Senin, 27 Januari 2014

*

kekosongan mengusirku dengan kejam. tak tahu bagaimana caranya, hanya terasa kejam. kekosongan tak ingin menjadi yang lain, kecuali dirinya sendiri. untuk melewatkan waktu atau menghibur diriku, aku mencari perumpamaan tepat mengenai keterusiran yang kurasa kejam. kekosongan serupa tiram, hidup, utuh, lengkap dengan cangkangnya, berada pada habitat semestinya. aku partikel yang melayang bersama gelombang lautan, entah sejenis apa, debu, plankton, atau segala macam serpihan yang biasa terhanyut air laut. gelombang membawaku memasuki cangkang tiram yang kebetulan sedang terbuka. aku mendarat pada daging tiram, aku tak tahu pula nama atau sebutan yang lebih tepat untuk segumpal kelembutan yang berdenyut dan hidup di dalam cangkang tiram. jika aku bisa mendarat padanya, kubayangkan akan kurasa serupa membaringkan tubuh di atas setumpuk selimut, mungkin kurang tepat karena di sana basah dan licin. mirip, setumpuk selimut satin yang belum kering sehabis dicuci, empuk, sejuk, berwarna dan berkilau lembut. kelebihannya, hidup. mestinya aku boleh diam di sana, selama yang kubutuhkan, hingga tiram menutup cangkangnya. dan entah bagaimana tiram akhirnya mengubahku menjadi sebutir mutiara. begitulah kisah yang lazim dan selalu terjadi di samudra. tapi, tiram yang kuandaikan kekosongan ini bukan tiram biasa, dia pilih pilih, tak sudi menelan atau mengijinkan semua yang melayang pada gelombang memasuki cangkangnya. ya, beginilah yang terjadi, kekosongan mengusirku, tidak mengijinkan aku memasukinya, tidak mebolehkan aku diam di dalamnya. apapun juga sebenarnya aku, hanya melayang selamanya, mendekati dan menjauhi, tidak pernah masuk dan menjadi bagian dirinya. kekosongan tak mau aku menjadi cantik dan berharga, serupa mutiara. apapun adanya aku, kekosongan tak sudi menerima, apalagi mengubahku menjadi bukan aku, yang lebih dari aku. apakah ini nasib atau takdirku, atau kekosongan itu. semua bisa saja benar sekaligus tepat. kekosongan mengusirku, sangat kejam. aku mau pulang, kalau dapat mencegah diriku tidak melayang. tidak, lagi lagi tidak, aku tak bisa pulang. kekosongan dan rumah adalah dua hal berbeda, yang pertama mengusirku, yang kedua tiada. aku jadi mirip gelandangan yang melayang layang. gelandangan tak berumah, tak bisa terbang atau mendarat pada tempat yang diinginkan. gelandangan seharusnya tidak ringan, tidak sangup melayang layang, di darat, air atau udara. telah kutambahkan lagi, sebuah perumpamaan yang salah. tak ada yang marah, tak ada yang bisa marah kepada kesalahannya sendiri. tidak sampai hati. sesudah semua usahaku menghibur diri tidak berhasil, waktunya habis. aku tersenyum sinis, masih kusimpan harapan terakhir, ada yang melihatku, bersedia menyia nyiakan waktu sejenak, untuk mengatakan sesuatu. sesuatu yang seperti, senyummu manis. basa basi atau sepenuh hati, aku tak peduli. kadang kadang, seorang manusia lebih menginginkan kejutan yang murahan dari pada niat mulia untuk memberi yang berharga. gelandangan yang sedang melayang akan lebih baik cuma sekedar diberi sebatang coklat ketimbang sebatang emas. sebatang coklat dapat segera dilahap, menghangatkan lambung, meredakan kecemasan dalam sekejap. sebatang emas dapat sangat merepotkan, gelandangan mesti berusaha keras berhenti melayang, berjalan keluar masuk ruang untuk menukarkan sebatang emas dengan uang atau makanan. kemungkinan terburuknya, seorang geladangan yang tiba tiba membawa bawa sebatang emas bisa diduga hingga dituduh memperoleh sebatang emasnya dengan cara tidak wajar, bisa mencuri, merampok, atau cara lainnya yang semua tidak bagus. sisi baiknya, hampir pasti tak ada seorangpun yang mau memberikan sebatang emas kepada gelandangan yang sedang melayang. jadi harus berkata apa, rasanya tak ada yang salah. kekosongan itu masih membuka tutup pintunya serupa cangkang tiram, tak mau diam. seperti seorang tua kesepian yang tidak dapat berhenti menggumam. hiii, aku harus menjelma menjadi lalat kalau ingin masuk ke dalamnya*