Selasa, 26 November 2013

*

apa bedanya manusia dengan serangga. di musim hujan semakin nyata, keduanya terpikat terang dan kehangatan. ukuran dan bentuk fisiknya jauh berbeda, hasratnya sama. manusia lebih beruntung dalam segalanya, tidak pernah gegabah menuruti hasratnya hingga merontokkan bagian tubuhnya atau hangus terbakar seutuhnya. mungkin aku salah. mungkin laron laron lebih beruntung, bebas menuntaskan hasratnya hingga tiada. laron laron tidak tahu bahaya terbang terlalu dekat lampu atau nyala api, mungkin mereka tahu dan memutuskan tak jadi soal masti kehilangan sayap atau nyawa sekalipun, demi memuaskan hasrat. apa nikmatnya hidup dan utuh dalam kegelapan dan kedinginan. bagaimanapun kepala dan dada bangsa serangga sangat mungil, tidak muat ditempati otak, terlalu sempit untuk berpikir. seandainya ada serangga punya jantung, pasti sangat kecil, tak terdengar detaknya. dan mereka tak punya telinga, tak mendengar suara suara dari luar. hidup hanya dengan naluri melaksanakan kehendaknya. dari mana dan di mana kehendak berasal juga tidak terbayangkan saat memandangi mereka berjatuhan. adakah manusia yang menanyakannya berulang kali, setiap musim hujan. mungkin tidak mengharapkan jawaban. hanya berharap tahun depan masih ada musim hujan, lampu menyala, laron belum punah dan tidak mengubah tabiatnya. apakah itu kejam. manusia berotak akan menggunakan akalnya dan berkata, itu cuma sebuah cara untuk melihat kehidupan. masih ada cara lain, tapi yang lebih mudah dan sederhana patut dikerjakan. selama manusia belum dapat mengerjakan yang serupa dengan laron laron, menyia nyiakan hidupnya demi mendekati terang dan kehangatan, mengamati saja cukup menghibur. suatu ketika mungkin manusia akan belajar dan memahami bagaimana atau betapa bodohnya, menerjang dan menanggung semua resiko demi berada sangat dekat dengan terang dan kehangatan. sangat sebentar pula. tak ada laron bodoh atau pintar, semacam ungkapan rasa keadilan atau belas kasihan untuk kehidupan. hanya untuk manusia, bukan serangga*