung ketololan seluruh manusia. jika mengatakannya dapat menjadikan semua manusia setara. tolol atau tidak bukan masalah, jika ditanggung bersama.
bahkan seorang mesias konon sanggup menanggung segenap dosa dan kesalahan manusia, tapi tidak disebutkan tentang ketololan. karena salah tidak sama dengan tolol. kesalahan dapat menunjukkan kebenaran. ketololan hanya memperdengarkan suara riang gembira, tawa, rasa nyaman.
maka aku berdoa, jadikan semua orang tolol, untuk menghapus keraguan, menjawab pertanyaan.
yang maha bijaksana pasti mengerti, aku berdoa demi kebaikan seisi dunia. jadikan semua tolol. amin*

kecubung

bagaimana mungkin sepasang mata dapat melihat yang tersembunyi di balik jaketku. selembar baju yang setia melindungi tubuhku. aku memilihnya di antara setumpuk pakaian yang layu menanti tubuh.
hasrat membendung waktu tak menghentikan langkahku. aku bisu, aku bisu, aku bisu, kutelan lidahku. saat mengenangmu, saat menunggu, saat memilih baju. mendengarkan lagu yang itu itu melulu. selembar baju menyerah, tubuhku ngilu diserang rindu yang dikumandangkan lagu, lagu yang itu itu melulu.
huuu, sepasang mata, aku tidak mengeluh, tidak butuh, tidak jatuh. kakiku mengayuh. kukira meninggalkan ingatan semudah menanggalkan pakaian. sepasang mata melihat, sebatang pensil sama dengan lengan, jari jari tangan, ruas tulang, dapat tiba tiba patah, saat seraut wajah belum sempurna.
lantas aku mulai biasa, kelak pasti bisa, tidak memohon sepatah kata untuk menyambung lidah. bukankah sudah kutelan, lidah tak bertulang, kesepian setumpuk pakaian, sepasang mata yang terbiasa menemukan isyarat sepatah kata. mendatar atau menuruni kotak kotak yang tersedia untuk menjawab setiap tanya, apa, siapa, bagaimana, bilamana. sepatah kata menjawab segalanya. aku mohon, jangan kirimkan hadiah. kebenaran lebih tabah ketimbang kemenangan.
lagu yang sama, yang itu itu melulu. kalau mau, sayangilah kedunguanku.
sepasang mata, jadilah batu, biar kuinjak atau kusembunyikan di kantong bajuku*

Sabtu, 25 Oktober 2014

percakapan dua gelas kopi

sejak kapan kesunyian memeluk ruang, terasa hangat, jejak jejak, harap harap, bahkan sesal sesal tak tinggal diam. semua yang ada mulai terjaga,
ah, ini seperti dunia, baru tercipta, muda, lincah, sedang lucu lucunya. kemudian semua berebut mengulurkan mainan, bola kaca, ikan plastik, anjing kain, tak ada yang tidak menawan, bahkan keraguan.
semua sedang tertawa sambil menengok ke wajah wajah, yang kemudian menjadi cakrawala. batas merekatkan dua bagian, tempat mampir matahari. hangat, harum, pahit atau manis yang menguasai ampasnya.
ah, ini seperti biasa, baru dibuat, kental, menggoda, wangi pula. untuk semua yang baru terjaga, menggosok mata dengan punggung tangan, menggeliat, menemukan nikmat, sebelum ingat atau teringat merisaukan arah, jarak, batas batas.
dengar suara mereka setelah menghirup kita, sendawa, melontarkan segumpal udara ke luar tubuhnya, ringan dan meriah, sesaat terlepas dari kebebasan*

Kamis, 23 Oktober 2014

upendi

orang utan, bukan orang yang betempat tinggal di hutan.
orang barat, bukan berarti orang yang berada di sebelah barat.
orang timur pun, tidak selalu orang yang berasal dan berdiam di sebelah timur.
betapa beragam cara orang orang menciptakan, menemukan, menulis, membaca dan memaknai frasa. atau pengetahuanku tentang bahasa sangat kacau. jika ada mata pelajaran yang pantas disebut susah susah mudah, itulah pelajaran bahasa. belajar bahasa setara dengan memecahkan masalah, semua masalah, susah susah mudah. seperti cinta. terkesan maksa ya, memang sengaja. kecanduan kata cinta.
kata cinta, bukan hanya cinta. nah. cinta bisa berkata apa saja.
tapi aku bisa celaka kalau semenit saja tanpa cinta. cinta seperti udara, haa.
wish i was there.
here there and everywhere.
hampir tengah malam. seakan akan malam dapat dibelah menjadi dua, tepat di tengah tengah. setengah malam untuk siapa, sisanya milik siapa. atau seutuhnya tiada.
alangkah benyak yang tidak dipahami seseorang yang tak sudi mengerti. seperti aku, kau dan cahaya yang keluar masuk lewat jendela. bersama angin, aku ingin berbisik, menggelitik tengkukmu dengan kesejukan atau kehangatan, kau yang tentukan. akan kudengar, tepat di pusat waktu, yang selalu diam, hanya mengulurkan jari jarinya, menunjuk ke semua arah dan peristiwa.
bahasa cinta, bukan hanya kata kata, berserakan di mana mana, terinjak, patah, hanyut.
terjun di atas payung terbalik, meluncur di deras arus, berputar bersama jeram, karam bersama malam, pada fajar. seperti biji yang terkubur, seperti mati, belajar menumbuhkan akar*

Senin, 20 Oktober 2014

from love to love

subuh yang jernih. sebutir embun atau berapapun, yang jatuh pada sehelai daun, tidak butuh dikenang siapapun, tidak mengusir debu, tidak menghalangi kehangatan yang kelak menamatkan riwayatnya.
setiap kali kukatakan sayang padamu, begitu sering hingga tak terhitung, embun berjatuhan di mataku. sejuk, tidak menghapus kesalahan, tidak menemukan kebenaran. hanya singgah, seperti tempat dan waktu.
mengembalikan subuh yang jernih sepanjang hari*

Minggu, 19 Oktober 2014

oplosan

kebohongan sama seperti kejujuran, tidak menarik. pembohong menyebalkan, hingga memuakkan. apakah perlu mengetahui fakta serupa itu untuk mengakui bahwa yang tidak menarik, menyebalkan hingga memuakkan telah menjadi jalan untuk mencari kebenaran. hah... perhatikan kalimat sok filosofis yang mungkin dapat terlintas dalam benak seseorang yang sedang kebingungan. apakah kebingungan mengganggu, tidak juga, seandainya kebingungan melanda seorang manusia yang tidak berpengaruh. adakah seorang manusia yang tidak berpengaruh sama sekali. seorang paling hina di bumi sekalipun pasti punya misi, dan lebih bagus lagi, mereka yang hina tak peduli, tak berbangga, tak berkoar tentang misi pribadinya. terlalu banyak misi tidak terlaksana dengan semestinya, mengesankan dunia sudah terpuruk dan manusia manusia terjerumus dalam perasaan sentimentil, bahwa takdir itu getir.
terberkatilah kalian para penderita skizofrenia. tak ada kebohongan berarti tak perlu buang waktu memusingkan kebenaran. tak ada kebingungan, tak ada batas antara fakta dan rekayasa. tidak merasa bersalah, tidak merasa berdosa, ciri ciri seorang suci, macam bayi.
hiduplah para penganggur, pemabuk, palacur, yang paling ancur, yang tak paham tujuan hidup.
terkutuklah orang orang yang memperjuangkan misi dan tujuan hidup pribadi atau kelompoknya. dalam perjuangan pasti ada yang dikorbankan, kata orang bijak. tak ada yang lebih menyedihkan dari pada hidup terkurung dalam dua kemungkinan, keberhasilan dan kegagalan.
hidup bukan pilihan bro, hidup bukan perjuangan cak. hidup cuma nyanyian, sepenggal syair yang diulang ulang, terdengar seperti, ke mana, ke mana, ke mana...atau aku rapopo aku rapopo...atau sakitnya tu di sini...atau oplosan, oplosan, oplosan...dan masih banyak lainnya, yang bikin kita saling pandang, saling senyum sambil geleng geleng kapala, takjub.
sebelum hidup, tak ada kesadaran memilih hidup, kenapa pula setelah hidup mesti membebani diri dengan misi dan tujuan hidup. biar pemberi hidup mengurus segala yang hidup. percaya saja, pemberi hidup tersebut tahu betul apa yang dikerjakannya, kalau tidak toh tak ada yang lain yang bakal lebih tahu, tak ada yang dapat diandalkan, selain yang tak mengandalkan siapa siapa atau apa apa*

Rabu, 15 Oktober 2014

*

kau memiliki apa yang sangat kusukai. sangat kusukai, tapi tak kumiliki. caramu bicara, berpindah tempat, setiap gerak dan suara. betapa senang saat kutemukan yang sangat kusukai, yang tak kumiliki, yang di luar kendali. hanya itu. tidak. sangat banyak sesuatu ada padamu, seseorang yang selalu tak ingin mengerti, tak perlu mengerti. cukup kau tertawa, menatapku, seperti tak peduli. kesenangkanku, kesukaanmu, kaubuat seperti angin, pagi, siang, sore, malam, hari hari sama yang tak sama, apa adanya. hingga aku percaya, boleh menikmati setiap waktuku, bersenang senang tanpa puas, menyukaimu, lalu berkata, aku tak tahu, tak punya apa apa, tak ingin pula*

Jumat, 10 Oktober 2014

notifikasi

dini hari menemukan manusia manusia menunggu sesuatu datang, bertukar tempat, menyusup ke dalam keheningan. semacam kehangatan, lantunan nada, senyum, segelas minuman, genggaman tangan. sesuatu yang tak mengenal dan tak menyayangi keutuhan. apakah jiwa terbelah atau setengah bagian yang tak pernah terlihat saat tak saling pandang. mata telaga atau angkasa. kulihat seorang hamba sedang merendahkan kepalanya hingga menyentuh tanah. menumbuhkan kecemasan usang berulang ulang dikosongkan. kecamasan kehabisan pertanyaan, kecemasan tak menemukan jawaban. segalanya mendadak menjadi sangat sederhana, suhu badan, debar jantung, detak jam, hembusan udara. jika memang harus ada dunia, mestinya dia mengerti, dini hari dapat terjadi berapa kali sepanjang hari, dan manusia manusia boleh tak peduli atau jatuh hati. tak gelisah seperti seteguk kopi, gagah berani serupa sesuap nasi*

Minggu, 05 Oktober 2014

kemenangan cinta

aku menyerah. tanyakan padanya, adakah beda antara kalah dan pasrah*