Sabtu, 27 Juni 2015

kanggo riko

Kaudengar keluhanku. Kebisingan telah berlalu. Sengaja kaupindahkan ke dalam sebuah gedung. Di hadapanku kini terhampar kekosongan, trotoar dan debu. Tapi kenapa kau menciptakan rindu?
Rindu mungkin kauciptakan demi keselamatan penghuni bumi, seperti gravitasi. Aku bicara sendiri, lirih. Tapi kenapa kautaruh rindu di sini? Dalam hati. Seandainya aku tahu cara merogoh hatiku sendiri, tentu sudah kuraih, apa saja yang kautaruh dalam hatiku. Rindu, hasratku untuk mengelilingi permukaan bumi, gema suara dan bayang wajah yang tak kudengar dan kulihat dengan telinga dan mata.
Serba salah. Kau pasti akan mengeluh mirip aku, jika tak maha sabar dan selalu berdiri sendiri. Ingin kulihat kau menyerah atau pura pura tak dengar. Aku mengeluh hanya untuk menarik perhatianmu, atau mungkin pemilik suara dan wajah yang kautaruh dalam hatiku. Mencoba mengacaukan diammu, atau membujukmu agar mengeluarkan yang kautaruh dalam hatiku.
Kau maha tahu, maha bisa, kau pasti punya cara membereskan isi hatiku. Memilah isinya satu persatu, meletakkan semua pada tempat semestinya. Rindu, hasrat, kegelisahan, apakah harus dikeluarkan atau tetap disimpan. Suara dan wajah yang mana paling penyayang. Sekarang begitu sepi, angin bertiup kencang.
Haruskah kuakui aku kangen, ingin mendengar lagi lagu lagu yang dulu kubilang kampungan.
Penyesalan selalu datang terlambat, kata orang bijak. Aku bisa pura pura tak dengar sambil sungguh sungguh mendengar. Pasti mudah bagimu, mengerjakan segalanya jauh lebih baik dariku. Pura pura tak dengar sambil sungguh sungguh mendengar.
Aku pura pura ingin tak kauhiraukan, atau kaujadikan satu satunya, yang paling mengerti bahwa hanya kau yang mengerti. Harus kuapakan isi hatiku? Aku tak meminta kau menjawabku, tapi kalau kau tak keberatan, biar kudengar lagi satu lagu paling kampungan yang pernah kudengar sebelum kau dengar keluhanku, atau sebelum kauciptakan rindu, atau sebelum kautaruh rindu ciptaanmu di dalam hatiku.
Ayolah, hanya satu, di antara begitu banyak lagu, yang paling kampungan saja. Aku teringat anak bungsuku menarik narik lengan bajuku, ketika merajuk menginginkan makanan ringan yang tak memenuhi standar kesehatan. Ayolah, apa susahnya untukmu. Kau pasti tahu kenapa aku. Kau pasti tahu apa yang tak dapat kukatakan padamu. Ah…kau sedang memenuhi harapanku, kau pura pura tak dengar sambil mendengarku dengan sungguh sungguh*