Rabu, 30 Januari 2013

hahaha

Seringnya aku kehabisan akal bagaimana cara pantas menuliskan rindu.
Kokoh bagai batu, berserakan di sepanjang jalanku. Tidak menghalangi langkahku, hanya menggelitik telapak kaki sesekali. Membuatku tersandung atau terpeleset sesekali pula. Menciptakan tawa untuk kecerobohan indah. Rindu membatu. Batu merindu. Yang mana sebenarnya aku. Bukan padamu aku berkata. Ketiadaan teramat megah.
Semua rumah tersususn dari batu di balik dindingnya. Kebanyakan rinduku membangun istana, bukan cuma satu, tapi dua, tiga, empat. Sebelum selesai aku berhitung, mata kakiku terantuk lagi. Menciptakan tawa untuk kecerobohan indah. Sama sekali tak kenal lelah. Lima, enam, tujuh, aku tersungkur. Memar di lututku berwajah bunga. Aku sangat ingin tertawa, keras, biar gaduh dinding istana memantulkan gema. Delapan, sembilan, istana tumbuh semakin megah. Aku berjalan terpincang pincang di taman bunga, kembang kembang mekar dari memar.
Aku kehilangan akal. Batu batu bersahutan meneriakkan namanu. Lebih dari sepuluh istana, semua dindingnya menggemakan tawa. Untuk kecerobohan indah*

chocolate

Mataku adalah secangkir cairan hangat yang kehausan. Tak sabar menelanmu ketika kau masih menikmati menghirup uapku. Kebahagiaan manis yang tak mau habis di bibirmu adalah pemuas dahagaku.
Alangkah sederhananya segelas rindu. Coklat sewarna tanah, sesuatu yang dengannya aku dan kau diciptakan. Sesaat setelah alam semesta sempurna. Ada terang dan gelap, ada siang dan malam, ada daratan dan lautan. Dan menetap hingga akhir jaman yang masih terbenam di kolong meja*

Kamis, 24 Januari 2013

guk guk

Aku senang menjadi anjing. Katakanlah dengan geram, aku anjing. Kau tahu aku senang kau tahu aku pantas sebagai anjing. Bicara dengan suara keras, gaduh, meneriakkan satu kata berulang ulang sambil mengibaskan ekor kuat kuat. Tanda aku sedang senang dan bersemangat. Setiap saat kau memanggil, menyebut namaku, anjing. Aku senang menunggumu setiap hari di tempat yang sama, dengan posisi tubuh yang sama, menatap ke satu arah di mana kau akan datang.
Mengajakku bermain, kaulemparkan sebatang ranting untuk kukejar dan kutangkap dengan taring, kuserahkan kepadamu kembali. Lalu menanti kau berkata dengan mesra, anjing pintar. Aku gembira, meloncat, menyalak, mengibaskan ekor. Berharap tanpa berkata kau mau mengajakku bermain lagi. Aku anjing yang senang menjadi anjing yang kaupungut waktu aku masih sangat kecil, dari sebuah pojok sepi yang dingin. Aku anjing pintar yang senang mengejar dan menangkap ranting yang kaulemparkan waktu kita bermain*

putih

Aku mengenang lingkaran hitam di bawah matamu. Dengan rasa ringan dan hangat keputus asaan. Kini aku mengerti rasanya menjadi abu, ringan, hangat, menumpang udara mendekati lubang hidungmu. Aku tidak yakin, maka tidak mungkin, ingin tinggal selamanya bersama setumpuk batang sigaret pendek pendek. Tidak menyimpan ingatan tentang caramu mengapit, dengan jari jarimu, menerbangkanku ke bibirmu. Mestinya aku terbakar hingga tak bersisa, bukan abu, bukan penghuni ceruk kosong di mejamu. Aku tidak lupa sedikitpun cara hidupku, mencintaimu, ingin mencintaimu, mencintaimu, tidak ingin mencintaimu hanya sampai di situ. Sampai menjadi abu, ingin mencintaimu, mencintaimu*

Selasa, 22 Januari 2013

animal instinct

Anakku yang belum tamat sekolah dasar tidak ingin sekolah, ia katakan dengan hati hati, tulus dan penuh harap aku mau mengerti. Seorang ibu cenderung tahu saat saat anaknya mengatakan sesuatu yang lebih berharga dari pada, aku ingin dibelikan i pad atau ice cream.
Kalau seorang manusia bisa merasa sedih, cemas sekaligus bahagia dan lega, itulah yang kusangka sedang terjadi berkaitan pada naluri keibuanku.
Semua teori psikologis yang menyatakan bahwa jiwa jiwa muda sangat peka dan lebih banyak terbentuk akibat sikap ketimbang perkataan ternyata ada benarnya.
Seorang ibu yang lebih mencintai hutan dan lereng gunung dari pada ruang kelas dan kampus tidak layak berharap anaknya akan tumbuh dewasa menjadi seorang sarjana kemudian sukses sebagai pialang saham, akuntan, atau menduduki jabatan tinggi apapun di perusahaan manapun.
Aku merasa seolah olah sedang membicarakan seorang tetangga.
Mereka, yang pernah kubaca entah di mana, menyebutkan tentang naluri keibuan yang akan membuat seorang perempuan mampu menuntun anaknya ke jalan yang benar. Ini malah kurasa lebih cocok untuk sejenis binatang ternak dan tunggangan, misalnya kuda.
Adakah ibu lain yang meragukan naluri keibuannya sendiri, waktu mesti menjawab pertanyaan anaknya,"mama boleh gak aku gak sekolah?"
Aku bimbang. Jelasnya terlintas dalam pikirku, mungkin lebih baik kalau anakku tak punya seorang ibu macam aku. Dengan begitu sangat mungkin anakku tak akan mengatakan apa yang ditanyakannya. Pertanyaan yang bikin aku merasa menjadi seorang ibu dengan naluri keibuan yang mengharuskan aku menjawab semua pertanyaan anakku, tak peduli sebanyak apapun pertanyaannya, tak peduli kalaupun perlu waktu seumur hidupku untuk bisa menjawabnya*

falsafah

Jika semua mahluk sedang tersesat maka tak akan ada lagi ketersesatan. Adakah yang lebih benar dari pada kebenaran. Adakah yang lebih baik dari pada kebaikan.
Kalimat di atas dikatakan oleh sepasang alas kaki yang sedang ingin berjalan sendiri. Alas kaki tak bertuan. Alas kaki yang tidak sudi berjalan di bawah telapak kaki siapapun. Alas kaki yang mungkin reinkarnasi seorang enstein.
Apakah kebodohan dan kepintaran yang ditimbang akal seekor burung hantu.
Seandainya bisa kukatakan semua yang ingin kukatakan. Tentu akan membunuh satu keinginan. Jasadnya akan tergeletak bersama tubuh tubuh tentara yang tidak dikenang selain oleh perempuan yang pernah melahirkannya, kalau perempuan tersebut belum kehilangan ingatan.
Aku berjanji tidak akan pernah mengutip lagi.
Aku tertawa, malam menggila*

Senin, 21 Januari 2013

kriiikkkkriiikkkkriiikkk

Aku ingin menyusun satu paragraf yang dideringkan jangkrik malam ini. Tapi, untuk itupun aku terlalu kecil. Nyanyian sehabis hujan memenuhi bagian dalam dan luar ruangan. Aku terhisap ke dalam lorong lorongnya yang nyaring.
Aku tak ingin bertarung dengan kemenangannya. Kaki dan tanganku terlampau rapuh untuk itu.
Hanyut, aku mau hanyut ke dalam tubuhnya, selicin dan sehitam jalanan malam sehabis hujan, menghapus jejak kaki, menghapus debu, lumpur dan ingatan tentang lubang di atap rumah.
Suaranya jauh lebih tabah dan perkasa, nyanyiannya tak berhenti. Aku ingin ia tak membuatku kehilangan diriku sendiri*

menembus batas

Langit sangat jahil, mencoreng coreng wajahnya dengan warna kelabu. Mengejekku, atau ingin melihatku tersenyum. Langit yang selalu kucurhati, aku menatapnya lekat lekat, mencoba menegaskan pesan supaya jangan sampai mengirimkan isyarat yang bisa kaubaca. Kau yang kutahu, kalau mau bisa lebih jahil dari langit, menggodaku sampai tak bisa menahan tangis.
Kau dan langit, kusangka kalian sudah sepakat untuk membuatku menyerah. Selalu begitu, aku tak mau jera memandang. Aku tahu aku mengada ada untuk menghibur diriku sendiri, menciptakan peran untuk benda benda angkasa, bermain kata dengan cuaca.
Membuatku pura pura tak mengenal putus asa mengingat penat di pundak dan leherku karena terlalu lama berbaring telentang beralaskan lengan. Menatap. Menatap yang tak pernah mendekat. Menatap yang tak pernah mendekap. Menatap sampai terlelap.
Di tidurku kujahili langit sampai menangis, kemudian erat kudekap. Langit menatap*

Minggu, 20 Januari 2013

buku harian

Sudah pasti suatu hari aku akan mati, seperti semua lampu yang pernah menyala menerangi kota, jalan, pertemuan. Kelelahan yang tertunda di dalam kantong jaketku, yang menghangati telapak tangan yang sembunyi. Tak ada keraguan sama sekali.
Suatu hari aku akan mati, memeluk kegelapan, menjadi benar benar angkuh dan tidak peduli pada siapapun, kau sekalipun. Mungkin waktu itu terjadi adalah waktu kau baru menyadari kehidupanku. Aku terharu, membayangkan kau menunggu kalimatku selesai tanpa mengerjakan sesuatu. Sementara lidahku mengeras pelahan. Dari detik ke detik yang tiada akhir.
Hanya satu jalan, lurus, datar, tak ada yang akan tersesat. Aku berada di tempat sangat dekat sampai tak kaulihat. Dan tidak lagi menjadi seseorang yang hidup, meluangkan waktu memikirkan kesendirianku atau kesendirianmu. Menyulam sepasang sepatu bayi, berdoa, bermimpi. Pura pura memahami sunyi, tidak mengharapkan pagi.
Bukankah sudah pasti, tak ada satupun lampu membenci matahari. Orang bermata terbuka menanti pergantian hari bersama orang buta. Angka angka pada jam tanganku juga tak pernah merasa sia sia. Mataku, keduanya tak akan lari meninggalkan tubuh di hari kematian yang tidak kukenal. Tak ada keraguan sama sekali.
Mataku yang melihatmu menemukanku*.

Jumat, 18 Januari 2013

senirupa



Anak anak manusia yang terlahir dari sarang lebah. Manis dan menyehatkan, berdengung terus menerus serupa binatang pembuat sarangnya. Berisik, aku memakinya tidak dengan kata kata kasar. Katika kudekati anak anak manusia yang terlahir dari sarang lebah ternyata juga bisa menyengat, menciptakan memar dan bengkak bengkak di sembarang tempat yang dihinggapinya ketika mereka kesal atau sedang nakal.
Anak anak manusia yang terlahir dari pohon tempat sarang lebah tergantung. Tawar dan tajam, senyap serupa dahan. Bisu, aku menuduhnya tak acuh. Melukai induknya dengan benda tajam, pipih dan terbuat dari logam. Kupahat nama nama pada dada dan lengannya agar ia mengenal dunia. Ia tidak mengelak, bergeming dengan keheningan. Aku tidak yakin apakah ia pernah berkata, pantaskah disebut luka jika tak ada darah dan rasa perih mengalir.
Anak anak manusia yang terlahir dari domba. Anak anak manusia yang terlahir dari bukit. Anak anak manusia yang terlahir dari sepasang orang tua. Anak anak manusia yang terlahir dari jam dinding. Mereka semua juga punya cerita masing masing, yang suatu waktu mungkin akan kudengar kemudian kutuliskan untuk anak anak manusia yang  tidak mengenal nenek moyangnya, tidak pernah belajar teori evolusi, dan tidak punya kertas dan alat tulis dan cermin untuk menggambar dan mengenal wajahnya.
Anak anak manusia yang terlahir dari lorong gelap dan lembab beraroma asam, aku pura pura tidak ingat namanya. Yang melahirkan anak anak manusia yang tidak mengenal dirinya, tidak ingin mendengar ceritanya*

congklang



Lalu ia terjaga di dada yang asing, yang penuh pecahan piring. Mendapati gandum telah dituai. Memanggil nama yang pernah diberikan kedua orang tuanya, atau mungkin seekor kuda betina, yang berpacu kencang. Berlomba dengan angin menuju batas bukit dan langit.
Jiwa adalah adalah tuan, tubuh adalah tunggangan. Seorang tuan yang menyayangi binatang tunggangannya tidak keberatan tersesat, terjatuh, terluka, kelelahan bersama binatang tunggangannya. Ia tahu petualangan cuma sehalaman kertas yang cemas akan kesia siaan. Maka berpaculah ia ke mana tunggangannya berkehendak. Meneriakkan semangat dan kerinduan pada tempat asal dan gairah untuk menjumpai mahluk lain yang sejenis.
Apakah menyayangi bisa terbagi dua cara, benar dan salah. Tuan tuan punya pendapat masing masing yang saling tidak peduli. Kalaupun caranya benar, tunggangannya mungkin jinak dan berumur panjang. Kalau salah, tunggangannya bisa jadi liar dan menanggung resiko mati muda.
Tidak ada sejengkal tanahpun yang bisa memastikan, apakah binatang tunggangan yang terkurung dalam kandang lebih merasa puas ketimbang binatang tunggangan yang bebas mengelana di alam liar.
Satu kepastian, tuan tuan yang menyayangi binatang tungganngannya kelihatannya tidak pernah merasa kesepian di sepanjang jalannya*

phobia



Kota mirip corong raksasa yang bekerja tanpa jeda. Menyampaikan pesan, ajakan, pasal pasal undang undang. Undangan pesta dan kabar duka. Semua mahluk yang bisa bicara dan mampu menggunakan bahasa berebut mendekatkan corong raksasa dekat bibirnya. Ingin suaranya menggetarkan seluruh bangunan, jalan, jembatan, beserta tiang tiang penyangga apa saja, hingga meresap ke dalam tulang.
Rasa ngeri merayapi tubuhnya. Suara teriakan tanpa corong saja membuatnya sakit kepala. Corong raksasa yang sedang bersuara pasti akan membuat tubuhnya lemas sepenuhnya. Akan lebih baik kalau ia terjengkang sampai pingsan waktu suara pertama terdengar ketimbang sadar dalam ketidak berdayaan dan rasa sakit yang amat sangat. Ia mengeluh diam diam, dibiarkannya umpatan dan lolongannya kecewa tak terpakai lidahnya.
Ia menunggu dengan sungguh sungguh, berharap penuh atap dan dinding rumahnya bersedia runtuh, mendekapnya, melindunginya dari bunyi memekakkan yang sesaat lagi akan menyerbunya, datang bersama terang yang mungkin akan membutakan matanya*

Senin, 14 Januari 2013

selembar boneka salju

Boneka salju tersenyum menatapku. Seperti semua boneka salju membeku dan terpaku dalam sebuah gambar. Dua gumpalan putih. Bulatan kecil di atas bulatan besar. Kepala di atas tubuhnya. Topi bekas warna jingga. Pahatan kedua mata dan bibirnya yang melengkung serupa dasar perahu. Hidungnya umbi sayuran berwarna jingga. Sepasang lengan dan tel;apak tangan terbuat dari dua batang ranting, menancap di sisi kiri dan kanan tubuhnya. Selembar syal tua, berpola garis garis hijau dan merah melilit batas kepala dan tubuh boneka salju.
Boneka salju terlihat sungguh sungguh menatapku. Seperti guru taman kanak kanakku. Menimbang dengan cermat sekaligus tergesa gesa. Sebelum memutuskan hendak membubuhkan stempel yang mana. Bunga, matahari, kelinci, ayam atau gajah pada kertas gambarku. Ia ingin bijaksana, tidak gegabah. Tapi tergesa gesa, seolah olah cemas tangannya patah atau terjatuh, sebelum kepala dan tubuhnya meleleh membasahi kertas dan tanganku*

nyanyian nyamuk

Sepi berbaris rapi. Beseragam hitam putih. Menunggu aba aba untuk menembak, melubangi tulang dengan tanah, menodai lengan dengan darah*

dadu

Gugusan bintang bintang menggambar yang akan datang. Para musafir kelelahan. Segerombolan anjing dan burung elang. Namun, tak sesuatupun memisahkan selembar daun dari kumpulannya. Dekat akar pohon. Di kaki bangku kosong yang sedang merenung. Daun daun gugur bertumpuk menunggu lapuk, merabuki tanah yang mengasuh induk elang dan menyimpan tulang anjing betina. Agar para musafir menanggung lapar, mengagumi malam yang tersesat dalam gugusan bintang bintang*

januari

Hujan menghangatkan ruang. Tirai tirai terpasang, jendela dan pintu tertutup. Aku ragu. Suara hujan atau aliran darahmu yang berdesir di tubuhku. Merdu dan berlanjut hingga pohon pohon, rumput dan batu batu di luar ruang mengering. Aku tahu tidak sedang salah orang. Ketika kupandangi udara terbang meninggi, menjauh pelan pelan, digantikan udara yang baru.
Ruang masih sehangat hujan. Sejenak lagi kawanan serangga akan singgah mendekati cahaya. Getar sayapnya tak berjeda. Memutar udara. Hujan dan ruang saling tersenyum memandangku terpukau waktu dan keyakinan tidak sedang salah orang. Kehangatan pohon pohon, rumput dan batu batu mengintip dari balik pintu*

with u

Berjalan bersamamu menjadi tujuanku. Melenyapkan tujuan dari perjalanan. Berjalan bersamamu menjadi satu satunya jalan yang mesti kutempuh. Tidak perlu memedulikan jalannya, dari mana, lewat jalan mana, hendak ke mana. Bersamamu membuatku mencair, mengalir, menempuh jalur tidak teratur untuk menggenapi hukum alam. Berkelok kelok atau lurus, landai atau curam, tidak masalah. Bersamamu jalanku. Tanpa ukuran, tidak berbatas. Bebas. Bersamamu. Bersamamu bukan keterikatan, tapi jalan. Asing dan menyenangkan. Musim dan cuaca membuntuti kita. Memberi terik dan teduh tepat pada waktunya. Membasahi dan mengeringkan pada saat paling tepat.
Jika bersamamu begitu sempurna, aku bisa diam dengan tenang. Tak perlu semua ocehan peredam kegalauan. Bersamamu, aku tidak mengenal waktu, tempat dan kejadian. Sempurna seperti adanya. Persis serupa bayangan tak bertuan, tidak tercipta. Tiada*

Sabtu, 12 Januari 2013

siang

Pergilah kau, serupa pagi tadi.
Pergilah, aku haus. Dan rindu sudah memenuhi gelasku.
Bukan !001. 1002. 1003. Pergilah, aku berhenti menghitung.
Merpati putih bersuara serak, lagu lagu cinta tanpa syair.
Pergi saja ke tempatmu. Jantung sekaratku.
Jangan hiraukan, pergi saja. Kehidupan tak perlu alasan*

roman

Kuhisap sigaret tanpa henti karena merindukanmu.
Alasan.
Aku merindukanmu tanpa henti maka kuhisap sigaretku.
Pembenaran.
Benar. Merindukanmu tidak sama dengan mengisap sigaret. Menciptakan dan membutuhkan berjauhan. Bertemu, bercampur aduk dalam tubuhku*

Jumat, 11 Januari 2013

( )

Setelah banyak kali kutemukan kemudian kuacuhkan. Kekosongan meruap dari kolong ranjang. Aku berpaling kepadanya. Sosok dekil, kecil seakan akan dimuntahkan dari nyala sebatang lilin. Ketakutan tidak begitu nyata menyelubunginya. Sosok dekil tidak telanjang. Hanya warna pakaiaannya sangat pudar, benar, aku tak ingin melihat lebih jauh. Tak ingin mengenalnya, menanyakan nama dan riwayat hidupnya. Cukup kudengar caranya menghembuskan udara. Cepat cepat kusimpan semua benda yang mungkin mengingatku. Berharap sosok dekil tidak sempat berucap barang sepatah kata, menghilang saja. Serupa bayangan ketika aku berpaling meninggalkan cermin*

tentang kita

Percakapan paling hangat terjadi di musim salju. Membeku di dalam mataku. Serupa tanah, pelan kemudian terkubur. Hutan dan kota menjadi menyilaukan dengan warna putih cemerlang. Sesekali mencoba memantulkan warna langit, warna batu safir dan tirai tirai istana. Kata kata bersahutan nyaring. Padahal suara suara berbunyi lebih halus dari desiran rambut.
Menunggu bukan tentang waktu. Hangat nafasmu saja.
Kau jangan jadi laut meskipun aku tenggelam di situ.
Laut tidak pernah seluruhnya beku.
Mestinya gelas gelas melayang dekat tanganku dan tanganmu, menunggu dahaga memilih kita.
Tanpa alas, tanpa meja.
Salju yang berjatuhan di dalam mata, tidak mengotori ambang pintu sebagai jejakmu.
Aku mencintai kemarahanmu, keputus asaanmu, kehilanganmu, kubilang seperti salju di dalam mataku. Bintang bintang berenda, para malaikat menyulamnya dari benang sutra yang telah digosok permata.
Kau tahu segala yang tak kusembunyikan. Bukan tentang rindu.
Percakapan mencair di musim semi, membasahi bibir. Rumput dan kelopak kelopak bunga. Ngengat dan kupu kupu, yang satu menempel tanpa sengaja di lengan mantelmu, yang lain hinggap tanpa kehendak di lututmu. Aku diam, mendengar diammu. Sungguh tak sedikitpun tanah mengenang salju yang pernah menyelimutinya sepenuh hati. Seperti seorang ibu menyelimuti bayinya, mendekapnya, menatap matanya, menemukan semua yang tak ada tumbuh besar, misalnya telaga atau surga atau sebuah kata*

faal

+Awan kelabu membentuk wajahmu.
-Norak
+Sebentar lagi gerimis jatuh
-Sok tahu
+Langit ingin mengusap wajahku.
-Kumat.
+Petir memanggilku.
-Gawat.
+Tidak usah terburu buru.
-Ngawur.
+Kau tidak bawa payung.
-Bukan salahku.
+Matahari dan angin menipu kita.
-Kacau.
+Berteduhlah dalam kantong bajuku.
-Gila.
+Masa?
Tapi, kau tidak murung sedikitpun, debu dan hawa dingin memerahkan hidungmu. Kau kelihatan lucu, juga sangat menyenangkan. Kugenggam erat erat benang benang pengikat balon warna warni. Aku terlupa dari mana kudapatkan semua pernak pernik pesta. Kita terlalu nyaman menerbangkan angan angan. Hujan selalu ajaib, juga di saat langit telah telampau senja untuk melukis lengkungan tujuh warna kesukaan anak anak itu.
-Masa?
Kau tidak berteduh. Kau membacaku. Guyuran hujan jatuh menghanyutkan kalimat kalimat yang belum sempat kaudengar. Selain muara, tak ada yang hilang. Aku terlindung debu dan hawa dingin, hidungmu menyala, memerahkan langit yang ingin mengusap wajahku*. 




Kamis, 10 Januari 2013

matryoshka

Ibu, aku tidak ingin menyebut namamu dengan cara itu. Sebelum kutemukan cara lain untuk menyapamu, terpaksa kau bernama ibu. Jangan gelisah, seperti selalu nasehatmu. Suatu hari kelak aku pasti lebih mengenalmu, memahami gerak bibirmu, membaca ucapanmu. Suatu ketika kelak kau pasti pernah ceroboh, mengatakan semua yang ingin kudengar. Tentang ibumu. Tentang anakmu. Tentang patung patung telanjang, pameran lukisan, paduan suara. Dan beberapa detik doa untukku.
Ibu, aku tidak ingin memanggilmu dengan kata itu. Setelah kudengar kau menyebut namaku. Boneka hidup. Aku raib. Dalam beberapa detikmu melahirkanku. Boneka hidup dalam piyama berpola kotak kotak berwarna jingga berbicara padaku dalam bahasa manusia. Seolah olah sedang berdoa*

00:00

Baiknya pengertian pengertian saling meninggalkan. Saling mengasingkan diri, berpisah. Pada setiap angka. Satu penghuni. Satu bunyi. Agar kutemui waktu menunjukkan gerbang yang memisahkan sekarang dan nanti yang menggubah keengganan menjadi kesungguhan tidak menunggu. Teriakan bis membuatku mengernyit. Menipu diri supaya tidak lagi bertumpu pada keinginan yang menjadi pundakmu. Sangkar yang mencicit gaduh, yang menerbangkan tulang tulang berbaju tebal, engsel baja, sepatu kaca, buku pelajaran, kaca mata. Warna pucat di cermin itu sedang melihat gunung gunung berkejaran, terjatuh, menindih satu sama lain. Aku tidak merayumu, untuk tinggal dan tidak menetaskan sepasang unggas. Tidak ada waktu menyesali bilangan satu, dua, tiga, dan seteruanya. Semua akan lupa berpura pura, pada waktunya*

kulit lembu

Hujan sengaja cerewet supaya tak kudengar suara air. Kisah kisah di ketinggian tak ingin tumpah berkelindan di jalan jalan. Kepada orang bumi yang menutup telinganya dengan kedua tangannya hingga kepalanya basah, tubuhnya basah, lumpur yang sesekali melekat pada betisnya. Tidak menyembunyikan rahasia. Cuma mengalihkan kesibukan dari rasa dingin yang terus bernyanyi. Tak ada yang mendengar dengan benar lagunya. Suara hujan, berjatuhan di atap rumah. Pesan sesungguhnya mengetuk semua dinding dalam sebutir air. Orang berdatangan dari lautan tersesat dekat kubangan. Bertemu gema masa lalu. Berjalan. Berpegangan dengan ujung lengan jaketnya yang gemetar*

jatuh hati

Orang mati tidak bertanya tanya lagi. Mata yang tertutup rapat melihat segala, seisi alam semesta. Hanya orang hidup menuliskan kematian. Meremehkan kehidupan. Adakah yang lebih menggelikan. Orang orang membangun jalanan untuk menggelindingkan roda roda. Segala macam roda. Supaya dapat berpindah tempat dengan segera. Aku lelah, sayang sekali saat ini aku sedang enggan merendahkan diri, sedang terlalu sombong untuk mengakui segalanya tidak berarti. Setiap keraguan yang tumbuh secepat perdu pada musim semi. Begitu deras berjatuhan. Kemudian mengalir, menerjang semua hambatan. Seruan tanpa bahasa di luar kepala. Telah kupahat di mana mana. Kesukaanku mengulang kata karena enggan menuliskan jumlah menggunakan angka. Sejauh apapun aku menyingkir, tidak juga menjadikannya terasing. Aku lelah tapi tidak jera. Tersungkur di pagi buta. Memandangi putaran roda pada porosnya. Lantas tertawa. Terus tertawa. Menertawakan orang mati dan hidup. Menertawakan yang jatuh dan bangun. Terdengar murahan dan berserakan di kakimu.
Kubuka pintu, daun daun bergerak memahat udara. Nama yang sama. Adakah yang lebih menggemaskan. Aku mengelak atau menyalak atau tersedak. Alam semesta tertelan tanpa sengaja. Roda roda api mengajakku pergi. Aroma kaki panggang menerbitkan selera makan. Pagi buta tertawa dengan matanya, mengejek dengan lidahnya. Adakah yang lebih mengharukan.
Aku hidup dan tidak bertanya tanya lagi. Aku pasrah. Sayang sekali saat ini*

Rabu, 09 Januari 2013

limas

Hampir pukul sebelas malam. Wajah wajah menunggu dibukakan pintu. Tak satupun wajah mengenalku, sebaliknya, tak ada satupun wajah serupa wajahku. Pintu melayang dan berjalan jalan seolah olah menghindar, seolah olah cuma berpindah tanpa tujuan atau kehendak berlalu dari siapapun.
Dan tak ada yang mau mendengar penjelasan. Saling terikat dalam lingkaran kebisuan kekal.
Keberangkatan terlambat. Segalanya begitu tenang sekaligus bergelombang, mengingatkanku pada gambar nomor dua yang kubuat berulang. Satu halaman buku gambar penuh garis bergelombang pada sepertiga bagian bawahnya. Seperti selembar mie rebus yang direntangkan, disusun membujur dari bawah ke atas, tanpa warna. Setidaknya garis garis bergelombang tersusun rapi, tidak tumpang tindih, tidak saling terjerat. Itu bukan laut, tak ada pantai atau daratan di situ. Aku senang menjadi bahan tertawaan.
Seperti bangkai tikus, bangkai daun, bangkai kayu. Yang membangun ruang kelas dengan barisan bangku warna warni. Gumpalan gumpalan lilin bernama malam, untuk dibentuk menjadi cicak. Yang penuh ketidak pastian, merayap, menyuarakan decak demi decak. Yang seperti ingin makan malam.
Seperti sekarang, tidak lagi hampir jam sebelas malam*

exit

Pada dasarnya kita berjalan ke arah yang sama. Sambil sekali kali menengok kanan kiri, menemui tubuh tubuh saling menyapa dengan ramah, kadang kadang pura pura menanyakan arah. Atau mencoba mengulur waktu dan merancang peta yang berlagak buta. Tentu saja menyenangkan. Menyesali yang hendak ditinggal pergi, mengingkari yang pasti menghampiri.
"Memangnya bisa apa lagi?"
Tidak. Ini sambal terasi, terong bakar, kacang panjang, mentimun dan daun kemangi, ikan wader yang telah digoreng teramat renyah. Sambil mengunyah, bisa kutanyakan bagaimana situasi jalan di seberang jembatan.
"Kau sungguh menjengkelkan."
Sudah dari sononya. Dari perut kembali ke perut. Tapi, tak ada seorangpun yang sudi ngobrol dengan sesuatu yang terlahir dari anus.
"Tinja dan kita keluar dari lubang sangat berdekatan, cuma beberapa mili saja jarak memisahkan."
Lapar. Lapar. Lapar. Adalah satu satunya resep berumur panjang, sehat.
Seandainya bangsa ikan pandai bicara, mau berbagi ilmu tentang cara menyeberang sungai berarus deras tanpa jembatan. Niscaya bangsa manusia akan lebih mahir berenang atau membangun sarang.
Seperti berang berang. Binatang lucu dan menggemaskan, selain koala, pinguin, jerapah dan banyak lagi yang pernah kita baca dari buku buku yang pernah ditelan ibu. Yang mendongeng setiap malam terbenam dalam air ketuban. Sebelum pecah menghanyutkan kita.
Ke arah yang sama*

Selasa, 08 Januari 2013

kubus

Sebelum ini aku sama seperti kau, pernah merdeka. Melayang layang tanpa wajah ke seluruh penjuru arah. Meninggalkan jejak jejak yang tidak akan diingat dalam prasasti, tidak tertulis pada semua arsip.
"Apakah senikmat membodohi diri sendiri?" Otak otak udang dengan sambal kacang, kain tenun, lagu lagu yang biasa dinyanyikan waktu bangun tidur.
Mainan kereta api menerobos palang mainan, menabrak seorang penunggang kuda tak bernama.
Kemudian bersorak, tinggal selangkah lagi menuju api unggun yang sibuk mengirimkan pesan kepada leluhur. Apakah kau ingat nomor kartu tanda penduduk sesaat setelah hangus, atau hanyut.
Cuma senyummu, menyala, padam, menyala, padam seiring bunyi hujan. Ranting ranting juga senasib denganku, sama seperti kau, pernah merdeka. Bersembunyi di dalam kotak hitam. Burung berparuh besar mengerami kotak hitam, menyayangiku sama seperti telur. Sama seperti aku menyayangimu.
Dari puncak tebing kau dan aku sama sama mengintip karang yang tegar dan ombak yang keras kepala.
Kau, sama seperti aku tidak sedang berpura pura melupakan apa saja. Yang pernah merdeka

trapesium

Di kota ini tak ada yang asing. Aku mulai menduga sedang menanam vas bunga di atas meja. Mendengar kelakar para pedagang dan jejak jarum pada jahitan bajuku. Sebelum kau datang semua baik baik saja. Setelah kau terbang, aku menggambar layang layang pada sehelai kertas, beserta benang dan tangan tangan dan angin dan segala hal yang menjadi membingungkan.
Kau paham, seperti tangisan seekor katak yang menyebabkan anak kecil bertengger di atas meja. Karena kau tidak memasuki kebahagiaanku, sebaliknya akupun tidak mengenal kesedihanmu. Kebahagianmu dan kesedihanku saling memandang dengan penuh minat serupa layang layang memandang mata angin pada gambarku yang setengah jadi. Pesta meriah. Pesta meriah.
Remah remah tubuh kita bercerita tentang jalan jalan buntu yang menelan kembang gula. Menghibur stoples kaca yang kekenyangan. Mencoba menukar warna mata dengan bening kaca. Sambil terus berdendang, cangkul, cangkul, cangkul yang dalam. Sementara serangga serangga terus berdengung*

Minggu, 06 Januari 2013

underscore

Kau ingat kita pernah bercakap tentang keheningan. Sebelum keheningan menguap, memburamkan kaca jendela. Menghalangi lampu kamar menengok ranting dan daun daun yang menghitam oleh malam di luar sana.
Kau kembali menciptakan kehineningan yang lebih berbinar.
Aku memahat embun pada kaca jendela.
Ketika kaubaca kata kata yang kutuliskan, keheningan menjadi seraut wajah kanak kanak. Pipinya berwarna butir butir buah delima yang katanya bisa mengawetkan usia.
Selalu saja, malam malam menjadi seharusnya malam, tepat seperti yang pernah kubicarakan. Kau mendengarku di lereng gunung, di pantai sebuah telaga. Tanpa perahu, tali dan catatan.
Keheningan dan keheningan bersahutan. Aku tidak iba, kau tidak berseru. Kita tidak akan bertukar kata sambil saling berbelas kasihan. Sangkar burung tidak mengurung kicauan merdu.
Daun daun dan ranting tidak memutih pada waktu menjumpai pagi*

blablabla

Aku adalah si pandir yang gemar berpikir. Seorang pandir selalu pandir, baik ketika berpikir maupun ketika tidak sedang berpikir. Kemudian aku bertanya kepada diriku, si pandir, bagaimana caranya supaya aku tidak berpikir diriku pandir. Si pandir mesti mengerahkan segenap kebijaksanaan yang dimilikinya untuk menahan diri berpikir dan bertanya tentang pikiran pikirannya hanya kepada sesama pandir. Ini penting. Karena si pandir yang tidak berpikir dan merenungi buah buah pikirannya kemudian bertanya akan kian tersesat. Kalaupun si pandir itu sedikit pintar ia tetap dapat sewaktu waktu tersesat jika enggan berpikir dan bertanya, apalagi si pandir yang tidak sedikitpun pintar.
Aku sedang menyindir diriku, si pandir yang lagi lagi sedang berpikir.
Begitulah, ini bukan disebabkan kesalahan genetis, bukan efek samping dari sejenis obat atau akibat terpapar zat zat berbahaya yang terdapat pada makanan atau lingkungan.
Dunia ini seharusnya sempurna, si pandir berpikir pada suatu ketika. Tak lama berselang si pandir mendengar pembaca berita bercerita tentang seorang bayi yang mati gara gara tak kunjung berhenti menangis karena sakit demam. Tidak apa apa, sang bayi, meskipun tak ada yang pnitar, pastilah tak mampu mengira akibat dari perbuatannya, tak mampu mengendalikan tangisnya. Bayi yang tertidur selamanya pastilah lebih manis ketimbang bayi yang menangis selamanya. Si pandir juga mempunyai seorang bayi dan paling suka menciumi bayinya pada saat si bayi sedang pulas.
Si pandir belum juga jera berpikir. Hingga sekali tempo si pandir mulai bertanya tentang semua cerita cerita aneh dari seantero dunia yang seringkali disampaikan padanya tepat di saat si pandir berpikir. Lucu sekali, si pandir merasa dan menduga bahwa pikiran pikirannya telah mengacaukan alam semesta. Si pandir tak lupa bertanya, di manakah alam semesta berada.
Si pandir menatap wajah seorang perempuan, si pandir selalu merasa semua perempuan berparas pintar. Tentu saja di pandir tak tahu jenis kelaminnya sendiri. Meskipun anak anaknya menyapanya dengan panggilan yang biasa diserukan orang kepada perempuan, ia tak pernah berpikir ia perempuan. Alasannya sangat masuk akal, karena ia pandir yang gemar berpikir dan bertanya tentang segalanya di luar sana kepada dirinya. Si pandir lebih nyaman berpikir tentang pikiran pikirannya saja, daripada tentang di pandir yang sering berpikir.
Pada akhirnya, si pandir masih belum juga tiba di ujung pikirannya. Si pandir berpikir, barangkali akan mudah bagi orang orang pintar untuk sampai di ujung pikir. Tidak bagi si pandir, pikirannya ruwet tidak keruan, tidak katahuan di mana pangkal hingga tidak ketemu pula di mana ujungnya. Ada yang pernah berkata,"mbulet koyok susur." Yang lain mengatakan, berputar putar sia sia macam kotoran pada pusaran. Si pandir bukannya tak tahu sopan, maka tidak sampai hati dikatakan dalam kalimat yang aslinya begini bunyinya,"muter muter koyok taek ndek dam." Si pandir tertawa terpingkal pingkal, dalam pikirnya sempat terbersit rasa bangga ketika menyadari si pandir ternyata bukannya tidak sopan yang tega bicara kasar..
Begitulah, cuma orang pintar yang sanggup tiba di ujung pikirnya, kemudian tidak lagi bertanya, tapi menyimpulkan. Menalikan ujung dan pangkal benang benang pikiran. Ada banyak simpul bisa dipilih orang orang pintar, ada tali mati, simpul mati, simpul hidup, simpul ganda, simpul bunga, atau simpul yang disebut pita. Pita, biasanya dipakai untuk hiasan pada bungkusan hadiah yang akan membuat penerimanya lebih senang dan terkesan.
Dasar si pandir, ia malah lagi lagi tertawa terpingkal pingkal melihat pikirannya terus terulur semakin panjang dan kusut. Si pandir berpikir tentang tata rambut manusia prasejarah.yang baru terjaga dari mimpi indahnya* 

Jumat, 04 Januari 2013

testimoni

Pertanyaan 1: Bisakah merasa rindu kalau tidak pernah bertemu.
Jawab: Bisa.
Contoh: Ahli ibadah merindukan surga. Anak anak yatim piatu merindukan ayah dan ibu.

Pertanyaan 2: Bisakah merasa rindu jika bertemu setiap waktu.
Jawab: Bisa.
Contoh: Aku merindukanmu.

Kesimpulan : Rindu sama sekali tidak berkaitan dengan keinginan, pertemuan, waktu dan standar.
Meskipun contoh jawaban ke 2 terkesan subyektif dan personal, aku yakin tidak demikian kenyataannya. Bisa saja kesimpulan ini subyektif, personal, dan seenakku saja. Ini memang makalahku, masalahku, kalau ada yang tidak setuju bukan berarti berlaku dan sungguh sungguh untukku. Aku memikirkannya dengan serius dalam beberapa waktu, tak usah tahu seserius apa atau berapa lama. Sudah kutuliskan kesimpulannya. Jika suatu ketika aku harus menyusun sebuah makalah, tesis, atau apapun namanya, telah kutetapkan, rindu akan kujadikan bahan ulasan, topik, sekaligus judulnya. Rindu memang bukan barang baru, tidak pula bermutu. Para pakar yang pintar pintar tentu keberatan menelaah rindu, tidak akan ada gunanya bagi perbaikan dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan, meskipun pengetahuan tentang kejiwaan. Cuma orang bodoh yang suka bicara dan berpikir tentang rindu, macam aku. Kian takjub aku pada rindu yang bikin aku dengan senang hati meresapi kebodohanku, rasanya seperti menghirup udara di pegunungan pada waktu fajar. Sangat melegakan plus menyehatkan. Tantu saja rindu tidak menjadikanku terhormat dan kaya raya. Tapi aku merasa menjadi orang bersahaja di muka dunia, di antara carut marut berita. Rindu juga tidak menyembuhkanku dari sakit maag atau migrain. Aku teringat, ada seorang ponyanyi pria, muda dan lebay menyanyikan lagu, cinta ini membunuhku. Aku bertanya tanya apakah penyanyi itu sungguh sungguh menghayati syair lagunya, atau lagu itu semata mata hanya diciptakan dan dinyanyikan demi keuntungan komersil belaka. Bagaimana bisa seseorang mencintai tanpa rindu, bukan pertanyaan ke 3. Kalau jawabnya, bisa, yaahh...entahlah. Bagiku tidak relevan. Cinta tanpa rindu serupa jantung tanpa denyut, mati dan akan segera membusuk. Kehilangan eksistensi sebagai jantung. Yang pasti dan masih terjadi pada diriku hari ini adalah rindu ini tidak membunuhku. Aku tidak perlu bersyukur, apalagi mengeluh. Rindu ini tidak membunuhku*

*

Pedang bukanlah pedang di tangan seorang pesulap, hanya alat untuk mempertajam akal.
Kata kata bukanlah kata kata di tangan seorang penyair, hanya alat untuk mengisi kertas.
Menjadi racun dan candu yang tidak membunuh tubuh atau jiwa manusia.
Kurasa lucu, karena aku bukan pemain pedang atau penulis sajak.
Dan terbunuh oleh gerakan tangan kosong dan bisikan angin yang berpusar pada lengan lengan asing.
Ini, segelas es krim soda, kenangan masa kecil yang tergelincir bersama hujan dari langit, entah apa yang ada dan tiada di sana.
Kenapa aku harus percaya aku berjalan dengan kaki, membelaimu dengan jari jari tangan, menumduk memandangi tanah dengan mata melekat di kepala.
Langit di bawah kepala, kakiku mengangguk angguk. Atau kakiku menapak langit. Kepalaku menyentuh tanah dengan mesra. Kalau langit dan bumi tidak bermufakat bertukar tempat.
Hanya yang pernah membaca mungkin lupa. Yang tidak lupa pasti tidak membaca.
Memahat. Memahat kereta pada punggung kuda.
Memahat. Melihat jalan dan jembatan tumbuh dart hutan terbakar.
Memahat. Memahat udara pada sebutir hujan.
Anak anak hamster telah tahu jalan, naik turun ke rumahnya. Tidak macam sebutir debu tersesat di lautan paling dalam. Anak kecil memahat pedang dengan kata kata menjadikan aku tiads*

Rabu, 02 Januari 2013

siluet

Malam sejernih hati yang baru usai menangis. Langit hitam cemerlang. Jiwa jiwa bersayap bersiap terbang, membaringkan tubuh tubuh yang memberat ka atas tempat tidur. Selalu pada saat saat seperti ini, aku memikirkanmu. Mendengar ulang setiap percakapan kita. Lebih nyata menerjemahkan kata, suara, bahkan juga tarikan nafas. Desahan bukan semata isyarat kelelahan.
Apakah pernah terpikir olehmu segala hal terdengar lebih gamblang ketika tidak sedang dibicarakan.
Mata memerah juga bukan menahan kepedihan. Kadang kadang setiap isyarat berusaha membodohi indera manusia. Membuat manusia berpikir dan merasakan ketiadaan. Ketiadaan manusia lain. Ketiadaan semua keadaan.
Orang yang sungguh sungguh lapar tak akan sanggup menjelaskan tentang kelaparan. Orang yang sungguh sungguh bahagia atau bersedih tak akan sanggup menjelaskan serupa apa tepatnya kebahagiaan atau kesedihan. Kau satu satunya yang kuharapkan bisa mengerti apa sebenarnya yang kurasa dan ingin kukatakan sekaligus mesti kuabaikan, kusimpan diam diam. Sangat dekat dengan lingkaran. Di dalam lingkaran, hingga lingkaran tak terlihat.
Seorang anak kecil menyesal telah tanpa sengaja menjatuhkan seekor siput dari atas daun pintu ke lantai. Siputnya baik baik saja, sebaik anak kecilnya. Tidak ada sepatah katapun tentang kebaikan disebutkan.
Suara suara megah menganjurkan teramat banyak rencana perbaikan, katanya menuju kesempurnaan. Seolah olah yang ada sekarang berantakan, buruk, tidak bagus.
Aku bosan dengan sempurna, kepada segala yang kudengar dan kulihat, di dalam dan di luar kepalaku. Kesempurnaan melingkupi keputus asaan. Menjadi apapun sama saja, seolah olah telah hidup berabad abad. Bermimpi berjalan di sisimu melangkahi musim gugur. Menemukan boneka salju di padang gurun. Menampung segenap hujan ke dalam kolam. Kalau tidak nyata, akan seperti menyedihkan, khayalan, mencetuskan belas kasihan. Bisakah kaurasakan betapa sempurnanya caraku bicara tidak dengan kata, tidak pula dengan pekerjaan. Kau menyayangiku apa adanya, membuatku tidak sanggup dengan sungguh sungguh bicara tentangmu, tentang kebaikan, tentang kejernihan malam, tentang keheningan, tentang keheningan, atau apa saja yang menjadi samar pada kemeriahan kenyataan. Kenyataan yang juga menjadi samar. Samar yang begitu nyata.
Persis yang kaubilang tentang mahluk luar angkasa yang mungkin benar mengunjungi bumi. Sementara tak ada mahluk bumi mengunjungi tempat asal mahluk luar angkasa. Tentiu mahluk luar angkasa yang begitu pintar tak akan pernah mewujudkan keberadaannya seperti semua bentuk yang pernah diduga penghuni bumi. Mungkin, laron laron yang sayapnya patah sama sekali tidak bersedih, tidak mati. Apakah artinya mati. Tidur panjang, ketidak sadaran, ketidak mampuan, akhir, keabadian. Atau sekedar ketidak pastiaan dan ketidak tahuaan. Orang orang merasa takut pada hal hal yang tidak diketahui. Prajurit yang siap sedia gugur di medan perang mungkin manusia pemberani atau hanya tak punya pilihan selain mati. Menampung segenap hujan dalam telapak tangan. Kau menyayangiku apa adanya.
Memenuhi ladang dengan segenggam benih. Membuatku berpikir bahwa bintang bintang di seluruh langit malam jika dikumpulkan tidak lebih dari satu genggam telapak tangan. Para kekasih kerap bersyair hendak memetikkan sebuah bintang untuk pujaan hatinya. Aku selalu ingin lebih, merangkum seluruh bintang ke dalam tepak tangan. Seharusnya tak sanggup kukatakan, kalau aku sungguh sungguh menyayangimu apa adanya*