Minggu, 30 Desember 2012

selamat malam sayang

Burung burung gagak terbang berputar, gaduh dan parau kepak sayapnya. Menyambut mendung. Awan hitam menjelang gugur. Kematian menjadi hujan. Hujan menambal jalan. Malam buta selalu terjatuh, kepada sinar lampu. Aku belajar menggali jalan buntu. Menyulam selendang tebal untuk membungkus lehermu. Supaya angin tidak terjerumus ke dalam urat uratmu. Supaya hujan tidak jadi batal. Menggenapi ramalan burung burung gagak. Biar kematian mengenal hujan. Bertukar cerita masa lalu sambil bergurau tentang keluguan tanah, kerimbunan hutan, rambu rambu di persimpangan. Semua yang ingin didengar pada hari ini diulangi besok pagi*

Sabtu, 29 Desember 2012

pagi hari

Bangunlah ibu, ketiakku basah, punggung dan pantatku basah. Sementara aku belum mengenal garah. Ibu, waktunya menaburkan serbuk putih berbau wangi ke lipatan lipatan kulitku supaya usai tangisku.
Ingatanku tak mungkin berdusta pada saat aku belum mengerti makna kata berdosa. Itulah sebabnya aku melupakan wajahmu. Kau, ibu, mestinya mengunjungiku ketika aku kehilangan keinginan beranjak ke mana mana, kemudian mengusirmu saat kau datang dalam mimpiku, cuma dalam mimpiku. Aku durhaka, mengusir ibu, kemudian mengutuk sendiri diriku menjadi batu. Setelah terjaga, ibu, memunahkan kutukan batu, mengembalikan aku beserta kekeringan pada ketiak, punggung dan pantatku. Wangi dan putih serupa dinding yang baru berdiri*

katekismus

"Siapa membutuhkan pelacur."
"Pohon anggur."

"Siapa membutuhkan anggur."
"Para penganggur."

"Siapa membutuhkan para penganggur."
"Aku."

"Ah, tu(h)an sepertinya sedang mabuk." Bidadari berkata sambil tersenyum kepadaku*

dekrit

Perintahnya adalah, tuliskan. Ruas jemarimu bertulang, tidak macam lidah yang lembek dan gemar melambai lambai. Ular mendesis dengan lidahnya, melata dengan tubuhnya. Manusia mengoceh dengan lidahnya, bertumpu pada kakinya. Terbaca macam perjanjian lama.
Maka kau, aku dan para mahluk pemilik bahasa, menemukan, atau menciptakan huruf, lambang lambang, lembaran lembaran dan cairan berwarna untuk menorehkan kehendak. Sudah kelihatan bijaksana kan. Rasanya seperti manusia pertama yang masih mempunyai semesta untuk dirinya saja.
Berdustalah dengan lidahmu, bersumpahlah dengan jarimu.
Damai di surga, damai di bumi. Api mengutuk iblis. Perempuan memulas bibir, menggambar sulur sulur bunga pada telapak tangannya.
Di gerbang sama pada setiap kota ia mengerudungi kepalanya dengan kain kusam, menunduk, mendengar, menanti lembaran betuliskan petunjuk jalan. Orang orang cuma melontarkan kepingan logam. Aku setengah percaya ia menyimpan sekantong besar mesiu di balik mantelnya.
Sebaiknya berjalan ke arah laut, ke tempat botol terapung, timbul tenggelam menggenggam selembar penuh huruf buruf yang tak punya suara ketika dibaca. Seisi semesta sudah bosan mendengarku jatuh cinta.
Pada kata. Pada dusta. Pada kita. Asap yang tak pandai bicara. Aku sembah. Membubung memenuhi lambung. Menyambung pita dan benang benang yang murung kehilangan bentuk*

Jumat, 28 Desember 2012

lisan

Tak akan kucari kalian yang sangat ingin kutemukan. Serangga serangga menguasai dunia, berebut tempat dan cahaya. Tak akan kutemukan. Tak akan kuhilangkan. Sekantong kapas menopang kepalaku, menggeraikan rambutku. Kubisikkan sebutanmu dekat tidurku. Dalam tidurku. Susunlah kepinganmu sendiri. Sebelum kupadamkan terang. Menerbangkan serangga serangga kepada kehendak sayap sayapnya*

melankolia

Kita bahagia bukan.
Malam tanpa debu membentangkan lengannya lebar lebar di luar ruangan.
Pohon pohon, gelas gelas tidak berbisik. Percintaan yang sempurna seperti selalu dan seharusnya. Meredam. Memendam. Membenamkan tangan ke kantong celana yang sedang terkapar. Menemukan sekotak sigaret telah terbuka, tidak penuh, tersisa, menunggu. Dan pemantiknya.
Siapakah di antara kita yang lebih dulu menyadari. Bahagia. Akan lebih pantas jika dialah yang bertanya tentang kita. Sebab dia telah diam diam mencuri dengar percakapan kita. Menelan bulat bulat pahatan udara yang sedang kita mainkan. Merangkai bunga bunga berjatuhan dari mataku. Menangkapi kupu kupu yang terlahir dari hembusan nafasmu*

2X

Ia adalah anak anak yang sama. Menderita sakit kepala. Bersama kepala kepala lainnya merangkai biji biji sempoa. Menghitung. Menghitung. Menyusun. Menyusun. Manik manik berwarna keruh> Mata mereka bergerak memutari papan nama. Membahagiakan, tidak tepat. Menghibur babi babi bertopi kertas. Menghijaukan langit. Membirukan tanah. Menjernihkan segala yang tidak peduli. Sebelum mati.
Ia tersungkur. Tertidur dengan bibir tidak mengatup*

cabang

Lihatlah malam yang sama datang berkali kali di jendela pagi. Membuka bibirnya, membangun kata kata untuk daun daun telinga.
Lihatlah pohon pohon masih tegak tersenyum, menyerahkan daun daunnya kepada daging dan batu.
Bintang bintang menunduk, melihatku. Menggaruk liang dalam kepala bertanduk rusa. Cabang cabangnya berpencar, menemukan kabar tentang pita pita berwarna pudar.
Kusimpulkan pada pinggang kapal. Melesat terbang. Melukis angkasa dengan bulu bulu domba.
Anak anak bersorak setiap malam datang mengantar bisikan, selamat jalan. Kepada lambaian semua daun yang belum gugur. Angin sabar menunggu*

Selasa, 25 Desember 2012

X

Telaga baik baik saja, selalu basah. Untaian telur, kecebong, katak berekor, katak muda, katak dewasa, katak tua, masih menghuninya. Itulah gunanya sekolah bagi anak anak, belajar tentang metamorforsa.
Kolam sekolah menyapa jari jari kecil. Matahari terbatuk batuk, menakuti mendung. Pada pelajaran terakhir sebelum bel tanda pulang berdering. Kaki kaki kecil sudah tak sabar, ingin segera menjumpai lubang jalan.
Telaga dalam kolam berebut umur. Katak katak saling jatuh cinta. Bermesraan sebentar. Bercengkrama tentang lupa.
Jalanan lebar membuka mantelnya, butir butir air jatuh, bergemerincing. Seekor ikan menggigit cacing, menarik narik mata pancing. Ekor ikan mengibas riang, persis anjing, menarik narik senar, melengkungkan joran. Sepasang lonceng berdering. Pemancing sama sekali tak menduga ikan sangat senang mendengar dentingan nyaring.
Kematian yang cantik, menggelepar, semakin pelan, pelan, diam.
Anak anak sekolah menyeberangi jembatan. Katak katak diam.
Bangkai ikan memakan benang. Berenang di bawah jembatan. Kolam beranak sungai. Menuruni bukit bukit. Anak anak sekolah bersalaman dengan para gurunya di mulut pintu.
Tangan tangan kecil yang masih goyah memegang pena. Katak muda menelan ekornya.
Durjana,durjana. Terdengar seperti lagu di jalan sempit. Kumuh dibanjiri peluh. Ikan ikan mati tidak mengeluh. Bapa guru, ibu guru mengangguk angguk. Mengikuti jejak api yang berayun digelitik angin.
Parau suara katak, percakapan telaga, rintik hujan, lubang pada tas sekolah, kolam ikan dan harapan.
Semua terjaga, mengerubungi anak anak yang terlahir kembali dari kembang teratai.
Semuanya metamorfosa, seorang cerdik pandai angkat bicara.
Aku lapar, kuhitung uang yang masih tersisa di kantong celana, mungkin cukup untuk membeli sebungkus metamorfosa, rasanya pasti nikmat dan bikin kenyang*

?

Kekosongan pelan pelan memenuhi ruang. Datang beriringan menyelimuti saklar, kabel, meja, layar komputer, modem, printer, speaker, kursi. Menyentuh pundak, lengan, tengkuk. Merengkuh sekujur tubuh. Menggetarkan. Mula mula bibir lalu seraut wajahku. Kekosongan rapat memeluk. Meletupkan nyala. Rindu meremang. Meredam salakan jantungmu yang melubangi dadaku. Mencair, basah menggenangi lantai, entah sajak, entah jejak.
Di malam natal ?

paradigma

Semua manuisa punya nama. Pemilik nama memberi nama, menciptakan mahluk mahluk bernama, memenuhi dunia. Kukenal namamu, kau mengenal namaku. Padahal tak ada hubungan apapun antara aku dan namaku, atau kau dengan namamu.
Bahkan benda benda dan segala sesuatu mesti punya nama untuk dikenal. Itu meja, jam dinding, pintu, jendela, buku, baju, sepatu. Seluruh isi semesta bernama. Yang bukan manusia, para binatang, tanaman. Gunung, bukit, kawah, lembah, pantai, teluk, pulau, telaga, angin, bahkan juga bintang yang letaknya nun jauh di atas. Badai juga diberi nama indah indah. Seolah olah ada tertulis dalam kitab suci, bahwa wajib adanya untuk menamai segalanya. Kitab suci kupilih di sini, karena hampir semua orang membaca dan berkehendak mengerjakan apa yang dianjurkan di sana. Karena manusia belajar dan menjadikan yang sebelumnya ada sebagai kebiasaan, kelayakan, kepatutan dan teladan.
Maka aku merasa tidak salah kalau merasa tak punya ayah. Karena tak tahu namanya.
Jika ibuku memindahkan surga dari telapak kakinya untuk menjumpaiku aku bisa bertanya padanya.
Ayahku tak bernama, ibuku akan berkata. Dengan intonasi kalimat yang tepat. Kalau kurang tepat sedikit saja aku akan menyangka bahwa tak bernama adalah sebuah nama, seperti tak im, tak eshi, tak amura, atau nama nama lainnya.
Tak ada seorangpun manusia tak bernama. Dari yang paling mulia sampai yang terhina semua punya nama. Beberapa jenis binatang juga harus bernama sebelum menjadi tokoh sebuah cerita. Setiap manusia bernama meski tak punya cerita. Kecuali ayahku.
Setiap nama, entah berapa banyak, tak sanggup aku menghitungnya yang telah kutemui di dunia nyata maupun dunia maya, di rumah dan jalanan. Nama yang ditempelkan pada baju, di atas pintu, di kotak surat, surat kabar dan majalah, di sampul dan seluruh isi buku, tertera pada nisan. Semua nama yang pernah disebutkan media. Singkatnya di seluruh alam semesta, tak ada kutemui nama ayahku.
Aku bersyukur, tak ada teman teman yang bisa mengejekku dengan nama ayahku di masa kecilku. Tak ada seorangpun bisa bergunjing atau menyindirku dengan nama ayahku.
Yang paling asyik adalah bisa kumiliki sepenuhnya setiap pujian atau hujatan yang ditujukan padaku tanpa perlu nama ayahku terbawa bawa. Popularitas tunggal sangat nikmat. Juga tak ada yang bakal berkata aku begini atau begitu karena aku anak ayahku. Semakin kipikirkan semakin terasa nyaman mempunyai seorang ayah tak bernama.
Jika aku ternyata punya ayah tak bernama persis yang akan dikatakan ibuku, suatu hari aku sungguh sungguh bertemu ayahku, aku akan mengenal dan menyayangi ayahku seutuhnya, bukan cuma namanya. Mungkin memegang tangannya, bersandar di dadanya, sembunyi di punggungnya, duduk di pundaknya, bergelayutan di tungkainya.
Tak ada mahluk tak benama di seluruh alam semesta selain tuhan. Tuhan tak bernama. Tuhan adalah sebutan untuk tuhan, seperti ayah adalah sebutan untuk ayah, dalam bahasa indonesia*.  

Minggu, 23 Desember 2012

serupa

Marilah kita saling menelanjangi di bawah cahaya matahari. Serupa rumpun bunga di musim semi. Kita menari seharian di lereng bukit. Sampai datang angin mau bersusah payah menerbangkan kita, setelah menyerah tak menemukan sehelaipun jubah..Menuju dataran rendah, terjatuh lalu hanyut di muara. Berpelukan dengan segunung sampah yang menyimpan cerita gembira tak terhitung. Sahut menyahut gelak tawa, menghiting belang dan uban di tubuh dan kepala kita.
Lihatlah, mata harinya tak pernah begini cemerlang dan senang. Tak pernah mengalihkan tatapannya barang sekejap dari ketelanjangan kita. Sampai jubah jubah kita berteriak mengiba di tengah samudra. Mungkin ada angin lain mengantarnya ke sana, mencari kita.
Biarlah, jubah jubah akhirnya belajar bahwa cuma dirajut untuk menutupi kesempurnaan.
Ini musim apa, tahun berapa, bulan apa, tanggal berapa, hari apa, jam berapa. Setiap peringatan telah dilupakan, tenggelam pelan ke dasar bumi bersama jubah jubah malang, terseret deras airmatanya sendiri.
Gunung gunung sampah mewangi. Kita menari. Serupa rimpun bunga di musim semi*

tahir

Tak ingin kuingat kalimat kalimat merdu yang pernah dibisikkan waktu. Kau benar, masa lalu yang berada di depanku, berniat menemani langkahku. Debu menungguku. Debu tahu suatu hari akan memelukku. Sepertimu. Mencairkan rindu kental di darahku. Debu menciptakan telaga di mataku, setelah memuntahkan lahar. Membakar tiang tiang penyangga dunia. Aku mengedip mesra, senyummu merona. Keruntuhan. Ke runtuhan. Kerun tuhan. Alangkah indahnya, siapa gerangan melukisnya, sepenggal syair masa kecil membuatku girang menyambut hujan. Paling deras. Mengoyak tanah*

zikir

Aku selalu mendengarmu meski kau tak bicara padaku. Aku diam, tidak kukatakan pada sssiapa, bahwa suaramu selalu menyapa. Aku tahu, atau menduga keras mereka akan menuduhku kurang waras, menasehatiku untuk membuka mata dan telingaku. Tak ada yang sudi percaya kalau kubilang aku mendengarmu dengan jari jariku, dengan lidahku, dengan tengkuk, dengan ubun ubun, dengan usus dan jantung, empedu dan anus. Kejujuran seringkali seperti tidak sopan, bahkan kasar. Aku bukan hendak minta maaf. Hanya diam, dan terus mendengarmu, semakin nyaring dan megah. Apa peduli mereka, apa pula peduliku. Kalau aku berkeras mendengarmu, diam, dan tidak mengatai semua orang tidak peka. Karena aku paling cinta, dan cinta paling banyak bicara ketika bahagia. Ketika kukatakan aku mendengarmu dengan sekujur tubuhku*

nadir

Mengulang kesedihan
Mengulang kebahagian
Mengenang.kehilangan
Memeluk keheningan
Mengerjapkan mata
Menerbitkan senyuman
Menghela nafas
Menutup telinga
Menggerakkan bibir, membentuk huruf demi huruf
menuliskan namamu dengan lidahku
menyembunyikannya dari segala perayaan
menjaganya dari segala kemngkinan*

Sabtu, 22 Desember 2012

just 4 you

Kuciumi aroma rahimku pada rambutmu. Yang kubiarkan tumbuh lambat dengan tidak memangkasnya barang selembar sejak hari kelahiranmu. Kau selalu tampan, ketika tertawa, cuek atau mewek, selalu tampan dan bercahaya. Aku sengaja bertanya kepadamu yang tak paham, hanya kepadamu. Hanya kepadamu yang tak paham. Mungkinkah. Rahim ibuku seharum rambutmu, lembut dan halus, tidak pernah menutupi matahari yang terbit dan tenggelam di puncak kepalamu pada tengah malam, saat kaukudekap erat*

sent

Kutulis sangat banyak surat untukmu.
Meski tak sempat kutanyakan alamatmu.
Aku percaya rindu akan mengirimkan semua suratku
ke tempat yang tepat, setiap saat*

kepada hari ibu

Kukatakan kepada botol botol susu dalam ingatanku, hari ini sama meriahnya dengan hari kelahiranku. Yang tak pernah singgah dalam kenangan siapa siapa. Alangkah istimewa ibuku, yang tak kukenal. Yang mencintaiku tanpa syarat, tanpa sempat, tanpa tempat*

Jumat, 21 Desember 2012

simbiosis

Tak ada yang menyimpan kisah sebanyak keranjang sampah. Ditampungnya segala yang tidak termakan, terbuang, seluruh sisa sisa mahluk segala ukuran. Lantai dan halaman rumah tak pernah merasa berhutang budi pada keranjang sampah. Aku telah membelinya, meletakknya di sudut dekat pintu, memenuhinya dengan semua kotoran yang tersebar dari seluruh penjuru rumahku. Dan, keranjang sampah tak perlu berterima kasih padaku atau siapa saja yang menjadikannya berguna*

kontras

Langit diam.
Tanah dan batu batu diam.
Daun daun berayun tanpa suara.
Mendengarkan gemuruh hujan*

misi

Di teras rumah, kutemukan seekor siput berjalan sendirian. Seperti kemarin. Kusingkirkan ke tanah, dekat pangkal pohon srikaya. Bagi seekor siput, teras rumah adalah tempat rawan bahaya. Banyak yang lalu lalang, bisa terinjak atau tergilas roda si siput nanti. Bukan karena aku peduli, baik hati atau penyayang binatang dan pecinta kehidupan. Hanya saja seekor siput besar yang tewas dengan tubuh dan cangkang berantakan gara gara terinjak atau tergilas di teras rumah akan lebih buruk ketimbang siput besar yang masih hidup dan utuh. Menyelamatkan siput dari ancaman kematian tragis adalah perbuatan yang lebih banyak bertujuan untuk menyelamatkan diri sendiri dari pemandangan menjijikkan. Lain lagi soalnya kalau misalnya si siput sengaja berada dan berjalan jalan di teras rumah untuk menjemput maut. Bisa jadi karena putus asa pada kelambanannya sendiri, mungkin patah hati, mungkin merasa sedih dan sia sia dengan lendir pada tubuhnya. Siapa tahu. Jika demikian tentu akan semakin rumit jalan ceritanya. Penyelamatan yang kukerjakan menjadi penghalang siput mencapai harapannya. Yang macam itu tentu sangat kecil kemungkinannya. Bagaimanapun seekor siput cuma seekor siput, mestinya tidak berharap yang muluk muluk, dan akan baik baik saja berjalan jalan di halaman rumah atau memanjat dahan srikaya*

21122012

Batal kiamat rasanya biasa biasa saja. Dari semula sudah banyak yang menduga kalau kiamat tak mungkin diketahui kapan datangnya. Kiamat tentu jauh lebih dahsyat dibanding hujan yang masih bisa diramalkan datangnya. Meramal hujan saja sering gagal, buru buru kiamat.
Baguslah, aku dan segenap penghuni dunia bisa kembali melanjutkan kegilaan.
Lalu aku mulai berpikir mau bilang apa malam ini, kepadamu yang masih meringkuk di pojok kepalaku.
Bicara tentang hari ini yang sama persis dengan hari lainnya rasanya kurang asyik, tidak cukup untuk mensyukuri tidak jadinya akhir. Lagipula tak ada yang cukup pantas disyukuri tentang dunia yang tidak jadi tamat. Mungkin sebentar lagi aku akan menghanyutkan diri lagi ke dalam kehidupan. Menjadi orang normal yang mengharapkan umur panjang, kesehatan, kesejahteraan, kenyamanan, keamanan, kekayaan dan lainnya yang serupa itu. Menyedihkan ya. Mumpung hari ini bukan hari terakhir. Kalau iya, ini hari terakhir, penyesalan yang kurasakan pasti sangat besar kalau belum kubuang semua harapan. Supaya aku terbang ringan dan kencang menyongsong kehancuran, seperti kembang api*

Rabu, 19 Desember 2012

sweety

Akan kukatakan aku rindu padamu seribu kali setiap manit yang hanya memiliki enam puluh detik. Ini sangat penting, membodohi diri sendiri. Cara paling mudah untuk mengarang sajak. Bulan yang tidak membundar, melengkung tajam, siap menyabit seluruh tangkai gandum keemasan dan setiap bunga tulip warna warni, yang tumbuh di bumi, segala tanaman berbatang lurus yang gemar berdiri dan melambai lembai.
Tersenyumlah, aku hanya berkata, kuciptakan cinta untukku. Seperti aku diciptakan untukmu, bukan sebaliknya. Seribu kali setiap menit selalu berhasil membodohiku, menciptakan segenggam salju dari sebongkah kapas*

di sudut hati

"Bagaimana kalau hamsternya mati ?"
"Ya dikubur saja, seperti kucing."
"Jadi apa gunanya dunia diciptakan?"
"Pertanyaan bagus."
Percakapan yang belum selesai, ada sesuatu yang membuat percakapan terhenti dan terlupa untuk dilanjutkan, padahal aku masih ingin mengatakan,"Pertanyaan bagus tak butuh jawaban."
Setelah kupikir pikir bagus juga tak sempat terucap. Mestinya ada yang mempertanyakan apakah bagus setara dengan sempurna, yang sulit dijawab dengan benar. Kemudian semua yang remeh dan tidak bermakna mengerumuni udara. Menanam bunga, membakar sampah. Di segala musim, angin menerobos ke sana kemari, menerbangkan puisi*


tanda mata

Tembok dan dinding berjuang setiap saat. Mempertemukan dan memisahkan. Menyatukan dan menceraikan. Menjauhkan dan mendekatkan. Aku tidak melakukan apapun, tidak membangun atau meruntuhkan semua tembok dan dinding di luar atau di dalam, di seluruh penjuru.
Tembok dan dinding tumbuh liar serupa perdu di musim hujan. Aku, kau dan mereka menggambar sayap pada setiap butir batu, wajah dan belalai pada wajah batu. Buku buku memberi nama kupu kupu untuk setiap batu yang melintasi tembok dan dinding tanpa sengaja. Memperdengarkan suara tawa, atau celotehan yang bergema gema. Dalam ruang tak beraturan yang lebih pantas disebut gua atau lubang. Yang tidak memerangkap atau mengubur udara*

erhmm

Seandainya tak ada manusia menemukan celana, alangkah damainya dunia. Tak ada kelamin yang memalukan atau mempermalukan manusia. Kau yang mengerti betapa putus asanya aku pada dunia. Dan semua manusia di seluruh dunia berlomba lomba menutup kelaminnya, atau memburu tempat tempat terpencil eksotik  yang dihuni manusia manusia primitif untuk mengajari eksistensi penutup alat kelamin.
Negara memilah milah penduduknya berdasarkan model, ukuran dan warna celana yang dikenakannya. Celana pantai adalah celana pendek, biasanya bermotif dan berwarna cerah yang dikenakan manusia ketika sedang liburan atau bersantai.
Lantas kenapa aku merisaukan keberadaan celana dalam kehidupan manusia.
Hmm, itu cuma siasat untuk mengalihkan perhatian. Demi kesopanan.
Aku, salah satu dari sebagian manusia pemuja keindahan, tubuh. Celana menutupi alat vital keindahan, sangat fatal. Meskipun sama sekali tak menghalangi apapun. Penutup lampu tak menghalangi serangga terbang berputar putar dekat sumber cahaya. Begitulah cara peradaban menyikapi naluri manusia, mengerjakan segala yang sia sia, yang disebut berguna, misalnya celana*

idealism

Sebutir pasir bercita cita menjelajah lautan, mencari pengetahuan dan pengalaman tentang gelombang. Semoga sebutir pasir tidak terhempas, masih sebutir pasir ketika tiba di seberang daratan. Sebutir pasir percaya sebutir pasir tidak akan pernah menjadi air meski terombang ambing sendirian di luas samudra. Serupa bintang yang terjatuh ke bumi, tidak lagi berwujud bintang yang hanya padam. Laut dan tanah tidak akan mencela sebutir pasir atau sebongkah bintang yang tidak mampu membuktikan apapun.
Sebutir pasir menyeberangi lautan di luar akal. Sebutir pasir hanyut, tenggelam, berjuta juta tanpa beda pada semua tepian laut adalah fakta. Sekalipun tak ada sebutirpun pasir berotak, tak mungkin ada sebutir pasir yang begitu bodoh hingga bercita cita dan dengan sengaja menyeberangi lautan tanpa hanyut, hilang atau tenggelam sebelum tiba di tujuan*

Selasa, 18 Desember 2012

cakra

Wajah perempuan yang mungkin gila itu terlihat serupa wajah patung kayu yang baru disayat sayat oleh seseorang yang mungkin sakit jiwa. Penuh jejak sayatan, retak retak. Kalau sempat menghitung, ada dua manusia dengan dua kemungkinan pada kalimat pertama. Orang pertama adalah perempuan, orang kedua tidak diketahui jenis kelaminnya. Kemungkinan pertama merujuk pada peremuan, mungkin dia tidak gila. Yang kedua tentang seseorang yang mungkin sehat jiwanya alias waras.
Wajah kecoklatan penuh jejak luka dan retak bukan merupakan kemungkinan.
Perempuan itu selalu tenang tenang saja, tidak terganggu dengan retakan yang bertebaran di seluruh wajahnya. Tidak terusik dengan ketidaknormalanlah yang bikin perempuan itu pantas dikatakan mungkin gila.
Perempuan yang mungkin gila dengan senang hati akan membalas setiap tatapan mata baik lelaki maupun perempuan, sehat atau sakit jiwanya, yang mengarah pada wajahnya.
perempuan yang mungkin gila itu terlihat menikmati setiap perhatian yang tertuju pada wajahnya, pada garis garis sayatan yang semburat saling silang di sana. Satu lagi kemungkinan tak akan menimbulkan tambahan beban, perempuan yang mungkin gila itu, menikmati semua pandangan ke arah wajahnya sambil menunggu reaksi dari setiap pemilik mata. Decakan, ekspresi tajam, kekaguman, keprihatinan, lebih baik kalau kepedulian berupa pertanyaan.
Mungkin,"Wajahmu kenapa." Kemungkinan selalu ada, bertambah banyak, dan tidak akan tambah merepotkan kalau tidak dihitung. 
"Ada yang menyayatnya dengan benda tajam."
"Ohh...Tapi, siapa."
"Mungkin seseorang yang sakit jiwa."
"Tapi, kenapa."
Perempuan yang mungkin gila tersenyum selebar dunia. Dia punya jawaban yang mampu membuyarkan lamunan siapa saja yang pura pura bertanya.
Seseorang yang mungkin sakit jiwa sedang memahat jalan menuju surga pada wajahku. Perempuan itu tak akan mengatakannya kepada siapapun sebelum dia benar benar gila. Hanya karena perempuan berwajah jejak luka tak ingin lagi mendengar kata kata hati yang peduli, yang selalu menerka perempuan itu mungkin gila. Perempuan itu merasa dia mestinya bukan mungkin gila jika mengatakan jejak sayatan simpang siur pada sekujur wajahnya adalah sebuah peta rahasia. Tapi sebenarnya, bagaimanapun semua orang seharusnya mengerti bahwa dibutuhkan kesungguhan demi kebenaran. Begitu pula dengan pahatan pada wajahnya, seseorang yang mengerjakannya bukan mungkin sakit jiwa, dan perempuan itu sungguh sungguh gila, supaya sempurna. Sehingga setiap orang yang sungguh sungguh memandangnya dengan penuh perhatian tidak tersesat atau salah arah*

Minggu, 16 Desember 2012

serba salah

Baru hari ini aku tahu hanzel dan gretel ternyata menyimpan dendam kepada kaum penyihir yang pernah membuat mereka nyaris mati pada masa kecil. Mereka membuat filmnya dengan canggih. Aku bertanya kepada diriku sendiri, apakah hanzel dan gretel tidak sedikitpun merasa berhutang budi kepada roti. Mereka terus saja memakannya hingga tumbuh dewasa dan kuat untuk membasmi kaum penyihir. Syukurlah dunia tak pernah kehabisan roti. Haruskah aku menyesal karena telah menyalakan televisi. Aku hanya ingin melihat untuk membuktikan ketidak benaran menyempurnakan kemanusiaan, begitu seharusnya aku membela diri.
Dengarlah. Dengarlah. Aku tak putus putusnya meracau supaya tidak terlihat bodoh dengan terus terusan menyatakan mencintaimu. Memenuhi benakku dengan segala macam tetek bengek untuk mengalihkan rindu.
Yang paling menyedihkan pada akhirnya kuakui semua kepura puraanku supaya aku nampak kesatria yang rela menanggung apa saja, predikat tidak pengecut dan berakal sehat.
Oh, cinta....aku tertawa*

tanpa judul

Sekelompok anak perempuan menamai kelompoknya gank yang bisa bicara dengan bunga. Aku terlalu tidak peduli untuk mencari tahu tentang kata gank, yang diucapkan geng. Setahuku gang berarti jalan sempit, kuartikan secara bebas dan nyata. Sedangkan gank, diucapkan geng berarti sekelompok manusia yang memiliki kesamaan dalam satu atau beberapa hal, bisa apa saja.
Mereka sekumpulan anak permpuan kaya yang kelihatan pintar, kelihatan dari nilai nilai rapornya. Bukan urusanku. Tapi gank yang bisa bicara dengan bunga menarik perhatianku. Beberapa anak perempuan yang menyebut dirinya anggota gank yang bisa bicara dengan bunga kerap mengerjakan ritual berdiri melingkar, bergandengan tangan, bergerak mengelilingi sebuah atau sekumpulan tumbuhan berbunga. Anak anak tersebut mengatakan atau menyanyikan syair yang tak dapat kudengar sekalipun telah kupicingkan mata.. Anak anak perempuan anggota gank yang bisa bicara dengan bunga percaya bakal tumbuh mutiara pada kembang kembang yang sedang mekar.
Seorang anak perempuan yang tak punya banyak teman dibuat penasaran oleh nama dan tingkah laku sekumpulan anak perempuan yang menamai dirinya gank yang bisa bicara dengan bunga. Seorang anak perempuan anggota gank yang bicara dengan bunga menyampaikan pada si anak perempuan yang tak punya banyak teman dan sedang penasaran, bahwa ia dapat diterima sebagai anggota gank yang bisa bicara dengan bunga apabila bersedia meninggalkan satu satunya temannya. Lain waktu, anggota gank yang menyampaikan pesan pada anak perempuan yang tak punya banyak teman akhirnya dikeluarkan dari keanggotaannya dalam gank yang bisa bicara dengan bunga. Tak lama setelah anak perempuan penyampai pesan membuatkan lambang, sebagai simbol identitas untuk gank yang bisa bicara dengan bunga.
Sungguh beruntung anak perempuan yang tak punya banyak teman tidak meninggalkan satu satunya temannya. Anak perempuan penyampai pesan pada akhirnya meneukan kelemahan gank yang bisa bicara dengan bunga dari internet, mencetaknya, menaburinya dengan garam sambil mengucapkan mantra. Hingga tamatlah riwayat gank yang bisa bicara dengan bunga.
Anak anak perempuan kaya yang kelihatan pintar tak perlu lagi mengerjakan ritual mengitari tanaman. Anak perempuan penyampai pesan baik baik saja. Anak perempuan yang tak punya banyak teman semakin akrab dengan satu satunya temannya.
Aneh tapi nyata. Kalau dijadikan naskah drama bagi anak anak sekolah dasar terasa membingungkan dan mengada ada. Hanya orang dewasa Tak apa. Aku hanya tak tahu apa judulnya. Yang pasti gank yang bisa bicara dengan bunga tak layak menjadi judul karena bukan tokoh utama dan sudah bubar*

ironi

Hidup cuma sekali, jadikan hidupmu berarti, aku membacanya pada kaca bagian belakang sebuah mini bus yang baru saja berada di depanku. Di bawah gerimis halus dan sapuan lembut angin pada wajahku, menggerak gerakkan rambutku, terasa sejuk dan harum udara sore mengepungku.
Selama manusia manusia masih sanggup merangkai kata kata tak bermakna kurasa dunia masih baik baik saja, juga aku.
Serupa kesehatan menjadi berarti ketika sedang jatuh sakit. Listrik menjadi sangat penting waktu area tempat tinggalku terkena pemadaman bergilir. Pun hidup menjadi berarti pada saat mati. Aku bukan penggemar ironi, hanya terbiasa bersikap skeptis. Dalam hal hal tertentu manusia manusia pemuja ironi bisa diberi predikat jenius oleh sesamanya yang baik hati. Sunggih tidak masuk akal dan menghibur bagi orang yang kurang kerjaan.
Seandainya aku tidak pernah membaca tulisan bijak pada bagian belakang mobil, nasehat tentang hidup, tentu malam ini aku tak menulis.
Yang paling membahagiakan adalah aku tak perlu mengenal atau mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang telah menyempatkan meletakkan tulisan penuh makna pada kaca belakang mobilnya.
Sejujurnya sebagian besar kalimat yang membuat penulisnya mengira mampu menngubah dunia adalah plin plan, juga yang terdapat dalam kitab suci. Aku tak sudi mnunjukkan bukti. Kuakui saja, aku enggan kehilangan ia yang selalu mau menemaniku setiap saat. Persis slogan iklan deododorant, setia setia saat. Bahkan pada waktu aku sedang buang hajat, ia tetap dekat dan mau kuajak bicara tentang segala hal*.  

Sabtu, 15 Desember 2012

atheism

Seperti ada yang kulupakan, yang pernah kukenal kemudian kusangkal. Tanah dan tanaman yang tumbuh meninggi, merimbun, seperti menandai sesuatu. Aku berjongkok, memeluk lututku, menunduk, mengamati seekor cacing.
Mahluk itu memang bernama cacing, tanpa wajah, sepertinya tanpa organ, dan bergerak gerak. Tak ada kepastian. Hanya seekor cacing dengan begitu banyak kemungkinan.
Musim hujan membuat tanah lembek dan becek. Hujan telah berhenti, gerimis sudah reda, cuma meninggalkan aroma khas yang menyulut rasa enggan mengerjakan apapun. Cepat atau lambat aku harus bangkit berdiri. Tungkaiku kesemutan saat aku mulai mendongak. Langit berwarna biru lembut dengan garis garis putih cerah, seolah olah ada yang baru saja menorehkan sebatang kapur. Mataku mengerjap, terasa seperti baru saja ada serpihan ringan melayang dekat sekali dengan kelopak mataku.
Kenapa aku tak ingin berpikir bahwa aku tidak sendirian. Mungkinkah kesendirian bisa begini menyenangkan. Seperti orang orang yang berkata dengan pandangan mata menerawang bahwa mereka mempunyai teman, sahabat, kekasih atau apapun sebutannya, yang selalu menyertai saat sendiri. Sepertinya menyenangkan. Apakah yang seperti itu tidak pasti. Apakah yang pasti itu seperti ini.
Kepastian itu sering disamaartikan dengan keyakinan atau iman. Keyakinan boleh berlaku untuk terbitnya matahari, pasti di timur pada waktu dini hari. Iman terdengar serupa nama tokoh populer pada cerita cerita, setara dengan ivan, iwan, atau malah lebih dekat dengan sebutan mahluk yang sepanjang hidupnya selalu berenang, ikan.
Sepertinya sama sekali tidak penting, tidak fokus, tanpa arah dan tiada tujuan, mengingatkanku pada gerakan cacing di genangan lumpur. Mungkin aku cengeng atau lebih mungkin aku mulai terserang pilek, sangat wajar pada musim hujan.
Seseorang sepertinya sedang mengamatiku dari kejauhan dengan diam diam. Aku memandang lurus kepada ketiadaan, yang mereka namai tuhan* 

Selasa, 11 Desember 2012

di balik pintu

Harus kusibukan diriku dengan cara paling bermutu, mencintaimu. Menuliskannya sesering mungkin untuk memudarkan rasanya yang terlampau tajam. Aku bahkan bisa memakainya untuk mengupas apel dengan sempurna, tanpa memutuskan kulitnya. Lingkaran kulit apel, sayangnya sama sekali tidak bisa membaca pesan atau menyimpan kesan. Tapi aku masih percaya, semua benda bernyawa dan akan bahagia kalau diperlakukan dengan penuh makna. Meskipun mereka terlalu sibuk membakar, merobohkan, melantakkan, semua batu dan tubuh yang berdiri tegak.
Kau bilang sedang membaca hermes yang tidak kukenal sedikitpun. Kalau tak mau menyapaku, aku tak ingin mengenalnya. Keras kepala. Patut dijadikan senjata untuk menghajar semua sangkar. Ini rahasia, aku sedang belajar mengupas tempurung kepala agar bisa bertemu mahluk mahluk kecil kelabu sok tahu yang selalu sembunyi di situ. Kurasa akan bikin lantai rumah mirip telaga warna, basah, berkilauan dan menyala nyala. Hingga tak perlu menunggu hari kemerdekaan supaya layak mengheningkan cipta, menyanyikan lagu wajib, menggunting pita.
Sekarang akan kugunakan semua kata yang tidak kusukai, harus, semoga, akan, ingin, menjadi, tapi, aku. Karena telah kuajak mahluk mahluk kecil kelabu berdeklamasi, menyulam dan melipat burung layang layang.
Apa ?
Tidak apa apa.
Aku hanya sedang menyibukkan diri.
Mencintaimu tanpa ragu. Penting sekali seperti mesias memerlukan dunia berantakan dan jiwa jiwa yang marah. Maaf, maaf, maaf, aku masih segan menghujat, enggan menjadi panjahat.
Kita lihat saja nanti, apakah kesibukan paling bermutu memanjangkan rambutku. Kalau sempat akan kupangkas usiaku, lebih pendek dari waktu luangku*

Senin, 10 Desember 2012

menjelang tengah malam

Kucingku akhirnya tertidur. Setelah puas mengeringkan tubuhnya, helai helai satu persatu bulunya dipisahkan dengan sisa hujan oleh lidahnya yang kasar. Ia pulang terlambat, meloncat masuk dari jendela kamar, meninggalkan gerimis di luar. Yang tidak menderas, mungkin kesepian, kehilangan dua ekor kucing yang baru usai bermain*

Minggu, 09 Desember 2012

pelajaran menggambar

Apakah ibu guru akan mengeluh kalau kuwarnai kelabu gambar rambutnya. Ungu atap rumahku. Langit merah muda. Bulan dan matahari saling senyum setelah mengerling melihat bintang bintang terbit pada siang hari di halaman sekolah yang kuwarnai berlapis lapis seperti kue pelangi yang pernah kilihat di televisi. Teman temanku berkejaran di atas hamparan bintang bintang yang sibuk berloncatan menghindari injakan kaki teman temanku yang telanjang*

yang terindah

Hidup itu indah, kata manusia bijak yang bahagia, yang tidak pernah mengenal kita*

honey

Masih tentang cinta, dan selalu. Memangnya apa lagi yang bisa dituliskan angkasa. Kalau bukan cinta pasti tak akan kutengok ke atas. berharap menemukan sebuah pesan yang tak mampu kubaca. Cuma cinta yang menuliskan demikian. Kesenangan kekanakan, menghitung bintang, menggambar senyum bulan, mewarnai langit malam semanis brownies. Selalu kurasai cinta, kubasahi bibirku, masih terasa lelehan sehangat madu. Kupu kupu kerap hinggap di jari tanganmu*

Sabtu, 08 Desember 2012

lagi, lagi

Tidak, aku terlalu hapal semua keluhan dan gugatan segenap manusia. Tak terlalu sulit menjadi manusia yang menekuri kabar kabar setiap pagi. Aku hanya mau menjadi segelas kopi, menanti kau menghirupku di sela sela penatmu. Agar bisa menciptakan rindu. Hangat dan manis kurasakan, kau mengecap uap tubuhku.
Tidak akan pernah cukup satu kali sehari, dua atau tiga, atau berapapun yang kau kehendaki untuk menghabiskan segelas rasaku. Pahit menyempurnakan pertemuan kita dengan dini hari. Dan aku tidak membaca atau mendengar segala hal yang kau tahu.
Tidak satupun, selain rindu*

kejora

Karena kita selalu bicara bersamaan, Maka langit menaburkan bintang bintang amat banyak demi percakapan kita yang selalu tak terdengar, hanya bersinar menerangi malam*

simple

Angin berbisik, kudengar suaranya serupa nyanyian.
Melambaikan daun telingaku, serupa nafasmu.
Inikah yang mereka sebut lamunan, atau angan angan.
Kunamai harapan kepada kerinduan*

Rabu, 05 Desember 2012

lagu

Pada sebuah pertemuan di bawah keteduhan, entah pohon apa, sama sekali tak sempat kuperhatikan. Kau mengulurkan sesuatu padaku. Hadiah untukku pada hari ulang tahunmu.
"Terbalik," Kataku.
"Bagus,"Katamu."Bukalah."
Kubuka hadiahmu. Jam pasir. Aku bertanya dengan mataku.
"Itu waktu. Bisa kaubalikkan sesukamu."
Kutangadahkan kepala, menatap garis garis cahaya menyusupi reranting dan dedaunan. Sebuah pohon paling teduh yang tak kutahu namanya. Beberapa ekor burung bersarang pada dahannya, berlompatan riang, sesekali berkicau tentang hujan atau bulan yang selalu kausiulkan*

kekasih biasa

Seolah olah penghuni dunia sedang berduyun duyun ke satu arah. Tapi aku kekasih biasa, yang sewajarnya menyukai sudut sudut asing, sepi dan tersembunyi. Untuk menemui kekasih yang biasanya menunggu di sana. Di tempat yang tak ingin disinggahi kebanyakan penghuni dunia.
Tak ada salahnya menjadi kekasih biasa, atau itu hanya penghiburan bagi seorang pembuang sampah. Seorang pemuda yang setiap pagi berjalan dari rumah ke rumah, berhenti di tiap pintu, berjalan masuk ke halaman rumah, mengambil setumpuk benda buangan untuk dituangkan ke dalam gerobaknya.
Mungkin ia juga punya seorang kekasih biasa yang menyukai sudut sudut asing, sepi dan tersembunyi untuk saling berjumpa. Kekasih biasa yang sama sekali tak pernah menginginkan apapun selain sesaat kebersamaan. Mungkin hambar, bisa pula bersinar.
Setiap kekasih biasa bisa murung atau bahagia, yang sedikitpun tak ada hubungannya dengan makna hidup kekasihnya.
Banyak penghuni dunia berkata,"Jadikan dirimu berguna bagi masyarakat, keluarga, bangsa dan negara."
Tapi kudengar aku berkata,"Jadilah kekasih biasa bagi kekasihku." Untuk melupakan siapa saja yang kutemui kemarin, hari ini atau besok pagi.
Seorang anak bangga karena memiliki gambar walikota yang tak kukenal namanya. Seorang anak masih terlalu muda usia untuk jatuh cinta dan memahami bahwa tak ada yang lain patut disyukuri selain memandang wajah kekasih.
Seorang pembuang sampah adalah kekasih biasa, hanya saja bau busuk kerap kali mengeruhkan rongga kepala dan dadanya.
Di tempat asing, sepi dan tersembunyi, kusentuh segenap dunia beserta penghuninya pada genggam tangan kekasihku*

Senin, 03 Desember 2012

aku,

Bintang yang jatuh di dekat mata kakimu.
Pecah memeluk tanah. Kau melangkah, membawaku
pada telapak kakimu, kalau kau sedang tak pakai sepatu.
Jalan jalanmu bercahaya, terasa manis.
Pejamkan mata, kubisikkan beberapa kata yang tak kaudengar dan
akan segera kaulupakan*

kuda kayu

Kuda kudaan kayu berbaris di trotoar. Seperti memandang jalanan dan semua yang lalu lalang. Kuda kudaan kayu tidak sendirian, tidak kesepian, tidak mengharapkan seorang anak mencoba menungganginya lalu merengek kepada orang dewasa di dekatnya, memohon agar kuda kudaan kayu boleh dibawa pulang.
Dari pagi hingga malam kuda kudaan kayu mengacuhkan segala sesuatu. Juga aku.
Yang menatapnya setiap ada waktu, berharap dalam diam, suatu saat kuda kudaan kayu akan menyenangkan seorang anak yang kebetulan lewat dekat trotoar di mana kuda kudaan katu berdiri tegar.
Tak ada yang butuh percakapan untuk menggambar sebuah lingkaran sempurna.
Kurasa aku perlu berterima kasih kepada ibuku karena ia tak pernah menemuiku untuk menuruti rengekan masa kecilku untuk menunggangi kuda kudaan kayu. Sebuah foto tua menunjukkan padaku seorang anak perempuan tersenyum di punggung salah satu kuda kudaan kayu paling bagus, badannya terbungkus semacam kulit coklat berbulu lembut, pelana dan tali kekang berhias manik manik dan irisan kaca, bundar dan bersinar.
Gambar gambar selalu mempertemukan siapapun yang sedang saling merindukan.
Dunia yang luas sekaligus sedarhana.
Kuda kudaan kayu tak perlu nama, atau mengingat wajah wajah kecil yang pernah menyentuhnya.
Maka aku kembali tersenyum tanpa sebab, atau karena aku sudah malas mengatakan bahwa hidup berayun ayun lembut di tangan waktu. Dan aku kembali mengingat ibu yang tak pernah membuatkan kenangan untukku*

Minggu, 02 Desember 2012

*

Seandainya bisa kutuliskan puisi terakhir untukmu, saat ini, bersama warna teduh dari balik jendela. Aku tidak tahu mesti menulis apa. Segalanya begitu mengalun, menyusup ke balik kulit, mengalir bersama darah di nadi nadiku.
Bagaimana menuliskan penyesalan.
Bagaimana menuliskan kebahagiaan.
Bagaimana menuliskan semua yang kuciptakan bersamamu, di setiap jalan.
Kita di bawah nauangan langit yang mungkin sama, mungkin berbeda. Bolehkah kupinjam matamu, atau kaucerikan saja caramu memandang angkasa, biru, awan, pohon pohon, angin. Aku mendengarmu.
Apakah yang mereka sebutkan, yang berharga dan akan digenggam ketika menemui ajal.
Mimpi tentang angsa putih yang terbuat dari roti, berenang renang di danau rasa stroberi. Sungguh mungil dan kekanakan.
Apa kau mengerti. Kau mengerti, aku sedang bercerita tentangmu kepada hatiku.
Rindu. Aku tidak menginginkan secuilpun dunia yang tak ada kau di sana.
Bukan cuma itu, selalu dan selamanya. Impian kekasih. Sepasang merpati, remah remah biskuit dan coklat hangat menodai baju kita.
Kita tak pernah menanamkan apa apa, kita tak akan pernah kehilangan apa apa. Aku mengutipnya, terasa indah.
Aku merentangkan lengan lebar lebar, terbang. Dan tak bertanya tanya lagi tentang jalan.
Kau, sangat mengerti, aku tidak berhenti*