Jumat, 26 Juni 2015

kicauan sigaret

Namaku sunyi.

Benarkah, siapa memberimu nama sunyi? Puitis sekali.

Seorang artis.

Siapa namanya?

Dia mestinya manis, dia memberi nama kucingnya manis.

Jadi, artis itu menamai kucingnya manis. Dia yang menamaimu sunyi. Lantas, siapa namanya, artis itu?

Artis itu…hm…aku tak tahu, mungkin dia belum menamai dirinya sendiri.

Tak ada artis tak bernama. Bagaimana dunia akan mengenalnya, dia artis.

Mungkin karena dia artis. Dunia malah tak kenal dia sama sekali. Selama ini dia selalu memerankan orang lain.

Tidak masuk akal.

Semua yang diperankannya hanya tokoh tokoh dan karakter kepunyaan seseorang yang telah diberi nama oleh penulis naskah. Tak ada artis memerankan dirinya sendiri, hingga namanya tak tertulis dalam semua naskah yang pernah dibacanya.

Tak ada seorangpun yang sejak lahir menjadi artis. Tak ada seorangpun yang menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk bekerja, memainkan peran dan tokoh tokoh dari naskah. Sekalipun dia artis, meskipun artis terbaik, mestinya dia tetap punya nama dan kesempatan untuk menjadi dirinya.

Apakah mesti punya nama untuk menjadi dirinya.

Ahhh…tolol sekali kau. Pertanyaan macam apa itu.

Namaku sunyi. Aku tak kenal diriku sendiri. Tak pernah menjadi diriku sendiri. Sunyi hanya sebuah nama. Seperti kucing si artis, manis.

Manis adalah nama seekor kucing.

Jika bukan kucing apakah namanya tetap manis, atau mungkinkah dia tetap seekor kucing saat tak bernama manis.

Kau mengacaukan kenyataan dengan pertanyaan. Segalanya mungkin. Tapi apakah layak mengabaikan kenyataan hanya demi kemungkinan samar.

Manis memang seekor kucing. Tetap seekor kucing meskipun tak bernama manis.

Kenyataannya kau dan aku tak tahu ada berapa ekor kucing di bumi. Dan tak semua kucing bernama manis. Banyak kucing gelandangan, tak bertuan, maka tak ada yang memberi nama.

Jadi kucing tetap kucing, meskipun misalnya namanya pahit, atau tak bernama. Nama tak akan mengubah seekor kucing menjadi bukan kucing. Bahkan tak butuh nama untuk menjadi seekor kucing.

Hm…bisa jadi memang demikian. Begitulah nyatanya.

Kau lebih suka jadi kucing atau artis?

Kau berisik, namamu tak cocok dengan karaktermu. Namamu sunyi, tapi kau ribut sekali.

Namaku memang sunyi, sudah kubilang aku tak kenal diriku sendiri. tapi semua boleh kan jadi artis.

Ah…sudahlah. Kau plin plan dan menjengkelkan.

Kau boleh memanggilku plin plan atau menjengkelkan, kenyataannya namaku sunyi, aku tak kenal diriku sendiri.

Apa gunanya memiliki sebuah nama untukmu. Kau tak tahu nama artis yang memberimu nama, bahkan tak kenal dirimu sendiri.

Nah…

Nah…apa maksudnya?

Apa artinya sebuah nama. Namaku sunyi. Aku tak bertanya dan tak peduli kau siapa. Begitu pula dengan si artis yang memberiku nama, aku tak butuh namanya, tanpa nama dia tetap artis.

Lantas kenapa kau memulai percakapan dengan memperkenalkan namamu padaku. Kau yang mulai bicara, dengan naïf kau berkata, namamu sunyi.

Aku merasa kau kesepian dan ingin bicara dengan seseorang, sejenismu, yang tahu namanya tapi tak kenal dirinya.

Kau berprasangka atau sengaja hendak mengejakku.

Tidak keduanya. Hanya merasa.

Aku tak percaya. Dan artis yang memberimu nama, sebenarnya pasti punya nama. Kau saja yang tak tahu.

Kau tak salah, aku memang tak tahu. Sudah kukatakan, dan kau pasti mengerti. Tentang nama artis yang menamaiku sunyi. Aku tak tahu namanya, kukatakan mungkin dia tak bernama, tapi aku tahu si artis menamai kucingnya manis, kudengar sendiri dia memanggil dan menyapa kucingnya dengan nama manis, berkali kali setiap hari. Aku tak mengerti, kenapa kau jadi gusar dan kesal dengan semua yang kukatakan. Tadinya kuharap percakapan kita akan membuatmu senang.

Sunyi yang tak kenal dirinya sendiri, plin plan dan menjengkelkan. Tak ada seorangpun akan senang bicara denganmu. Tak tahu tapi sok tahu. Mending aku diam, tak buang buang waktu bicara denganmu.

Sungguh?

Masih tanya lagi.

Baiklah, aku akan diam mulai sekarang. Namaku selalu sunyi.

Sunyi yang tak sunyi, sunyi tak tahu diri. Tak kenal diri sendiri. Ihh...

Teng teng teng. Kudengar seseorang mengayunkan sebongkah batu, memukul tiang besi sebanyak tiga kali, di sebuah perempatan, jalanan sepi. Begitu pula di sini. Apakah sunyi benar benar sudah pergi? Seekor burung bersuara parau singgah sebentar di atas sebatang dahan, sesaat kemudian terbang lagi menembus malam. Atau namanya dini hari? Jam tiga pagi jadi latah, ikut ikutan bertanya, mungkin masih terlena suasana percakapan yang baru terjadi. Percakapan antara sunyi dan sebuah suara, tentang nama, kenyataan, kemungkinan, perasaan, prasangka, pengetahuan. Ah, semua tak berarti, betapa mujurnya aku, selama percakapan berlangsung, setangkup bibir hangat mengapitku tak terhitung kali.

Terasa manis, sungguh sungguh manis. Semua tentu paham, manis yang kurasa sama sekali tak sama dengan manisnya seekor kucing yang diberi nama oleh seorang artis. Kukira akulah satu satunya yang bahagia, karena pasrah dan setia menemani siapa saja. Tak ada yang dapat menyangkal, aku teman terbaik yang selalu siaga, aku tak pilih pilih, tak pernah mengeluh. Sampai sampai teman temanku rela mempertaruhkan hidupnya demi menghabiskan waktu bersamaku. Semua yang mau menjadi temanku tak gentar ssdikitpun pada bujukan musuh musuhku, tak satupun temanku percaya aku berniat mengkhianati mereka, apalagi membunuh. Dan sebagai imbalannya, kurelakan diriku seutuhnya, kuberikan segenap diriku untuk menjaga, menemani, menghibur dan menyakinkan teman temanku. Tak ada yang pantas dicemaskan, api tak menyiksaku. Api yang disulut teman temanku menyala menerangi jalanku dan teman temanku. Kami menikmati waktu. Panas, pengap, asap, racun, penyakit dan kematian hanya nama nama yang mereka berikan untuk kenikmatan, kehangatan, kesetiaan, ketulusan, keikhlasan dan kehidupan yang tersedia untuk kebersamaan kami. Mereka yang tak mengenalku.


Aku bukan jam tiga pagi yang sempat hanyut dalam percakapan tentang nama atau mengenal diri sendiri, suara, sunyi, si manis atau artis. Aku hanya peduli pada teman temanku dan kebersamaan kami. Teman temanku sangat berarti, api dan terbakar habis sama sekali bukan pengorbanan, dibanding dengan yang kudapat dari teman temanku. Kepercayaan. Mereka mengijinkanku mengunjungi rongga dadanya, mampir di lorong napasnya. Hingga sempat kudengar apa yang tak terucap lisan atau tertulis tangan. Semacam doa atau harapan yang tersembunyi, terpahat di ruas tulang untuk menepis segala ketakutan. “Ya Tuhan, lindungilah aku dari diriku sendiri,” lantunannya sayup sayup kudengar, kalau aku tak salah. Tak dapat kujelaskan panjang lebar, hanya saja aku merasa sedikit lebih paham, pahatan di ruas tulang itu menyebabkan teman temanku tak meragukan ketulusanku, teman temanku mengenal yang bernama tuhan. Namanya terpahat pada ruas tulang semua teman, tak luntur dan selalu kudengar. Siapapun dia, tuhan itu, mengenal semua ruas tulang yang memahat namanya dan mengharapkan perlindungannya. Sempat terpikir olehku sesaat sebelum api mengubahku jadi asap dan abu, seandainya aku memiliki tulang seperti teman temanku, mungkin aku masih utuh, tak mudah terbakar, tak begitu cepat tergeletak pada sebuah asbak*