Minggu, 08 Maret 2015

puzzle

Susah susah mudah kau kudekati. Kucari engkau lari. Kudiam kauhampiri. Ini penggalan syair lagu yang pernah populer pada jaman dahulu. Lagu yang pernah dimanfaatkan oleh beberapa lelaki untuk merayuku. Setiap kali mendengarnya aku teringat masa lalu yang bikin aku tersipu tidak tahu malu. Agak kusayangkan pencipta lagu sekaligus penyanyinya, yang pada jaman dahulu sangat kusukai sekarang beralih profesi menjadi bintang iklan kopi. Yah…aku penikmat kopi dan sepakat bahwa semua orang sebaiknya mengubah nasibnya, mengerjakan yang menurut mereka baik demi memperbaiki hidupnya. Namun secara pribadi, tetap sulit untukku menghapus rasa kecewa semacam belasungkawa, yang bangkit dari lubuk hatiku setiap kali menyaksikan seseorang memutuskan atau melakukan tindakan yang menyimpang dari jalan idealisme yang semula telah ditempuh. Hmm, sebenarnya bukan urusan dan niatku untuk membahas tentang orang lain yang tidak kukenal dekat. Sehebat apapun karakter dan karyanya, di dunia tak ada yang sempurna.
Kembali ke topik awal, syair lagu pada jaman dahulu. Kuberikan padamu sebuah batu akik, tanda sayang batin yang tercekik. Sepenggal syair lagu lain, diciptakan dan dinyanyikan oleh orang yang sama, pada jaman dahulu yang sama. Kini sering membuatku tersenyum getir. 
Sejak semula, entah sejak kapan, tepatnya pada jaman sekarang, aku terpaksa berada dan melihat sekumpulan manusia bersuara parau. Sekumpulan manusia yang keberadaanya gagal kuterima apa adanya. Keadaan yang sama berlaku dua arah, sekumpulan manusia yang tidak butuh mendengar setiap kesan dan pesan yang dengan sukarela kuberikan pada mereka. Baguslah, tidak saling menghiraukan. Mereka tercekik batu batu akik, aku tenggelam dalam khayalan.
Namun, debu sekalipun sangat kecil dapat sangat mengganggu, apalagi sekumpulan manusia yang ukurannya rata rata lebih besar dariku. Betapa besar harapanku untuk membersihkan seiiap butir debu yang terlihat. Sebesar anganku untuk mengirimkan ombak paling tinggi yang sanggup menyapu bersih siapa atau apa saja yang aku tidak berkenan.
Perasaan galau membuatku sembilan sepersepuluh putus asa. Entah sengaja atau kebetulan, ada yang  menghiburku dengan mengantarkan ingatanku kepada sebuah nama, squitward tentacles, seekor gurita penggurutu, tokoh sebuah serial film kartun yang kutonton setiap jam enam pagi di televisi. Squitward mengingatkanku pada seseorang yang kukenal sangat dekat, aku. Lantas aku bisa tersenyum tanpa malu, kami mirip sekali. Aku dan squitward sama sama merasa terlalu berbakat dan artistik, tidak layak, bahkan muak, bertetangga dengan sepotong spons yang selalu gagal ujian di sekolah mengemudi, dan seekor bintang laut tak berotak yang satu satunya kehebatannya adalah bersendawa.
Persis squitward, aku merasa sia sia dan paling tidak bahagia. Menjalani profesi dan menghabiskan waktu dengan mencemooh keadaan dan mahluk mahluk yang tak dapat diperbaiki. Hahaha…aku senang, setidaknya aku tidak sendiri, ada yang serupa denganku. Malahan seseorang tak kukenal menciptakan tokoh dalam sebuah film yang karakternya kuilhami.
Setiap hari aku mengeluh, seseorang yang kusayangi, yang pada jaman dahulu sering merayuku dengan lagu lagu kesukaan kami menyebutku, tukang ngroweng. Seharusnya kutulis dalam tanda petik ”tukang ngroweng”. Karena dikatakan dengan cinta dan niat tulus, supaya aku berhenti meracau.
Adakah yang perlu diperbaiki? Semuanya telah dinyanyikan lagu lagu yang sering kami dengarkan bersama dengan gembira, sambil saling tersenyum jahil, saling menggenggam telapak tangan, duduk saling bersandar, pada jaman dahulu. Kalau nona bicara persetan logika, sedikit keras kepala, ah dasar betina…Ahh…senang sekali mendengarnya meskipun hanya sesaat. Belum selesai satu lagu, selalu segera berganti lagu yang lain. Semakin bagus lagunya, semakin sebentar diputar, ini keluhan berdasarkan fakta.
Suatu pagi saat menonton televisi bersama seorang bocah lelaki berumur sembilan tahun, aku bertanya “Squitward itu jahat ya…”
“Ya gak jahatlah. Spongebob dan Patrick yang kelewatan. Kasihan squitward, masa liburan tenang sehari saja sampai gak bisa.”
Oh, alangkah manisnya, kata kata bocah lelaki umur sembilan tahun. Membuatku tersenyum malu bertabur rindu. Bocah lelaki itu lebih tampan darimu, lebih pandai merayu ketimbang semua lelaki yang pernah mengenalku. Memandang matanya aku tidak bisa tidak bernyanyi dalam hati.
Kuberikan padamu setangkai kembang pete, lambang cinta abadi namun kere. Buang jauh jauh impian mulukmu, sebab kita tak boleh bikin uang palsu. Kalau di antara kita jatuh sakit lebih baik tak usah ke dokter, sebab ongkos dokter di sini terkait di awan tinggi… Aku bernyanyi, tanpa ragu, tidak tahu malu, persis squitward memainkan klarinetnya.
Bocah lelaki itu tersenyum mendengar nyanyian dalam hatiku. Seperti squitward, menurut pendapatnya aku tidak jahat. Apakah ini liburan? Aku merasa sedang menikmati secangkir coklat hangat*