Senin, 06 April 2015

mata lumpur

Musim dan kucing, bertemu di teras rumahku, di jejak langkah berlumpur. Aku merenung, semakin dalam, semakin buram. Hujan telah usai, dunia masih basah, serupa kanak kanak baru beranjak dari bak mandinya, tubuh dan rambutnya harum, bersih, sejuk, meneteskan air.
Ada yang ingin kutanyakan, tapi belum teringat. Aku terpaku, seakan debu di sebuah sudut yang tak tersentuh. Mendesah tanpa makna, terpikir saja olehku,”Benakku tak berpintu.” Segala boleh datang dan pergi tanpa permisi, semua boleh mampir sejenak atau lama. Dan aku bahkan belum mampu mengingat yang mestinya kuingat. Tak ingat, serumit tak melupakan. Tak mampu kuingat apa yang seharusnya kulupakan.
Kucing siapa, musim apa. Aku tak lupa, hanya tak ingat. Lumpur seakan tak terlihat. Haruskah aku sedih atau senang tanpa sebab. Dan aku tahu ini bukan amnesia. Aku manusia, itu saja, tersesat di teras rumah. Jendela jendela melihatku tanpa merasa iba, mungkin hanya peasaanku saja. Kasihan. Angin tiba tiba berdesir, kudengar deru mesin.
Seorang pengendara motor lewat begitu saja. Menerobos kekosongan yang kukira terhampar semacam jalan lengang di luar pagar. Betapa asing dunia. Betapa tak kukenal. Kucoba melangkah kembali ke tempatku, gerak yang tak menciptakan jarak, diam. Serasa berjuta jam, kelopak mataku akhirnya terkatup. Gelap. Ini baru nyata. Lumpur hitam. Mataku terpejam, kubuat gelap. Paling tidak aku masih mengendalikan sesuatu. Bukan pintu di benakku.
Kuraih titik titik berkilau yang beterbangan dalam kegelapan, mestinya terburu buru, kudengar suara, getar tubuh kucing. Semakin asing, dengkuran kucing. Bau tanah basah. Angin tiba tiba menyerbu dekat, meruntuhkan sisa hujan dari daun daun dan ranting di atas pohon. Suaranya seperti mengingatku sedang melupakan tempat dan waktu. Seperti sedang mendongak ke arah sepasang mata, pandangannya bersirat tanya,”Kau baik baik saja?”
Ya. Apakah aku baik baik saja. Sebaiknya aku lupa. Mengapa harus sungguh sungguh melangkah. Apakah harus ke mana.  Lumpur lumpur yang lucu. Hujan hujan, kubisikkan. Kucing mendengkur tanpa tidur. Jika bukan pintu, mungkin jendela. Tak berpintu tak pasti selalu terbuka. Ya, melompati jendela, kududuki tepinya. Burung kakak tua sejak lama hinggap di jendela.
Wah…dunia rumah…jendela mata…aku mulai lelah, mulai merasa salah memilih kata*