Senin, 31 Maret 2014

*

tak ada kebebasan atau keterikatan sejati. semua batas dan celah hanya ilusi. menarik hati dengan keras atau lembut, selebar kesadaran. semua batasnya juga ilusi. kalau kau tak percaya pada segala omong kosongku, sebaiknya akupun begitu, menggelengkan kepala sambil tersenyum, setengah dongkol setengah kasihan pada setiap omomg kosongmu. keadilan, tak lebih dari yang lain, ilusi. satu satunya kenyataan hanya dirimu sendiri.
muka kecil, tangan tangan kecil, kaki kaki kecil. coreng moreng, carut marut, kalang kabut. matamu cermin, mataku cermin. saat sepasang cermin saling menatap, apa harapan terbaik yang dapat dikatakan.
ada lebih banyak suara tak terdengar. ada lebih banyak gerak tak terlihat. ada lebih banyak hasrat tak tercurah. bila waktu dapat bicara atau menunjukkan kebenaran. bila memang ada yang demikian benar. tidak salah lagi kau dan aku pantas mati. cuma itu. tak ada yang dapat mengubah dunia, dunia tak butuh diubah. kau boleh menginginkan sebuah tempat atau penghargaan, itulah satu satunya caramu untuk menerima dunia apa adanya. aku bisa saja memuja sebatang rumput kalau begitu caraku memuja kehidupan. jika kau dan aku dengan tekun dan sungguh sungguh mengerjakan apa yang boleh dan bisa sepanjang hidiup, tak akan ada yang terluka, tak ada yang terhina, tak ada yang terhormat. tapi kau atau aku sangat mudah tergoda untuk saling bicara, kau tak boleh, kau tak bisa. sebuah tindakan yang dinamai bijaksana, entah siapa yang pertama memberi nama. bijaksana. tak apa apa. manusia telah begitu terbiasa menikmati hingga memuji hasil karya yang telah ada sekian lama. seperti ini, ilusi. serupa anak anak sekolah menengah mereka reka gambar obyek dan bayangan pada pelajaran sains. berapa cermin, cermin apa. cembung atau cekung, mata minus atau plus, bayangan sejati atau maya. aku tak tahu mainan kesukaanmu semasa kanak kanak. tak berminat tahu, tapi tahu, kebanyakan anak anak tak jauh beda denganku. pernah sangat gemar menggunakan teropong untuk melihat apa saja. cukup teropong mainan jika tak punya kesempatan menyentuh teropong sungguhan. meneropong jemari tanganku sendiri. meneropong laba laba serta sarangnya, meneropong sebutir gula, meneropong kecebong, meneropong langit siang dan malam, meneropong retakan pada dinidng rumah, meneropong goresan krayon pada selembar kertas, meneropong biji saga, meneropong sehelai bulu ayam. apa saja, selalu menakjubkan dan tak terduga saat dilihat dengan teropong mainan. bagian yang lebih seru mudah ditebak, menebak apa yang terlihat dengan menggunakan teropong sebelum meletakkan teropong di depan mata, benar benar melihat menggunakan teropong. lantas tertawa tawa dan terkagum kagum, seberapa seringpun menebak, berlatih dan belajar, belum juga pintar. selalu masih ada yang terabaikan. teropong mainan tetap unggul, selalu masih punya kejutan. sayangnya, semua mainan pasti akan aus atau menjadi membosankan atau melelahkan. bermain petak umpet mungkin akan terasa lebih seru. semua anak anak hingga dewasa cenderung melupakan waktu. sialnya, waktu tidak pernah melupakan siapapun. untungnya, selalu memberikan apa saja tepat pada waktunya. seandainya ada teropong hidung, wangi dan busuk dapat menguarkan aroma ajaib, tak terduga saat dicium menggunakan teropong hidung.
dunia rindu diterima apa adanya, kehidupan sangat berharap dipuja atau disegani setiap manusia yang belum mati. kau dan aku adalah satu satunya kenyataan yang menghidupkan ilusi, beribu ribu, berjuta juta, mungkin lebih. angka, tanda koma dan titik, seperti tak puas puas menghitung dirinya sendiri*