Rabu, 16 September 2015

tung tung tung

Suara ketukan yang kudengar senada irama bunyi langkah seekor kuda. Aku duduk di punggungnya. Kuda berderap riang melintasi malam.
Seruas jalan setapak, merah kecoklatan. Pohon pohon berbaris di sepanjang sisi jalan. Rindang dan tua. Sabar dan bijak, ranting rantingnya terulur cukup panjang hingga menyeberangi jalan, menaungi setiap yang lewat di jalan setapak.
Sepertinya aku salah. Pada waktu malam segalanya akan tampak kehitaman, bukan merah kecoklatan. Malam selalu hening, tidak pernah sehangat ini.
Dan ini bukan pula pagi. Mungkin hampir siang atau menjelang petang. Mengapa aku tidak jalan kaki? Aku melompat turun sebelum kuda berhenti. Apakah ini mimpi atau sebuah khayalan lagi? Aku menatap ujung jalan yang tidak kelihatan sambil menikmati suara ketukan.
Sekarang terdengar seperti bunyi alat musik yang baru kudengar pertama kali. Mengingatkanku pada kehangatan di dalam rahim, merah kecoklatan, berdetak tanpa henti.
Mungkin sebentar lagi menjelang malam, dan dini hari nanti aku akan dilahirkan kembali. Aku berkata, kepada seekor kuda dan barisan pohon pohon di sepanjang sisi jalan, ibuku ada di sana, di ujung jalan, lengannya terbuka, wajahnya merona, seperti setangkai kembang yang mekar dibasahi hujan.
Di sebuah dunia yang tidak mengenal pelana, tali, dan gergaji, seekor kuda berderap riang, kedua pasang kakinya telanjang. Jari jari matahari mengetuk awan, menjatuhkan hujan yang mengetuk ngetuk setiap kembang. Di sana ibuku hilang, sesaat setelah aku datang.
Jalan setapak merah kecoklatan, dedaunan, ranting, dahan dan batang batang pohon rindang, seekor kuda liar. Suara ketukan terdengar menyapa ramah, selamat jalan kehilangan. Apakah aku puisi yang sedang membaca diriku sendiri? Aku bertanya sebelum suara ketukan berhenti*