Begitulah.
Semua ilusi. Seperti pagi atau malam, seolah olah semua manusia berangkat
bekerja atau terbuai mimpi. Padahal para penganggur berkeliaran, tersebar,
berdiri, berjalan, duduk atau tidur tiduran sepanjang hari. Dan mimpi tak punya
kehendak dan tak ada kemampuan membuai manusia, sebaliknya manusialah yang
membuai mimpi mimpinya, Dengan dalih mimpi adalah kunci, persis penggalan syair
lagu. Kunci apa, apa guna kunci jika tak tahu apa yang ingin dibuka atau
ditutup. Hati. Ah, itu terlalu imajinatif. Lihat saja bapak itu, usianya telah
begitu uzur, sulit menerima kanyataan ada manusia menghabiskan berpuluh puluh
tahun hidup hanya dengan mengulurkan tangan minta sedekah. Ibu itu, tak jauh
beda, sehari dua kali, pagi dan sore, mengacak tempat sampah, memulung kerdus
bekas dan gelas plastik bekas kemasan air mineral.
Jadi
sebaiknya merasakan apa, kesia siaan atau kekaguman. Tidak tepat. Semua ilusi,
hanya ilusi, cuma ilusi. Sudah tertulis di kitabnya, sia sia segalanya, seperti
menjaring angin.
Yang hujan
turun lagi. Lagu itu lagi. Tak apa hanya ilusi.
Tepat sekali
ilustrasi yang digambarkan sebagai ide dan gagasan yang keluar dari dalam kepala manusia, sebuah
gelembung berisi lampu pijar, menyala, melayang dekat kepala. Seandainya bisa dipadamkan
dengan menekan sebuah tombol. Apa gunanya kunci. Tidak penting. Asal lampu
pijar dalam gelembung melayang dapat dipadamkan. Pecahkan dulu gelembungnya,
lampunya akan jatuh ke lantai, lantas pecah. Jadi gelap. Gelap, tak ada lagi
ide, tak ada gagasan. Semoga segalanya kembali seperti semula. Ya, gelembung
berisi lampu pijar yang melayang layang dekat kepala menimbulkan kecemasan. Pecah
dan padam. Setelah tiada ternyata hanya tiada, seperti segala yang pernah ada,
akhirnya tiada.
Sehangat pelukan,
tiada jarak, tiada keraguan, tiada keterikatan sekaligus tiada kebebasan. Bahkan
tak saling pandang. Terbenam. Senja selalu menawan. Dunia berputar. Terbenamnya
matahari juga ilusi, bahkan langit tak peduli, rona cantiknya benar benar
nyata. Senja afalah kebahagiaan atau kesedihan yang terbenam, jika matahari
adalah mata hati yang sinarnya sedang teralingi, bumi berputar dan bergerak
melingkar, air matanya sungguh sungguh basah.
Yang hujan turun lagi. Lagu itu lagi*