Susah susah mudah kau kudekati. Kucari engkau lari. Kudiam kauhampiri.
Ini penggalan syair lagu yang pernah populer pada jaman dahulu. Lagu yang
pernah dimanfaatkan oleh beberapa lelaki untuk merayuku. Setiap kali mendengarnya aku teringat masa lalu yang bikin aku tersipu tidak tahu malu. Agak kusayangkan pencipta lagu
sekaligus penyanyinya, yang pada jaman dahulu sangat kusukai sekarang beralih profesi menjadi
bintang iklan kopi. Yah…aku penikmat kopi dan sepakat bahwa semua orang sebaiknya mengubah nasibnya, mengerjakan yang menurut mereka baik demi memperbaiki hidupnya. Namun secara pribadi, tetap sulit untukku menghapus rasa kecewa semacam belasungkawa, yang bangkit dari lubuk hatiku setiap kali menyaksikan seseorang memutuskan atau melakukan tindakan yang menyimpang dari jalan idealisme yang semula telah ditempuh. Hmm, sebenarnya bukan urusan dan niatku untuk membahas tentang orang lain yang tidak kukenal dekat. Sehebat apapun karakter dan karyanya, di dunia tak ada yang sempurna.
Kembali ke topik
awal, syair lagu pada jaman dahulu. Kuberikan padamu sebuah batu akik, tanda sayang batin yang tercekik. Sepenggal
syair lagu lain, diciptakan dan dinyanyikan oleh orang yang sama, pada jaman
dahulu yang sama. Kini sering membuatku tersenyum getir.
Sejak semula, entah sejak kapan, tepatnya pada jaman sekarang, aku terpaksa berada dan melihat sekumpulan manusia bersuara parau. Sekumpulan manusia yang keberadaanya gagal kuterima apa adanya. Keadaan yang sama berlaku dua arah, sekumpulan manusia yang tidak butuh mendengar setiap kesan dan pesan yang dengan sukarela kuberikan pada mereka. Baguslah, tidak saling menghiraukan. Mereka tercekik batu batu akik, aku tenggelam dalam khayalan.
Sejak semula, entah sejak kapan, tepatnya pada jaman sekarang, aku terpaksa berada dan melihat sekumpulan manusia bersuara parau. Sekumpulan manusia yang keberadaanya gagal kuterima apa adanya. Keadaan yang sama berlaku dua arah, sekumpulan manusia yang tidak butuh mendengar setiap kesan dan pesan yang dengan sukarela kuberikan pada mereka. Baguslah, tidak saling menghiraukan. Mereka tercekik batu batu akik, aku tenggelam dalam khayalan.
Namun, debu
sekalipun sangat kecil dapat sangat mengganggu, apalagi sekumpulan manusia yang
ukurannya rata rata lebih besar dariku. Betapa besar harapanku untuk
membersihkan seiiap butir debu yang terlihat. Sebesar anganku untuk mengirimkan
ombak paling tinggi yang sanggup menyapu bersih siapa atau apa saja yang aku
tidak berkenan.
Perasaan galau
membuatku sembilan sepersepuluh putus asa. Entah sengaja atau kebetulan, ada
yang menghiburku dengan mengantarkan ingatanku
kepada sebuah nama, squitward tentacles, seekor gurita penggurutu, tokoh sebuah
serial film kartun yang kutonton setiap jam enam pagi di televisi. Squitward
mengingatkanku pada seseorang yang kukenal sangat dekat, aku. Lantas aku bisa tersenyum tanpa malu, kami mirip
sekali. Aku dan squitward sama sama merasa terlalu berbakat dan artistik, tidak
layak, bahkan muak, bertetangga dengan sepotong spons yang selalu gagal ujian
di sekolah mengemudi, dan seekor bintang laut tak berotak yang satu satunya
kehebatannya adalah bersendawa.
Persis squitward,
aku merasa sia sia dan paling tidak bahagia. Menjalani profesi dan menghabiskan
waktu dengan mencemooh keadaan dan mahluk mahluk yang tak dapat diperbaiki. Hahaha…aku
senang, setidaknya aku tidak sendiri, ada yang serupa denganku. Malahan
seseorang tak kukenal menciptakan tokoh dalam sebuah film yang karakternya
kuilhami.
Setiap hari
aku mengeluh, seseorang yang kusayangi, yang pada jaman dahulu sering merayuku
dengan lagu lagu kesukaan kami menyebutku, tukang ngroweng. Seharusnya kutulis
dalam tanda petik ”tukang ngroweng”. Karena dikatakan dengan cinta dan niat
tulus, supaya aku berhenti meracau.
Adakah yang
perlu diperbaiki? Semuanya telah dinyanyikan lagu lagu yang sering kami dengarkan
bersama dengan gembira, sambil saling tersenyum jahil, saling menggenggam
telapak tangan, duduk saling bersandar, pada jaman dahulu. Kalau nona bicara
persetan logika, sedikit keras kepala, ah dasar betina…Ahh…senang sekali mendengarnya
meskipun hanya sesaat. Belum selesai satu lagu, selalu segera berganti lagu
yang lain. Semakin bagus lagunya, semakin sebentar diputar, ini keluhan
berdasarkan fakta.
Suatu pagi
saat menonton televisi bersama seorang bocah lelaki berumur sembilan tahun, aku
bertanya “Squitward itu jahat ya…”
“Ya gak jahatlah. Spongebob dan Patrick yang kelewatan. Kasihan squitward, masa liburan
tenang sehari saja sampai gak bisa.”
Oh, alangkah
manisnya, kata kata bocah lelaki umur sembilan tahun. Membuatku tersenyum malu
bertabur rindu. Bocah lelaki itu lebih tampan darimu, lebih pandai merayu
ketimbang semua lelaki yang pernah mengenalku. Memandang matanya aku tidak bisa
tidak bernyanyi dalam hati.
Kuberikan padamu
setangkai kembang pete, lambang cinta abadi namun kere. Buang jauh jauh impian
mulukmu, sebab kita tak boleh bikin uang palsu. Kalau di antara kita jatuh
sakit lebih baik tak usah ke dokter, sebab ongkos dokter di sini terkait di
awan tinggi… Aku bernyanyi, tanpa ragu, tidak tahu malu, persis squitward memainkan klarinetnya.
Bocah lelaki
itu tersenyum mendengar nyanyian dalam hatiku. Seperti squitward, menurut
pendapatnya aku tidak jahat. Apakah ini liburan? Aku merasa sedang menikmati
secangkir coklat hangat*