Dini hari. Kopi dalam gelas kuhabiskan.
Hari baru
sudah datang, tanya hatiku. Hanya hatiku yang belum
bisu, yang gemar bertanya ini itu. Suaraku sudah pergi, berkelana mencari sepasang telinga masih
terjaga. Kepadanya suaraku ingin berbisik,”Sebentar lagi pagi, aku belum tidur, tak pernah bisa diam sebelum
kaubungkam dengan ciuman.”
Telingamu
sudah pulas. Kopi dalam gelasmu setengah penuh. Seperti biasa, tidak sengaja kausisakan,
untuk dini hari untuk kuhabiskan pada suatu hari. Saat kau terjaga nanti,
gelasmu akan bernyanyi,”Ijinkanlah kukecup keningmu, bukan hanya ada di dalam
angan…”
Suaraku
masih di sana, diam diam menunggu kau menggeliat, menggumam ke arah gelas,”Duh…berisik…”
Kemudian kau kembali lelap setelah menguap.
Telingamu
tak mendengar suaraku mengeluh,”Kau mestinya tahu, seorang peri yang sakit hati
telah mengutukku jadi putri tidur dalam hatimu. Serasa beratus ratus tahun kunanti
sebuah kecupan.”
Selamat
pagi. Dua gelas kopi bertukar salam dari kejauhan, melangkahi kekosongan. Satu
di sini, yang lain di sana. Seperti pohon pohon di tepi jalan, seperti diam
seperti berlari mengikuti. Melintasi jalan bebas hambatan, melewati kemacetan,
menaklukkan kepenatan. Hatiku menunggu suaramu datang, mengantarkan suaraku
pulang, bukan hanya dalam mimpi. Seperti aku menunggu, terjaga dalam hatimu,
terlelap dalam pelukmu*