Sabtu, 14 Desember 2013

friday 13th

aku ingin mencintai sebuah kursi. yang kududuki setiap hari. tidak menghindariku atau mengerjakan sesuatu yang membuatku terpaksa berdiri ketika sedang berada di dekatnya dan ingin duduk. kurasa semua kursi pada hakekatnya memang ada karena diciptakan sebagai tempat duduk. tempat meletakkan pantat, hingga terasa hangat. menyangga beban tubuh pada saat kaki merasa lelah. tapi tadi, kukatakan ingin mencintai sebuah kursi. setelah dicermati kutemukan ketidak adilan pada kalimatku. hanya sebuah kursi yang ingin kucintai, telah terlanjur kutuliskan. kursi kursi lain yang bukan sebuah kursi yang kumaksud pada kalimat pertama seolah olah bukan kursi, atau tak kuingat sebagai kursi. yang pasti sama persis dengan sebuah kursi yang ingin kucintai, tidak pernah menghindar atau memaksaku tetap berdiri saat ada di dekat mereka dan ingin duduk. alangkah baikmya kenyataan, bahwa kursi tidak berakal budi, seluruh kursi tak akan merasa terzalimi ketika mereka membaca tulisanku yang ternyata gagal total dalam misinya, ingin terbaca berwatak bijak, berwawasan dan penuh cinta kasih. dan sekarang aku malah menanggung karma dari satu kalimat yang kususun sembarangan. aku merasa harus pongah dan bejiwa besar dengan menciptakan sanggahan, bukan begitu tujuan sebenarnya aku menulis ingin mencintai sebah kursi. tak ada harapan menimbulkan kesan terpuji untuk diriku sendiri. aku cuma menulis. aku ingin mencintai sebuah kursi mengalir begitu saja dari dalam kepalaku, menggerakkan jemariku untuk memilih huruf, menyusun kata, merangkai kalimat. dan tiba tiba terbacalah olehku tulisanku itu. aku ingin mencintai sebuah kursi, kalau tahu bakal begitu pelik urusannya mending kutulis yang lain. misalnya, aku ingin mencintai segelas kopi. kopi berbeda dengan kursi, semut saja tahu. kursi benda padat. kopi benda cair. bagaimana dengan segelas kopi. benda cair dalam wadah benda padat, masih ada tambahan yang berpeluang diperdebatkan, bisa ukuran atau rasa. aku jadi khawatir segelas kopi nantinya malah lebih berbelit ketimbang sebuah kursi. sebuah kursi dan segelas kopi benar benar sedang ada di sini, menemaniku yang sedang ribet sendiri. diam bersama semua benda di dalam kamar. tidak menuntut atau menanti kalimat apapun. diam karena benda mati. benda mati selalu mati, tidak tahu menahu soal penderitaan akibat berdiam diri. hmm, akhirnya, pada akhirnya tidak ada yang berakhir. aku tidak pantas menyesali diri karena hidup dan sempat menulis ingin mencintai sebuah kursi, lalu segelas kopi. paling tidak aku dapat berharap lain kali akan lebih baik tidak mengawali sebuah kalimat dengan susunan kata serupa, aku ingin mencintai. tiba tiba aku ingat kalimat itu tidak orisinil, sudah teramat sering dituliskan orang lain, dan pesimis. kubayangkan seorang manusia yang mencintai sebuah kursi saja masih sekedar ingin, payah sekali. cuma sebuah kursi, langsung saja dicintai, sebuab kursi tak akan beraksi atau bikin patah hati. akhirnya, sekali lagi pada akhirnya, kutemukan keasyikan mengolok olok diri sendiri. wah, tak kusangka pada akhirnya begini. menuliskan sebuah kalimat puitis, bisa dibaca rumit, ternyata memberiku kesempatan nikmat, mengolok olok diri sendiri. aku merasa jenaka dan tidak jera. aku ingin mencintai sebuah jam dinding. aku ingin mencintai meja. aku ingin mencintai asbak. aku ingin mencintai sebotol air. aku ingin mencintai... banyak sekali yang ingin kucintai. tak bakal habis kutulis. jika mau lebih hebat, dapat kutuliskan tanpa kata ingin. jadinya, aku mencintai saja. pantas saja aku suka menulis. aku mencintai sebuah piring. aku mencintai sendok. aku mencintai garpu. aku mencintai semangkuk mie. aku mencintai sebotol vodka. aku merasa luar biasa dengan kalimat kalimatku. hebat sekaligus bejat. sifat alami seorang kaisar.
aku mencintai setetss dosa yang mengantarku ke bilik pengakuan. aku mencintai masa lalu. ruang sempit dengan pembatas bertirai. seorang pendengar menungguku mengatakan, aku menyesal dan ingin bertobat menyambut natal. aku mencintai kebohongan. menukar tempat hasrat dengan sesat. aku mencintai kedunguan, juga kebingungan. tidak ada ingin. hanya mencintai.
begitulah cara yang kupelajari untuk membebaskan diri dari penderitaan akibat berdiam diri. diri itu siapa atau apa. kenapa bukan duri. dia menusukku berkali kali, dengan kata mencintai. .
aku menunggu ada yang mengumpatku. kata katanya cerdas dan merdu, pukima. semula kukira bahasa italia atau belanda atau jepang. menggetarkan dan bikin ketagihan. aku belajar mengulang kesalahan. aku mencintai kebodohan. pada akhirnya, sekali lagi belum berakhir. mulai terasa mirip berzikir. aku mencintai tarian lidah. aku mencintai selada. aku mencintai rumah sakit jiwa. aku mencintai logika. aku mencintai angka. aku mencintai koma. ada yang tidak mati. selada. selalu ada. 
hehe, nikmatnya berlagak gila. sebuah kursi yang ingin kucintai sungguh baik hati*