Jumat, 17 April 2015

cuci mata

Ketelanjangan selalu suci, maka tubuh mesti ditutupi. Dunia dan mata manusia tak tahan berhadapan dengan kesucian.
Aku pernah menyangka, memiliki kesanggupan mencintai sesama manusia tanpa hasrat bercinta. Seperti biasa, sangkaanku seringkali salah, entah kau, hanya kau yang tahu dan kau boleh mengatakan padaku atau menyimpannya untuk dirimu. Yang kutahu, sangkaanku salah. Aku tak pernah sanggup mencintai tubuh tubuh tak bagus, tulang bengkok, terlampau gemuk atau kurus, kulit kusam dan keriput, mata lamur, bibir perot, rambut rapuh, tangan dan kaki gemetar tak terkendali. Jangankan mencintai, memandang sekilas saja membuatku muak. Manusia manusia buruk yang tak mampu membangkitkan hasrat atau sekedar khayalanku bercinta, tak pernah dapat kucintai mereka, pedulipun tidak, malahan ingin kumusnahkan mereka.
Maka kata kata manisku pahit semua. Hinalah aku supaya aku berhak menuduhmu ngawur. Setelah kita saling menghancurkan imajinasi, akan kucoba sekali lagi mencintaimu. Untuk sedikit lebih membenarkan sangkaanku. Jika dapat kucintai sesama manusia tanpa nafsu, mungkin akan kumengerti kau sepersekian bagian, aku ragu berapa bagian kira kira tepatnya, dan bosan berprasangka yang kemudian ternyata lagi lagi terbukti salah.
Hanya kau yang bisa mencintai setiap manusia. Aku merasa terlalu bebal, tak bakal bisa belajar. Maka kualihkan perhatian dengan menulis surat atau sajak. Menghisap sigaret, menikmati kopi, kadang kadang menenggak arak. Tentu saja kau tahu, semua kukerjakan  untuk berbagi kesalahan, bahkan kusebut kegilaan. Dan aku bangga menjadi semacam seniman. Kebangganku bukankah adalah sebagian dari pujian untukmu? Kau tahu aku dapat menulis tanpa jeda, memabukkan diri dengan kata kata bermetafora. Sajak kujadikan setara dengan arak. Malah lebih berkhasiat. Arak dalam jumlah tertentu menjadikan aku jatuh tertidur tanpa mabuk. Sajak membuatku selalu nyalang, terang, mabuk keindahan dengan penuh kesadaran. Aku memang bangsat, kutuliskan sambil tersenyum puas. Tentang ini bukan sangkaan, kenyataannya aku tahu pasti, lebih nikmat mengumpat diri sendiri daripada dimaki maki sesama manusia yang pernah kusangka dapat kucintai setulus hati.
Sajak sajak, terutama yang kutulis sendiri membuat sekujur tubuhku bengkak. Kepala beserta isinya, juga dada dengan segenap organ organ yang berdenyut di dalamnya. Meskipun bengkak, aku merasa sehat dan penuh semangat. Kemudian aku menyangka namanya syahwat, sehat sekaligus sesat. Kecanduan arak atau nikotin sudah kutaklukkan, sangat mudah, tanpa campur tangan ahli jiwa, hanya dengan sajak. Kecanduan sajak, aku bahkan belum pernah menyangka akan begini parah. Belum kutemukan penawar kepedihan.
Manusia manusia buruk rupa begitu banyak, mengepungku, kupejamkan mata atau kutundukan kepala, menuliskan khayalanku. Wangi tubuh dan rambut, pundak dan lengan tegap, tungkai panjang dan lentur, jemari lentik, mata berbinar, suara hangat, senyum nakal. Apa artinya cinta tanpa bercinta? Ada. Kalau aku bukan manusia, kucing misalnya, akan kujilati wajahmu tanpa letih, atau kera, akan kuhabiskan hampir seluruh hidupku untuk mencari setiap kutu di tubuhmu.
Bahkan binatang binatang lebih paham tentang kesucian tubuhnya. Ketelanjangan tidak memalukan karena tak berakal atau karena berahlak mulia. Aku dapat mengatakan sejuta prasangka, benar atau salah. Tubuh manusia bagaimanapun bentuknya, adalah bait suci, dengan tubuhnya manusia beribadah, berlutut atau bersujud dengan melipat kaki dan melengkungkan punggung, berdoa dan berzikir dengan menggetarkan pita suara dan bibir, memandangi sesama manusia dan menyangka dapat mencintai semuanya dengan mata, otak dan kelenjar kelenjar penghasil hormon dalam tubuhnya. Bercinta, menjalankan amanah mengisi dunia dengan sekujur tubuh dan organ reproduksi di dalamnya. Ah, ternyata menulis juga dengan menggerakkan lengan, telapak dan jari jari tangan.
Selama masih kutemukan keajaiban dalam sajak sajak yang kutuliskan aku belum dapat beranjak. Kelak mungkin akan kutemukan dan kukerjakan yang lebih mulia daripada berkutat di sekitar sajak sajak. Mungkin kelak aku bisa menjahit baju atau merajut sepasang kaos kaki. Karena dunia dan mata manusia tak akan pernah sanggup berhadapan dengan ketelanjangan. Akal selalu dikalahkan kesucian. Segalanya akan lebih sederhana seandainya aku tahu ada berapa lapis syahwat menyelubungi jasat.  
Hanya kau yang tahu, tentang segala prasangka yang kusangka, benar atau salah. Siapa mampu mengusikmu, lalat, ngengat, atau bangsat, atau penjahat, atau syahwat, atau taubat. Ular melingkar lingkar di atas pagar yang kukatakan berulang ulang dan belum juga benar. Ada apa dengan lidahku, dia tak mau patuh pada kerinduanku, mengatakan rindu lebih dekat kepada kesempurnaan, tidak kekanakan seperti bocah baru belajar bicara.
Kelinci meloncat loncat di bawah pohon. Belalang mengangguk angguk di atas daun. Lebah madu hinggap pada sekuntum bunga. Masih dapat kupilih banyak kalimat yang dapat kuucap lebih tepat. Kenapa masih harus menuntut dan menginginkan kebenaran mengucapkan, ular melingkar lingkar di atas pagar. Betapa ringan saat kuingat, kau pasti tahu segala sesuatu yang aku tak tahu sedikitpun.
Akhirnya aku tanya, manakah yang lebih buruk, mengumbar syahwat atau tidak menutupi aurat. Manakah yang lebih tak dapat dihadapi dunia dan mata manusia, ketelanjangan tubuh atau ketelanjangan pikiran. Kalau kaubaca ini, kusangka aku sedang menuntaskan hasrat, sedang tersesat dalam kenikmatan yang tak sanggup kuhadapi dengan mataku sendiri. Selamat. Ah, selamat hanya nama biskuit coklat, masih banyak selamat lain sebelum wafat atau kiamat*