Selasa, 16 Oktober 2012

234

Kematian menamaiku kehidupan.
Kepulangan menamaiku kepergian.
Kehilangan menamaiku keadaan.
Kegelapan menamaiku terang.
Kau menamaiku alamat, seraut wajah, senada suara, sederet angka. Kepalaku mengembang, memenuhi jendela jendela terbuka. Manyun seharum tanganmu. Kedunguan mengetuk pintu ketika kuimpikan sepiring hidangan hangat yang pernah dimasak si mati.
Apakah serupa roti yang pernah dilipat gandakan di bukit bukit. Pendengar kelaparan tanpa bekal. Kusimpan di ruas tulang, malam secerah bulan. Menepilah si mati berjubah jingga, luntur oleh kabut, menjadi teman akrab bercengkrama. Detak detak tak lagi sendirian.
Tikus kecil menerobos di bawah pintu memadamkan kesepian. Kukatakan aku sehat dan senang. Kunamai kau kekasih. Kekasih membalas kebaikanku, sekali lagi menamaiku kesunyian. Serupa lantai terinjak injak tanpa mengelak, tanpa perlu mengenal ketabahan. Kesunyian mestinya mengepulkan asap, memenuhi paru paruku dengan penunjuk waktu, lalu tersenyum*