Minggu, 09 Maret 2014

gado gado

kamu punya bakat melukis, kata penjual gado gado setelah melirik coretanku saat meletakkan sepiring gado gado pesananku. kuangkat wajahku dan tersenyum, tidak kuhitung berapa kali penjual gado gado telah mengatakannya, juga beberapa orang lain, seingatku, sering.
pada sebuah siang ketika penjual gado gado tidak sedang sibuk melayani pembeli, dia mengambil piring kosongnya. gado gadonya sudah kulahap habis. penjual gado gado sekali lagi melirik kertasku, sesaat kemudian dia malah mengamati coretan coretanku sebelum bertanya, kamu bisa menjahit.
ndak bisa, kujawab singkat.
kalau bisa menjahit mungkin bisa merancang baju.
aku tersenyum, merasa tak cukup tangkas untuk menjawab.
penjual gado gado masih belum beranjak. malah bercerita, kalau saya bisa menulis sajak, dulu jamannya masih sekolah sma, saya suka mengirim sajak ke radio. selalu dibaca.
wah, hebat, kukatakan dengan sungguh sungguh menatap wajahnya.
penjual gado gado tersenyum senang. segera membawa piring kosongnya berlalu dari hadapanku, ada seseorang mendekati gerobak dagangannya.
aku berharap pada suatu siang yang lain, siang yang senggang ketika aku dan penjual gado gado tidak sedang melayani pembeli. semoga aku tidak lupa untuk bertanya, kalau penjual gado gado tidak keberatan ingin kubaca salah satu atau beberapa sajaknya. mungkin rasanya selezat gado gadonya.
sebenarnya tidak penting sama sekali, sajak yang ditulis oleh seorang penjual gado gado yang tertarik pada gambar seorang perempuan penjaga toko. tidak ada yang penting, seperti setiap kenyataan ajaib yang sering menghampiri siapa saja yang kebetulan sedang dianugerahi rasa lapar bersama sepiring gado gado di tengah kegaduhan pasar jam setengah dua belas siang*