Minggu, 19 April 2015

repeat

Begitulah. Semua ilusi. Seperti pagi atau malam, seolah olah semua manusia berangkat bekerja atau terbuai mimpi. Padahal para penganggur berkeliaran, tersebar, berdiri, berjalan, duduk atau tidur tiduran sepanjang hari. Dan mimpi tak punya kehendak dan tak ada kemampuan membuai manusia, sebaliknya manusialah yang membuai mimpi mimpinya, Dengan dalih mimpi adalah kunci, persis penggalan syair lagu. Kunci apa, apa guna kunci jika tak tahu apa yang ingin dibuka atau ditutup. Hati. Ah, itu terlalu imajinatif. Lihat saja bapak itu, usianya telah begitu uzur, sulit menerima kanyataan ada manusia menghabiskan berpuluh puluh tahun hidup hanya dengan mengulurkan tangan minta sedekah. Ibu itu, tak jauh beda, sehari dua kali, pagi dan sore, mengacak tempat sampah, memulung kerdus bekas dan gelas plastik bekas kemasan air mineral.
Jadi sebaiknya merasakan apa, kesia siaan atau kekaguman. Tidak tepat. Semua ilusi, hanya ilusi, cuma ilusi. Sudah tertulis di kitabnya, sia sia segalanya, seperti menjaring angin.
Yang hujan turun lagi. Lagu itu lagi. Tak apa hanya ilusi.
Tepat sekali ilustrasi yang digambarkan sebagai ide dan gagasan  yang keluar dari dalam kepala manusia, sebuah gelembung berisi lampu pijar, menyala, melayang dekat kepala. Seandainya bisa dipadamkan dengan menekan sebuah tombol. Apa gunanya kunci. Tidak penting. Asal lampu pijar dalam gelembung melayang dapat dipadamkan. Pecahkan dulu gelembungnya, lampunya akan jatuh ke lantai, lantas pecah. Jadi gelap. Gelap, tak ada lagi ide, tak ada gagasan. Semoga segalanya kembali seperti semula. Ya, gelembung berisi lampu pijar yang melayang layang dekat kepala menimbulkan kecemasan. Pecah dan padam. Setelah tiada ternyata hanya tiada, seperti segala yang pernah ada, akhirnya tiada.
Sehangat pelukan, tiada jarak, tiada keraguan, tiada keterikatan sekaligus tiada kebebasan. Bahkan tak saling pandang. Terbenam. Senja selalu menawan. Dunia berputar. Terbenamnya matahari juga ilusi, bahkan langit tak peduli, rona cantiknya benar benar nyata. Senja afalah kebahagiaan atau kesedihan yang terbenam, jika matahari adalah mata hati yang sinarnya sedang teralingi, bumi berputar dan bergerak melingkar, air matanya sungguh sungguh basah.
Yang hujan turun lagi. Lagu itu lagi*