Jumat, 26 Oktober 2012

anak sapi

Mereka membeli ternak terbaik untuk disembelih besok pagi. Mereka menyebutnya berkorban. Tanpa kesedihan. Adakah korban tanpa kesedihan. Jadi apa gunanya tuhan, tak ada yang harus dicurahkan surga, tak ada yang perlu dihibur karena kehilangan.
Mungkin aku salah. Aku pernah mendengar kisah seorang ayah hendak menyembelih anaknya.
Kalau suatu hari aku kelak aku siap berkorban, akan kubeli seekor sapi betina yang baru disapih. Kurawat dengan tanganku sendiri, kuusap hidungnya paling sedikit sekali sehari. Setelah sapi betina dewasa akan kubawakan sapi jantan paling gagah untuk menjadi kekasihnya.
Ketika sapi betinaku mengandung akan kujaga seperti kujaga anak perempuanku. Menemaninya waktu kesakitan melahirkan anak sapi, yang kusambut layaknya cucuku sendiri. Melihat anak sapi menyusu, berdiri dengan keempat kakinya, mula mula gemetar hingga kokoh menjejak tanah. Berlarian riang, gemerincing lonceng pada tanduk kecilnya. Kupandangi lekat lekat kasih sayang seorang ibu sejati pada sepasang mata seekor induk sapi.
Dua tahun kemudian kalau aku cukup tegar mungkin aku bisa berkorban. Menyerahkan anak sapi yang telah tumbuh menjadi sapi muda, sehat dan tampan, buah hati sapi betinaku untuk disembelih. Sebelumnya tentu aku harus berani mengatakan apa yang akan kulakukan kepada induknya, dengan sungguh sungguh, dengan menatap lurus ke dalam matanya di mana akan kulihat setiap kenangan tentang kelahiran dan masa kecil sapi muda yang akan segera mati.
Hari berkorban akhirnya datang. Aku dan induk sapi berkata dalam hati, sapi muda pasti masuk surga. Tuhan sendiri yang akan menyabit rumput untuk memberi makan sapi muda yang tidak kehilangan dunia.

Hanya sebatas itu, tak mungkin aku berniat menyembelih anakku sendiri seperti seorang ayah kesayangan tuhan yang kisahnya pernah kudengar*