Minggu, 19 April 2015

kincir angin

Cintaku sangat malu saat ketahuan mencuri hatimu. Kau tak marah, hanya berkata,”Sayang aku cuma punya satu hati.”
“Maaf. Aku tak tahu diri, cuma satu malah kucuri.”
“Aku juga minta maaf, merepotkan.”
“Tidak, kau menyenangkan. Kau sangat baik, tak marah, tak menghukum, padahal kucuri hatimu yang cuma satu.”
“Hmm, justru itu. Karena cuma satu, kembalikan padaku.”
“Nanti pasti kukembalikan, dan tak akan kucuri lagi.”
“Kembalikan sekarang, nanti mesti kaucuri lagi.”
“Oh…yayaya…aku mengerti.”
Begitulah, maka cintaku tak tahu malu lagi, mencuri hatimu yang cuma satu berkali kali. Kau selalu sama, menyenangkan, sangat baik, tak marah, tak menghukum. Hanya sedikit merepotkan, kadang kadang, tidak sering. Setelah sempat terpikir, akhirnya kutanyakan,”Kenapa bukan kau yang mencuri hatiku seperti kucuri hatimu. Kadang kadang aku ingin tahu, bagaimana rasanya kehilangan hati.”
“Hmm, aku ceroboh dan pelupa, pemalas dan tak suka mengerjakan yang sama berulang ulang. Kalau kucuri hatimu tak akan kukembalikan lagi.”
“Tak apa. Kalau tak kaukembalikan hatiku, tak akan kukembalikan hatimu. Kita bisa bertukar hati.”
“Dengan apa akan kaucuri hatiku kalau hatimu sudah kucuri? Kita cuma punya satu hati, satu hati yang hanya dapat dicuri dengan hati. Tak mungkin bertukar hati. Salah satu dari kita harus rela jadi pencuri, sementara lainnya ikhlas kehilangan hati, percaya pencurinya pasti mengerti, hatinya akan kembali.”
“Ah…kau benar. Aku bodoh sekali.”
“Kau mau mencuri dan mengembalikan berkali kali.”
“Kau mau percaya pada pencuri berkali kali.”
“Ada berjuta juta kebodohan pada satu hati.”   
Oh…cintaku cintaku, siapakah kau, siapakah aku, yang ini hatiku atau hatimu. Maaf aku tertidur sebentar dan tak ingat yang mana yang benar, ini hatimu atau hatiku. Ah, tak apa kalau tertukar sesekali, nanti tohk kucuri lagi*