Cintaku
sangat malu saat ketahuan mencuri hatimu. Kau tak marah, hanya berkata,”Sayang
aku cuma punya satu hati.”
“Maaf. Aku tak
tahu diri, cuma satu malah kucuri.”
“Aku juga minta
maaf, merepotkan.”
“Tidak, kau
menyenangkan. Kau sangat baik, tak marah, tak menghukum, padahal kucuri hatimu
yang cuma satu.”
“Hmm, justru
itu. Karena cuma satu, kembalikan padaku.”
“Nanti pasti
kukembalikan, dan tak akan kucuri lagi.”
“Kembalikan
sekarang, nanti mesti kaucuri lagi.”
“Oh…yayaya…aku
mengerti.”
Begitulah,
maka cintaku tak tahu malu lagi, mencuri hatimu yang cuma satu berkali kali.
Kau selalu sama, menyenangkan, sangat baik, tak marah, tak menghukum. Hanya
sedikit merepotkan, kadang kadang, tidak sering. Setelah sempat terpikir,
akhirnya kutanyakan,”Kenapa bukan kau yang mencuri hatiku seperti kucuri
hatimu. Kadang kadang aku ingin tahu, bagaimana rasanya kehilangan hati.”
“Hmm, aku
ceroboh dan pelupa, pemalas dan tak suka mengerjakan yang sama berulang ulang. Kalau
kucuri hatimu tak akan kukembalikan lagi.”
“Tak apa. Kalau
tak kaukembalikan hatiku, tak akan kukembalikan hatimu. Kita bisa bertukar
hati.”
“Dengan apa akan
kaucuri hatiku kalau hatimu sudah kucuri? Kita cuma punya satu hati, satu hati
yang hanya dapat dicuri dengan hati. Tak mungkin bertukar hati. Salah satu dari
kita harus rela jadi pencuri, sementara lainnya ikhlas kehilangan hati, percaya
pencurinya pasti mengerti, hatinya akan kembali.”
“Ah…kau
benar. Aku bodoh sekali.”
“Kau mau
mencuri dan mengembalikan berkali kali.”
“Kau mau percaya
pada pencuri berkali kali.”
“Ada berjuta
juta kebodohan pada satu hati.”
Oh…cintaku
cintaku, siapakah kau, siapakah aku, yang ini hatiku atau hatimu. Maaf aku
tertidur sebentar dan tak ingat yang mana yang benar, ini hatimu atau hatiku. Ah,
tak apa kalau tertukar sesekali, nanti tohk kucuri lagi*