Kamis, 19 September 2013

*

ungkapan sengaja dibuat demi keterlaluan. seandainya aku kucing, kebetulan pula kritis. aku akan muak pada sembilan nyawa yang kupunya. apakah kemuakan mahluk bernyawa sembilan serupa rasanya dengan kemuakan mahluk yang cuma memliki satu nyawa. aku tak tahu itu. apa gunanya sembilan nyawa untuk satu tubuh. bisakah nyawa melahirkan tubuh, memahat bentuk dari ketiadaan, mengembalikan keutuhan kepada kehancuran. tubuhku lelah dibebani sembilan nyawa. nyawa tidak berdaya. sembilan nyawa tidak berguna, kecuali bisa menciptakan tubuh. kehidupan tanpa tubuh lebih menyedihkan dari pada kematian. baguslah kalau aku mati keracunan, atau ternggelam di sumur, atau terseret deras arus sungai atau laut. atau cara mati lain apapun, asal tubuhku utuh, sembilan nyawa dapat dipakai melanjutkan hidup. lain halnya kalau kematianku disebabkan terlindas truk atau diterkam mahluk lain sampai leherku nyaris putus. berapapun nyawa kupunya cuma sia sia. bangkit dari kematian dengan tubuh remuk, lebih pantas disebut kutukan. kutukan memuakkan. masih pula dihantui angan angan mengulang kematian. semua mahluk tidak suka mengangankan kematian, apalagi jika harus mati sampai sembilan kali. seekor kucing biasanya tidak kelihatan gagah perkasa, mungil, lucu, ingin dibelai sesering mungkin, manja dan pasrah. jauh dari gambaran seekor pemilik nyawa dengan jumlah tidak wajar. entah bagaimana ungkapan kucing bernyawa sembilan bisa diterima akal. aku bisa bersuara kucing, begitu mirip, hingga kucing kucing sejati berpaling, menatapku seakan akan menanti kulanjutkan keliamat bahasa kucingku. cuma sampai di situ. aku tidak berminat menjadi kucing. tidak akan bisa, tidak akan pernah menjadi kucing. senang rasanya bisa bersuara kucing tanpa menjadi kucing*