Senin, 30 September 2013

*

ia patut bersyukur, segala yang terhampar di hadapannya selalu lebih cantik dari pada yang diingatnya. lingkaran lingkaran hitam berjari jari perak terus menerus berputar melintasinya. begitu tidak peduli. tidak mengganggu, tidak melindas atau menabraknya. mereka punya jalan terbentang yang tak tahu seberapa panjangnya untuk terus berputar sampai tujuan. ia memiliki sebuah sudut lentur yang selalu dapat menyempit dan meluas sesuai harapannya untuk merasa nyaman. berdiri, duduk, bersandar atau terlentang. membuka atau menutup kedua kelopak matanya untuk melihat kenyataan. seluruh kenyataan yang memandangnya penuh rindu dan permohonan agar tangannya terentang lebar, telapak tangannya terbuka, jemarinya mekar. seolah olah siap memeluk setiap yang mendekat, yang merapat ke dalam jarak rengkuhannya. ia tidak menghindar. silau dan pekat bergantian mengajaknya tinggal dalam kekaguman, untuk seluruh terang dan gelap. ada kerlip atau bayang yang menampilkan setiap khayalannya, seperti pertunjukan tanpa akhir. sangat memikat, mengurungnya dalam kebebasan. ia merasa serupa gunung, yang ingin didatangi. manusia rela menempuh banyak kusukaran untuk mendaki sampai puncaknya. berlumpur. berdebu. ditumbuhi segala macam perdu dan pohon, tempat hidup dan sembunyi betjenis jenis mahluk, lazim dan langka, semua ada dan senang tinggal di sana. peluh para pendaki menetes, membasahinya. langkah langkah menginjaknya, mengacaukan jejak dan debu pada sekujur tubuhnya. ia tak tahu cara mengeluh. ia tak tahu apa itu mengeluh. sepatutnya ia bersyukur. kalau ia tahu apa dan bagaimana itu bersyukur. mereka berkata ia telah kehilangan akal. kalau ia gunung, ia tidak mencari akal untuk meletus. kalau ada yang tidak suka melihat gunung, katupkan saja kelopak mata atau memalingkan wajah atau membalikkan badan. gunung tidak berpindah tempat. kalau begitu ia bukan gunung. rupanya betul. masa gunung naik gunung. ia tersenyum sinis, pandangannya menghujamku dengan desisan tajam, kau gila, berpura pura gila. memangnya bisa. ia tidak menyingkir untuk memberiku jalan. waktunya meledak. ia tidak layak menjadi sasaran sebuah dendam. ia seperti tidak pernah bersalah. bahkan bau busuknya yang menusuk dari segala arah lebih membangkitkan naluri kemanusiaan yang suka mencuci ketimbang amarah. aku, aku berharap ia tertidur pulas ketika sekitarnya hancur. tidak mengingat apapun ketika terbangun. seperti yang selalu, segala yang terhampar di hadapannya selalu lebih cantik dari pada yang bisa diingatnya. roda roda berputar seperti biasa meskipun aku tiada. ia baik baik saja*