Musim dan
kucing, bertemu di teras rumahku, di jejak langkah berlumpur. Aku merenung,
semakin dalam, semakin buram. Hujan telah usai, dunia masih basah, serupa kanak
kanak baru beranjak dari bak mandinya, tubuh dan rambutnya harum, bersih,
sejuk, meneteskan air.
Ada yang
ingin kutanyakan, tapi belum teringat. Aku terpaku, seakan debu di sebuah sudut
yang tak tersentuh. Mendesah tanpa makna, terpikir saja olehku,”Benakku tak
berpintu.” Segala boleh datang dan pergi tanpa permisi, semua boleh mampir
sejenak atau lama. Dan aku bahkan belum mampu mengingat yang mestinya kuingat. Tak
ingat, serumit tak melupakan. Tak mampu kuingat apa yang seharusnya kulupakan.
Kucing siapa,
musim apa. Aku tak lupa, hanya tak ingat. Lumpur seakan tak terlihat. Haruskah aku
sedih atau senang tanpa sebab. Dan aku tahu ini bukan amnesia. Aku manusia, itu
saja, tersesat di teras rumah. Jendela jendela melihatku tanpa merasa iba,
mungkin hanya peasaanku saja. Kasihan. Angin tiba tiba berdesir, kudengar deru
mesin.
Seorang pengendara
motor lewat begitu saja. Menerobos kekosongan yang kukira terhampar semacam
jalan lengang di luar pagar. Betapa asing dunia. Betapa tak kukenal. Kucoba melangkah
kembali ke tempatku, gerak yang tak menciptakan jarak, diam. Serasa berjuta
jam, kelopak mataku akhirnya terkatup. Gelap. Ini baru nyata. Lumpur hitam. Mataku
terpejam, kubuat gelap. Paling tidak aku masih mengendalikan sesuatu. Bukan pintu
di benakku.
Kuraih titik
titik berkilau yang beterbangan dalam kegelapan, mestinya terburu buru,
kudengar suara, getar tubuh kucing. Semakin asing, dengkuran kucing. Bau tanah
basah. Angin tiba tiba menyerbu dekat, meruntuhkan sisa hujan dari daun daun dan
ranting di atas pohon. Suaranya seperti mengingatku sedang melupakan tempat dan
waktu. Seperti sedang mendongak ke arah sepasang mata, pandangannya bersirat
tanya,”Kau baik baik saja?”
Ya. Apakah aku
baik baik saja. Sebaiknya aku lupa. Mengapa harus sungguh sungguh melangkah. Apakah
harus ke mana. Lumpur lumpur yang lucu. Hujan
hujan, kubisikkan. Kucing mendengkur tanpa tidur. Jika bukan pintu, mungkin
jendela. Tak berpintu tak pasti selalu terbuka. Ya, melompati jendela, kududuki
tepinya. Burung kakak tua sejak lama hinggap di jendela.
Wah…dunia
rumah…jendela mata…aku mulai lelah, mulai merasa salah memilih kata*